Anda di halaman 1dari 8

Lelap Temaram

Lari. Terus berlari walau mata semakin kabur, terhalang oleh derai tangis yang memburai
tiada henti. Deru panas menyelimuti sekujur tubuh. Tempo nafas tak karuan. Entah ke
mana setapak ini akan membawa ia pergi. Kaki-kaki dipaksa untuk berpacu. Bukan untuk
menyentuh garis finish, melainkan mencari siapapun yang bisa menyelamatkan
nyawanya. Sekencang apapun ia berlari, para serigala masih membuntutinya. Ketika
panas tubuh tidak tersisa satupun, perlahan ia hampir terkulai. Hutan berpihak pada
kawanan serigala itu. Akar yang mencuat dari tanah berhasil menjatuhkan gadis itu. Itu
adalah kesempatan besar bagi serigala-serigala untuk menangkapnya. Tak beri ampun,
gadis itu kini menjadi bulan-bulanan. Hingga tepat saat belati menembus tubuh kiri si
gadis, itu adalah penutup acara yang tragis.

Kedua pria besar itu pergi berlalu. Menyisakan si gadis dan tubuhnya yang lebur. Darah
menjadi alas tidurnya. Pandangannya meredup. Kini, satu tarikan nafas ia hembuskan,
dan...

“Hei, yo...”
“Huh?”
“Sekarat, ya?”
“...siapa?”
“Sebentar lagi Izrail datang.”
“Lalu? Kau bukan si pencabut?”
“Bukan. Aku bukan siapa-siapa.”
Si gadis mengitari pandangannya. Semua terlihat putih. Hanya ada dirinya dan sosok tak
dikenal. Perlahan, sosok itu mendekat. Menjulurkan tangannya sembari menyebut
namanya, Qorin.
“Mau apa kau ke sini?”
“Memberikan tawaran.”

“Sales?”
“...mungkin. Aku ingin menawarkan suatu keputusan yang mana ini berkaitan dengan
hidupmu.”

“Sudah mau mati, kenapa tawari aku? Kenapa—“

“Tolong, dengarkan hingga selesai, nona. Jadi, aku mempunyai satu keistimewaan yang
mana aku bisa meminjamkan kekuatanku kepada orang yang hampir sekarat agar bisa
hidup kembali, dengan syarat tertentu.”

“Apa?”

“Tubuh. Pengendalian. Aku memegang besar atas kendali tubuhnya. Yaa, kalau
dibandingkan sekitar 80:20.”

“Pelit. Sedikit sekali jatah yang punya tubuh. 50:50, boleh?”

“Ini bukan berniaga. Mana bisa begitu. Terlalu jauh dari syarat yang dibuat. Kukasih
79:19 kalau mau.”

“Kurangin kok cuma satu persen? 70:30 baru betul.”


“Namanya cari untung. Ya sudah, 75:25. Gimana?”
Belum selesai tawar-menawar, ruangan tiba-tiba berguncang. Lantai-lantai mulai runtuh.
Pertanda pencabut nyawa akan tiba. Dua sosok masih terpaku di tempat.

“Tidak mau tidak apa. Aku bisa pergi sekarang. Tapi tawaran ini hanya ada satu kali. Aku
tidak mau mati di sini bersamamu. Cepat jawab! Mau atau tidak?” Teriak Qorin sebab
guncangan semakin besar.

“Aku masih bingung. Aku—“


“MAU ATAU TIDAK?!”

Tidak ada jawaban.


“MAU ATAU TID—“
“MAU!”
Lantai yang mereka pijaki runtuh. Seketika menjatuhkan keduanya. Namun, Qorin sempat

meraih si gadis sambil bertanya namanya.


“Maram...”
**

2 tahun berlalu.

6 sore terlihat pada jam tangan sebelah kiri. Maram harus pergi sekarang. 20 menit waktu
yang ditempuh menuju tempat kerjanya. Terletak di gang kecil, nampak warung makan
yang menerangi gang tersebut.

Tiba. Maram mengambil posisi di belakang dapur, lebih tepatnya di tempat cucian piring.
Menyalakan keran air, Maram mulai menggosokkan badan panci dan kawanannya.
Ditemani oleh kucuran air, peralatan besi yang beradu, dan lamunannya. Yang kini sedang
bekerja tentulah bukan Maram seorang. Benar-benar mirip, Qorin melakukan semua tugas
layaknya manusia pada umumnya. Tidak ada perbedaan antara Maram dengan Qorin
yang sedang mengambil alih komando.

Lamunannya mendadak dibangunkan oleh teriakan dari arah depan. Suara beradu tidak
jelas terdengar, membuat ia segera mencari sumber keributan.

“Ada apa—“

Terkejut bukan main, meja dan kursi porak-poranda. Pecahan beling berceceran. Satu
pria berbadan besar sedang berdiri di tengah keributan tersebut dan menodongkan
senjata ke arah kasir. Namun yang lebih membuat dia terkejut adalah rupa dari pria yang
berdiri itu. Saking terkejutnya, Maram tidak bisa berteriak, suaranya tertahan seperti
dicekik. Matanya membelalak. Ia bergeming.

Dia mengenalinya. Pria besar yang menancapkan belati waktu itu kini kembali muncul.

“Dari sekian banyak manusia, kenapa harus orang itu yang muncul”

Dipenuhi teror dan amarah, Ia mundur perlahan, meninggalkan keramaian. Berjalan


menuju pintu belakang, ia keluar untuk menenangkan diri.

Saat ini Maram yang mengambil alih. Tubuhnya gemetar, keringat dingin mengucur di
pelipis, ia kembali merasakan ketakutan lamanya.

