Anda di halaman 1dari 17

Journal

Reading

Delayed Anticoagulation is Associated


With Poor Outcomes in High-risk
Acute Pulmonary Embolism
Sarah Soha, Jeong Min Kima, Jin Ha Park a, Shin Ok Koh c, Sungwon Na
a ,b*

a Department of Anesthesiology and Pain Medicine, Yonsei University College of Medicine, 50


Yonsei-ro, Seodaemun-gu, Seoul 120-752, Republic of Korea
b Department of Anesthesia and Pain Research Institute, Yonsei University College of Medicine,
50 Yonsei-ro, Seodaemun-gu, Seoul 120-752, Republic of Korea
c Departments of Anesthesiology and Pain Medicine, Chung-Ang University Hospital, 120
Heukseok-ro, Dongjak-gu, Seoul 156-860, Republic of Korea

Oleh :
I Gusti Agung Indra Adi Kusuma

Pendahul
uan
Emboli paru akut terus berlanjut menjadi suatu penyebab

penting dari penyebab mortalitas di rumah sakit, seiring


bertambah majunya alat diagnostik (seperti CT angiografi
paru) dan berbagai modalitas terapi.
Menurut Guidelines European Society of Cardiology tahun
2014, emboli paru dapat dikategorikan ke dalam resiko
tinggi, resiko sedang, dan resiko rendah.
Pasien dengan resiko tinggi yang telah mengalami shock
atau hipotensi, memiliki angka mortalitas >15% dalam 30
hari pertama setelah mengalami emboli paru
Pasien dengan resiko sedang yang memiliki disfungsi
ventrikel jantung kanan atau kerusakan miokardium memilik
3%-5% angka mortalitas
Sementara pasien dengan resiko rendah memiliki angka
mortalitas <1%

Guideline European Society of Cardiology (2014)


dan Guideline American College of Chest Physician
(2012) merekomendasikan pemberian
antikoagulan dengan unfractionated heparin
sebagai pengobatan pasien dengan emboli paru
resiko tinggi.
Beberapa penelitian menyebutkan terdapat
golden hour untuk manajemen dari emboli paru
resiko tinggi yang dapat mempengaruhi hasil
terapi
Beberapa laporan kasus juga menyebutkan bahwa
waktu pemberian antikoagulan berpengaruh
terhadap hasil terapi
Tetapi belum ada penelitian yang meneliti
tentang hubungan antara waktu pemberian
antikoagulan dan hasil terapi pada pasien
dengan emboli paru resiko tinggi

Penelitian Smith et al mengatakan bahwa terdapat


hubungan antara pemberian antikoagulan yang segera
dan menurunnya angka mortalitas pada pasien dengan
emboli paru akut , tetapi dalam penelitian tersebut tidak
semua pasien memiliki emboli paru resiko tinggi dan 23%
dari pasien tidak memerlukan perawatan ICU

Penelitian Al Otaire et al menyebutkan tentang


karakteristik klinis dan demografis pasien dengan emboli
paru akut yang dirawat di ICU tetapi dalam penelitian
tersebut waktu pemberian antikoagulan tidak
diperhatikan.

Sehingga penelitian ini untuk mengetahui waktu


pemberian antikoagulan dan hubungannya dengan angka
mortalitas pada pasien dengan emboli paru akut yang
dirawat di ICU, khususnya waktu dari masuk rumah sakit
dan waktu mulai diberikan antikoagulan. Selain itu juga
pada penelitian ini mengidentifikasi faktor resiko dari
karakteristik klinis dan demografi pasien dalam kaitan
mengetahui prognosis yang lebih buruk

Metode Penelitian
Metode penelitian menggunakan cohort retrosfektif pasien
dengan diagnosis emboli paru yang ada di rumah sakit selama 4
tahun.
Pasien emboli paru akut yang dimaksud adalah pasien yang
memiliki filling defect yang terlihat pada CT angiografi pada pasien
yang datang ke UGD ataupun pasien poliklinik yang memiliki gejala
hipoperfusi/infark arteri pulmonaris (seperti dyspnea, nyeri dada,
atau sinkop)
Pasien dieksklusi jika diagnosis dan prosedur pengobatan telah
dilakukan sebelum datang ke rumah sakit, atau kontraindikasi
terhadap antikoagulan.
Pasien yang menolak perawatan, telah diberikan low-molecularweight heparin, atau yang telah didiagnosis sepsis saat pertama
kali MRS juga dieksklusi.

Formulir data pasien dibuat untuk mengetahui data


demografis dan klinis.
Termasuk diantaranya umur, jenis kelamin, keluhan, faktor
resiko (obesitas bmi > 25, imobilisasi, adanya operasi dalam
8 minggu terakhir, riwayat trauma, dan merokok), penyakit
komorbid seperti chf, ppok, kanker, sindrom nefritik, dll
Rekam medis dilihat untuk mengetahui waktu pemberian
terapi antikoagulan (heparin IV) dan aPTT

Outcome dilihat dari angka mortalitas dan waktu dirawat di


ICU

Data kemudian dianalisis dengan menggunakan SPSS

Hasil

Rumah Sakit Severance 73 pasien memenuhi kriteria


sampel selama 4 tahun dari tahun 2008-2012.
Sebanyak 6 orang meninggal (non-survivor)
Median kelompok umur adalah pasien usia 69 tahun,
dimana 49,3% nya adalah laki-laki.
Angka mortalitas di rumah sakit adalah sebesar 8,2 %
Pasien EP dengan gejala dyspnea 64 (87,7%), nyeri
dada 25 (34,2%), dan batuk sebesar 9 (12,3%).
Median lamanya dirawat di rumah sakit adalah selama
9 hari, dan median dari lamanya perawatan ICU adalah
selama 2 hari

Hasil

Pada kelompok faktor resiko, obesitas


(53,4%) merupakan faktor resiko terbanyak
dari kelompok penelitian (Tabel1), diikuti
oleh keganasan / malignansi (16,4%).

Hasil

Nilai median dari waktu tiba di rumah sakit dengan


pemberian antikoagulan lebih rendah secara signifikan
pada kelompok survivor yakni 3,6 jam (2,6 5 jam) dari
non survivor 5,7 jam (4,5 14,9 jam)
Sementara median dari waktu tiba di rumah sakit dengan
nilai aPTT yang ingin dicapai hampir sama antara
kelompok survivor dengan non survivor (12.0 [9.5 19.5]
dan 16,4 [10.7 27.4]
Sebanyak 12 orang pasien tidak mendapatkan heparin IV
dalam waktu 6 jam dari masuk rumah sakit, hal ini
dikarenakan keterlambatan diagnosis karena memiliki
gejala yang tidak biasanya, karena penyakit lain yang
mendasari, dan menolak untuk dilakukan prosedur
diagnostik.

Hasil

Terlambatnya pemberian antikoagulan dan


rendahnya tekanan darah sistolik merupakan
prediktor univariat dari angka mortalitas
pasien (Tabel 2)

Hasil

Pasien yang mendapatkan


heparin dalam waktu 5,2 jam
(kelompok yang diberikan
heparin cepat) memerlukan
waktu yang lebih cepat untuk
dilakukan tes aPTT dan waktu
yang lebih cepat untuk
dilakukan diagnosis CT dari
kelompok yang tidak
(kelompok yang diberikan
heparin lambat)
Selain Troponin T awal yang
tinggi, kedua kelompok (yang
mendapat heparin cepat dan
lambat) memiliki
karakteristik yang hampir
sama

Pembahasan
Hasil dari penelitian
menunjukkan terdapat
sebuah hubungan antara
pemberian awal dari
antikoagulan dan angka
mortalitas di rumah sakit
pada pasien dengan
emboli paru resiko tinggi
yang memerlukan
perawatan ICU.

Hasil analisis penelitian ini


menunjukkan bahwa 5,2
jam merupakan cut-off
point pemberian
antikoagulan pada
kelompok survivor.

Pada analisis univariat,


terlihat bahwa
keterlambatan pemberian
antikoagulan merupakan
faktor resiko mortalitas
pasien

Pada kelompok yang


mendapat antikoagulan
cepat dan mendapat
antikoagulan lambat
(dengan cut off point 5,2
jam) memiliki gejala klinis,
faktor resiko, dan komorbid
yang hampir sama.

Pembahasan

Beberapa penelitian
mengatakan umur
sebagai salah satu
faktor prediktor kuat
dari emboli paru, tetapi
pada penelitian ini
umur antara survivor
dan non survivor
hampir juga
sama.
Berbeda
dari
penelitian sebelumnya
yang ada, pada
penelitian ini tidak
menemukan hubungan
yang signifikan antara
adanya kanker dan
mortalitas pada pasien

Penelitian ini memiliki beberapa kekurangan, diantaranya :

1. Menggunakan metode retrosfektif data


hanya merepresentasikan hubungan antara
pemberian awal antikoagulan dan angka
mortalitas, dan tidak dapat membuktikan
penyebab langsung antara pemberian awal
antikoagulan tersebut dengan menurunnya angka
mortalitas pada pasien emboli paru dengan resiko
tinggi.
(Hal ini dikarenakan apabila menggunakan metode prospektif
dan intervensi, hal tersebut tidak etis) ethical issue

2. Jumlah sampel yang dipergunakan pada


penelitian ini sangat kecil dan tidak bisa
sebagai faktor prediksi untuk keseluruhan kasus
emboli paru

TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai