Anda di halaman 1dari 37

Bulan ke-4 dari kalender manusia, hari ke-3. Hutan Phylia, perbatasan ibu kota kerajaan Elf, Albion.

Seseorang berlari cepat membelah hutan, garis matanya menatap lurus ke depan. Ujung jubah
coklatnya melambai di belakang seiring dengan langkah cepatnya. Nafasnya terdengar berat karena
cukup lama berlari, bulir-bulir keringat turun dari dagunya, bersinar kecil saat diterpa cahaya
mentari.

Tiba-tiba tanpa sebuah peringatan sebuah anak panah melesat kearahnya, tepat menuju wajahnya.
Matanya melebar saat menyadari anak panah itu kini hanya berjarak beberapa inci dari wajahnya.
Namun ia berhasil menghindar pada detik terakhir, ia berguling ke samping.

Anak panah itu melesat melewati tepi wajahnya alih-alih menembus tubuhnya, menggores
tudungnya hingga robek lalu menancap di sebuah pohon dengan keras.

Tudungnya merosot turun hingga menampakkan wajahnya. Sosok laki-laki bersurai hitam bermata
tajam itu menatap sekitar, mencari sosok yang mengarahkan anak panah itu padanya.

Ia berdiri, punggungnya sedikit nyeri.

“Siapa?”

Tak lama kemudian, muncul sekelompok orang berjubah hitam dengan berbagai senjata berlari
dengan brutal kearahnya.

Laki-laki itu menghela nafas, lalu meraih sesuatu dari balik jubahnya. Sebuah busur panah perak
terlipat ditangannya, dengan sekali hentakan kecil busur itu terbuka, memanjang hingga 1 meter.

“Jangan bercanda yaa..” ia bersiap dengan kuda-kudanya, menggenggam busurnya dengan tangan
kiri lalu mengarahkannya ke depan. Matanya menyipit, menatap kelompok musuh yang tengah
berlari kearahnya.

‘Wushh’

Dalam sekejap beberapa sosok berjubah itu dikalahkan, melebur menjadi asap hitam di
belakangnya. Walaupun begitu masih banyak yang tersisa.

Beberapa dari musuhnya berusaha menyerangnya dari arah belakang, namun berhasil ditahan
olehnya, ia mengayunkan busur ditangannya layaknya sebuah pedang, menggores siapapun yang
berani mendekat. Serangan terakhirnya berhasil menghempaskan musuhnya. Kemudian tanpa
bicara ia segera menarik tali busurnya, sebuah panah sihir tercipta tepat disaat seorang musuh
mendekat.

“Ráīndrōp..” gumamnya pelan.

Dan kemudian ratusan anak panah berbentuk energi biru jatuh dari langit, menghujani mereka
semua. Mengubah sebagian besar musuhnya menjadi kepulan asap hitam.

Laki-laki itu kembali menghela nafasnya. Namun dari sisi kiri sosok lain yang tersisa muncul dengan
tiba-tiba sambil mengayunkan bilah silinder tajam. Gerakannya terlalu cepat, ia tak punya
kesempatan untuk menghindar.

Tapi sedetik kemudian seseorang datang dan menebas sosok itu.

‘Jraaashh!!’
Laki-laki itu menoleh, mendapati sosok gadis berambut coklat dengan zirah perak berdiri di
sebelahnya sambil mengayunkan pedangnya setelah berhasil mengubah musuhnya menjadi asap
hitam lalu kembali menyimpannya di pinggangnya.

Laki-laki itu kembali menghela nafas.

“Sebenarnya aku bisa mengurusnya sendiri”

“Tak ada toleransi dalam pertempuran, lengah sedikit kau bisa terbunuh” ucap gadis berzirah itu
dengan dingin.

“Ya ya ya, aku paham..” balas laki-laki itu sambil memutar bola matanya. Disaat itu sosok lain datang,
seorang gadis bersurai ungu gelap yang tengah berdiri di atas dahan pohon.

“Kulihat kalian berhasil menyusulku..”

“Pos jaga-ku tak jauh dari sini, aku segera datang saat merasakan aura sihir milikmu” ucap gadis di
atas pohon itu dengan datar.

“Lalu datang lagi satu orang..” tambah gadis bersurai coklat di bawah sana sambil mengerling ke
arah semak-semak.

“Kalian.. berlari.. hoshh.. cepat sekali hahh” laki-laki lain datang, muncul sambil terengah-engah
menembus semak-semak. Ia juga berkeringat, hanya saja pakaiannya terlihat tidak nyaman, terlebih
lagi dibagian leher.

“Kau yang lamban..” ucap sang pemegang busur. Ia kembali melipat busurnya kemudian
mengembalikannya kedalam jubah.

“Kau tau.. hoshh.. dalam Dimshin ini adalah..” belum sempat ia menyelesaikan kata-katanya
seseorang memotong.

“Tak ada waktu untuk bicara, kita harus cepat memberitahu mereka..” gadis berambut coklat itu
melangkah ke depan, menatap gadis lain di atas sana.

“Iro, tunjukkan jalannya..”

Gadis berambut ungu gelap itu mengangguk kecil lalu melompat ke pohon lain. Diikuti oleh ketiga
temannya di belakang.

Jauh di kedalaman hutan Phylia, sebuah pondok kayu didirikan, tepat di luar perbatasan kerajaan
Albion. Pondok itu belum lama ini dibangun, tujuannya sebagai tempat negosiasi akhir antara
pemimpin ras Manusia dan Elf.

Selama ratusan tahun, peperangan yang terjadi diantara kedua ras terbesar itu berkobar diatas
permusuhan satu sama lain. Dan kini, tepat 143 tahun sejak peperangan itu dimulai, kedua ras
akhirnya sepakat untuk berdamai.

Saat ini, di dalam pondok kecil di tengah hutan Phylia para pemimpin dari kedua ras itu telah hadir,
duduk saling berhadapan.
Mewakili ras Elf, pria tua dengan janggut keperakan, Raja kerajaan Albion, Rhmera Fahlequeh
Azrque II, beserta dua pengawalnya. Sebaliknya, mewakili ras Manusia, Raja kerajaan Akiba, Dijuluki
sebagai Raja Emas, Zergan Goldish Xaviera Juno, juga beserta pengawalnya.

Di sisi lain, selaku penengah, pemimpin dari serikat sihir Joanne Lotus Crimson, Uan, berdiri sambil
tersenyum ke arah dua orang tua di depannya.

“Tak perlu memasang senyum aneh itu anak muda.. itu menyebalkan” ucap Rhmera dengan nada
tak suka. Pria tua itu mengelus janggut peraknya, terlihat angkuh. Dua pengawal yang berdiri di
belakangnya ikut menatap dengan sinis.

“Bisakah kita mulai saja? Tidaklah bijak bagi yang mulia untuk jauh lebih lama berada di tempat
minim pengamanan seperti ini” salah satu pengawal kerajaan Elf berkata dengan angkuhnya.

“Ah, mengenai itu..” Uan, laki-laki sang penengah pertemuan itu tersenyum kembali. Ia terlihat
terlalu muda untuk menjadi seorang Master sebuah serikat, walaupun begitu sepak terjangnya
sudah tak diragukan lagi.

“Keamanan tempat ini sudah diperketat hingga tingkat maksimal, bahkan aku ragu ada seekor
burung pun yang dapat masuk tanpa dikenali”

“Tapi tetap saja, keadaan ini masih merugikan kami..” balas sang Raja, Rhmera. Ia mengerling keluar
jendela.

“Ini diluar dari daerah Elf, terlebih lagi kalian semua..”

“Ah, saudara Rhmera..” Raja Zergan menyela. Dibandingkan dengan Rhmera, Zergan sedikit lebih
muda dan terlihat santai.

“Mungkin situasi ini terlihat merugikan anda, tapi bagi kami, pergi ke tempat ini sudah seperti
menyerahkan diri..” ucapnya sambil terkekeh.

Rhmera, alisnya berkedut. Mau tidak mau ia juga membenarkan hal itu.

“Jika memang anda merasa terancam, lebih mudah bagi anda untuk memanggil bala bantuan,
karena jelas pondok ini di bangun tepat di depan pintu kerajaan anda..” Zergan menambahkan
sambil melambai ke luar jendela di mana hutan sebelah timur, 1 km dari mereka sudah merupakan
perimeter kerajaan Elf.

“Dan lagi pula, anak muda ini..” Zergan mengerling ke arah Uan yang -menurut Rhmera- masih
dengan senyum anehnya.

“Bahkan tak berpihak padaku..” para pengawal Zergan menatap Uan dengan tak suka.

“Tapi itu tak menjadi masalah, karena pandangan anak muda inilah aku bisa berada di tempat ini..”

“Ck.. kalau begitu kenapa tidak kita mulai saja, tak seperti kalian, kami tak punya banyak waktu”
sergah Rhmera, yang -dengan terpaksa- mengakui kebenaran perkataan Zergan.

“Mohon maaf atas ketidaknyamanan anda yang mulia..” ucap Uan dengan hormat, ia sedikit
menunduk ke arah Rhmera, begitu juga ke arah Zergan.

“Area sejauh 1 km dari tempat ini sudah dalam pengamanan kami, berikut juga dengan setiap
perimeter yang ada, anda tak perlu memikirkan bahaya apapun”
Salah seorang dari pengawal Rhmera berusaha mengatakan sesuatu, namun Uan menyela lebih dulu
sambil tersenyum ke arahnya.

“Jika ada serangan apapun dari pihak ketiga, teman-teman saya di luar pondok ini yang akan
mengurusnya, bahkan jika itu belum cukup untuk anda..” Uan menggantung kalimatnya sambil
menatap dua buah kristal kebiruan yang tergeletak di atas meja, tepat di hadapan kedua Raja itu.

“Candelion -kristal sihir- di depan anda menyimpan sihir teleportasi tingkat 7, anda sekalian bisa
menggunakannya untuk melarikan diri saat itu juga” jelas Uan yang mau tak mau membuat
pengawal itu terdiam.

Dua Candellion itu adalah salah satu harta milik serikat, Uan sengaja menyerahkan itu sebagai
jaminan untuk mereka. Walaupun tetap saja ia sendiri tak yakin mereka akan memerlukannya saat
ini.

Di sisi lain, semua argumen milik Rhmera berhasil di patahkan, membuat pria tua itu mau tak mau
membenarkan.

Tak lama kemudian sebuah pekikan terdengar dari kejauhan, di susul dengan pekikan lainnya dari
berbagai arah. Para pengawal dari tiap kubu sontak mengangkat senjatanya untuk melindungi para
Raja, namun Uan dengan santai mengangkat tangannya, menenangkan ke dua belah pihak.

“Tak perlu cemas, itu tanda aman yang saya tunggu” ucapnya sambil tersenyum.

Kembali ke dalam hutan Phylia. Keempat sosok lain tengah berlari menyusuri hutan lebat itu. Salah
satu dari mereka, seorang gadis dengan jubah hitam melompat dari pohon ke pohon, memimpin
teman temannya.

“Bagaimana Iro?” ucap gadis berzirah perak yang tengah berlari. Mantel merah dibelakang
punggungnya berkibar terkena angin saat ia berlari.

“Tepat 500 meter di depan kita..” ucap gadis berjubah hitam yang dipanggil Iro itu.

“Tinggal sedikit lagi..” gumam gadis berzirah itu.

“Kuharap tak ada hal buruk yang terjadi”

“Aku merasakan konsentrasi sihir yang cukup kuat dari depan sana..” ucap laki-laki berjubah hitam
yang berlari disampingnya.

“Yaa.. mantra pelindung Ketua sudah aktif..” ucap sosok lain yang baru saja bergabung dengan
mereka.

“Kevin!! Jangan muncul begitu saja, kau membuat radar ku kacau” Iro cukup terkejut, saat melihat
sosok yang dipanggil Kevin itu tiba-tiba ada disampingnya, ikut melompat dari pohon ke pohon.

“Hoo.. kau datang juga..” ucap laki-laki yang berlari di belakang gadis berzirah itu.

Kevin melirik sekilas laki-laki itu, kemudian kembali menatap kedepan.


“Kau terlihat kelelahan Dim..” ucap Kevin sambil terkekeh pelan.

“Apa aliran mu itu tak pernah menganjurkan anggotanya untuk berlari?”

“APA YANG KAU MAKSUD ITU SIAL!!” teriaknya kesal sambil menunjuk nunjuk Kevin yang terkekeh
diatas sana.

“KAU JUGA JANGAN IKUT TERTAWA KEPARAT!!”

“Khukhu.. aku perlu sedikit hiburan, kau tau..” ucap laki-aki berjubah hitam yang berlari didepannya.

“Bagaimana keadaan disana?” tanya gadis berzirah itu pada sosok Kevin diatas sana.

“Semua sudah terkendali, Faruq berhasil menenangkan para Elf itu” ucapnya dengan serius,
mengingat bagaimana kacaunya keadaan di perbatasan.

“Banyak dari mereka yang ingin menerobos keamanan kita setelah mengetahui tentang
kemungkinan adanya penyerangan di pertemuan itu, Faruq berhasil menyakinkan mereka kalau
semua sudah dalam kendali, tapi kupikir takkan bertahan lama”

“Karena itu aku segera menyusul kalian, setidaknya setelah menghajar beberapa Goblin di sebelah
sana?”