“Dia kan yang selama ini kau cari?” Tanya Qorin.

“Aku tidak bisa berpikir jernih. Rasanya sesak.”


“Sesak gimana? Jantungmu kan sudah lama mati—“
“Bukan waktunya bercanda!”
“...kau selalu selalu menunggu saat ini kan? Saat dimana kau bertemu dengan pembunuhmu dan
melakukan balas dendam yang kau impi-impikan” saran Qorin.

“Kau gila?!”

“Daripada kau yang jadi gila karena dendam kesumatmu. Sudah 2 tahun berlalu dengan
sia-sia. Bukankah ini saatnya untuk membalaskan dendammu? Kalau tidak sanggup, biar
kulakukan—“

“T-tunggu! Tunggu sebentar.”


Sejenak Qorin diam, memberi kesempatan bagi Maram untuk menghirup nafas yang
dalam.
"Kenapa ini semua terasa tiba-tiba? Dua, dua tahun aku mencarinya, nihil. Tapi lihat
sekarang, dia datang dengan sendirinya."

"Bukankah itu bagus? Itu namanya takdir."

"Takdir, ya... Entahlah, tapi aku merasa ini pertanda buruk."

"Dari awal kan kau memang mati dalam nasib yang buruk. Kenapa baru sadarnya
sekarang?"

"Aku takut, Qorin! Aku... Aku masih takut untuk menghadapinya."

Kembali hening. Qorin sibuk memutar otak, menyusun kata-kata yang dapat meyakinkan
partner-nya.

“Luka, derita, dan rasa sakit yang kau rasakan 2 tahun yang lalu telah lama memberontak.
Menuntut keadilan. Namun, keadilan Penghuni Langit belumlah memuaskan dahagamu.
Mereka tidak bisa mewakili dendammu. Paling kau hanya disuruh untuk memaafkan si
bajingan itu. Bukankah itu tidak adil? Agar impas, kau harus melakukan hal yang sama,
sendiri. Dengan begitu ini yang dinamakan keadilan. Nyawa dibayar nyawa, tidak
melibatkan siapapun yang masih hidup. Kau tidak akan merasa bersalah oleh siapapun.”

“...”

“Kau bisa melakukannya kalau sudah siap."

Meninggalkan pekerjaan begitu saja. Maram keluar, mencari sosok bagong yang kini telah
meninggalkan restoran. Mengikuti arah suara gaduh pejalan kaki yang terdengar Maram
terhenti di perempatan.

Mau tidak mau ia selidiki semua jalan, gang, tikungan, dan berakhir di lorong yang sempit.
sosok yang yang dicari-cari oleh maram berdiri tegak dengan senjata yang sudah siap
ditembakkan ke aranya.

“Aku tahu kau akan mengejarku, sejak aku melihatmu di restoran itu, aku tahu kau akan
datang untuk membalas dendam”
maram terdiam. Ia tak mampu berkata-kata karena dirinya sedang dipenuhi dengan
amarah

“kurasa sampai disini saja pengejaranmu. Mohon maaf tapi kurasa kau tidak akan dapat
membalaskan dendam yang kau simpan sejak 2 tahun lalu”
Dorr...
Suara tembakan shotgun itu terdengar sangat keras
Pria tersebut terkejut karena dihadapannya maram masih berdiri tegak
“bagamana mungkin kau masih hidup” ucap si pria
Maram kemudia melesat ke depan dengan cepat, menubruk pria tersebut hingga hilang
keseimbangan.

Di tangannya kini ada shotgun milik pria berbadan besar yang kemudian ia arahkan ke pria
tersebut
Dengan dipenuhi amarah di matanya, maram menarik pelatuk shotgun.
Dorr.. dorrr.. dorrr
Maram menembak kepala pria itu berkali-kali. Bukannya lega, justru amarah makin
menggebu pada diri Maram. Ia terus menarik pelatuk shotgun tersebut hingga pelurunya
kosong.

Qorin yang menyaksikan sepanjang pertunjukkan berlangsung hanya bisa bergelak tawa.
Menertawakan kegilaan rekan kerja yang sudah bukan kewenangannya untuk
menghentikannya. Qorin tersenyum puas. Tanpa babibu, satu kali jentikan jari dan tubuh
Maram seketika berpindah tempat.

Semua berwarna putih, seperti ruang yang pertama kali Qorin dan Maram bertemu. Yang
membedakannya Maram terduduk dengan tangan dan kaki terkekang rantai. Lidah kelu, ia
tidak berbicara satu kata pun. Seperti kedipan mata, ia masih tercengang. Jangankan
berkedip, menjaga matanya terbuka saja sungguh sulit. Pelupuk tertahan. Samar, Maram
hanya melihat bayangan. Namun, ia masih mengingat suara ini.

“Hei, ini aku. Maaf aku tidak bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Singkat
cerita... sekarang, kau menggantikan tempatku di sini. Aku dijanjikan untuk mendapatkan
tempat yang lebih layak. Anggaplah kita bertukar tempat. Aku tidak menyukai tempat
dingin seperti ini. Jadi, kau tidak keberatan kan untuk tinggal?”

“H-hah? Hei, jelaskan padaku--"


“Sampai jumpa, Temaram.”
"HEH! KEMBALI KAU, BAJINGAN! JANGAN PERGI! --"

Qorin lenyap meninggalkan Temaram. Dan untuk waktu yang tak terbatas, lelaplah
Temaram di dalam Zamharir, membeku bersama semua derita yang ia lalui. Semoga
mimpi indah, Temaram.

***

Anda mungkin juga menyukai