Anda di halaman 1dari 34

REFERAT

TUBERCULOSIS PARU DENGAN DIABETES MELITUS

PEMBIMBING:

dr. SUKAENAH SpP.


DISUSUN OLEH: EUGENIUS FLAVANTO (030.04.071)

KEPANITERAAN KLINIK ILMU ANESTESI RSUP FATMAWATI PERIODE 1 AUGUSTUS- 11 SEPTEMBER 2011. FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

KATA PENGANTAR Segala puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat dan petunjukNya, kami akhirnya dapat menyelesaikan Referat yang berjudul Tuberculosis Paru dengan Diabetes Melitus. Kasus ini di buat dalam rangka memenuhi tugas kepaniteraan klinik di bagian ilmu Penyakit Dalam RSUD Budi Asih. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada para konsulen anestesi, khususnya dr. Sukaenah Sp.P yang telah memberikan bimbingan pada kami sehingga kami dapat menyeleaikan tugas ini dengan baik. Kami menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari kesempurnaan dan masih memiliki banyak kekurangan serta kesalahan. Oleh karena itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Kami berharap semoga kasus ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan dalam bidang anestesi khususnya dan bidang kedokteran pada umumnya.

Jakarta, 20 Desember 2011.

Penulis

BAB I

PENDAHULUAN

Di seluruh dunia, satu dari dua orang terinfeksi oleh Mycobacterium Tuberkulosis (TB). Jumlah penderita TB sekitar 2,5% dari seluruh penyakit, dan merupakan penyebab kematian tersering pada wanita muda. TB sekarang menduduki peringkat 7 pada penyebab kematian dari penyakit. Meskipun obat yang efektif untuk TB telah ada selama 50 tahun yang lalu, setiap 15 detik seseorang meninggal karena TB, dan tiap satu detik seseorang terinfeksi dengan TB. 75 % pasien TB berada pada usia produktif, antara 15-54 tahun. Sembilan puluh lima persen kasus dan 99% kematian karena TB muncul di negara-negara berkembang, terutama pada Sub-saharan Africa dan South East Asia, dan sekitar 48% pasien dengan TB tinggal di Asia; termasuk Indonesia. Di masa-masa yang akan datang perhatian perlu diberikan pada interaksi antara penyakit kronik dengan TB, diantaranya yaitu diabetes.1 Tuberkulosis (TB) dan diabetes melitus (DM) seringkali ditemukan bersama sama (42,1%), terutama pada seseorang dengan resiko tinggi untuk menderita TB. DM telah dilaporkan dapat merubah gejala klinis dari TB serta berhubungan dengan respon yang lambat dari pengobatan TB dan tingginya mortalitas. TB dapat mengakibatkan pengaruh yang buruk terhadap kadar gula darah karena intoleransi glukosa yang menyebabkan keadaan hiperglikemia, namun akan membaik atau menjadi normal dengan pengobatan anti TB.2 Penyakit-penyakit penyerta tersebut 61,5% ditemukan sebagai penyakit primer (lebih dulu) dan 38,5% sebagai penyakit sekunder, yaitu TB Paru yang lebih dulu, penyakit penyertanya belakangan timbul.3

BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI PARU Paru-paru terletak sedemikian rupa sehingga setiap paru-paru berada di samping mediastinum. Oleh karenanya, masing-masing paru-paru dipisahkan satu sama lain oleh jantung dan pembuluh-pembuluh besar serta struktur-struktur lain dalam mediastinum. Masing-masing paru-paru berbentuk konus dan diliputi oleh pleura viseralis. Paru-paru terbenam bebas dalam rongga pleuranya sendiri, dan hanya dilekatkan ke mediastinum oleh radiks pulmonalis. Masing-masing paru-paru mempunyai apeks yang tumpul, menjorok ke atas dan masuk ke leher sekitar 2,5 cm di atas klavikula. Di pertengahan permukaan medial, terdapat hilus pulmonalis, suatu lekukan tempat masuknya bronkus, pembuluh darah dan saraf ke paru-paru untuk membentuk radiks pulmonalis.

Paru-paru kanan sedikit lebih besar dari paru-paru kiri dan dibagi oleh fisura oblikua dan fisura horisontalis menjadi 3 lobus, yaitu lobus superior, medius dan inferior. Sedangkan paru-paru kiri dibagi oleh fisura oblikua menjadi 2 lobus, yaitu lobus superior dan inferior.

gambar 1. Anatomi paru-paru

Setiap bronkus lobaris, yang berjalan ke lobus paru-paru, mempercabangkan bronkus segmentalis. Setiap bronkus segmentalis yang masuk ke lobus paru-paru secara struktural dan fungsional adalah independen, dan dinamakan segmen bronkopulmonalis. Segmen ini berbentuk piramid, mempunyai apeks yang mengarah ke radiks pulmonalis dan basisnya mengarah ke permukaan paru-paru. Tiap segmen dikelilingi oleh jaringan ikat, dan selain bronkus juga diisi oleh arteri, vena, pembuluh limfe dan saraf otonom.

Asinus adalah unit respiratori fungsional dasar, meliputi semua struktur dari bronkhiolus respiratorius sampai ke alveolus. Dalam paru-paru manusia, terdapat kirakira 130.000 asini, yang masing-masing terdiri dari tiga bronkhiolus respiratorius, tiga duktus alveolaris dan 17 sakus alveolaris.

Alveolus adalah kantong udara terminal yang berhubungan erat dengan jejaring kaya pembuluh darah. Ukurannya bervariasi, tergantung lokasi anatomisnya, semakin negatif tekanan intrapleura di apeks, ukuran alveolus akan semakin besar. Ada dua tipe sel epitel alveolus. Tipe I berukuran besar, datar dan berbentuk skuamosa, bertanggungjawab untuk pertukaran udara. Sedangkan tipe II, yaitu pneumosit granular, tidak ikut serta dalam pertukaran udara. Sel-sel tipe II inilah yang memproduksi surfaktan, yang melapisi alveolus dan memcegah kolapnya alveolus. Sirkulasi pulmonal memiliki aliran yang tinggi dengan tekanan yang rendah (kira-kira 50 mmHg). Paru-paru dapat menampung sampai 20% volume darah total tubuh, walaupun hanya 10% dari volume tersebut yang tertampung dalam kapiler. Sebagai respon terhadap aktivitas, terjadi peningkatan sirkulasi pulmonal.