“Bahkan Goblin juga?” ucap gadis berzirah itu kemudian.

“Baru beberapa saat tadi aku di hadang sekelompok orang, yah.. walaupun bukan siapa-siapa,
mereka tak lebih dari sekedar bayangan” ucap laki-laki pemanah yang berlari di belakang gadis
berambut cokelat itu.

“Mereka punya banyak bidak sepertinya” ucap Kevin.

“Banyak aliran sihir di udara, mengendap seperti kabut tak terlihat, kurasa beberapa monster seperti
Goblin yang kau temui di kendalikan seseorang” jelas Iro, ia masih saja berusaha memusatkan radar
sihirnya.

Mereka semua terdiam, tak ada yang bicara. Mereka fokus dengan langkah kaki mereka, berusaha
secepat mungkin sampai ketempat tujuan. Setidaknya sebelum laki-laki berjubah di belakang
membuka mulutnya.

“Emm.. bicara tentang pertemuan itu, aku lupa memberitahu kalian” ucapnya. Semua orang yang
ada disana memasang telinga mereka.

“Udzaa memberitahuku di saat terakhir, jika sinyal suara akan di ganti dengan sihir mengingat sinyal
yang biasa takkan sampai ke dalam pelindung sihir tempat pertemuan itu ..”

“!!!”

Mata mereka semua membelalak saat mendengar perkataan laki-laki itu. Gadis berzirah itu lebih
dulu mengangkat suara.

“Apa maksudmu!?”

“I-iya.. kau tau, mantra pelindung yang digunakan berbeda dari rencana, mereka kekurangan orang
untuk merapal mantra itu, karenanya Udzaa berkata Lian akan merapal mantra tingkat 3 seorang
diri..”

“APA!?”
“A-ada apa?”

“Pantas saja komunikasinya terputus disana” jelas Kevin sambil menepuk keningnya.

“Jika Lian sendiri yang merapal mantra perlindungan, takkan ada yang bisa mengirim pesan sihir
itu..”

“Dasar bodoh!! Kenapa tidak katakan sejak tadi!!” ucap laki-laki berjubah yang berlari didepannya.

“SUDAH KU BILANG AKU LUPA!! LAGIPULA AKU SUDAH MENGIRIMI KALIAN PESAN BUKAN!??..”
teriak laki-laki itu kesal karena disebut bodoh.

“Satu-satunya pesan yang ku terima hanya pesan sihir yang biasa digunakan Lian” gumam Kevin. Ia
tak menyangka hal ini akan terjadi.

“Begitu juga denganku, isinya hanya memastikan kondisi pos penjagaan, tak ada apapun mengenai
perubahan rencana di sana” ucap Iro yang juga dibalas anggukan oleh Kevin dan laki-laki berjubah
coklat itu.

“Lian jelas tak bisa mengirim pesan itu jika ia fokus merapal mantra perlindungan, kalau begitu siapa
yang mengirim pesan itu?”

“Iro.. Berapa jauh lagi?”

“Tidak jauh, ada diujung sana.. Jalan keluar hutan tepat mengarah ke tempat terbuka, kita sudah
melewati pelindung sihir Lian” jelas Iro sambil menunjuk kedepan.

“Aku tak percaya ini.. bahkan ada seseorang yang bisa meniru pesan sihir miliknya” laki laki berjubah
itu meraih busur dibalik jubahnya, kemudian merentangkannya.

“Aku lebih memilih Dimas ditawan Goblin daripada pertemuan ini gagal”

“TUTUP MULUT KEPARAT MU ITU ZAYNNNN!!!” laki-laki yang dipanggil Dimas itu kembali berteriak
kesal.

“Jangan banyak bicara.. kita harus cepat” ucap Kevin yang melompat lebih cepat ke dahan pohon
lainnya.

“Kenapa juga si Lian itu melarang mantra Foghmist di pelindungnya”

Foghmist -mantra perjalanan kabut-

“Tak perlu khawatir, semua pos penjagaan sudah tau tentang masalah penyusup ini, mereka takkan
mengirimkan sinyal, lagipula seperti katamu tadi, sinyal yang biasa takkan bisa menembus pelindung
ini” semua mata menatap gadis berziarah itu saat ia bicara. Sedangkan dirinya tetap menatap lurus
kedepan dengan seringai di wajahnya.

Walaupun begitu seringai di wajah gadis berzirah itu lenyap sedetik kemudian saat sebuah pekikan
terdengar.

“!!!”

“Apa!! Mustahil!!”
Pekikan itu kembali terdengar, kini dari arah yang lain, bersahut-sahutan.

“Ck! Sial, bahkan mereka bisa meniru sinyal itu!” gadis berzirah itu mempercepat larinya.

“Tak mungkin sinyal itu bisa menembus pelindung, mereka pasti sudah ada di sekitar sini” Kevin
menajamkan inderanya.

“Tak ada waktu untuk mencari, aku merasakan gelombang sihir besar di depan sana, jumlahnya
banyak sekali” ucap Iro.

“Bersiaplah kalian, aku tak mau ada yang terlewat, tangkap mereka semua” gadis berzirah itu
menggenggam pedangnya sambil berlari, begitu juga dengan mereka semua, bersiap untuk
bertempur.

“Baiklah, aku akan memulai pertemuan ini” ucap Uan mengumumkan beberapa saat setelah ia
menerima sinyal aman itu.

Kedua Raja di depannya menatapnya yang mulai membacakan persyaratan yang di ajukan tiap
kerajaan.

Tiap persyaratan itu melibatkan hak akan wilayah mereka serta perjanjian perihal hukum masing-
masing wilayah. Beserta juga di dalamnya, perjanjian kedua belah pihak atas jalur perdagangan serta
imigrasi, batasan kunjungan, serta politik dan militer. Sebagai tambahan, pihak Elf menuntut
penyediaan kursi di dalam Great Twenty -Dewan Sihir- yang merujuk akan keadilan hukum sihir bagi
mereka.

Di sisi lain, pihak Akiba meminta penerapan hukum bagi imigrasi gelap dari kerajaan Albion
diserahkan kepada Akiba yang segera di setujui oleh mereka dengan syarat mereka juga
mendapatkan hak yang serupa.

Uan tersenyum melihat pertemuan itu berjalan lancar hingga saat ini.

Di luar pondok tempat diadakannya pertemuan, tiga sosok laki-laki terlihat berjaga tak jauh dari
sana. Di tempat terbuka seperti ini, mereka mudah sekali di temukan, karenanya Uan menambahkan
penjagaan tepat di pintu masuk pondok.

Walaupun begitu, ketiga laki-laki di depan pondok itu tak terlihat seperti seorang penjaga. Salah satu
dari mereka berdiri di samping pondok sambil menyilangkan tangannya di depan dada, bersandar
malas pada tiang beranda. Sebuah Gauntlet -sarung tangan besar yang terbuat dari logam-
tersimpan dengan baik dibalik pinggangnya.

Sosok lainnya tengah berbaring di tanah tak jauh dari beranda. Matanya terpejam menghadap langit
berbantalkan kedua lengannya, laki-laki itu terlihat seolah tak ada apapun yang sepenting bersantai
di hari cerah. Sebuah pedang besar bermata kristal menancap di tanah tepat di sisinya. Laki-laki itu
mengunyah setangkai ilalang sambil bergumam ‘hm hm’ dengan bosan.

Seorang lagi, laki-laki berkacamata yang duduk menyilangkan kakinya sambil menatap lurus
kedepan. Dua buah pedang tersampir di pinggangnya. Raut wajahnya terlihat serius, seperti sedang
memikirkan sesuatu.
“Hei, kalian mendengar suara itu?”

“Sinyal? Bukankah Udzaa sudah mengatakan kalau sinyalnya berubah” balas pengguna Gauntlet itu
tanpa minat.

“Mungkin salah dengar.. salah dengar..” ucap laki-laki yang berbaring disana.

“Masa?” laki-laki berkacamata itu mengernyitkan dahinya lagi.

“Ada pergerakan?” tanya si Gauntlet.

“Hm.. hm.. Kak Noey dan beberapa orang, Iro? Kevin? Entahlah..” balas laki-laki yang berbaring itu,
masih tetap memejamkan matanya.

“Kenapa mereka kemari?” tanya si kacamata, namun hanya di balas dengan ‘hm hm’ tak jelas.

“!!!”

“Hei, aneh sekali bukan?” ucap si kacamata.

“Tak perlu memberitahuku dua kali” ucap si Gauntlet.

“Mantramu buruk sekali” ucap laki-laki yang masih berbaring itu.

“Dasar bodoh, mereka tak terdeteksi hingga sekarang, bahkan olehmu kan?” ucap si kacamata
dengan nada mencibir.

“Oh ayolah jangan bercanda, sebanyak itu?” si Gauntlet mengeluh malas.

“Ya, beraneka ragam rupanya.. ada juga yang besar dari selatan” ucap laki-laki yang berbaring itu.
Kemudian terdengar bunyi dentuman keras, tanah bergetar karenanya.

“Huhh, merepotkan saja” ucap si kacamata.

“Sepertinya kita dikepung” ucap si Gauntlet.

“Ah ya, satu lagi yang menarik, ada juga yang bergerak cepat dari dalam tanah”

“Berapa lama mereka akan sampai disini?” tanya si kacamata.

“Semuanya? Emm..” laki-laki yang berbaring itu menggantung kalimatnya, di kejauhan suara
dentuman semakin mendekat, tanah bahkan bergetar hebat.

“Sepertinya sih sekarang...”

Mata laki-laki itu terbuka, begitu juga dengan dua laki-laki lainnya, tepat di saat pepohonan tersibak,
membuka jalan bagi kelompok-kelompok besar monster yang berlari dari dalam hutan. Di susul
dengan munculnya puluhan monster lain dari dalam tanah.

“Selamat bersenang-senang kalau begitu untuk kita semua” ucap laki-laki yang telah mengenakan
Gauntlet miliknya itu.

“!!!”

“Iro!!”
“Aku tau, tepat di depan sana!!” ucap gadis bersurai ungu itu sambil melompat dari pohon terakhir.

Gadis berzirah di belakangnya serta 3 temannya mengikuti jejak Iro. Mempercepat lari mereka
sambil mempersiapkan senjata.

Hutan mulai terbuka, pohon-pohon di kiri-kanan makin menipis, jalan setapak yang mereka lewati
juga di penuhi oleh jejak-jejak monster. Begitu banyak jejak yang di tinggalkan hingga mereka tak
bisa memastikan berapa jumlahnya.

Kemudian mereka semua terkejut hampir bersamaan, saat sebuah suara dentuman keras
menggetarkan tanah.

“Satu ekor yang berukuran besar?” tanya Kevin ke arah Iro yang berlari di depan, memimpin jalan
mereka.

“Ada dua..” balas Iro.

“Cih..”

“!!!”

“Pelindungnya pecah..” ucap Iro.

Tanpa banyak bicara, gadis berzirah itu segera merapal mantra.

“Fôghmîßt..”

Seketika tubuhnya melebur menjadi kabut putih, kemudian melesat dengan cepat. Teman-temannya
yang lain juga ikut merapal mantra yang sama, kemudian ikut melesat.

Kabut-kabut putih itu melesat cepat hingga menembus hutan, melesat ke langit kemudian
bermanuver sampai akhirnya mendarat di tanah terbuka, memadat kembali menjadi diri mereka
sendiri.

‘whuuuuhh’

Kabut menghilang perlahan dari pandangan mereka, kemudian hilang sepenuhnya, menampakkan
sebuah pondok kayu tempat pertemuan seharusnya berlangsung.

Namun tak seperti yang mereka ingat akan penampilan pondok itu. Area terbuka di sekeliling
pondok itu, kini tertutupi oleh ratusan mayat monster.

“Apa-apaan ini..” ucap Kevin.

“Sepertinya kita terlalu khawatir..” gadis berzirah itu berdecih pelan. Ia melihat sekeliling,
menendang mayat Goblin yang ada di kakinya.

“Sia-sia sudah, padahal aku ingin ikut serta..”

“Jadi tujuanmu hanya itu?” Dimas menatap gadis berzirah itu dengan kesal.

“Coba lihat mereka itu” ucap Zayn sambil mengedikkan dagunya ke depan, ke arah pondok itu.

Tak jauh dari tempat mereka berdiri, tiga sosok berjubah hitam berdiri disamping mayat Giant
dewasa, tingginya mencapai 4 meter dengan tubuh tebal yang bergelambir. Salah satu diantaranya
melambaikan tangannya kearah mereka.

.
.

“Jadi kalian datang..” si pemilik pedang besar itu berdiri dari posisi duduknya, melihat kelima
temannya yang baru saja tiba.

“Jadi.. Ada apa?” tanyanya dengan nada bodoh.

“..” gadis berzirah itu diam sampai Zayn menyela.

“Kak Noey, boleh aku panah kepala orang ini?” ucapnya datar. Sedangkan pemilik pedang besar itu
menunjukkan ekspresi bodohnya.

“Eh eh.. Kenapa ini?” ucapnya panik.

“Jelas sekali kalian khawatir pada kami..” ucap pengguna Gauntlet, yang masih duduk disamping
mayat Golem besar itu.

