Anda di halaman 1dari 8

Modifikasi Cerpen

Tsania Hamida Bahar


1201622050
MATA YANG ENAK DIPANDANG

Di bawah matahari pukul satu siang, Mirta berdiri di seberang


jalan depan stasiun. Sosok pengemis buta itu seperti patung kelaras
pisang; kering, compang-camping dan gelisah. Mirta merekam lintang-
pukang lalu lintas dengan kedua telinganya. Dengan cara itu pula Mirta
mencoba menyelidik di mana Tarsa, penuntunnya, berada. Namun, Mirta
segera sadar bahwa Tarsa memang sengaja meninggalkan dirinya di
tempat yang terik dan sulit itu. Memanggang Mirta di atas aspal gili-gili
adalah pemerasan dan kali ini untuk segelas es limun. Tadi pagi Tarsa
sengaja membimbing Mirta sedemikian rupa sehingga kaki Mirta
menginjak tahi anjing. Mirta boleh mendesis dan mengumpat sengit. Tapi
Tarsa tertawa, bahkan mengancam akan mendorong Mirta ke dalam got
kecuali Mirta mau memberi sebatang rokok. Sebelum itu, Tarsa menolak
perintah Mirta agar ia berjalan agak lambat.

Perintah itu baru dipenuhi setelah Mirta membelikannya lontong


ketan. Mirta jengkel dan tidak ingin diperas terus-menerus. Ia akan
mencoba bertahan. Maka meski kepalanya serasa diguyur pasir pijar dari
langit, Mirta tak ingin memanggil Tarsa. Berkali-kali ditelannya ludah
yang pekat. Ditahannya rasa pening yang menusuk ubun-ubun.
Diusapnya wajah untuk mencoba meredam panas yang menjerang. Mirta
betul-betul ingin tidak menyerah kepada penuntunnya. Dan matahari
pukul satu siang tak sedetik pun mau berkedip. Sinarnya jatuh lurus
menembus batok kepala Mirta dan membawa seribu kunang-kunang.
Mirta mulai goyang. Ia bergerak untuk mencari tempat yang teduh
dengan kekuatan sendiri. Kaki yang bergetar itu mencoba turun dari gili-
gili. Namun, sebelum telapaknya menyentuh jalan, klakson-klakson
serentak membentaknya. Mirta terkejut dan surut.
***

Kembali menjadi patung kelaras yang gelisah, Mirta berdiri


goyang di atas gili-gili. Kunang-kunang lebih banyak lagi masuk ke
rongga matanya yang keropos. Kedua kakinya bergerak lagi. Kini Mirta
bukan hendak menyeberang, melainkan berjalan menyusuri trotoar. Mirta
harus meninggalkan tempat itu kalau ia tidak ingin mati kering seperti
dendeng. Namun, baru beberapa kali melangkah, Mirta melanggar sepeda
yang diparkir melintang. Sepeda itu tumbang dan tubuh Mirta serta-merta
menindihnya. Bunyi berderak disambut sorak-sorai dari seberang jalan.
Dan itu suara Tarsa.

Pemilik sepeda datang hanya untuk mengurus kendaraannya.


Tarsa, yang sejak tadi asyik bermain yoyo di bawah pohon kerai payung
di seberang jalan, juga datang. Tetapi Tarsa hanya menonton ketika Mirta
bersusah payah mencoba berdiri. Tangan Mirta menggapai-gapai sesuatu
yang mungkin bisa dijadikan pegangan. Karena tangannya gagal
menangkap sesuatu, Mirta tak bisa tegak. Ia jongkok seperti mayat yang
dikeringkan. Kepalanya terasa menjadi gasing yang berputar makin lama
makin cepat. Kesadarannya mulai mengawang. Meski demikian, Mirta
tahu Tarsa sudah berada di dekatnya.

”Panas, Kang Mirta?”

”Panas sekali, bangsat!” kata Mirta dengan suara kering dan


samar. ”Sekarang kamu mau membelikan aku es limun. Iya, kan?”

Mirta tak menjawab. Namun, Tarsa mengerti bahwa Mirta sudah


tak tahan lagi berada lebih lama di bawah matahari. Tarsa juga sudah tahu
bahwa Mirta menyerah. Maka tanpa tawar-menawar lagi Tarsa membawa
Mirta menyeberang dan berhenti dekat tukang minuman. Segelas es
limun diminumnya dengan penuh rasa kemenangan. Mirta juga minum.
Bukan es limun melainkan air putih; segelas, segelas lagi, dan segelas
lagi. Selesai membayar minuman, Mirta minta diantar ke tempat yang
teduh.

Dalam bayangan pohon kerai payung depan stasiun, Tarsa


kembali bergembira dengan yoyonya. Namun, Mirta duduk memeluk
lutut, diam seperti bekicot. Tiga gelas air putih yang baru diminumnya
muncul kembali ke permukaan kulit, menjadi keringat untuk
mendinginkan badan yang terlalu lama tersengat matahari. Rasa pening
terus menggigit kepalanya. Dan Mirta terhuyung ke samping karena
tanah yang didudukinya terasa miring dan terus bertambah miring. Ketika
merasa tanah makin cepat berayun, Mirta merebahkan badan,
melengkung seperti bangkai udang. Keringatnya mulai mengering karena
sapuan angin. Tapi wajahnya perlahan-lahan berubah pucat. Napasnya
megap-megap. Terdengar rintihan lirih dari mulutnya, lalu segalanya
tampak tenang. Mirta terbujur diam di bawah kerai payung depan stasiun.
Mirta tertidur atau Mirta pingsan. Dan di dekatnya, Tarsa tetap gembira
dengan yoyo yang melesat turun-naik di tangan.

***

“Kereta datang, Kang. Ayo masuk stasiun,” seru Tarsa, tak sabar.
Tangannya meraih lengan Mirta, ingin segera membawanya ke tempat
yang ramai dan penuh peluang untuk mengemis.

Mirta, sang pengemis buta, hanya diam dan menggelengkan


kepalanya. Pening di kepalanya tak kunjung mereda, mengaburkan dunia
di sekitarnya.

“Kang Mirta, kereta datang! Nanti ketinggalan!” Tarsa


meninggikan suaranya, frustrasi. Dia tak habis pikir dengan Mirta yang
selalu bertingkah aneh akhir-akhir ini.
“Aku malas,” jawab Mirta lirih, suaranya hampir tak terdengar.

Tarsa mengerutkan kening. Dia menyentuh tangan Mirta, dan


seketika rasa panas menjalari telapak tangannya. Bibir Mirta pun terlihat
pucat pasi.

“Kamu sakit, Kang?” tanya Tarsa dengan nada cemas.

Mirta menggeleng pelan. “Tidak,” jawabnya, tapi suaranya


bergetar.

Tarsa ragu. Dia kembali meraba tangan Mirta, dan rasa panas itu
semakin terasa. Bibir Mirta pun semakin pucat. Kekhawatiran Tarsa kian
bertambah.

“Kalau tidak sakit, ayo bangun! Kita harus cari uang makan,”
desak Tarsa. Dia tak ingin repot mengurus Mirta yang sakit.

“Hari ini memang sepi,” jawab Mirta, berusaha bangkit dari


duduknya.

“Itu karena kamu malas! Sudah seharian kita berkeliling, tapi tak
dapat apa-apa. Aku sudah lapar!” Tarsa mulai marah. Dia kesal dengan
Mirta yang tak kunjung menunjukkan semangatnya.

“Bukan aku yang malas, tapi kamu!” balas Mirta, suaranya


meninggi. “Sejak kamu jadi penuntunku, penghasilanku selalu berkurang.
Kamu tak becus mencarikan orang yang dermawan!”

Tarsa terdiam sejenak. Dia tak terima dituduh seperti itu. “Aku
sudah berusaha, Kang. Aku membawamu ke mana-mana, tapi orang-
orang tak mau memberi sedekah,” kilahnya.
“Kamu tak pandai melihat!” Mirta mencibir. “Orang yang suka
memberi itu punya mata yang berbeda. Mata yang enak dipandang.”

Tarsa ternganga. “Mata yang enak dipandang? Maksudmu apa?”

Mirta tersenyum tipis. “Kata teman-teman sesama pengemis,


orang yang suka memberi itu matanya teduh dan bersahabat. Matanya
memancarkan kebaikan.”

Tarsa terdiam, merenungkan perkataan Mirta. Dia tak pernah


memperhatikan mata orang-orang yang mereka temui.

“Baiklah,” kata Tarsa akhirnya. “Kali ini aku akan perhatikan


mata mereka. Kita cari orang yang matanya enak dipandang.”