Yang paling penting dari sistem ventilasi paru-paru adalah upaya terus menerus untuk memperbarui udara dalam area pertukaran gas paru-paru. Antara alveoli dan pembuluh kapiler paru-paru terjadi difusi gas yang terjadi berdasarkan prinsip perbedaan tekanan parsial gas yang bersangkutan.

Sebagian udara yang dihirup oleh seseorang tidak pernah sampai pada daerah pertukaran gas, tetapi tetap berada dalam saluran napas di mana pada tempat ini tidak terjadi pertukaran gas, seperti pada hidung, faring dan trakea. Udara ini disebut udara

ruang rugi, sebab tidak berguna dalam proses pertukaran gas. Pada waktu ekspirasi, yang pertama kali dikeluarkan adalah udara ruang rugi, sebelum udara di alveoli sampai ke udara luar. Oleh karena itu, ruang rugi merupakan kerugian dari gas ekspirasi paruparu. Ruang rugi dibedakan lagi menjadi ruang rugi anatomik dan ruang rugi fisiologik. Ruang rugi anatomik meliputi volume seluruh ruang sistem pernapasan selain alveoli dan daerah pertukaran gas lain yang berkaitan erat. Kadang-kadang, sebagian alveoli sendiri tidak berungsi atau hanya sebagian berfungsi karena tidak adanya atau buruknya aliran darah yang melewati kapiler paru-paru yang berdekatan. Oleh karena itu, dari segi fungsional, alveoli ini harus juga dianggap sebagai ruang rugi dan disebut sebagai ruang rugi fisiologis.

Fungsi paru-paru adalah pertukaran gas oksigen dan karbon dioksida. Pada pernapasan melalui paru-paru atau pernapasan eksterna, oksigen dipungut melalui hidung dan mulut. Pada waktu bernapas, oksigen masuk melalui trakea dan pipa bronkhial ke alveoli, dan dapat erat hubungan dengan darah di dalam kapiler pulmonaris. Hanya satu lapisan membran , yaitu membran alveoli-kapiler, memisahkan oksigen dari darah. Oksigen menembus membran ini dan dipungut oleh hemoglobin sel darah merah dan dibawa ke jantung. Dari sini, dipompa di dalam arteri ke semua bagian tubuh. Darah meninggalkan paru-paru pada tekanan oksigen 100 mmHg dan pada tingkat ini hemoglobinnya 95 persen jenuh oksigen.

Di dalam paru-paru, karbon dioksida adalah salah satu hasil buangan metabolisme, menembus membran alveoler-kapiler dari kapiler darah ke alveoli dan setelah melalui pipa bronkhial dan trakhea, dinafaskan keluar melalui hidung dan mulut. Empat proses yang berhubungan dengan pernafasan pulmoner atau pernafasan eksterna: 1. Ventilasi pulmoner, atau gerak pernafasan yang menukar udara dalam alveoli dengan udara luar. 2. Arus darah melalui paru-paru 3. Distribusi arus udara dan arus darah sedemikian sehingga jumlah tepat dari setiapnya dapat mencapai semua bagian tubuh 4. Difusi gas yang menembusi membran pemisah alveoli dan kapiler. CO2 lebih mudah berdifusi daripada oksigen.

Semua proses ini diatur sedemikian sehingga darah yang meninggalkan paruparu menerima jumlah tepat CO2 dan O2. Pada waktu gerak badan lebih banyak darah datang di paru-paru membawa terlalu banyak CO2 dan terlampau sedikit O2. Jumlah CO2 itu tidak dapat dikeluarkan, maka konsentrasinya dalam arteri bertambah. Hal ini merangsang pusat pernapasan dalam otak untuk memperbesar kecepatan dan dalamnya pernapasan. Penambahan ventilasi yang dengan demikian terjadi pengeluaran CO2 dan memungut lebih banyak O2. Paru-paru mempunyai pertahanan khusus dalam mengatasi berbagai kemungkinan terjadinya kontak dengan aerogen dalam mempertqahankan tubuh. Sebagaimana mekanisme pertahanan pada umumnya, maka paru-paru memiliki pertahanan seluler dan humoral. Beberapa mekanisme pertahanan tubuh yang penting padq paruparu dibagi atas.: 1. Filtrasi udara

Partikerl udara yang masik melalui organ hidung akan: Bertahan di orofaring untuk partikel yang berdiameter 5-7 Akan masuk sampai ke paru untuk partikel yang berdiameter 0,5-5 Dapat masuk ke alveoli untuk partiker yang berdiameter < 0,5 tetapi akan

dikeluarkan bersama secret. 2. Mukosilia

Baik mucus maupun partikel yang terbungkus di dalam micis akan digerakan silia keluar laring. Keberhasilan dalam mengeluarkan mucus ini tergantung pada kekentalan mucus, luas permukaan bronkus dan aktivitas sila yang mungkin terganggu oleh iritasi, baik oleh asap rokok, hipoksemia maupun hiperkapnia. 3. Sekresi Humoral Lokal

zat-zat yang melapisi permukaan bronkus antara lain, terdiri dari : - Lisozim, dimana dapat melisis bakteri - Laktoferon, suatu zat yang dapat mengikat ferrum dan bersifat bakteriostatik - Interferon, protein dengan berat molekul rendah mempunyai kemampuan dalam membunuh virus.

- Ig A yang dikeluarkan oleh sel plasma berperan dalam mencegah terjadinya infeksi virus. Kekurangan Ig A akan memudahkan terjadinya infeksi paru yang berulang. 4. Fagositosis

Sel fagositosis yang berperan dalam memfagositkan mikroorganisme dan kemudian menghancurkannya. Makrofag yang mungkin sebagai derivate monosit berperan sebagai fagositer. Untuk proses ini diperlukan opsonim dan komplemen. Faktor yang mempengaruhi pembersihan mikroba di dalam alveoli adalah : - Gerakan mukosiliar. - Faktor humoral lokal. - Reaksi sel. - Virulensi dari kuman yang masu - Reaksi imunologis yang terjadi.

BAB III TUBERCULOSIS PARU Tuberculosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya. Cara penularan o Sumber penularan adalah pasien TB BTA positif. o Pada waktu batuk atau bersin, pasien menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk percikan dahak (droplet nuclei). Sekali batuk dapat menghasilkan sekitar 3000 percikan dahak. o Umumnya penularan terjadi dalam ruangan dimana percikan dahak berada dalam waktu yang lama. Ventilasi dapat mengurangi jumlah percikan, sementara sinar matahari langsung dapat membunuh kuman. Percikan dapat bertahan selama beberapa jam dalam keadaan yang gelap dan lembab. o Daya penularan seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kuman yang dikeluarkan dari parunya. Makin tinggi derajat kepositifan hasil pemeriksaan dahak, makin menular pasien tersebut. o Faktor yang memungkinkan seseorang terpajan kuman TB ditentukan oleh konsentrasi percikan dalam udara dan lamanya menghirup udara tersebut.

Risiko penularan o Risiko tertular tergantung dari tingkat pajanan dengan percikan dahak. Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan kemungkinan risiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA negatif.

o Risiko penularan setiap tahunnya di tunjukkan dengan Annual Risk of Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisiko Terinfeksi TB selama satu tahun. ARTI sebesar 1%, berarti 10 (sepuluh) orang diantara 1000 penduduk terinfeksi setiap tahun. o ARTI di Indonesia bervariasi antara 1-3%. o Infeksi TB dibuktikan dengan perubahan reaksi tuberkulin negatif menjadi positif. Risiko menjadi sakit TB o Hanya sekitar 10% yang terinfeksi TB akan menjadi sakit TB. o Dengan ARTI 1%, diperkirakan diantara 100.000 penduduk rata-rata terjadi 1000 terinfeksi TB dan 10% diantaranya (100 orang) akan menjadi sakit TB setiap tahun. Sekitar 50 diantaranya adalah pasien TB BTA positif. o Faktor yang mempengaruhi kemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan tubuh yang rendah, diantaranya infeksi HIV/AIDS dan malnutrisi (gizi buruk). o HIV merupakan faktor risiko yang paling kuat bagi yang terinfeksi TB menjadi sakit TB. Infeksi HIV mengakibatkan kerusakan luas sistem daya tahan tubuh seluler (cellular immunity), sehingga jika terjadi infeksi penyerta (oportunistic), seperti tuberkulosis, maka yang bersangkutan akan menjadi sakit parah bahkan bisa mengakibatkan kematian. Bila jumlah orang terinfeksi HIV meningkat, maka jumlah pasien TB akan meningkat, dengan demikian penularan TB di masyarakat akan meningkat pula. Pasien TB yang tidak diobati, setelah 5 tahun, akan: o 50% meninggal o 25% akan sembuh sendiri dengan daya tahan tubuh yang tinggi o 25% menjadi kasus kronis yang tetap menular

3. 1. PATOGENESIS TUBERCULOSIS Paru merupakan port dentre lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer GOHN. Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi focus primer. Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika focus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan gabungan antara focus primer, kelenjar limfe regional yang membesar (limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis). Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu antara 2-12 minggu. Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 10-10, yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler. Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberculin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi. Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya

hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberculin. Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh terhadap TB telah terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan system imun yang berfungsi baik, begitu system imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan. Setelah imunitas seluler terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi. Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk

penyebaran hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan membatasi pertumbuhannya. Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant. Fokus ini umumnya tidak langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi focus reaktivasi. Fokus potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya tahan tubuh pejamu menurun, focus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain. Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya system imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita. Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang menyerupai butur padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan granuloma. Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread. Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu focus perkijuan menyebar ke saluran vascular di dekatnya, sehingga sejumlah

kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang. Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya sering terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0.53% penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini biasanya terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9 bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada remaja dan dewasa muda. Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. TB tulang dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi primer.

3.2. GEJALA PENYAKIT TBC Gejala penyakit TBC dapat dibagi menjadi gejala umum dan gejala khusus yang timbul sesuai dengan organ yang terlibat. Gambaran secara klinis tidak terlalu khas terutama pada kasus baru, sehingga cukup sulit untuk menegakkan diagnosa secara klinik. Gejala sistemik/umum: Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan darah) Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam hari disertai keringat malam. Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul

Penurunan nafsu makan dan berat badan Perasaan tidak enak (malaise), lemah

Gejala khusus: Tergantung dari organ tubuh mana yang terkena, bila terjadi sumbatan sebagian bronkus (saluran yang menuju ke paru-paru) akibat penekanan kelenjar getah bening yang membesar, akan menimbulkan suara mengi, suara nafas melemah yang disertai sesak. Kalau ada cairan dirongga pleura (pembungkus paru-paru), dapat disertai dengan keluhan sakit dada. Bila mengenai tulang, maka akan terjadi gejala seperti infeksi tulang yang pada suatu saat dapat membentuk saluran dan bermuara pada kulit di atasnya, pada muara ini akan keluar cairan nanah. Pada anak-anak dapat mengenai otak (lapisan pembungkus otak) dan disebut sebagai meningitis (radang selaput otak), gejalanya adalah demam tinggi, adanya penurunan kesadaran dan kejang-kejang. Pada pasien anak yang tidak menimbulkan gejala, TBC dapat terdeteksi kalau diketahui adanya kontak dengan pasien TBC dewasa. Kira-kira 30-50% anak yang kontak dengan penderita TBC paru dewasa memberikan hasil uji tuberkulin positif. Pada anak usia 3 bulan 5 tahun yang tinggal serumah dengan penderita TBC paru dewasa dengan BTA positif, dilaporkan 30% terinfeksi berdasarkan pemeriksaan serologi/darah.

3.3. DIAGNOSIS TUBERKULOSIS Apabila dicurigai seseorang tertular penyakit TBC, maka beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menegakkan diagnosis adalah: * Anamnesa baik terhadap pasien maupun keluarganya. * Pemeriksaan fisik. * Pemeriksaan laboratorium (darah, dahak, cairan otak). * Pemeriksaan patologi anatomi (PA). * Rontgen dada (thorax photo). * Uji tuberkulin.

Gambar 3. Alur diagnose suspek TB paru

Dugaan diagnosis TB ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, radiologis dan penunjang yang lain.4 Gejala gejalanya termasuk gejala respiratorik (batuk 3 minggu, batuk berdahak, batuk darah, nyeri dada, sesak nafas) dan gejala sistemik (demam, keringat malam, penurunan berat badan, malaise, nafsu makan menurun). Pada pemeriksaan fisik TB tidak khas, sehingga tidak dapat membantu membedakan dengan penyakit lainnya, temuan fisik tergantung lokasi kelainan, serta luasnya kelainan struktur paru. 4 Pemeriksaan bakteriologis sangat berperan untuk menegakkan diagnosis. Pemeriksaan dahak untuk menentukan bakteri tahan asam (BTA) merupakan pemeriksaan yanng harus dilakukan pada seseorang yang dicurigai menderita TB atau suspek, pemeriksaan dilakukan 3 kali (sewaktu/pagi/sewaktu). Diagnosis TB paru ditegakkan dengan ditemukannya BTA pada pemeriksaan mikroskopis. Hasil pemeriksaan dinyatakan positif jika sedikitnya 2 dari 3 spesimen dahak ditemukan BTA (+). Bila hanya satu spesimen positif maka perlu dilakukan pemeriksaan foto thorax atau sputum ulangan. Bila foto thorax mendukung TB maka didiagnosis TB paru BTA (+). Bila foto thorax tidak mendukung maka perlu dilakukan pemeriksaan sputum ulang. Bila hasil sputum ulangan negatif berarti bukan penderita TB. Bila foto roentgen mendukung TB namun sputum negatif maka diagnosis adalah TB paru BTA (-) roentgen positif. 4

gambar 3: TB paru dengan komplokasi Pneumotorax dan efusi Pleura

Pada kasus dimana sputum positif maka pemeriksaan roentgen tidak diperlukan lagi. Namun beberapa kasus perlu dilakukan foto thorax bila: 4,9 1. Sputum BTA negatif 2. Sputum BTA positif a. curiga adanya komplikasi (contoh efusi pleura, pneumothorax). b. hemoptisis berulang atau berat. c. didapatkan hanya 1 spesimen BTA (+).

3.4. UJI TUBERKULIN Pada anak, uji tuberkulin merupakan pemeriksaan yang paling bermanfaat untuk menunjukkan sedang/pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis dan sering digunakan dalam Screening TBC. Efektifitas dalam menemukan infeksi TBC dengan uji tuberkulin adalah lebih dari 90%. Penderita anak umur kurang dari 1 tahun yang menderita TBC aktif uji tuberkulin positif 100%, umur 12 tahun 92%, 24 tahun 78%, 46 tahun 75%, dan umur 612 tahun 51%. Dari persentase tersebut dapat dilihat bahwa semakin besar usia anak maka hasil uji tuberkulin semakin kurang spesifik. Ada beberapa cara melakukan uji tuberkulin, namun sampai sekarang cara mantoux lebih sering digunakan. Lokasi penyuntikan uji mantoux umumnya pada bagian atas lengan bawah kiri bagian depan, disuntikkan intrakutan (ke dalam kulit). Penilaian uji tuberkulin dilakukan 4872 jam setelah penyuntikan dan diukur diameter dari pembengkakan (indurasi) yang terjadi: 1. Pembengkakan (Indurasi) : 04mm, uji mantoux negatif. Arti klinis : tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosis. 2. Pembengkakan (Indurasi) : 59mm, uji mantoux meragukan.

Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi silang dengan Mycobacterium atypikal atau pasca vaksinasi BCG. 3. Pembengkakan (Indurasi) : >= 10mm, uji mantoux positif. Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.

3.5. KLASIFIKASI TUBERKULOSIS Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberculosis memerlukan suatu definisi kasus yang meliputi empat hal , yaitu: 1. Lokasi atau organ tubuh yang sakit: paru atau ekstra paru; 2. Bakteriologi (hasil pemeriksaan dahak secara mikroskopis): BTA positif atau BTA negatif; 3. Tingkat keparahan penyakit: ringan atau berat. 4. Riwayat pengobatan TB sebelumnya: baru atau sudah pernah diobati

Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah: 1. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai 2. Registrasi kasus secara benar 3. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif 4. Analisis kohort hasil pengobatan

A. Klasifikasi berdasarkan ORGAN tubuh yang terkena: 1) Tuberkulosis paru Adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. 2) Tuberkulosis ekstra paru Adalah tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar limfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

B. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan DAHAK mikroskopis, yaitu pada TB Paru: 1) Tuberkulosis paru BTA positif a) Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. b) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto toraks dada menunjukkan gambaran tuberkulosis. c) 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan biakan kuman TB positif. d) 1 atau lebih spesimen dahak hasilnya positif setelah 3 spesimen dahak SPS pada pemeriksaan sebelumnya hasilnya BTA negatif dan tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. 2) Tuberkulosis paru BTA negatif Kasus yang tidak memenuhi definisi pada TB paru BTA positif. Kriteria diagnostik TB paru BTA negatif harus meliputi: a) Minimal 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif b) Foto toraks abnormal menunjukkan gambaran tuberkulosis

c) Tidak ada perbaikan setelah pemberian antibiotika non OAT. d) Ditentukan (dipertimbangkan) oleh dokter untuk diberi pengobatan

C. Klasifikasi berdasarkan tingkat keparahan penyakit. 1) TB paru BTA negatif foto toraks positif dibagi berdasarkan tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila gambaran foto toraks memperlihatkan gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses far advanced), dan atau keadaan umum pasien buruk. 2) TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya, yaitu: a) TB ekstra paru ringan, misalnya: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral, tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal. b) TB ekstra-paru berat, misalnya: meningitis, milier, perikarditis peritonitis, pleuritis eksudativa bilateral, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran kemih dan alat kelamin.

D. Klasifikasi berdasarkan RIWAYAT pengobatan sebelumnya Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu: 1) Kasus Baru Adalah pasien yang BELUM PERNAH diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). 2) Kasus Kambuh (Relaps)

Adalah pasien TB yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur). 3) Kasus Putus Berobat (Default/Drop Out/DO) Adalah pasien TB yang telah berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif. 4) Kasus Gagal (Failure) Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan. 5) Kasus Pindahan (Transfer In) Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya. 6) Kasus lain Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan.

BAB IV DIABETES MELLITUS Secara definisi menurut American Diabetes Association (ADA) 2005, diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin ataupun keduanya. Patogenesis DM tipe 2 sampai saat ini belum diketahui dengan pasti, namun peranan faktor genetik dan faktor lingkungan dalam proses terjadinya DM tipe 2 sudah diketahui dengan pasti. Disamping itu defisiensi sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan resistensi insulin diperifer merupakan 2 keadaan yang ditemukan secara bersamaan pada DM tipe2. Yang menjadi masalah adalah proses mana yang lebih dahulu terjadi belum diketahui dengan pasti.1

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes, kecurigaan akan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM, seperti poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, atau keluhan lain berupa lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita. Pasien didiagnosis DM jika:5 1. 2. 3. gejala klasik DM dan GDS 200 mg/dl gejala klasik DM dan GDP 126 mg/dl G2PP 200 mg/dl Meningkatnya kepekaan pasien DM terhadap infeksi disebabkan oleh berbagai faktor. Pada umumnya efek hiperglikemia memudahkan pasien DM terkena infeksi. Hal ini disebabkan karena hiperglikemia mengganggu fungsi neutrofil dan monosit (makrofag) termasuk kemotaksis, perlengketan, fagositosis dan mikroorganisme yang terbunuh dalam intraselular. 11 Diabetes melitus dianggap oleh WHO sebagai suatu penyakit imunodefisiensi sekunder yang karakteristik oleh adanya resolusi bila kausa yang mendasarinya dieliminasi, perlangsungan lebih lama dan lebih berat serta infeksi sering rekuren, gangguan salah satu respon imun biasanya granulosit PMN dan atau aktifitas subset

limfosit. Bila mengenai PMN maka manifestasi kemotaksis dan fagositosis terganggu. Leukosit PMN ditarik ketempat infeksi oleh substansi kemotaksis yang disekresikan oleh mikroorganisme dan oleh aktifasi komplemen dan faktor faktor yang diindus secara lokal oleh PMN. Pada penelitian in vitro sel sel pasien DM mempunyai kemotaksis yang menurun, terutama pada keadaan DM yang tidak terkontrol. Fagositosis pada DM juga terganggu dikaitkan dengan defek intrinsik dari PMN. Hiperglikemia juga berkaitan dengan killing activity dari enzim lisosom yang menurun. Normalisasi kadar glukosa darah akan segera meningkatkan aktifitas membunuh dalam 48 jam. 11 Infeksi adalah penyebab utama krisis hiperglikemia pada DM. Tercatat 30% episode KAD dipresipitasi oleh infeksi dan pada umumnya DM tipe II. Infeksi ringan pada DM biasanya menaikkan toleransi glukosa dengan meningkatkan kadar glukosa darah dan menaikkan kebutuhan insulin pada pasien DM tipe I. Efek metabolik infeksi pada DM diawali oleh kenaikan kadar glukosa darah karena glukoneogenesis yang distimulasi oleh meningkatnya sekresi counter regulatory hormones (glukagon, kortisol, growth hormon dan katekolamin) maupun penekanan sekresi insulin oleh sel sel beta pankreas. Katekolamin diproduksi oleh simpatis dan adrenalin dihasilkan oleh medula adrenal, keduanya menyebabkan meningkatnya glukoneogenesis dan penekanan sekresi insulin. Vasopresin bekerjasama dengan hormon antagonis dan ini juga berperan pada stadium awal. Tahap selanjutnya walaupun sekresi meningkat pada non diabetik maupun pada DM tipe II akan tetapi akibat adanya resistensi insulin, hiperglikemia menetap dan malahan cenderung meningkat. Resistensi insulin terutama pada otot skelet dimana insulin tidak mampu meningkatkan asupan glukosa demikian pula dihati. Mekanisme yang mendasarinya belum diketahui dengan pasti. Namun kadar kortisol yang meningkat dalam sirkulasi dan sitokin yang disekresi oleh sel imun akibat infeksi ikut berperan. Selanjutnya interleukin dan TNF alfa yang mengganggu kerja insulin diperifer dengan menekan tirosin kinase activity pada reseptor insulin. Kenaikan kadar glukagon terutama pada defisiensi insulin akan merangsang ketogenesis yang terkait erat dengan terjadinya ketoasidosis pada infeksi DM. 11

BAB V TUBERCULOSIS DENGAN DIABETES MELITUS TB sering ditemukan menyertai DM dan menyebabkan resistensi insulin dan brittle diabetes. Di Negara-negara Barat insiden TB sudah menurun walaupun insidensinya masih tinggi pada populasi imigran dan terutama pada pasien AIDS. Didaerah dimana TB masih endemik maka insiden TB pada DM masih tinggi. Perjalanan TB dengan DM lebih berat dan kronis dibanding DM saja. Hal ini disebabkan meningkat kepekaan terhadap kuman TB pada pasien DM, reaktifasi fokus infeksi lama, cenderung lebih banyak cavitas dan pada hapusan serta kultur sputum lebih banyak positif, keluhan dan tanda tanda klinis TB paru toksik tersamar sehingga tidak pernah didiagnosis atau dianggap TB paru ringan dan akhirnya pada keadaan hiperglikemia pemberian obat kemoterapi tidak efektif. 11 5.1. EPIDEMIOLOGI Prevalensi TB paru pada DM meningkat 20 kali dibanding non DM, aktifitas TB meningkat 3 kali pada DM berat dibanding DM ringan. Penelitian TB paru pada DM di indonesia masih cukup tinggi yaitu 12,8-42% dan bila dibanding dengan luar negeri maka prevalensi indonesia masih tinggi. Telah diketahui sejak dahulu terdapat hubungan bermakna antara DM dengan TB paru khususnya pada pasien DM yang tidak terkontrol dengan baik. Hasil penelitian menunjukkan tidak ada korelasi antara lamanya DM dengan prevalensi TB paru. Demikian pula tidak ditemukan adanya korelasi riwayat kontak pada pasien tuberkulosis. Penelitian menunjukkan bahwa TB paru pada DM berkorelasi dengan meningkatnya umur. Sejumlah penelitian menunjukkan prevalensi TB pada DM rata-rata diatas 40 tahun (mean 55,4 tahun). Faktor umur berperan dalam meningkatkan prevalensi TB paru pada DM karena umur lebih tua meningkatkan kepekaan terhadap TB. Disamping itu disfungsi sel beta terganggu berat, biasanya usia lanjut sudah lama menderita DM serta kontrol DM yang tidak baik. Pasien DM laki-laki mempunyai kemungkinan 2 kali mendapat TB dibanding wanita. Dan 71% adalah pasien DM non obes, 15% obes dan hanya 14% kurus. Sedang peneliti lainnya menemukan sebagian besar DM dengan TB mempunyai berat badan normal. 11

5.2. PENATALAKSANAAN

Tujuan pengobatan adalah untuk menyembuhkan penderita, mencegah kematian, mencegah relaps, menurunkan penularan ke orang lain dan mencegah terjadinya resistensi terhadap OAT. 4 Saat menegakkan diagnosa TB, dan sebelum memulai pengobatan, harus ditentukan definisi kasus TB yang ditentukan oleh 4 determinan: 4

1. lokasi penyakit 2. hasil hapusan dahak 3. riwayat pengobatan sebelumnya 4. beratnya penyakit Tabel 1. Kategori pengobatan TB Fase kategori Pasien TB intensif Lanjutan

TB paru BTA (+) kasus baru I TB paru BTA (-) kasus baru dengan kerusakan parenkim yang luas TB ekstra pulmoner kasus baru dengan kerusakan paru berat TB paru BTA (+) kasus baru dengan riwayat pengobatan sebelumnya: II o kambuh o gagal pengobatan o pengobatan tidak selesai TB paru BTA (-) kasus baru diluar kategori I kasus baru yang berat dengan TB 2HRZE

4H3R3 4HR 6HE

2HRZES 5H3R3E3 + 5HRE 1HRZE

III

2HRZ

4H3R3

ekstrapulmoner

4HR 6HE

IV

kasus kronis (BTA tetap positif, setelah pengobatan ulang)

Rujuk ke dokter spesialis paru

Pengobatan DM pada TB paru meliputi pengobatan terhadap DM-nya dan pengobatan terhadap TB parunya. Pengobatan DM adalah sama saja pengobatan DM pada umumnya yang meliputi perencanaan makan/diet, anti diabetes oral maupun insulin. Perencanaan makan selain untuk menormalkan kadar glukosa darah, juga untuk mengembalikan berat badan ke BB ideal. 11 Sebagai petunjuk atau guidellines untuk pengelolaan DM selama infeksi adalah sebagai berikut: pada pasien yang berobat jalan tindakan adalah monitor kadar glukosa plasma sekurang-kurangnya 4 jam terakhir, pada pasien yang sudah mendapat insulin, dosis insulin ditingkatkan untuk mengantisipasi hiperglikemia persisten, pertahankan asupan cairan, kendalikan DM seoptimal mungkin kadar GDP 80-109 mg/dl, GD2PP 0144 mg/dl, HbA1c <6,5, kolesterol total <200 mg/dl, LDL <100 mg/dl, HDL > 45 mg/dl, Tg < 150 mg/dl, IMT 18,5-23 dan Td <130/80 mmHg. Awasi bila timbul muntah-muntah atau terjadi hiperglikemia berat atau hipoglikemia dan tindaki segera. Pada pasien rawat inap tindakan adalah monitor kadar glukosa plasma 4 jam terakhir, tingkatkan dosis insulin untuk mengatasi hiperglikemia bila perlu berikan insulin IV atau tetes. Pada pasien yang memakai obat hiperglikemia oral pertimbangkan untuk mengganti atau menambah dosis insulin, pertahankan hidrasi dengan pemberian cairan intravena bila diperlukan. 11 Pengobatan pada umumnya dengan menggunakan insulin karena; pertama, efek rifampisin terhadap obat hipoglikemik oral dimana rifampisin dapat mempercepat metabolisme obat-obat anti diabetik oral, menginaktifasi sulfonilurea dan meningkatkan kebutuhan insulin. Sebaliknya INH dapat mengganggu absorpsi karbohidrat di usus dan bekerja antagonis dengan sulfonilurea. Walaupun jarang INH menyebabkan pankreatitis, menghambat efek metformin pada absorbsi glukosa diusus, mengganggu absorpsi

karbohidrat di usus dan bekerja antagonis dengan sulfonilurea. Kedua; Pemberian sulfonilurea pada DM dengan TB paru adalah kontraindikasi karena TB dianggap penyakit dengan infeksi serius yang intercurrent. Sedang biguanid tidak diberikan karena pada umumnya TB paru mempunyai keluhan nafsu makan menurun, BB menurun dan adanya malabsorbsi glukosa11, dan ketiga; terdapatnya indikasi penggunaan insulin. 5 Rifampisin merupakan obat anti tuberkulosis lini pertama, yang juga mempunyai spektrum luas terhadap organisme lain, termasuk beberapa bakteri gram positif dan gram negatif Legionella spp, M. kansasii, dan M. marinum. Aktifitas bakterisidal dari rifampisin pada intraselular dan ekstraselular dengan memblok sintesis, dengan mengikat dan menginhibisi secara spesifik sintesis RNA pada DNA dependent RNA polimerase. Rifampisin merupkan antibiotik yang bersifat larut lemak dan terdistribusi dengan baik pada seluruh jaringan tubuh, termasuk meninges yang terinflamasi. Rifampisin diekskresi terutama melalui saluran empedu dan sirkulasi enterohepatik, sedangkan 30-40% diekskresikan melalui ginjal. Meskipun secara umum rifampisin ditoleransi dengan baik, namun efek samping yang paling sering adalah masalah gastrointestinal. Pasien dengan penyakit hepar, terutama dengan alkoholisme dan usia lanjut terlihat beresiko tinggi untuk memiliki efek samping serius yaitu hepatitis. Rifampisin merupakan inducer enzim mikrosomal hepar yang poten sehingga dapat menurunkan waktu paruh dari beberapa obat, dimana salah satunya adalah obat hipoglikemik oral.6 Indikasi mutlak penggunaan insulin adalah DM type I, tetapi seringkali diberikan pada bukan DM type I dengan tujuan agar tubuh memiliki jumlah insulin efektif pada saat yang tepat. Beberapa indikasi penggunaan insulin adalah pada DM type I, DM type II yang pada saat tertentu tidak dapat dirawat dengan obat hipoglikemik oral, DM dan keadaan khusus (kehamilan, nefropati diabetik tipe B3 dan Be, gangguan faal hati berat, infeksi akut, TB paru berat, ketoasidosis diabetik, operasi, patah tulang, underweight, dan penyakit graves).7 Telah dikenal berbagai macam insulin kerja cepat, sedang sampai lama yang disuntikkan sendiri atau mixed dalam satu semprit. Saat ini tersedia insulin kerja cepat yaitu insulin lispro dan insulin aspart, kerja sedang tersedia actrapid, humulin NPH, kerja lama adalah ultra lente dan insulin gargline. Insulin yang dikombinasi antara kerja

pendek dan sedang adalah insulin mixtard, yang terdiri monotard 70% dan actrapid 30%. Insulin yang beredar sekarang adalah insulin murni atau human insulin yang dibuat dengan tehnologi rekombinan DNA dan mempunyai kerja lebih cepat dan masa kerja lebih pendek dibandingkan insulin babi. Di indonesia hanya beredar insulin dengan dosis 40 IU/ml dan 100 IU/ml. Di luar negeri tersedia pula insulin dengan dosis 500 IU/ml yang ditujukan pada kasus-kasus resistensi insulin dimana memerlukan insulin dosis besar. 11 Pemberian insulin sebaiknya dimulai dengan insulin kerja cepat seperti actrapid atau monotard R dengan dosis kecil 5 unit diberikan tiap jam sebelum makan dan dosis ditingkatkan 2-4 unit dalam waktu 2-4 hari. Macam dan jadwal pemberian insulin dapat diubah sesuai respon pasien. 11 Bila pengendalian DM berlangsung baik dan keadaan TB paru sudah membaik maka insulin kerja pendek dapat dilanjutkan dengan insulin kerja menengah seperti monotard atau humulin N dengan dosis 2/3 dari dosis total insulin kerja pendek. Bila dosis total perhari diperlukan kurang 30 unit perhari maka cukup pemberian insulin kerja menengah cukup diberikan sekali perhari dan apabila dosis lebih 30 unit maka pemberian insulin diberikan 2 kali perhari yaitu 2/3 dosis sebelum makan pagi dan 1/3 dosis sebelum makan malam. 11 Pemberian insulin mixed lebih baik dalam menormalkan kadar glukosa darah dibanding insulin tunggal. Namun demikian insulin campuran sebaiknya mengikuti petunjuk dan prosedur standar pemberian seperti penyuntikan dilakukan 15 menit sebelum makan, dianjurkan hanya pada pasien yang sudah terkontrol baik. Tidak dianjurkan menggabungkan antara lente insulin dengan NPH karena zink pospat dapat mempresipitasi sehingga insulin kerja lambat akan menjadi kerja pendek. Demikian pula insulin gargline tidak dapat dicampur dengan insulin lainnya karena pH rendah akan saling mengencerkan. 11 Dosis insulin pada pasien DM tergantung respons glikemik setiap individu dan asupan makanan serta latihan jasmani. Pada umumnya pada pemberian awal diberikan 3 kali pemberian atau lebih suntikan perhari dengan insulin kerja pendek untuk memperoleh derajat euglikemik. Jadwal penyuntikan tergantung dari kadar glukosa darah, jumlah asupan makanan, aktifitas fisik dan tipe insulin yang dipakai. Pada

umumnya penyuntikan dilakukan 30 menit sebelum makan khusus untuk insulin kerja pendek karena penyuntikan setelah makan atau segera sebelum makan akan menyebabkan hipoglikemia atau insulin tidak efektif menekan kenaikan glukosa darah postprandial. 11 Pada saat ini pemberian insulin khususnya dalam periode lama seperti DM dengan TB paru maka perlu monitor kadar glukosa darah sendiri. Untuk memantau kadar glukosa dapat dipakai darah kapiler dengan memakai glukosa meter. Hasil pemeriksaan kadar glukosa darah dengan glukosa meter dapat dipercaya sejauh kalibrasi dilakukan dengan baik dan cara pemeriksaan dilakukan sesuai dengan standar yang diperlukan. Secara berkala hasil pemantauan dengan meter atau reagen perlu dibandingkan dengan cara konvensional. Waktu pemeriksaan untuk pemantauan adalah pada saat sebelum makan dan waktu tidur untuk menilai resiko hipoglikemia dan pemeriksaan glukosa darah 2 jam setelah makan untuk menilai ekskursi maksimal glukosa selama sehari.11 Pengobatan antituberkulosis untuk pasien dengan DM adalah terapi quadripel yang meliputi rifampicin, isoniazid, pirazinamid dan etambutol. Selama 2 bulan pertama, dan diikuti 4 bulan berikutnya dengan pengobatan rifampicin dan isonoazid. Pemberian rifampicin pada DM dengan TB paru dapat mempercepat metabolisme obat-obat anti diabetik oral dan meningkatkan kebutuhan insulin. Sebaliknya isoniazid dapat mengganggu absorpsi karbohidrat di usus dan bekerja antagonis dengan sulfonilurea.3 Sebagai petunjuk atau guidelines untuk pengelolalaan DM selama infeksi adalah sebagai berikut : Pada pasien yang berobat jalan tindakan adalah : Monitor kadar glukosa plasma sekurang-kurangnya 4 jam terakhir. - Pada pasien yang sudah mendapat pengobatan dengan insulin, dosis insulin ditingkatkan untuk mengantisipasi hiperglikemia persisten. - Kebutuhan kalori disesuaikan dengan berat badan. Bagi pasien yang kurus kebutuhan kalori lebih besar dari yang semestinya, demikian pula pada pasien gemuk, kalori yang diberikan lebih rendah dari kalori standard. Indeks massat tubuh dipertahankan antara 18,5-23. - Kendalikan DM seoptimal mungkin yaitu mempertahankan kadar glukosa darah

puasa antara 80-109 mg/dl, 2 jam setelah makan antara 80-144 mg/dl, A 1c <6,5, - Kendalikan kadar dari fraksi lipid antara lain kadar kolesterol total dipertahankan < 200 mg/dl, kolesterol LDL < 100mg/dl, kolesterol HDL>45, trigliserid <150 mg/dl. - Tekanan darah dipertahankan < 130/80 mgHg . - Awasi bila timbul muntah-muntah atau terjadi hiperglikemia berat atau hipoglikemia dan tindaki segera. Pada pasien rawat nginap tindakan adalah sebagai berikut: - Monitor kadar glukosa plasma 4 jam terakhir; tingkatkan dosis insulin untuk mengatasi hiperglikemia bila perlu berikan insulin intravena atau tetes. - Pada pasien yang memakai obat hipoglikemia oral pertimbangkan untuk mengganti atau menambah dengan insulin. - Atasi dan awasi kemungkinan adanya dehidrasi. 5.3. EFEK SAMPING OBAT

Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping, namun sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efek samping yang terjadi dapat berat atau ringan, jika efek samping yang terjadi ringan, dapat diatasi dengan obat simptomatis dan pemberian OAT dapat dilanjutkan, namun jika efek samping berat yang terjadi maka OAT dihentikan. Pemantauan efek samping selama pengobatan secara klinis dilakukan dengan menjelaskan kepada penderita mengenai tanda-tanda efek samping, menanyakan kepada penderita adanya gejala efek samping pada saat penderita mengambil OAT, melakukan pemeriksaan fungsi hati (SGOT, SGPT, bilirubin), fungsi ginjal (ureum, kreatinin), gula darah, asam urat (bila menggunakan pirazinamid) untuk data dasar penyakit penyerta dan efek samping pengobatan, pemeriksaan visus dan uji buta warna jika ada keluhan / setiap bulan (bila menggunakan ethambutol).8,9

Tabel 2. Efek samping OAT dan tatalaksana Efek samping OAT Mayor* Minor evaluasi Tatalaksana

- kesemutan H Hepatitis - kaki rasa terbakar - anorexia - nyeri perut - urin warna merah AST/ALT

Vitamin B6 (piridoksin) 100 mg/hari (profilaksis 10mg/hari) - AST/ALT - Alkali phospatase - bilirubin - AST/ALT Beri aspirin / allopurinol / probenescid - Dimakan sebelum tidur

- Hepatitis R - Syok, purpura, gagal ginjal, anemia hemolitik (jarang)

- Hepatitis

- nyeri sendi - Asam urat

Neuritis optika E (buta warna merah-hijau dan tajam penglihatan menurun)

- uji visus setiap bulan/jika ada keluhan

Ket: * efek samping mayor hentikan OAT

(dari pustaka 8, 9, 10)

Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak perlu dilakukan pemeriksaan awal tersebut. Yang penting adalah evaluasi klinis adanya efek samping, dan bila dicurigai adanya efek samping maka dilakukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping sesuai pedoman.8,9

BAB VI RINGKASAN

Diabetes melitus adalah suatu penyakit metabolik yang ditandai dengan meningkatnya kadar glukosa darah (hiperglikemia) akibat defek sekresi insulin , kerja insulin atau keduanya. Hiperglikemia kronik berhubungan dengan kerusakan, disfungsi dan gangguan berbagai-bagai organ khususnya mata, ginjal, syaraf, jantung dan pembuluh darah. Hiperglikemia dapat menyebabkan menurunnya aktifitas sel fagosit khususnya terganggunya respiratory burstae untuk membunuh mikroorganisme dalam lekosit. Infeksi menyebabkan hiperglikemia dan dapat mempresipitasi ketoasidosis diabetika dan dapat meningkatkan sekresi hormon counter regulatory, merangsang glukoneogenesis dan menekan sekresi insulin. Pasien DM rentan mendapat TB paru dan gejala TB paru perlangsungannya lebih berat, mengenai lobus bawah, non segmental dan menyebabkan reaktivasi penyakit sebelumnya. Pada umumnya pengobatan meliputi pengobatan terhadap DM nya dengan pemberian diet diabetes dan insulin. Obat anti diabetes oral sebaiknya tidak diberikan pada DM dengan TB paru karena adanya efek rifampicin dan isoniazid yang mengurangi efek obat tersebut. Penting sekali monitor glukosa darah sendiri dengan memakai meter untuk memantau kadar glukosa secara teratur.

DAFTAR PUSTAKA

1. Palomino JC, Leo SC, Ritacco V. 2007. Tuberculosis 2007: From basic science to patient care First Edition. TuberculosisTextbook.com 2. Jabbar A, Hussain SF, Khan AA. 2006. Clinical characteristics of pulmonary tuberculosis in adult Pakistani patients with co-existing diabetes mellitus. Eastern Mediterranean Health Journal, Vol. 12, No. 5, 3. Misnadiarly. 2001. Penelitian Survey Penyakit Penyerta pada Penderita TB Paru/Mycobacteriosis Paru secara Restrospektif. Research Report from JKPKBPPK Center for Research and Development of Disease Control, NIHRD. Badan Litbang Kesehatan. 4. Alsagaff H, Wibisono MJ, Winariani. 2004. buku ajar Ilmu Penyakit Paru. Bagian Ilmu Penyakit Paru. FK Unair-RSU dr. Soetomo. Surabaya. 5. PERKENI. 2006. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta. 6. Kasper DL et al. 2005. Harrisons Principles of Internal Medicine 16th Edition. The McGraw-Hill Companies, Inc. United States of America. 7. Tjokroprawiro A. 1999. Diabetes Melitus, Klasifikasi, Diagnosis, dan Terapi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 8. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis, pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta. 9. DEPKES. 2001. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis 6th Ed. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta. 10. Price SA, Wilson LM. 1995. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-proses penyakit. EGC: Jakarta. 11. Sanusi H. Diabetes melitus tipe II pada TB paru. Naskah lengkap Pertemuan Ilimiah Khusus (PIK) ke X perhimpunan dokter paru indonesia 2-5 juli 2003, sahid makassar.

Anda mungkin juga menyukai