“Kalian mendapat informasi tentang penyusup, lalu segera pergi kesini..”

“Kak Meiza baru saja mengirimiku pesan” ucap si kacamata itu kearah teman-temannya yang baru
saja datang.

“Tepat setelah mantra pelindungku hancur”

“Semua takkan berakhir seperti ini jika si bodoh ini mengatakannya” ucap Noey, gadis berziarah itu
sambil menatap si pemilik pedang besar di depannya.

“Hei, aku sudah memberitahu Dimas” ucapnya membela diri. Kemudian beralih ke Dimas.

“Kau tak menyampaikan pesanku ya? Hah??”

“Mana ada, pesanku di sabotase seseorang” ucap Dimas yang tak rela disalahkan.

Sedetik kemudian semuanya terdiam saat seekor bebek meluncur turun dari langit dengan suaranya
yang melengking. Bebek itu bertengger di tangan Noey, kemudian menyerahkan sebuah perkamen
kepadanya.

Noey membacanya sekilas, kemudian mengalihkan pandangannya kearah teman-temannya.

“Dari Faruq..” ucapnya.

“Yaa.. kami tau, siapa lagi orang bodoh yang menggunakan bebek sebagai pengantar surat” ucap
Udzaa yang kemudian di-iyakan oleh yang lain.

“Apa yang dia katakan?”


“Pihak Elf memaksa untuk bisa datang ke tempat ini, dia tak bisa menahan mereka lebih lama” ucap
Noey yang membaca isi perkamen itu sekali lagi.

“Hanya masalah waktu sampai mereka tiba”

“Kurasa tak masalah, lagipula semuanya berjalan lancar” ucap Lian, laki-laki berkacamata itu sambil
mengerling ke arah pondok.

“Pertemuan itu maksudku, bukan soal pengamanannya”

Kevin terkekeh.

Noey melihat kembali isi perkamen ditangannya, lalu menatap Udzaa. Udzaa yang merasa ditatap
datar oleh Noey menatapnya balik.

“Ada apa?”

Buakhh!!

Noey sukses menghantam wajah laki-laki didepannya. Udzaa meringis menahan sakit diwajahnya,
kemudian berteriak kesal.

“APA APAAN KAU!!”

Noey dengan tenang memperlihatkan isi perkamen itu kearah laki-laki di depannya.

“Disini tertulis, tolong gantikan aku memukul Udzaa..”

“APA-APAAN SURAT KEPARAT INI!!”

“Hey hey hey, kenapa ramai sekali sih..” suara Uan datang dari belakang mereka, saat mereka
melihatnya, Uan tengah berjalan keluar dari pondok di ikuti kedua Raja dan penawalnya.

“Wah wah, berantakan sekali tempat ini..” ucapnya sambil melihat sekeliling, penuh dengan mayat
monster.

Dilihatnya kedua Raja di belakangnya, sepertinya tak bisa berkomentar apa-apa, terlihat dari
ekspresi mereka yang tak bisa di jelaskan. Uan sebenarnya cukup menikmati pemandangan ini,
namun ia mencoba menahan diri.

“Baiklah, anda bisa kembali pulang menggunakan Candellion itu, aku sudah menyerahkan surat
perjanjian itu pada masing-masing dari anda, begitu juga dengan milikku disini” ucap Uan sambil
menunjukkan sebuah perkamen di tangannya.

“Mohon di simpan baik-baik” ucapnya lagi sambil tersenyum.

Dan pada akhirnya, perjanjian damai antara kedua ras terbesar di benua ini terwujud. Dengan ini
kedua belah pihak, Manusia maupun Elf berhak hidup damai tanpa adanya peperangan.

Kabar tentang perjanjian ini tersebar dengan cepat, melalui desa-desa hingga sampai pada petinggi
kerajaan-kerajaan besar yang akhirnya ikut andil dalam perjanjian tersebut, membentuk sebuah
aliansi kerajaan di antara mereka sebagai Akiba sebagai pusatnya.
Pencapaian besar ini disambut oleh para penduduk dari tiap kerajaan dengan bahagia, setelah
perang yang berkelanjutan, kini semua orang punya hak yang sama. Di samping itu nama serikat
Joanne Lotus Crimson ikut menjadi obrolan hangat, sebagai serikat yang bukan hanya kuat, namun
mampu menyatukan kedua ras besar.

Walaupun nama mereka kini dikenal ke seluruh penjuru benua karena peran besar mereka, sebuah
keputusan besar dibuat sehari setelahnya.

Joanne Lotus Crimson dibubarkan.

Chapter 1

Ini adalah benua Gthehidrea, dataran hijau luas dengan deretan pegunungan Ava Carthana yang
indah, melintang di tengah bagaikan membaginya menjadi dua bagian. Hembusan angin dingin dari
ketujuh puncak tertinggi pegunungan Ava Carthana membuat iklim di benua ini cukup ekstrim di
kedua sisinya.

Ketujuh puncak tertinggi itu meliputi Aflarheimr, Fastana, Thentagea, Xephypeia, Phuiphale, Ultros
dan Skaeland.

Ketujuh puncak itu tak ubahnya sebagai pendingin alami. Semakin dekat dari ketujuh puncak itu
maka semakin rendah pula suhunya, begitu pula sebaliknya. Hal ini membuat lahan perkebunan
lebih subur di garis tengah antara pegunungan Ava Carthana dengan garis pantai.

Barisan pegunungan Ava Carthana juga menjadi garis perimeter alami bagi kerajaan Akiba dan
kerajaan Elf, Albion. Walaupun tak sedikit pula kerajaan manusia lainnya di sisi dimana Albion
berdiri.

Termasuk Akiba dan Albion, setidaknya, ada 40 kerajaan besar di benua ini yang di dalamnya
terdapat kota-kota serta desa-desa yang lebih kecil. Setelah peperangan besar usai beberapa tahun
lalu, ke-40 kerajaan besar itu membuat sebuah aliansi besar dengan Akiba sebagai pusatnya dan
hidup damai di dalam batas wilayah mereka masing-masing.

Lain halnya dengan serikat Joanne Lotus Crimson. Kabar tentang bubarnya serikat besar itu amat
mengejutkan. Bukan hanya para petinggi kerajaan besar seperti Akiba, melainkan juga mengejutkan
setiap orang yang mengetahui peran besar mereka dalam perang besar saat itu.

Namun keterkejutan itu perlahan mereda dua tahun kemudian, kabar yang kemudian menyebar
adalah serikat besar itu telah berubah menjadi sebuah kerajaan utuh. Entah apa alasannya, tapi
kabar itulah yang segera populer di kalangan masyarakat tiap kerajaan.

Hingga pada akhirnya, tepat di tahun ke-5 sejak perjanjian damai dibuat. Sebuah kerajaan baru lahir.
Menambah jumlah kerajaan yang tergabung dalam aliansi menjadi 41.

Mereka -Serikat Joanne Lotus Crimson- kini menyebut rumah baru mereka itu sebagai Edenteria.
Angin berhembus membawa hawa menusuk tulang di akhir musim dingin, beberapa tempat yang
sebelumnya tertutup salju mulai terlihat. Pohon-pohon mulai kembali menumbuhkan daun-
daunnya, disusul oleh beberapa bunga-bunga yang siap untuk kembali bermekaran.

Musim semi hampir tiba.

Walaupun begitu, Edenteria masih tetap terasa dingin karena wilayahnya yang cukup dekat dengan
puncak Thentagea. Kemungkinan besar musim semi juga akan datang terlambat seperti tahun lalu.

Pada dasarnya Edenteria dibangun di atas lembah besar berbatu yang membuatnya sedikit terhindar
dari hawa dingin yang dibawa angin dari puncak Thentagea. Hanya saja pepohonan rimbun di luar
garis hutan besar Belnia selalu menggugurkan daunnya tiap musim dingin tiba, membuat satu-
satunya perisai dingin kerajaan itu menghilang.

Walau bagaimanapun, Edenteria bukanlah kerajaan besar. Tak seperti 40 kerajaan lainnya di benua
ini. Wilayah Edenteria hanya mencakup sebuah kota kecil sebagai pusatnya. Di bagian timur, sebuah
Padang rumput berbatu sejauh mata memandang, menyajikan pemandangan matahari terbit yang
indah setiap hari. Bagian utara dan selatan Edenteria dipenuhi pepohonan rimbun dari hutan besar
Belnia yang mengapit kerajaan kecil itu. Sedangkan di bagian barat adalah tebing tinggi berbatu yang
terlihat seperti dinding pelindung yang kokoh, menutupi sebagian besar pemandangan rangkaian
pegunungan jauh di barat sana.

Singkatnya, tiap bagian Edenteria dilindungi oleh hutan besar Belnia, terkecuali sebuah bagian di luar
gerbang utama mereka.

Edenteria hanyalah sebuah kerajaan kecil dengan sebuah kota yang besarnya bahkan tak ada
setengahnya dari ibukota kerajaan Akiba, Naevys Ravalynn. Populasinya hanya sekitar 2700 jiwa,
dengan penduduk yang beraneka ragam.

Yang dimaksud beraneka ragam itu juga mencakup ragam ras yang bisa ditemui di sana. Hal ini
dikarenakan para pendiri kerajaan, anggota serikat Joanne Lotus Crimson, memiliki tujuan yang
sama. Sebuah tujuan dimana mereka ingin membangun sebuah rumah untuk tiap orang. Karena itu
tak peduli siapapun itu, mereka yang menginginkan sebuah rumah, tempat tinggal yang aman tanpa
adanya perlakuan berbeda, Edenteria selalu membuka gerbangnya lebar-lebar.

Tak peduli siapapun mereka, dari mana asal mereka ataupun ras mereka. Selagi mereka
menginginkan kedamaian, mereka akan dilindungi di bawah panji Edenteria.

Hal ini jelas cukup mengejutkan bagi tiap orang. Jelas sekali tak pernah ada satupun kerajaan yang
dengan tangan terbuka menerima kedatangan ras lain. Hal ini pulalah yang membuat Edenteria
mendapat dukungan penuh dari beberapa ras kecil, terlebih lagi mereka yang merupakan yatim-
piatu korban peperangan terdahulu.

Disamping itu tak sedikit pula yang mencibir, bahkan menyerukan sebuah ketidaksetujuan mereka
terang-terangan. Hal ini menjadi sebuah topik hangat pada pertemuan tahunan para Raja, yang juga
merupakan pertemuan pertama yang dihadiri oleh Edenteria.

Akiba, jelas memberikan dukungan penuh. Tapi voting akhir menunjukkan bahwa lebih banyak dari
mereka yang keberatan dengan kehadiran Edenteria beserta kebijakannya yang diluar nalar itu.

Hal yang amat ditakutkan kerajaan-kerajaan itu ialah dampak dari dukungan ras-ras kecil yang
memihak Edenteria, serta beberapa hal lain yang bahkan bisa dengan mudah menurunkan sumber
daya kerajaan lain. Karena jelas para budak demi-human di tiap kerajaan akan memilih untuk
bergabung dengan Edenteria. Kemudian dengan mempertimbangkan segala aspek, akhirnya Akiba,
selaku pemegang tampuk kepemimpinan aliansi, mengajukan persyaratan khusus yang segera
disetujui oleh pihak Edenteria seketika.

Melihat hal ini, voting kembali diadakan, hingga hasil akhirnya semua pihak menyetujui serta
mengakui keberadaan Edenteria. Walaupun masih terlihat sedikit rasa enggan di wajah beberapa
pemimpin kerajaan yang hadir. Persyaratan yang diajukan dirasa belum membuat mereka bisa
menikmati tidur mereka dengan tenang, karena faktanya setelah pertemuan berakhir, Edenteria
akan menjadi salah satu kerajaan bawahan Akiba.

Sebagai pemegang kepemimpinan aliansi, adalah wajar jika Akiba hadir sebagai penuntun bagi
kerajaan-kerajaan baru dan menempatkan mereka sebagai salah satu kerajaan bawahannya. Hanya
saja yang paling dikhawatirkan bukanlah pondasi kuat yang diberikan Akiba, melainkan kerajaan
baru itu sendiri.

Bahkan tanpa dukungan kerajaan sebesar Akiba. Militer Edenteria sudah menjadi mimpi buruk bagi
kerajaan lain.

Kerajaan Edenteria terbentuk dari evolusi sebuah serikat sihir. Bukan sebuah serikat biasa, melain
serikat besar yang hanya dengan kekuatannya mampu menghentikan perang dan mendamaikan
kedua ras besar. Tentu saja hal ini membuat kerajaan lain -dimasa pembatasan senjata ini – menjadi
lebih defensif.

Namun pada akhirnya mereka semua setuju dan puas ketika pemimpin Edenteria memberikan
jaminan pasti.

Hembusan angin membawa terbang daun-daun yang gugur dari pepohonan, menari bersama
dengan alam sekitar yang masih membeku di penghujung musim dingin kali ini. Salah satu daun
kecoklatan itu jatuh tepat di atas telapak tangan seorang laki-laki.

Laki-laki itu tengah berdiri di beranda sebuah kastil besar. Memejamkan matanya, menikmati angin
yang berhembus. Ia membuka matanya saat merasakan sesuatu menyentuh telapak tangannya yang
terbuka.

Sebuah daun.

Ia menatap daun itu, kemudian tersenyum kecil lalu melepaskannya kembali, membiarkannya
terbawa angin.

“Nia!! Sikapmu itulah yang akan membuat masalah besar untuk Edenteria” suara itu datang dari
seorang wanita tua, duduk di dalam ruangan yang hangat. Wajahnya menampakkan kerutan-kerutan
usia, namun tak sedikitpun membuatnya terlihat lemah.

Nia, -laki laki di beranda itu- berbalik dan melangkah ke dalam ruangan. Duduk disalah satu kursi
tinggi dibalik meja kerjanya lalu menatap kedua tetua kerajaan yang adalah penasehat Edenteria.

“Jadi, masalah apa yang telah kulakukan?” tanyanya dengan sopan. Walaupun begitu wanita tua di
hadapannya menunjukkan ekspresi tersinggung yang kentara.
Wanita tua itu terlihat ingin mengangkat suaranya, namun sosok laki-laki tua yang duduk
disebelahnya menyela.

“Nia..”

Yang dipanggil menatapnya, memberikan kesempatan bicara. Laki-laki tua itu menghela nafasnya
sebentar sebelum melanjutkan perkataannya.

“Kau adalah Aldrich tertinggi saat ini, keberadaanmu sangat berpengaruh, hal ini memberikanmu
tanggung jawab besar, karena itu kami mengharapkan tindakan bijaksanamu di masa depan”
ucapnya.

Nia tersenyum, ia melirik Lian, laki-laki lain yang memang sejak tadi berdiri disampingnya.

“Hal ini bisa kita bicarakan sambil minum teh kurasa, astaga.. apa yang baru saja kulakukan..”
ucapnya sambil menepuk keningnya.

“Aku lupa mengambilkan minuman untuk kalian, oh tolong maafkan ketidaksopanan ku ini” ucapnya
dengan nada sopan, jelas sekali ia berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

“Aku tau kau mengerti apa yang baru saja kukatakan..” ucap laki-laki tua itu mempertegas kata-
katanya tadi.

Nia kembali melirik Lian disampingnya, dan akhirnya Lian mengerti. Ia segera angkat bicara.

“Ehem, maaf tuan Arion, kurasa kami sudah menjalankan semua hal yang seharusnya kami lakukan”

“Ya.. Kecuali satu hal” Lian mengangkat sebelah alisnya.

“Bagaimana dengan dia?” laki laki tua bernama Arion itu kembali bertanya.

“Ahh, masalah itu” Nia berdiri dari tempat duduknya, lalu kembali berjalan kearah beranda. Matanya
menatap langit.

“Banyak hal telah terjadi, kurasa itu adalah hal terbaik yang bisa dilakukannya..” ucap Nia yang kini
kembali menatap kedua penasehat kerajaan itu.

“Hal semacam itu tidak bisa..”

Tok tok tok

Sebuah ketukan di pintu memotong perkataan wanita tua itu, sedetik kemudian pintu terbuka,
menampakkan dua orang gadis bersurai coklat dibaliknya. Salah satu dari mereka mengenakan zirah
besi dengan paduan sebuah rok merah pendek, tatapan tajam bagai elang serta sebuah pedang
dipinggangnya. Yang lainnya mengenakan jubah berpergian berwarna hitam.

“Ah.. Noey, Bella.. aku sudah menunggu kalian, masuklah” ucap Nia pada kedua gadis yang baru
datang itu.

Rasa canggung menyelimuti kedua gadis itu, melihat kehadiran tetua kerajaan di ruangan itu
membuat keduanya terdiam sesaat diambang pintu, namun sedetik kemudian kedua penasehat
kerajaan itu bangkit dari tempat duduknya.
“Sepertinya kami akan menunggu jawabanmu nanti, sudah cukup untuk yang terakhir, jangan
sampai dia bertindak semaunya lagi..” ucap Arion dingin, matanya menatap tajam kearah Nia dan
Lian yang terpaku di tempat mereka berdiri.

Nia tersenyum hampa.

“Baiklah, akan kupastikan hal seperti ini takkan terjadi lagi” ucap Nia datar. Kemudian kedua
penasehat itu berjalan keluar ruangan, melewati kedua gadis di depan pintu yang menunduk hormat
pada mereka.

“Masuklah..” ucap Lian kemudian mempersilahkan Noey dan Bella masuk, nada bicaranya sudah
kembali normal. Berhadapan dengan para tetua membuatnya harus bersikap formal. Sedangkan Nia
kembali duduk di kursinya, kursi Aldrich pertama.

“Tak biasanya mereka berdua datang kesini..” ucap Noey membuka percakapan. Ia berdiri tepat di
depan meja kerja Aldrich pertama, Bella ikut berdiri disampingnya setelah menutup pintu di
belakang.

“Hanya hal biasa, mengontrol pekerjaan kami..” ucap Lian santai sambil berjalan kesisi kanan
ruangan, mengambil tempat diatas kursi rajutan yang empuk. Ia duduk disana sambil menyilangkan
kakinya.

“Jadi ada apa?”

Noey melirik gadis disebelahnya.

“Aku hanya mengantar Bella, ia baru saja tiba dari tugas yang kau berikan” ucap Noey menjelaskan.

Lian kembali bangkit dengan bergairah.

“Jadi sudah kau dapatkan?”

Bella tersenyum kecil, kemudian ia mengeluarkan sebuah perkamen dari balik pakaiannya kemudian
meletakkannya diatas meja, Nia mengambilnya kemudian membacanya.

“Kami mendapatkannya, walau tak terlalu banyak.. Seperti yang anda perkirakan” ucap Bella sambil
mengeluarkan sebuah permata biru sebesar kepalan tangan dari sakunya.

“Tambang itu sudah menjadi sarang Goblin, beberapa dari kami terluka akibat pertempuran, karena
itu kami hanya mendapatkan sekitar 150 buah”

Lian meraih permata itu, melihatnya dengan ketertarikan yang besar.

“Candellion biru.. Salah satu hal yang menarik didunia ini, 150 buah? Itu lebih dari cukup”

Nia memperhatikan ketertarikan temannya itu. Lalu tersenyum jahil.

“..dan apakah keajaiban benda itu yang membuat anda tertarik wahai tuan Aldrich ketiga”

Lian meliriknya dengan tajam.

“Apa-apaan cara bicaramu itu..”

“Aku juga ingin tau, apa yang kau rencanakan dengan benda itu?” Noey terlihat tertarik juga.
Sedangkan Bella hanya diam ditempat.
Lian tersenyum.

“Ada sesuatu yang ingin kuciptakan, dan dengan Candellion ini, hal itu mungkin bisa saja terwujud”
jelasnya yang sepertinya masih tak bisa dimengerti oleh ketiga orang itu. Tercetak jelas diwajah
ketiganya.

“Haaahh.. Apa harus kujelaskan?” ucapnya yang terdengar seperti semangatnya tiba-tiba menguap.
Walaupun begitu, ia tetap menjelaskan.

“Candellion ini, adalah salah satu dari Candellion yang memiliki kekuatan menyerap dan menangkap
tekanan sihir seseorang, lalu menyimpannya serta melepaskannya dalam bentuk energi yang
berlipat”

Bella menatap Aldrich ketiga itu dengan tatapan penuh pertanyaan.

“Apa hal itu benar benar bisa dilakukan? Maksudku, Candellion sekecil itu punya kemampuan yang
luar biasa, apa itu mungkin?”

Lian tak menjawab, ia melempar Candellion ditangannya keatas, melambung di langit-langit


ruangan. Kemudian ia menunjuk Candellion itu sambil merapal mantra.

“Âux dē bruē flàre”

Sebuah petir kecil menyambar dari ujung jarinya kearah Candellion yang masih melambung di langit-
langit ruangan. Tak ada efek yang berarti, namun seluruh petir yang menyambar itu terlihat seperti
diserap oleh Candellion itu.

Setelah selesai, Candellion itu jatuh di tangan Nia. Ia menggenggamnya, ada sesuatu yang aneh pada
Candellion itu.

“Berdenyut..” ucapnya.

“Itu adalah sihir yang baru saja diserapnya, berdenyut karena tekanan yang ada” ucap Lian sambil
tersenyum kecil.

“Sangat berguna, terima kasih Bella” ucap Lian lagi.

Bella menunduk hormat.

“Aku hanya menjalankan tugas..” ucapnya.

“Baiklah, Bella.. kau boleh pergi, beristirahatlah, jangan sampai kau terlihat lelah saat festival besok”
ucap Nia sambil mempersilahkan Bella pergi.

“Noey tetap disini, ada yang ingin aku bicarakan”

Bella menunduk hormat pada Nia dan Lian. Lalu beralih ke Noey.

“Aku permisi kapten” ucapnya.

Noey memutar bola matanya.

“Sudah berapa kali kubilang, tak perlu memanggil ku begitu jika di dalam kastil” ucap Noey dengan
wajah bosan, sedangkan Bella hanya tersenyum kecil kemudian pergi meninggalkan ruangan.
Kini tinggal mereka bertiga yang tersisa, hening menyelimuti ruangan putih itu, hanya terdengar
detak jarum jam serta suara Lian yang menggosok kacamatanya.

“Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?” tanya Noey yang mulai bicara. Ia menatap Nia, Aldrich kedua
itu tak menjawab, ia hanya memandang kosong kesisi lain ruangan. Memandang sederet jubah putih
yang tergantung rapi disana.

Empat jubah putih itu tersimpan disana, didalam sebuah lemari kaca yang dibuat khusus untuk itu.
Jubah putih itu sendiri adalah jubah kebesaran para Aldrich, angka dipunggungnya yang dirajut
dengan benang emas mewakili para Aldrich itu sendiri. Sebenarnya, tak ada satupun dari mereka
yang menginginkan jubah-jubah itu. Namun ini adalah sebagaimana kemauan para penasehat itu.

Kedua penasehat itu, Arion dan Zola, adalah dua orang yang memiliki kedudukan penting di kerajaan
Akiba yang diberi perintah oleh sang Raja untuk menjadi penasehat Edenteria yang dianggap perlu,
mengingat Edenteria adalah sebuah kerajaan yang baru berdiri. Kedua penasehat itu akhirnya tinggal
dan memulai menjalankan tugasnya dengan mencetuskan hal-hal semacam jubah untuk para
pemimpin.

Nia masih menatap kearah lemari kaca itu sampai pada akhirnya Noey kembali bersuara.

“Apa ini soal ketua?”

Nia berpaling dari lemari itu, beralih menatap Noey yang masih berdiri didepannya.

Ia tersenyum.

“Aku tak tau apa yang dipikirkannya, sudah dua tahun sejak hari itu tapi sampai saat ini tak ada
satupun kabar darinya”

Lian menatapnya, ia juga merasakan hal serupa. Dan mungkin bukan hanya dia, melainkan seluruh
penduduk Edenteria juga merasakannya.

Perginya Aldrich pertama, ketua serikat yang sejak dulu selalu bersama mereka, menjalankan
tugasnya menempati salah satu kursi dewan sihir sebagai jaminan akan keberadaan Edenteria.

Pada awalnya mereka semua terkejut saat sang ketua menyerahkan dirinya sendiri sebagai jaminan,
namun akhirnya mengerti betapa pentingnya hal itu untuk dilakukan.

Dengan salah satu dari mereka duduk di kursi The Great-Twenty, membuat kerajaan lain yang
semula ragu akan Edenteria menjadi lebih tenang karena menyadari sebagian besar kekuatan
Edenteria kini terikat oleh Sumpah-Tak-Berpihak.

The Great-Twenty : 20 dewan sihir yang menduduki mahkamah tertinggi dalam hukum sihir. Setiap
anggotanya diikat oleh Sumpah-Tak-Berpihak, yang menuntut mereka untuk bersikap adil dalam
hukum sihir. Yang melanggar hanya akan menjumpai kematian.

Nia memutar kursinya menghadap beranda, ia menatap langit berawan.

“Mungkin ini sudah pernah kutanyakan, tapi aku ingin menanyakannya sekali lagi..”

“Apa kau tau sesuatu?”

Noey terdiam, ia menatap bagian belakang Aldrich kedua itu.


“Tak ada, aku tak tau apa pun”

“Begitu? Kupikir..” Nia menghela nafasnya kemudian kembali berkata.

“...karena kalian berasal dari desa yang sama, kau akan tau maksud tindakannya itu”

Noey terdiam, ia menatap jubah Aldrich pertama didalam lemari kaca.

“Sejauh yang kutau, orang itu.. memang selalu merepotkan, bertindak semaunya, bertingkah bodoh
sambil meneriakkan mimpinya”

Lian berdiri dari posisi duduknya. Mengenakan kembali kacamatanya.

“Kuakui, aku kehilangan sosoknya, tak ada orang yang lebih mengenal kita semua selain dia”

“Ya”

Nia kembali memutar kursinya menghadap meja. Pandangannya sudah berubah, ia tak ingin
berlarut-larut dalam hal ini.

“Besok, tahap akhir dari seleksi keanggotaan divisi akan diadakan lalu festival Vanor di hari
berikutnya, bagaimana persiapannya?” ucapnya, kini dengan nada yang lebih cerah.

Noey tertegun sebentar, namun ia segera mengerti perubahan sikap Nia saat ini. Sebagai Aldrich
tertinggi saat ini, ia tak mau menunjukkan kegelisahannya. Kemudian Noey segera menjawab.

“Semua berjalan lancar, sampai saat ini ada beberapa hal yang masih perlu dipersiapkan tapi aku
yakin semuanya akan sempurna”

“Baguslah.. Kalau begitu aku harap besok menjadi hari yang menyenangkan..” ucap Nia sambil
tersenyum, Lian dan Noey juga ikut tersenyum melihatnya.

Trinking~

Pintu coklat itu didorong terbuka, membuat lonceng yang dipasang diatasnya berbunyi.

“Selamat dataaang~” sapa seorang penjaga toko yang menyambut kedatangan sang pelanggan,
gadis berkaus putih yang berlapis jaket tipis berwarna sama. Syal merah dilehernya terlihat
mencolok, walaupun musim semi hampir tiba namun udara diluar yang masih terlalu dingin
memaksa beberapa orang untuk mengenakan baju hangat, tak terkecuali gadis itu.

Gadis itu melangkah masuk, tersenyum pada penjaga toko, kemudian mulai berjalan mengitari toko
mencari bahan makanan yang akan ia beli.

Ia mengambil beberapa sayuran, buah-buahan dan kemudian berhenti tepat didepan meja daging.

Ia menatap daging putih yang berjajar di atas meja, sebuah papan tanda menjelaskan bahwa itu
adalah daging RoutRabbit. Seekor kelinci yang masih dalam kategori monster, bermata tiga dan
berbulu tebal, lebih besar dari kelinci normal.

‘Aku sangat suka RoutRabbit!!’


Bayangan seorang anak laki-laki melintas begitu saja dikepalanya, anak laki-laki dengan suara nyaring
yang memekakkan telinga.

Gadis itu segera menggelengkan kepalanya, kemudian mengambil beberapa potong daging yang
besar.

“Terima kasih, silahkan kembali lagi~” ucap sang penjaga toko sambil melambaikan tangannya pada
pelanggannya itu.

Gadis itu berjalan lurus, menjauh dari toko tadi. Helaian pirangnya yang diikat ponytail berayun
setiap kali melangkah. Terlihat lucu.

Ia berjalan perlahan, membawa kantong kertas berisi belanjaan didepan dadanya. Matanya menatap
tak fokus kejalan, wajahnya yang datar menunjukkan keresahan yang ia rasakan.

Tap tap..

Ujung sepatu seseorang yang mendekat membuatnya menghentikan langkahnya.

“Hei Frans!!”

“Kak Mou?”

Lian mengambil salah satu cangkir teh yang baru saja diletakkan seorang pelayan kastil diatas meja.
Menghirup aroma cairan coklat ditangannya sambil memejamkan matanya.

“Ahh~ harumnya aroma teh disore hari..”

“Terima kasih Tujuh-puluh-Sembilan” ucap Nia kepada pelayan wanita yang membawakannya teh.
Pelayan itu tersenyum lalu menunduk hormat.

“Ada lagi yang bisa saya ambilkan, tuan Nia?” ucapnya lembut. Gadis itu tersenyum, tapi tak
sedikitpun terlihat bahwa ia menginginkannya. Ini membuat senyumnya terlihat aneh.

Nia menggeleng lalu membalas senyumnya.

“Tidak, terima kasih, ini sudah cukup..”

Gadis pelayan itu kembali menunduk hormat kemudian berlalu pergi. Noey menatapnya hingga
pintu ditutup, lalu beralih menatap Nia yang sedang meminum tehnya.

“Sampai sekarang aku masih belum mengerti kenapa mereka dinamakan dengan angka..” ucap Noey
“Begitu juga denganku..” ucap Lian sambil meletakkan cangkir teh diatas meja yang berada tepat
disampingnya.

“Andai angka itu tak ada di pakaiannya, mungkin aku akan keliru memanggilnya”

“Hanya kepala pelayan dan lima pelayan atas yang punya nama cukup normal” Nia meletakkan
cangkir tehnya lalu tersenyum kecil.

“Kurasa, Dimas cukup kesulitan menentukan nama untuk mereka” sambungnya lagi yang merujuk
pada nama tiap pelayan.

Ada sekitar 100 pelayan yang bekerja di kastil ini, dan kesemuanya wanita. Adalah sebuah fakta
mengagumkan bahwa mereka semua bahkan bukanlah manusia. Para pelayan itu adalah Void,
makhluk yang dipanggil dari dimensi lain menggunakan sihir, pekerjaan yang dilakukan oleh Dimas,
salah seorang dari mereka.

Pada dasarnya kemampuan para Void lebih condong pada kemampuan bertarungnya. Namun
karena mereka muncul dengan pakaian seorang pelayan, tugas itu juga bisa mereka lakukan dengan
baik. Dengan memanggil mereka, berarti ada beberapa kontrak sihir yang diperlukan, tak ubahnya
sebuah perjanjian kerja. Tapi tak ada yang tau bagaimana Dimas ini bisa mengendalikan banyak Void
-yang notabene terus mengkonsumsi kekuatan sihir pemanggilnya hingga kontrak berakhir- tanpa
sama sekali merasa kelelahan. Karena jelas sekali jika seseorang kehilangan kekuatan sihirnya hingga
tak tersisa, maka itu sama saja dengan kematian.

Tapi baik mereka ataupun si Dimas ini, tak terlihat khawatir.

Noey masih berdiri ditempatnya sejak tadi, teh miliknya yang diletakkan Tujuh-puluh-Sembilan
diatas meja didepannya sama sekali tak disentuh.

Lain dengan Lian yang bahkan sudah mengosongkan isi cangkirnya.

“Acara seleksi besok” Lian memecahkan keheningan, ia berdiri, berjalan mendekat pada kearah dua
temannya itu.

“Kurasa akan lebih meriah dari tahun lalu”

“Ya, dari 100, kini kita punya 30 peserta yang tersisa untuk tahap akhir, jika semuanya berjalan
lancar, perekrutan mereka takkan berlangsung lama”

“Itu hanya sehari sebelum festival Vanor, kuharap tak ada masalah” ucap Nia.

“Mengenai hal itu, pendatang yang hadir untuk melihat acara seleksi besok, terlebih lagi para
pedagang dari berbagai daerah serta berbagai orang dari keluarga bangsawan dari kerajaan lain,
mereka sudah mulai memenuhi Atrium hari ini..” ucap Noey. Ia melipat tangannya didepan dada,
kemudian menatap Nia yang masih menikmati tehnya.

“Kurasa daya tarik seleksi cukup besar ya..”

Noey kembali menjelaskan.

“Aku tak tau pasti apa yang sebenarnya membuat mereka terarik, tapi, ya.. kupikir salah satu hal
yang cukup menarik perhatian mereka adalah sistem perekrutan militer kita”

Nia memandang ke arah Lian.


“Kudengar, kau merekomendasikan seseorang pada saat terakhir, yang bahkan tak lolos pada ujian
sebelumnya..”

Lian mengubah posisi duduknya, bersandar di kursi berlengan di sudut ruangan. Sudut bibirnya
tertarik, membentuk sebuah seringai yang cukup menyebalkan.

“Ya.. aku tak bisa berdiam diri melihat gadis kecil itu” ucapnya.

“Aku melihat beberapa hal menarik dari gadis itu, jadi aku membuat permintaan khusus untuknya..”

Nia menatap rekannya itu, jujur saja, ia tak begitu menyukai senyum yang dibuatnya. Hanya saja ia
sudah mengenalnya bertahun-tahun, rekannya itu takkan membuat keputusan tanpa
memikirkannya lebih dulu.

“Yah, jika kau berpikir seperti itu, kuharap tak ada masalah..”

Noey membuat suara tak setuju.

“Tak ada masalah? Jelas itu sebuah diskriminasi, aku tak menyalahkan jika beberapa dari mereka
yang tak lolos ujian sebelumnya akan mengajukan protes..”

Sebagai tanggapan ketidaksetujuan Noey, Lian hanya terkekeh.

“Biarkan saja, mereka bisa mengikuti seleksi tahun berikutnya..”

“Apa gadis itu bagus?” tanya Nia.

Sebagai pemegang tampuk kepemimpinan tertinggi di Edenteria saat ini, Nia hanya berurusan
dengan hal-hal penting seperti mengikuti rapat dengan para petinggi kerajaan lain atau sesuatu
mengenai hubungan kerjasama dengan berbagai pihak bangsawan. Karena hal itu, ia bahkan tak
mengetahui hal-hal semacam seleksi keanggotaan divisi tempur.

Disisi lain, Lian bertugas untuk mengurus segala hal dalam negeri, serta pemberkasan dan hal-hal
lain mengenai internal kerajaan. Walaupun sebenarnya bagian militer tidak termasuk dalam daftar
kerjanya, ia secara tidak langsung ikut andil dalam beberapa hal kecil didalamnya.

Noey, sebagai salah satu Kapten dari Divisi Tempur Edenteria, mengutarakan ketidaksetujuannya
akan tindakan Lian yang menurutnya cukup diskriminatif.

“Aku menerima hasil ujian gadis itu beberapa hari lalu, dan tak ada satupun alasan yang cukup untuk
mengikutsertakannya dalam tahap akhir ini..” ucap Noey cukup tajam, ia mengalihkan
pandangannya ke arah Lian.

“Kuharap kau tau apa yang telah kau lakukan, tahap akhir dari seleksi bisa saja menghancurkan gadis
itu”

“Ya ya ya.. aku tau apa yang kulakukan, jangan menatapku seolah aku ini jahat hanya karena kau tak
bisa melihat potensi gadis itu” ucap Lian santai. Sebaliknya Noey hanya bisa menghela nafasnya.

“Kita hanya akan menghentikannya jika situasi memburuk, aku yakin keamanan seleksi besok juga
sudah dipikirkan dengan baik” ucap Nia mencoba menenangkan keduanya. Noey serta merta
melempar tatapan tak suka kearah Nia.

“Hei-hei, aku hanya ingin jadi penengah..”

Noey memutar bola matanya.


“Terserah kau saja, aku hanya tak ingin anak-anak itu terluka, mereka perlu memahami tentang
perang sebelum terjun kedalamnya. Tanpa itu, kau hanya akan menggiring mereka pada hal-hal yang
mengerikan”

“Kau tau, kata-katamu itu cukup tajam..” Lian mengangkat cangkirnya.

“..yang adalah kebenarannya” potong Noey.

Nia memijat keningnya, dua orang dihadapannya itu mulai berdebat panjang. Hal yang tak ingin ia
dengar, membuat kepalanya sakit. Tapi ia harus mengucapkan syukur beberapa saat kemudian
setelah keduanya berhenti. Walaupun ia masih melihat keduanya berbeda pendapat, tapi setidaknya
ruangan ini sedikit lebih tenang.

Nia mengangkat cangkirnya, tehnya tak lagi hangat, tapi masih terasa enak. Ia berusaha
menikmatinya disaat Noey tiba-tiba bicara.

“Lalu.. kapan kau akan menjelaskan soal pertemuanmu dengan Penguasa?”

Nia hampir menyemburkan tehnya saat mendengar Noey bertanya, beruntung ia masih bisa
mengendalikan diri. Ia meletakkan cangkir tehnya, kemudian menatap Noey yang berdiri dengan
tatapan tajamnya. Sekilas ia melihat Lian yang berdiri disebelah Noey dengan wajah terkejut.

“Aku tak ingat pernah mengatakan hal itu..” ucap Nia sambil memasang senyum kecil, walau jelas
terlihat kalau ia berusaha menutupi sesuatu.

“Jangan pernah meremehkan pendengaran Elf..” sebuah suara terdengar, kemudian pintu
mengayun terbuka menampakkan sosok Kevin dibelakangnya. Ia melangkah masuk kedalam
ruangan, ia menarik turun tudung jubahnya, menampakkan kulit wajahnya yang halus serta telinga
runcing khas Elf. Yang membuatnya berbeda dari kebanyakan Elf hanyalah warna rambutnya yang
hitam, alih-alih perak.

“Ah... ternyata kau..” Nia memijat pelipisnya pelan melihat Kevin melangkah masuk setelah menutup
pintu dibelakangnya.

“Ingatkan aku untuk memasang mantra Penolak-Indera di ruangan ini nanti..” ucapnya lagi sambil
menatap Lian.

Kevin tersenyum miring, mendengus pelan. Ia berhenti tepat disamping Noey.

“Aku tak sepenuhnya Elf, mantra itu takkan berguna untukku”

“Kalau begitu biar kupasang mantra Penolak-Kevin, kurasa aku pernah membacanya disebuah buku”
ucap Lian bergurau sambil menyebutkan mantra yang tak pernah ada. Kevin tersenyum datar.

“Aku berada tepat dibawah ruangan ini bersama Kak Noey saat para tetua itu masuk,
memberitahumu tentang pertemuan itu” jelas Kevin, ia berputar kemudian duduk di kursi yang sama
dimana para tetua duduk sebelumnya.

“Aku heran, kau tau jika Kak Noey sedang berada di lantai bawah, bahkan sempat memintanya untuk
datang, tapi kau tak tau jika aku ada disana” ucap Kevin lagi.