***

Ah, tidak! Tarsa meraung pilu, air mata membasahi pipinya yang
kotor. Kang Mirta, jangan tinggalkan aku!
Dia memeluk tubuh Mirta yang terbujur kaku di bawah pohon
kerai payung depan stasiun. Mirta, sahabat sekaligus mentornya dalam
dunia pengemisan, telah menghembuskan nafas terakhirnya.
Siapa yang akan membimbingku? Siapa yang akan mengantarku
mencari orang-orang dengan mata indah? Tarsa terisak, hatinya diliputi
kesedihan dan ketakutan.
Peluit lokomotif berbunyi nyaring, menandakan kereta kelas satu
telah berangkat. Mata-mata dingin seperti bambu dari para penumpang
kelas atas menghilang dari pandangan. Matahari mulai terbenam,
menebarkan semburat jingga di langit barat.
Tarsa menoleh ke arah pengemis buta yang terbaring lunglai di
bawah pohon kerai. Dia teringat Tarsa Sungguh menyesal telah memeras
habis-habisan Mirta, meskipun buta dan miskin, Mirta adalah satu-
satunya orang yang setia memberinya upah setiap hari. Bahkan, Tarsa
mulai takut Mirta benar-benar sakit parah dan kemudian meninggal.
Di tengah kesedihannya, Tarsa terbersit pemikiran bahwa dia tidak
boleh lagi menyiksa Mirta. Dia juga bertekad untuk mengikuti semua
nasihat Mirta, yaitu hanya mengemis di kereta kelas tiga. Dalam hatinya,
Tarsa mengakui bahwa Mirta memang ahli dalam dunia pengemisan.
Bel di stasiun kembali berdering, mengumumkan kedatangan
kereta lain. Tarsa hafal, kereta yang akan tiba adalah kereta kelas tiga dari
Surabaya. Dia menoleh ke arah Mirta yang masih terbujur di tanah. Mulut
Mirta sedikit terbuka, bibirnya pucat pasi. Nafasnya pendek dan
tersengal. Ketika diraba, tubuh Mirta masih terasa sangat panas.
Tarsa mencium kening Mirta dengan penuh kasih sayang. Dia
berjanji untuk menjadi pengemis yang baik dan tidak akan pernah
melupakan jasa Mirta. Dia akan terus mengemis di kereta kelas tiga,
seperti yang diajarkan Mirta, dan dia yakin akan berhasil.

***

Kereta api memasuki stasiun, desahan remnya bagaikan jeritan


pilu yang menggores hati Tarsa. Perutnya keroncongan, lapar
menyiksanya tanpa ampun. Ingin rasanya dia menggoyangkan tubuh
Mirta, sahabat sekaligus gurunya dalam dunia pengemisan, untuk
membangunkannya. Tapi, keraguan menggerogoti hatinya.

Dengan suara lirih, Tarsa berbisik di telinga lelaki buta yang


tergolek tak berdaya di sampingnya, “Kang Mirta, bangun. Kereta api
kelas tiga sudah datang. Ayo, kita cari orang-orang yang matanya indah.”

Tubuh lunglai Mirta tetap tak bergeming, tak ada respon sama
sekali. Sinar matahari semakin condong ke barat, namun panasnya masih
menyengat. Tarsa gugup, tak tahu harus berbuat apa. Dengan ragu, dia
kembali berbisik, kali ini suaranya bergetar, “Kang, kamu ingin kuantar
menemui orang-orang yang matanya indah, kan?”
Keheningan mewarnai jawaban Mirta. Hening yang mencekam,
penuh dengan tanya dan keraguan. Tarsa terpaku, jiwanya diliputi
kebimbangan. Di satu sisi, dia ingin segera pergi mencari uang untuk
mengisi perutnya yang keroncongan. Di sisi lain, dia tak tega
meninggalkan Mirta yang terbaring lemah.

Perlahan, Tarsa meraih tangan Mirta yang dingin. Dia merasakan


denyut nadi yang lemah, nyaris tak terasa. Air mata menetes di pipinya
yang kotor, membasahi tangan Mirta. Tarsa teringat semua kebaikan
Mirta selama ini, bagaimana dia dengan sabar mengajarinya cara
mengemis yang baik, bagaimana dia selalu melindunginya dari bahaya
jalanan.

Tekad Tarsa pun bulat. Dia tidak akan meninggalkan Mirta


sendirian. Dia akan tetap di sisinya, menjaganya sampai dia benar-benar
pulih. Dia yakin, Mirta pasti akan mengerti keputusannya.

Dengan penuh kasih sayang, Tarsa mengangkat tubuh Mirta ke


pangkuannya. Dia membisikkan kata-kata penyemangat di telinga Mirta,
meyakinkannya bahwa mereka akan segera melewati masa sulit ini
bersama-sama.

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai