Anda di halaman 1dari 3

Nama :

NIM :

Getir Hati Penunggang

“perasaan tidak harus hidup bersama pemiliknya ternyata sama sakitnya dengan
pemilik yang tidak hidup bersama perasaannya”
***
Gadis itu menajamkan pendengarannya saat mendengar gesekan langkah sejauh ratusan
meter dari tempatnya bersembunyi. Sengaja berdiam diri di atas dahan pohon yang
cukup rimbun. Matanya memicing, tangannya yang memegang senjata sudah bersiap
sejak fajar tadi. Hingga ketika telinganya yang runcing berhasil menangkap suara lebih
jelas, matanya mulai mengamati sesosok bertudung muncul dari semak-semak.
Singgg!
Anak panah terlempar secepat kilat menuju objek sasaran, seperti biasa, targetnya
terkena tepat pada jantungnya. Elf yang lain buru-buru keluar dari tempat berjaga untuk
menangkap makhluk berdarah dingin yang kini sudah tergelepar di tanah. Ia menghela
nafas, tugasnya menangkap pembunuh telah selesai jauh sebelum batas waktu yang
ditentukan.
“Aredel,”
Ia menoleh, rambutnya yang putih tulang ikut bergerak seirama. Mata kucing dengan
manik abu-abu terang itu kemudian berbinar ketika menatap bayangan seorang laki-laki
berperawakan tinggi. Rambutnya pendek keperakan, dengan rahang tegas dan mata
kucing yang sama sedang berdiri di samping pohon ek bersama pedangnya yang
tersimpan dalam sarung di ikat pinggang.
“Kapan kau kembali?”
Lelaki itu tersenyum, satu-satunya senyum yang hanya ia tujukan kepada gadis itu.
“Baru saja”
“Siapa yang kau tangkap kali ini cantik?”
“Pembunuh Unicorn,” jawab Are sambil mengamit lengan lelaki itu menuju wilayah
mereka.
Beberapa elf sempat memperhatikan sejenak ke arah mereka yang memang terlihat
serasi, sebelum kembali berkutat dengan aktifitas mereka masing-masing. Dua wajah
menawan, yang sayangnya tidak terlihat ramah kepada orang lain. Aredel, gadis cantik
yang pernah menolak lamaran Pangeran Veleric sang Putra Mahkota kerajaan, adalah
seorang pemanah, pemimpin kaum elf penjaga hutan yang juga ditugasi untuk merawat
hewan-hewan sihir. Sedangkan Aefral, laki-laki idaman kaum hawa yang tidak pernah
tersenyum kepada siapapun kecuali Aredel itu adalah seorang mata-mata Raja yang
paling handal, perapal mantra yang memiliki kekuatan untuk mengoyak jantung.
Kedua nama yang sudah terkenal di seantero negeri kaum peri. Apalagi saat berita
mengenai keduanya yang selamat dari benteng musuh sempat menjadi hal paling heboh
musim lalu. Raja sudah hampir menyerah saat itu, ketika kabar mengenai penangkapan
dua orang kepercayaannya yang sedang ditahan di penjara kegelapan. Namun sehari
sebelum Raja memutuskan untuk memulai perang, dua makhluk berwajah dingin itu
ditemukan ambruk di perbatasan. Awal kejadian yang akhirnya meninggalkan bekas
luka panjang di lengan dalam Aredel dan garis luka dari ujung bahu kanan hingga
pinggang sebelah kiri Aefral. Begitulah hingga negeri ini menyebut kedua makhluk itu
sebagai Pelahap Maut.
“Aku harus pergi lagi nanti malam.”
Aredel yang sedang menatap api unggun di depannya pun menoleh, “Kemana kali ini?”
“Ellesmera, aku harus menemui Elve si Penunggang di istana.”
“Are,” mata biru Aefral bersinar karena pantulan api. “Raja sepertinya akan kembali
membahas mengenai tawaran perjodohanku dengan Elve.”
“Kau menyukainya?”
“Jelas tidak bisa, dan tidak suka.”
Aredel tersenyum tipis. “Jika bisa, siapa yang ingin kau sukai, Aef?”
Lelaki itu menoleh pada Aredel, menatap mata gadis itu sedalam biasanya. Dalam irama
kehangatan api yang menjalar pelan, Aefral tersenyum pada gadis itu, seolah
menjelaskan lagi secara tersirat mengenai hal yang ia bungkam.
“Kau tau jawabannya.”
“Mungkin.”
Baru saja akan menyangkal, seorang pengantar pesan datang ke pondok Aredel, dua
undakan di bawah pondok Aefral yang letaknya paling tinggi di antara kaum elf lain di
wilayah mereka. Dengan tas coklat yang berisi gulungan perkamen, lelaki cungkring
bertopi tinggi itu menyerahkan satu yang berpita hitam untuk Aredel, sebelum
membungkukan badan bermaksud pamit pada mereka berdua.
“Dari siapa?” tanya Aefral setelah gadis itu menggulungnya kembali.
“Rex, Putra Mahkota Asharell’ia”
“Salah satu yang melamarmu lagi?”
Aredel melempar perkamen tersebut ke dalam api. “Begitulah, memang hanya Raja kan
yang mengirimiku pesan berisi hal berguna.”
“Kalau Raja juga melamarmu, maka pedangku pasti akan menjadi sejarah karena sudah
membunuh Raja Ellios.”
Aradel tertawa, satu hal yang juga berhasil membuat Aefral tersenyum lebar. Kombinasi
paling langka yang tidak mungkin terjadi jika bersama yang lain. Namun senyum Aefral
pudar dan kembali serius saat melihat perkamen tadi sempurna hangus.
“Kenapa menolaknya lagi kali ini?”
“Untuk apa juga aku menerima mereka, Aef?”
“Kau tidak akan menikahi siapapun, Are? semua yang melamarmu bukan orang
sembarangan.”
“Lalu kenapa?”
“Kau tidak akan menikah?” tanya Aefral sekali lagi dengan nada suara yang cukup
pelan, antara penuh keraguan atau penyesalan.
“Aku tidak akan menikah jika tidak denganmu.”
“Kau tidak butuh cinta dari orang lain?”
“Aku hanya butuh kau! Apa kalimatku setahun belakangan ini kurang jelas?”
Sejujurnya Aefral merasa senang, tapi senyumnya kecut. “Maaf, Are.”
“Keadaan yang membuat kita tidak bisa bersama kan? takdir saja yang memang kejam
karena membiarkan kita harus membersamai tanpa bisa saling terikat satu sama lain.
Bukan salahmu Aef, hanya waktunya saja yang tidak tepat sejak awal.”
Karena tanpa diketahui siapapun, kecuali Aredel dan tentunya Aefral. Lelaki itu telah
menyerahkan hatinya pada mendiang naga tunggangannya yang tewas, tepat setelah
kutukan dari makhluk yang tidak ingin mereka sebut menancap tepat di hati yang Aefral
simpan dalam jantung naganya. Menyebabkan lelaki itu tidak bisa jatuh cinta pada
siapapun, yang mirisnya harus tetap melanjutkan hidup sebagai si cacat yang utuh.
Penunggang yang tidak memiliki tunggangan. Tragedi yang membuatnya menyimpan
amarah setiap kali melihat Aredel, gadis paling cantik yang sayangnya ia temui dua
tahun setelah naganya dikuburkan.

Anda mungkin juga menyukai