“Tunggu, memintanya?” Lian bertanya, kemudian beralih menatap Nia yang masih diam dibelakang
meja.
“Kau memintanya datang? Bagaimana kau..”

“Daun..” ucap Noey yang kemudian membuat Lian semakin bingung. Lalu ia kembali bicara.

“Tak ada daun biasa yang punya tulisan ‘datanglah dan bantu aku’ dipermukaannya”

Nia menepuk dahinya sedangkan Lian menatap nya dengan pandangan aneh.

“Kapan kau menulisnya??”

“Itu tak penting, daripada itu bisa kau jelaskan? Kenapa Penguasa ingin bertemu denganmu?” kini
Noey kembali mendesaknya, menatapnya dengan tatapan sedingin es.

“Apa ini menyangkut kepergian ketua?”

Semua mata menatapnya, menunggu jawaban. Nia menghela nafas, ia menggeser cangkir tehnya
kesamping, menyatukan jari jarinya kemudian mulai bicara.

“Ya sebenarnya bukan hanya aku yang akan bertemu Penguasa, semua pemimpin tiap kerajaan di
benua ini akan datang ke pertemuan itu, kau tau, pertemuan tahunan. Tapi khusus untukku,
sepertinya mereka mau membahas masalah itu”

“Ahh.. Aku mengerti, itu pasti tentang dia kan?” ucap Kevin yang segera dibalas anggukan kecil oleh
Nia.

Noey menaikkan sebelah alisnya.

“Si bodoh itu?”

“Sudah dua tahun sejak ia pergi, tapi masih saja membuat masalah” Lian meletakkan sebuah surat
kabar ke atas meja sambil menyeringai, membiarkannya terbuka agar mereka semua bisa
melihatnya.

Sebagai judul utama, terpampang besar tulisan yang berbunyi:

ALDRICH KEEMPAT MENGHANCURKAN DERMAGA COUNVIL, WALIKOTA GIGIT JARI.

Grandel Cop, adalah salah satu dari puluhan kedai di Edenteria. Terletak di bagian timur kerajaan,
tak jauh dari Atrium pusat.

Kedai kecil yang terlihat sederhana ini merupakan tempat favorit para penduduk, khususnya bagi
mereka yang tak punya banyak uang. Namun, walaupun menu yang disajikan cukup murah, rasa
yang ditawarkan tak kalah dengan kedai-kedai besar di kerajaan ini.

Hari menjelang sore, Grandel Cop terlihat sepi. Hanya segelitir pengunjung yang terlihat disana.
Salah satunya adalah tiga orang gadis yang kini duduk disudut kedai dengan gelasnya masing-
masing.

“Ahhh~ nikmatnya” ucap salah satu dari ketiga gadis itu dengan riang sambil meletakkan gelas
Amonte miliknya. Gadis bersurai hitam panjang itu menatap kedua temannya yang duduk tepat
dihadapannya.

“Aku sangat suka Amonte di kedai ini”


“Begitukah? Aku senang mendengarnya..” ucap seorang gadis muda yang berdiri disisi meja itu
sambil memegang nampan saji di dadanya. Ia tersenyum kearah ketiga gadis lain yang duduk
didepannya itu.

Ia adalah putri pemilik kedai ini, Rosalia. Ia adalah salah satu dari sekian banyaknya orang yang
terkena dampak dari peperangan besar sebelumnya, desa tempat asalnya hancur karena perang. Ia
juga salah satu orang pertama yang bergabung ke dalam kerajaan Edenteria, menerima banyak
bantuan dari mereka sama seperti kebanyakan penduduk kerajaan ini. Kini ia tinggal bahagia
bersama ibunya, Teressa, di lantai atas kedai miliknya.

Wanita itu, Rosalia, menatap salah satu gadis yang baru saja memuji Amonte buatannya.

“Aku sendiri yang membuatnya, senang mendengar anda menyukainya, nona Mou” ucapnya
tersenyum riang.

Gadis bersurai panjang itu bergerak tak nyaman di tempat duduknya. Meletakkan gelas Amonte-nya
kemudian menatap Rosalia yang masih tersenyum ditempatnya.

“Ck, ayolah Rosalie.. tak perlu memanggilku seperti itu” ucapnya dengan nada tak nyaman. Tapi
Rosalia hanya menanggapinya dengan senyum lain.

“Tidaklah sopan bagiku untuk memanggil seseorang yang telah banyak membantuku dan ibuku
hanya dengan namanya..”

“Tapi..” Mou terdiam sebentar kemudian mengalah saat melihat senyum tulus di wajah gadis itu.
Walaupun sedikit terpaksa akhirnya gadis itu menghela nafasnya.

“Oh, baiklah terserah saja..”

Rosalia tertawa kecil. Kemudian ia beralih pada gadis lain di samping Mou yang terlihat belum
menyentuh gelasnya sama sekali.

“Nona Iro? Apa ada masalah?” tanyanya.

Gadis yang ditanyai itu mengernyitkan dahinya sambil menatap gelas didepannya.

“Ini bukan Amonte biasa” Iro, gadis bersurai ungu gelap yang mengenakan pakaian santai itu,
mencium aroma cairan jingga dalam gelasnya.

“Amonte biasanya dibuat dari Raspberry, jenis lain dari Strawberry yang tumbuh di tepi hutan. Tapi
ini, agak berbeda..” ucap Iro ragu.

Mou tertawa kecil mendengar keraguan temannya itu, ia meneguk sedikit lagi Amonte miliknya.

“Iro, kau kenapa? Jangan kaku begitu, kita ini sedang tidak bertugas, santai saja, Rosalie tak mungkin
memasukkan sesuatu yang aneh kedalamnya bukan?..”

“Ah, maaf soal itu, ini adalah hasil dari kreasi yang kubuat” Rosalia menundukkan kepalanya sedikit.
Dari nada bicaranya yang gemetar, terdengar sedikit adanya rasa menyesal dari gadis yang tak lebih
tua dari mereka bertiga itu.

“Ku dengar sudah banyak kedai yang mulai menjual Amonte seperti milik kami, karena itu aku
mencoba berkreasi dengan membuatnya sedikit agak berbeda”

Mou mengibaskan tangannya dengan cepat.


“Tak perlu dipikirkan, Iro memang seperti itu, ia bahkan takkan menyentuh apapun yang berbeda
dari biasanya” ucap Mou yang berusaha menenangkan Rosalia.

“Dia memang sedikit paranoid..”

Iro masih menatap gelas ditangannya. Mou segera beralih ke arah lain, tepat pada gadis lain yang
duduk disamping Iro. Gadis dengan syal merah itu terdiam. Rosalia juga ikut memperhatikan.

“Hei, Frans.. kau baik-baik saja?”

Gadis bernama Frans itu tersadar dari lamunannya, kemudian mendapati Mou dan Rosalia menatap
ke arahnya, bahkan Iro rela melepas pandangannya dari gelasnya.

“Eh iya, a-ada apa?”

“Kau baik-baik saja? Apa kau sakit?” tanya Mou dengan nada khawatir. Ia melihat wajah Frans cukup
pucat, ditambah sebuah syal di lehernya, mengira temannya itu sakit.

Frans menggeleng pelan. Kemudian ia tersenyum kecil.

“Tak apa-apa, aku baik-baik saja” ucapnya, namun Mou masih menatapnya intens. Rosalia juga
terlihat sedikit khawatir sampai gadis itu menawarkan sebuah tempat untuk istirahat yang segera
ditolak dengan lembut oleh Frans sambil berkata jika ia baik-baik saja. Namun Rosalia tetap terlihat
khawatir.

Frans yang ditatap seperti itu berusaha mengalihkan pembicaraan, ia menatap Iro yang masih
memikirkan Amonte ditangannya.

“Kak Iro, itu hanya Amonte” ucapnya.

Iro menoleh, dari matanya menunjukkan kalau ia masih ragu. Tipe petarung seperti Iro sudah
terbiasa teliti dalam segala hal, terlebih lagi tentang makanan dan minuman. Keahliannya dalam hal
mengolah racun menjadikannya ‘sedikit’ pemilih soal makanan.

Selalu waspada.

Atau terlalu waspada, jika itu menurut Mou.

“Rosalie..” ucapnya sambil menatap gadis yang masih memandangnya dengan tatapan khawatir itu
sambil tersenyum.

“Sepertinya memadukan Amonte dengan susu sapi, membuatnya sedikit lebih cair dari biasanya”
jelas Frans sambil melihat kedalam gelasnya. Ia menggoyangkan gelas Amonte miliknya kemudian
menghirup aromanya.

“Raspberry yang digunakan juga bukan berasal dari hutan, ku tebak dari Raspberry yang ditanam
sendiri?” ucapnya lagi yang dijawab sebuah anggukan kecil oleh Rosalia. Frans tersenyum.

“Rasanya agak berbeda karena tumbuh dikebun, tekstur tanah di Edenteria yang cukup keras
membuatnya tak bisa tumbuh sebagus di hutan” Frans mengambil sebuah sendok, lalu mengecap
Amonte miliknya dengan sendok.

“Rasanya agak asam karena fermentasi susunya.. Ah, ya kurasa akan lebih baik jika ditambah sedikit
madu lebah Wamps” ucapnya lagi sambil tersenyum dan kemudian sadar bahwa kedua temannya
itu tak mengerti perkataannya, terlihat dari tatapan mereka kearahnya.
“Eh, maaf.. aku bicara terlalu banyak ya”

“I-itu benar sekali nona Frans..” ucap Rosalia membenarkan. Ekspresi di wajahnya menunjukkan
keterkejutannya akan ucapan Frans yang sepenuhnya benar. Ia memang memiliki sepetak kebun
dibelakang kedai yang ia tanami Raspberry, tapi dirinya sendiri bahkan tak bisa mengetahui
perbedaannya sedetil itu.

“Ta-tapi ba-bagaimana anda tahu?”

Mou tertawa, begitu juga dengan Iro. Sedangkan Rosalia kini bingung, kenapa mereka berdua
tertawa.

Namun Mou segera menguasai dirinya saat melihat Rosalia yang bingung.

“Tak perlu sebingung itu Rosalie” ucapnya sambil menahan tawanya.

“Itu salah satu Reissant Talent milik Frans” ucapnya yang kemudian kembali tertawa sedangkan
Frans hanya tersenyum kikuk.

Reissant Talent, seperti namanya, adalah kemampuan unik yang sudah dimiliki seseorang sejak ia
lahir. Ketidaktahuan Rosalia adalah hal yang wajar, karena jelas pemilik kemampuan unik ini sangat
jarang ditemukan. Terlebih lagi tak pernah ada kasus dimana terdapat pemilik Reissant Talent
dengan kemampuan yang sama. Hal itulah yang membuat kemampuan ini disebut unik.

Rosalia mengangguk mengerti mendengar penjelasan Mou, ia berpendapat jika kemampuan milik
Frans sangat menarik dan berkata bahwa itu bisa membuatnya menjadi ahli dalam hal memasak. Ia
bertanya bagaimana cara agar ia bisa mempelajarinya, hal itu membuat Mou tertawa.

“Kau tak bisa mempelajarinya, kemampuan itu bukan di dapat dari belajar..” Rosalia terlihat sedikit
kecewa. Frans tersenyum melihatnya.

“Um, padahal kupikir akan sangat menyenangkan jika aku bisa..” Rosalia mengulum bibirnya sendiri,
tapi kemudian kembali menatap Frans dengan mata berbinar.

“Lalu.. apakah Aldrich keempat juga punya Reissant Talent? Mengingat kalian bersaudara”

Kali ini bukan hanya Rosalia, bahkan Mou dan Iro juga tertarik dengan topik yang dilemparkan gadis
itu. Frans tersenyum kikuk menanggapi ketiga gadis didepannya yang menatapnya dengan tatapan
penasaran yang menuntut.

“Eh.. aku tidak tau” tapi itu bukanlah jawaban yang dicari oleh mereka, khususnya Mou dan Iro.

Akhirnya Frans menyerah, sambil menghela nafas ia akhirnya membuka mulutnya.

“Aku tak pernah tau jika Reissant Talent punya pengaruh dalam hubungan darah” Frans mengangkat
gelasnya, meneguk Amonte-nya sebelum kembali bicara.

“Tapi, kami memang tak punya hubungan darah..”

Mou dan Iro mendengarkan sambil mengangguk, sedangkan Rosalia menatapnya dengan mulut
terbuka, Frans tersenyum ke arahnya dengan maklum.

Adalah sebuah rahasia umum bahwa Frans adalah adik dari Aldrich Keempat, tapi hanya mereka
yang telah bergabung dengan serikat sejak awal yang mengetahui jika mereka berdua tak punya
hubungan darah sedikit pun.
“Aku bergolongan darah L, sedangkan dia bergolongan darah D seperti Kak Iro” jelas Frans. Rosalia
mengangguk mengerti.

“Lagipula jika ia memang memilikinya, kurasa ia takkan mau mengatakannya” ucap Mou sambil lalu,
Frans menyetujuinya sambil tertawa kecil.

“Um, bicara soal itu..” Rosalia meletakkan nampan saji yang ia pegang sejak tadi ke atas meja.

“Aldrich keempat masuk berita utama hari ini”

“Oh ya, aku juga melihatnya..” Iro mengangguk setuju, ia mengaduk Amonte di gelasnya dengan
sendok.

“Beritanya cukup ramai kurasa..”

Mou memukul mejanya dengan geram.

“Jelas saja, menghancurkan dermaga.. si bodoh itu, entah apa yang ada di kepalanya itu” Frans
hanya tersenyum kikuk melihatnya.

“Tapi kudengar Aldrich keempat sedang dalam sebuah misi, di surat kabar dikatakan jika ia berhasil
menangkap serikat ilegal lainnya..” ucap Rosalia sambil mengingat-ingat isi surat kabar yang ia baca
pagi ini. Surat kabar yang dimaksud adalah Thehera Daily. Itu adalah media universal yang
memberitakan segala hal yang terjadi di benua ini.

“Tak ada yang perlu dibanggakan dari hal itu jika hasilnya kau menghancurkan sebuah kota” ucap
Mou sambil memijat keningnya.

“Apa ia bahkan tak memikirkan posisi Edenteria? Si bodoh itu”

“Kurasa sesuatu seperti itu cukup sulit dihindari jika lawannya adalah sebuah serikat ilegal” ucap Iro
mengeluarkan pendapatnya, masih tampak tak tertarik dengan gelasnya.

“Master pasti tak punya pilihan”

“Kurasa ia punya, hanya saja ia terlalu malas mengambil pilihan yang aman” sambar Frans yang
membuat mereka tertawa.

Beberapa saat kemudian Rosalia mohon diri untuk kembali melanjutkan pekerjaannya. Ketiganya
mengangguk ke arahnya.

“Jika perlu sesuatu, panggil saja aku” ucapnya sambil tersenyum lalu berbalik pergi ke konter,
tempat ibunya melayani pelanggan lain.

“Gadis itu manis” ucap Mou sambil melihat Rosalia yang berlari kecil menuju konter dengan ceria.

“Aku masih ingat saat ia masih sekecil ini..” ucapnya lagi sambil mengangkat tangannya, memastikan
tinggi seorang gadis kecil yang dulu ia temui.

“Daripada seorang gadis, kau seharusnya lebih memperhatikan seorang pria, Mou” ucap Iro sambil
memangku wajahnya dengan salah satu tangannya. Mou segera berpaling ke arah temannya itu
dengan tampang kesal.

“Apa maksudmu dengan itu!?” Iro hanya tersenyum jahil.


“Dari pada itu..” kini Iro sudah berhasil menahan senyum jahilnya, walau dengan susah payah,
terlebih lagi saat melihat senyum kikuk Frans.

“Belajaanmu banyak sekali..”

Frans melirik kantung belanjanya di atas meja, tepat disisinya. Benar sekali, sepertinya ia baru sadar
kalau kantung kertas yang digunakannya sedikit menggembung karena banyaknya barang yang harus
ditampung.

“Ya.. Ini untuk persediaan beberapa bulan kedepan” ucapnya.

“Aku sering mendapat tugas di tempat yang jauh, tak punya waktu untuk membeli semua ini. Jadi,
selagi sempat aku membelinya dalam jumlah besar” ucap Frans lagi.

Mou menatap isi kantung belanja milik Frans, ia melihat beberapa buah-buahan, sayuran, serta
daging yang sepertinya belum pernah ia lihat.

“Em, daging putih itu..” ucap Mou sambil menunjuk daging didalam kantung belanja coklat itu.

“Aku belum pernah melihatnya”

Iro menoleh, melihat kearah yang ditunjukkan Mou.

“Itu RoutRabbit kan?” Frans mengangguk kecil.

“RoutRabbit?” Mou terlihat bingung, Frans segera menjelaskan semua hal tentang RoutRabbit. Mou
mengangguk mengerti.

“Enak kah?”

“Benar-benar enak, dagingnya berbeda dengan daging lain, teksturnya lembut dan punya cita rasa
sendiri. Walau kau hanya membakarnya tanpa bumbu, RoutRabbit tak pernah terasa hambar” jelas
Iro yang kini telah yakin bahwa cairan jingga di gelasnya hanyalah Amonte. Ia meneguknya beberapa
kali.

“Kau pernah mencobanya?” kini Mou bertanya pada Iro. Gadis bersurai ungu itu menatap langit-
langit kedai lalu menjawab.

“Dulu, saat Master masih memimpin Divisi Delapan, saat bertugas keluar kerajaan kami sering
berburu RoutRabbit dan memanggangnya untuk makan malam”

“Master paling menyukai bagian kepala” ucapnya lagi yang membuat Mou merasa mual.

“Huee menjijikan..”

“Kau harus mencobanya sesekali..” ucap Iro yang kemudian meneguk habis Amonte miliknya.

“Tidak, terima kasih. Aku tak mau merusak makan malam ku” balas Mou yang kemudian tertawa
bersama kedua temannya itu.

“Izinkan aku untuk membawanya pulang” ucap Noey tiba-tiba, membuat Nia mengangkat sebelah
alisnya.
“Si bodoh itu, aku akan menemukannya dan kupaksa pulang” Noey meletakkan surat kabar yang ia
pegang sejak tadi ke atas meja.

“Sudah cukup dengan serikat ilegal buruannya, jika terus seperti ini bukan hanya kita yang akan
dibuat repot olehnya, bahkan ketua juga akan terkena imbasnya” Kevin mengangguk menyatakan
persetujuannya

“Ahh, itu ide yang bagus” ucap Lian dengan nada setuju. Ia tersenyum miring.

“Aku berani bertaruh, Kak Noey pasti bisa membawanya pulang dengan sebuah rantai yang dikaitkan
dilehernya” ucapnya lagi sambil terkekeh.

Kevin terlihat berpikir, dahinya mengerut lalu akhirnya bersuara.

“Ya, kupikir juga begitu, mengingat tak ada orang yang bisa menghentikan si bodoh itu selain Kak
Noey”

“Tapi bagaimana kau akan menemukannya?”

“Aku akan mengajak Iro” jawab Noey, yang kemudian kembali bersuara saat merasakan
kebingungan Kevin dibelakangnya.

“Saat ketua menempatkannya di Divisi Delapan sebagai kapten, si bodoh itu menanamkan Segel-
Empat-Penjuru dua arah pada Iro”

“Segel-Empat-Penjuru?” Kevin sepertinya tertarik, terlihat dari sikap duduknya yang kini tak lagi
bersandar santai dikursi.

“Dua arah..” koreksi Noey

“Ya, segel itu menghubungkannya dengan Iro hingga ia bisa melacak tekanan sihir milik Iro serta
mengetahui tempatnya berada, begitupun sebaliknya. Stingkat lebih tinggi dari mantra pelacak
standar yang punya batas pada jarak tertentu, Segel-Empat-Penjuru tak memiliki batas, jadi kau bisa
melacaknya dimanapun ia berada” jelas Noey. 

Lian mengangguk mengerti. Sedangkan Nia tak memberikan ekspresi apapun, ia menatap kosong
kedepan, tak fokus pada siapapun.

Angin berhembus dari beranda, membuat sang Aldrich Kedua itu terdiam sedangkan ketiga
temannya masih membahas Segel-Empat-Penjuru. Ia merasa aneh pada dirinya, sesuatu dalam
dirinya bagai menggelitik otaknya, membuat perasaannya tak tenang.

Angin berhembus lagi, kali ini lebih kuat dari sebelumnya, membuat beberapa perkamen di meja
terbang menjauhinya. Langit mulai berawan, terlihat mendung, padahal beberapa saat yang lalu
masih terlihat biasa.

Sesuatu.

Ia merasakan sesuatu yang janggal. Otaknya berputar keras, mengabaikan suara teman temannya.
Memejamkan mata, mendengar hembusan angin -yang ia rasa- aneh untuk ketiga kalinya.

Dan kemudian, -tepat saat Noey kembali meminta izin untuk kedua kalinya- ia membuka matanya.
Lalu tersenyum saat ia menyadari titik-titik air mulai jatuh dari langit.

“Kurasa itu tidak perlu, dia sudah kembali ..”


Hyushh~

Angin dingin berhembus menerpa mantel hitamnya, langit bergemuruh tepat diatasnya. Laki-laki itu
menapakkan kakinya kuat-kuat saat melangkah menyusuri hutan. Di punggungnya ia menggendong
sebuah ransel yang besarnya dua kali ukuran tubuhnya, sedangkan sebuah pedang besar juga
terselip disana, diantara punggungnya dan ransel besar itu.

Laki-laki itu bersyukur karena telah menggunakan mantelnya, melihat langit yang mulai gelap
memberinya dugaan tentang betapa derasnya hujan yang akan turun sebentar lagi. Walaupun begitu
ia juga merasa sedikit kesal jika mengingat kalau ranselnya jelas akan basah nantinya. Diam-diam ia
mengutuk hujan yang akan turun.

Di belakangnya sosok lain yang tak lebih tinggi dari lututnya, berjalan mengikuti dengan derap
langkah yang terdengar lucu.

Pyong~ pyong~

“Heii~ aku lapar-gero~” ucap sosok kecil hitam-kelabu berwajah aneh yang hampir terlihat seperti
katak. Kepalanya cukup besar dibandingkan tubuhnya, telinga panjangnya lebih mirip kelinci,
walaupun tidak berdiri tegak melainkan menjuntai hingga dagunya.

Wajah bulat kelabu itu terlihat lucu dengan bola mata besar dan pupil bulat hitamnya. Ia berjalan
lesu dengan dua kaki kecilnya, tas coklat besar dipunggungnya membuatnya terlihat amat kelelahan.

“Kau pikir, Cuma kau yang kelaparan hah!?” ucap laki-laki berjubah hitam yang berjalan didepannya
dengan nada tinggi.

Hal itu membuat tudung mantelnya merosot, menampakkan seorang laki-laki bersurai hitam dengan
wajah kurus sama seperti postur tubuhnya, manik Onyx miliknya berkilat sebal.

“Huh.. aku kan punya 4 perut-gero” jawab sosok kecil itu yang ternyata adalah seekor katak monster
berjenis DragonFrog yang sangat jarang ditemui di benua ini, terlihat dari sepasang sayap yang mirip
sayap naga menyembul dari balik punggungnya, terjepit diantara punggung dan tas besar yang ia
bawa.

Laki laki itu berhenti tiba-tiba lalu menunjuk wajah sang katak dengan kesal.

“BAGAIMANA KAU PUNYA 4 PERUT DENGAN TUBUH SEKECIL ITU BODOH!!”

“JANGAN MENYEBUTKU BODOH, BODOH!!” balas katak itu yang juga berteriak dengan suara
nyaringnya. Walaupun terdengar lucu, tapi sepertinya tidak begitu di telinga laki-laki di depannya.

“Hmbb! Lebih baik kau diam, suaramu bisa merusak telingaku” ucap laki-laki itu membuang
wajahnya kemudian kembali berjalan.

“Hmb!! Suaramu bahkan bisa merusak seluruh dunia-gero!” balas katak itu tak mau kalah dan
akhirnya pertengkaran kecil itu kembali dimulai hingga mereka berdua sadar bahwa mereka sedang
kelaparan.

“Aku lapaaaar (geroo~)” ucap mereka berdua sambil tertunduk lemas.


Namun kemudian laki laki itu segera berdiri menggenggam tas besar katak hitam-kelabu itu lalu
menariknya hingga si katak dan tasnya terangkat.

“Tak ada gunanya kita berdiam diri, kita harus terus berjalan” ucapnya kembali berjalan sambil
mengangkat katak itu beserta tasnya.

“Tapi aku lapaaar-geroo~” rengek sang katak dengan suara lucu nya, kaki kecilnya menendang-
nendang angin membuat laki-laki yang mengangkatnya sebal.

“Aku bisa menghabiskan seekor Minotaur jika aku mau-gero!!”

“Oh aku sangat ingin melihatnya” ucap laki-laki itu dengan nada mengejek sambil melirik
kebelakang, kearah katak yang ia angkat di belakang punggungnya.

“Aku ingin lihat siapa yang akan dimakan”

Tak ada jawaban. Sepertinya katak itu menahan diri untuk tidak membalas ejekannya, ia cukup
bersyukur karena tak perlu membuang tenaga untuk pertengkaran yang tak berguna.

Sebagai gantinya ia menatap kedepan. Jalan setapak hutan yang ia lalui mulai melebar, dan ia tau
hanya tinggal beberapa meter lagi, mereka berdua akan sampai.

Pohon-pohon besar dikanan-kirinya sudah berkurang, digantikan oleh semak belukar dan beberapa
pohon kecil. Kemudian didepan sana, ia melihat jalan terbuka menuju sebuah tebing curam, di
bawahnya terlihat pula padang rumput terbuka yang sudah ia hafal.

“Hei kita sudah hampir sampai” ucapnya sambil menurunkan katak itu ketanah sementara ia melihat
sekelilingnya.

Hutan benar benar sudah berakhir, jalan setapak yang ia ambil punya medan yang cukup sulit tapi
jarak tempuhnya lebih dekat.

Ia melangkah kedepan, menuju ujung tebing. Tebing curam yang cukup tinggi, dibawahnya
terbentang lembah dan padang rumput luas. Warna hijau padang rumput memenuhi matanya,
terhampar begitu luas. Di ujung pengelihatannya, jauh di depan sana, ia bisa melihat barisan dinding
granit hitam yang membentang sepanjang padang rumput itu. Ia tersenyum lebar, tapi segera
menghilang saat hujan turun dengan amat deras.

“Aku benci ini” ucapnya dengan kesal. Hujan turun tanpa ampun dengan skala yang lebih cocok
disebut badai, membasahi padang rumput di depannya seketika.

“Errol, tak bisakah kau membuat penghalang sihir untuk hujan ini? Tidak masalah jika itu aku, tapi
ranselku..”

Makhluk yang dipanggil Errol itu, si Katak-Naga di atas ranselnya menggeleng sambil berusaha
menutupi kepalanya dengan tangan.

“Aku tak bisa-gero.. hujan ini juga berdampak padaku-gero”

Laki-laki itu berdecak kesal. Tapi tak ada yang bisa ia lakukan, karena itu ia segera melompat dari
tebing batu dimana ia berdiri sebelumnya, mendarat dengan halus di bawah, kemudian melanjutkan
perjalanannya di tengah hujan.

“Ku hajar mereka nanti..” gerutunya sambil kemudian meniup helaian rambutnya yang menempel di
wajahnya karena hujan.
Chapter 2

“Silahkan datang kembali~” gadis pelayan Grandel Cop itu tersenyum kearah mereka bertiga sambil
melambaikan tangan.

Mou membalasnya singkat kemudian berlari kecil mengejar kedua temannya yang berjalan lebih
dulu.

Langit kini berwarna jingga, mengingatkan mereka dengan Amonte, kecuali awan-awan putih seperti
kapas yang melayang memenuhi langit senja itu.

“Jadi apa rencana kalian setelah ini?” tanya Mou setelah berhasil menyamakan langkahnya dengan
kedua temannya itu.

Iro menoleh, lalu matanya menatap langit, berpikir dengan suara ‘emm’ panjang. Mou segera
mengerti kalau teman ungunya itu belum tau apa yang harus ia lakukan.

Meninggalkan Iro berpikir, Mou beralih pada Frans, menanyakan hal yang sama.

“Em, aku akan masak makan malam, lalu pergi tidur setelah selesai menulis beberapa laporanku
tentang festival besok” ucap Frans mengingat apa yang harus ia lakukan, terlebih lagi soal laporan
itu. Seharusnya ia menyerahkannya hari ini, namun Kastil sedang ditutup sementara karena
persiapan Festival.

“Wahh!! Frans kau bisa memasak yaa.. aku hampir lupa” ucap Mou dengan wajah takjub yang
dijawab anggukan kecil oleh gadis pirang itu, syal merahnya melambai terkena angin dibelakangnya.

“Aku ingin sekali bisa memasak seperti mu, tapi sepertinya aku tak punya keahlian dalam hal itu..”
tambahnya yang kemudian mendadak murung.

“Bukankah, Kak Mou punya beberapa pelayan?” tanya Frans pada gadis bersurai hitam yang berjalan
disampingnya.

“Mereka, memasak untukmu bukan?”

Mou mengangguk lemah, lalu menoleh kearah Frans dengan tatapan iri.

“Tapi aku merasa gagal menjadi seorang gadis karena tak bisa memasak..”

“Seorang gadis yang baik tak ditentukan dari ia bisa memasak atau tidak..” sebuah suara
mengagetkan ketiga gadis itu. Mereka menatap kedepan, dimana seorang laki-laki tengah berdiri
disana.

“(Kak) Faruq!?”

Laki-laki itu tersenyum kearah mereka sambil mengangkat telapak tangannya.

“Hai..” sapanya ramah.


Laki-laki itu, Faruq. Kapten pasukan tempur Divisi Kedua, sosok Kapten yang cukup ramah pada
orang lain. Frans memanggilnya dengan sebutan ‘Kak’ karena jelas Faruq lebih tua darinya, tapi Mou
dan Iro tak pernah memanggil siapa pun dengan sebutan Kak, kecuali sang Kapten Divisi Pertama,
Noey.

“Sedang jalan-jalan, eh?” tanya Faruq.

“Menikmati suasana sore..” jawab Mou sambil tersenyum lebar, lalu kembali menatap Faruq.

“Baru sampai?”

“Yap, benar sekali” jawabnya yang sadar akan penampilannya. Zirah besi lengkap serta pedang dan
perisai yang tergantung dipunggungnya.

“Baru saja sampai dari Akiba” ucapnya lagi.

Mata ketiga gadis itu membulat. Kemudian rentetan pertanyaan keluar dari mulut Mou, menyerang
Faruq yang tersenyum kikuk.

“Ah, beberapa tugas khusus dari orang-orang brengsek itu” jawabnya.

Mereka bertiga mengerti siapa orang-orang brengsek yang dimaksud Faruq, mereka tak lain adalah
kedua Aldrich itu. Faruq memang tak terlihat akrab dengan para Aldrich, mengingat sering
bertengkarnya mereka, walaupun itu sebuah pertengkaran konyol semacam menentukan nama
pelayan Kastil.

“Hahh~ kenapa bukan aku yang mendapatkan tugas itu” keluh Mou dengan wajah yang lebih
murung dari pada saat ia mengingat keahliannya dalam hal memasak.

“Aku sangat ingin ke Akiba”

“Sebenarnya tak ada yang menarik di sana” sebuah suara kecil terdengar dari belakang Faruq,
kemudian sosok gadis kecil bersurai coklat panjang muncul dari sana sambil menjilat sebuah permen
yang cukup besar.

“Akiba hanya kota besar membosankan..”

Mou mencibir gadis kecil itu.

“Kau bilang membosankan, tapi kau tetap menikmati permen itu Dindaa~”

“Emm, memangnya permen apa itu?” tanya Frans penuh minat pada permen besar berbentuk spiral
warna-warni ditangan gadis kecil itu.

Mou menoleh kearahnya.

“Itu Loliglop, permen yang hanya bisa kau dapat di Akiba, permen segala rasa yang mengeluarkan
aneka rasa buah disetiap jilatannya” jelas Mou.

“Dan gadis kecil itu bilang kalau Akiba hanya kota yang membosankan” ucapnya lagi dengan sebal.

Dinda, gadis kecil berambut coklat itu tersenyum innocent. Wakil kapten Divisi Kedua itu kini tampak
seperti gadis kecil yang manis dengan senyumnya itu, walau mereka semua tau betul senyumannya
itu adalah bagian dari kemampuan bertempurnya untuk mengecoh lawan.

“Kau tau, senyummu takkan berguna untukku” ucap Mou lagi yang kini makin sebal.
Faruq menghela nafasnya, bosan dengan semuanya, pertengkaran tak berguna yang hanya
membuat telinganya terganggu. Ia tak sadar kalau dirinya juga selalu melakukan hal itu dengan para
Aldrich.

“Hei hei bisakah kita hentikan pembicaraan tentang tugas ini? Ini seharusnya menjadi hari libur yang
indah” ucapnya.

“Apa hanya aku yang bertugas saat festival akan berlangsung” ucapnya lagi

“Tidak, bukan hanya kau, semuanya punya tugas masing-masing, tapi semua Divisi yang bertugas
sudah kembali hari ini. Aldrich ketiga tak mengizinkan siapa pun berada diluar kerajaan saat festival”
ucap Iro yang sepertinya sudah menyerah memikirkan tentang apa yang akan ia lakukan setelah ini.

“Kak Noey dan Bella baru saja tiba beberapa jam yang lalu, Kevin dan Divisi nya tiba setelahnya,
kemudian aku, Mou dan Frans kembali kemarin begitu juga Divisi lainnya”

“Aldrich ketiga sudah merencanakannya dengan matang” tambah Frans.

Faruq merengut kesal, tangan kanannya terkepal.

“Aldrich ketiga, orang itu.. Aku akan menghajarnya” ucapnya kesal. Wajahnya yang tegas sedikit
terkena sinar senja, terlihat menyeramkan, membuat Mou sedikit menjauh.

“Dia sengaja memberiku tugas ke Akiba karena tau, aku tak suka pergi ketempat yang jauh, dan
butuh tiga hari untuk sampai kesana” ucap Faruq mejelaskan kekesalannya, dengan sedikit nada
menyedihkan yang aneh.

“Pikirkan betapa lelahnya kaki ku ini, berjalan seharian hingga terperosok keatas jerami penuh
lumpur”

“Kusarankan untuk tidak membayangkannya..” ucap Dinda sambil tetap menjilat Loliglop miliknya.

“Jelas aku takkan mau membayangkannya..” bisik Mou pada Frans yang kemudian tertawa kecil,
begitu juga dengan Iro.

Faruq, kini wajahnya terlihat semakin sebal. Tiga orang gadis dan seorang gadis kecil tak cukup umur,
tengah menertawakannya. Ini membuatnya benar-benar ingin menghajar Lian.

‘Awas saja kau!’ batinnya kesal.

“Kak Frans” panggil Dinda kali ini yang membuat Frans berhenti menatap syalnya, Ia menoleh kearah
gadis kecil itu.

“Sepertinya malam ini punya makan malam yang besar yaa”

Frans menyadari perkataan Dinda tertuju pada kantung belanjaan besar ditangannya. Ia tersenyum
lalu menggeleng pelan.

“Bukan, ini hanya persediaanku untuk beberapa hari dirumah”


“Jelas itu untuk persediaan memasaknya Dinda” ucap Faruq pada Dinda disampingnya. Kemudian
melirik aneh pada Mou.

“Frans itu ahli dalam memasak, tak seperti seseorang~” ucapnya lagi sambil melirik Mou.

“Hei hei! Beberapa saat yang lalu kau bilang seorang gadis yang baik tak dilihat dari ia bisa memasak
atau tidak bukan..” ucap Mou yang sadar betul kalau Faruq sedang mengejeknya.

“Aku berubah pikiran sekarang” jawab Faruq yang kali ini membuat Frans, Iro dan juga Dinda
tertawa. Sedangkan Mou kesal dibuatnya.

“Aku akan memasak! Kau pikir aku tak bisa hah!”

“Kalau begitu biarkan aku mengunjungi Madam Hopkins di kliniknya, menanyakan apakah ia punya
beberapa ramuan penangkal sakit perut” tawa Dinda makin keras, begitu juga Frans dan Iro.
Sedangkan Mou, wajahnya memerah kesal dibawah cahaya senja.

Matahari semakin condong ke barat, meninggalkan bayang-bayang hitam diantara cahaya jingganya.
Beberapa toko telah memasang tanda tutup, tapi tak sedikit juga yang tetap buka dimalam
persiapan festival ini.

Orang-orang yang berlalu-lalang di jalan utama kerajaan itu sesekali menoleh kearah sekelompok
gadis yang tertawa, serta laki-laki berzirah yang juga ada disana.

Angin berhembus perlahan saat itu, tawa mereka mulai menipis, menyisakan Mou yang kini tengah
menyerang Faruq dengan pukulan-pukulan kecilnya.

Iro dan Frans tertawa kecil melihatnya, terlebih lagi Frans yang kini terlihat sedikit merasa nyaman
daripada beberapa saat yang lalu.

“Ah, hujan..” Mou berkata saat titik-titik air mulai berjatuhan dari langit, keempat orang lainnya juga
ikut memandang ke atas. Langit yang semula berawan kini terlihat lebih gelap.

“Padahal beberapa saat yang lalu masih cerah” ucap Mou.

“Kau tak bisa memprediksi alam..” ucap Faruq santai, namun kemudian tanpa peringatan hujan
turun dengan amat deras.

“Apa-apaan ini!!” seru Faruq sambil memandang langit gelap di atasnya.

Mou melambaikan tangan kanannya ke atas kepala, membuat hujan jatuh melewati dirinya alih-alih
membuatnya

Basah. Frans ikut berlindung di bawah pelindung sihir milik Mou sementara Iro dan Dinda sudah
berteduh di sebuah kedai tak jauh dari sana.

“Kau tak bisa memprediksi alam..” cibir Mou kearah Faruq yang adalah satu-satunya orang yang
berdiri di bawah hujan dengan pakaian basah.

“Sialan..” gerutunya.
Hujan deras mengguyur Edenteria dengan tiba-tiba, langit bergemuruh diatas sana, walaupun begitu
tak ada satupun petir yang menyambar, hanya hujan deras. Jalan utama yang beberapa saat lalu
ramai, kini terasa sunyi. Orang-orang memilih untuk berteduh di kedai-kedai minum sambil
menunggu hujan reda.

Sebaliknya, di gerbang utama, para penjaga yang bertugas tetap berada di tempatnya. Walaupun
sebenarnya tak ada paksaan bagi mereka untuk tetap berada di bawah hujan selama bertugas,
mereka tetap ditempatnya. Keinginan untuk menunjukkan loyalitas mereka sebagai prajurit
Edenteria begitu besar hingga sebuah hujan takkan membuat mereka menyingkir begitu saja.

Hal ini cukup membuat para ketua tim kerepotan. Sebuah loyalitas itu penting dan bagus, hanya saja
jika terus seperti itu para penjaga hanya akan terserang flu pada akhirnya. Namun mereka tetap
bersikeras dengan hal itu, mungkin hanya beberapa dari mereka yang beranjak dari posnya untuk
mengambil mantel hujan, selebihnya tetap seperti itu.

Yoda, salah satu

Anda mungkin juga menyukai