METODOLOGI PENETAPAN FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA MENGGUNAKAN PRINSIP KETERBUKAAN FATWA (FATH AZ-ZARIAH) DAN KRITIK TERHADAP FATWA MUI YANG MENGGUNAKAN PRINSIP PENCEGAHAN DALAM FATWA (SADD AZ-ZARIAH ) M. khoirul Hadi al-Asy Ari dan Muhimmah Ulvia Dosen Tetap Non PNS fakultas Syariah IAIN Jember dan Peneliti Senior dalam komunitas IMC (intelectual Movment Community) atau Kader Intelektual Di IAIN Jember dan mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Jember Pendahuluan Fatwa MUI menjadi rujukan bagi kalangan besar Umat Islam di Indonesia Berdasarkan penelitian beberapa Terungkap bahwa 3.294 Responden menyatakan yang dijadikan sample kajian dengan model survey, tercatat sebanyak 1.798 (54,58 %) orang yang merasa mantap dengan menggunakan fatwa MUI tersebut sebgai pegangan. Mereka langsung pasang strategi untuk mempercepat memindahkan rekeningnya dari bank konvensional ke bank syariah yang bebas riba. Sedangkan sisanya yaitu sekitar 1.496 (45,42%) mengaku nyaman dan tidak terpengaruh dengan adanya fatwa haram atas bunga bank tersebut. (asrorun Niam Sholeh) Lanjutan Bahwa berdasarkan riset Disertasi Asrorun Niam bahwa pendekatan yang dilakukan oleh MUI salah satunya adalah dengan Konsep Sadd Az- zariah (dalam bahasa lain menurut saya adalah pencegahan dalam fatwa) Sedangkan Fiqh di Indonesia itu berkembang, bukan lagi masalah personal tetapi juga Publik Maka dengan berkembangkany cakupan fiqh perlunya fatwa yang berdimensi pada pendekatan yang lebih Advokatif dari pada pendekatan Preventif. Dasar filosofis Fiqh yang berbasis teosentris Fatwa yang berbasis teosentris menuju Fiqh yang berbasis antroposentris Fatwa yang berbasis advokatif Misalnya fatwa tentang aksesibilitas penyandang disabilitas atau kaum difabel di dalam menjalankan norma keagamaan dan fasilitas keagamaan Fatwa Pendidikan Karakter Fatwa tentang Kota Ramah Anak Fatwa tentang Fiqh lingkungan Hidup dll Landasan Ushul Fiqh Dari Sadd az-Zariah Fathu Az-zariah sadd adz-dzariah dan fath adz-dzariah masuk dalam bab penerapan kaidah:
Jika suatu kewajiban tidak sempurna dilaksanakan tanpa suatu hal tertentu, maka hal tertentu itu pun wajib pula untuk dilaksanakan . Kaidah tersebut berkaitan pula dengan masalah muqaddimah (pendahuluan) dari suatu pekerjaan yang telah dibahas sebelumnya. Hal ini pula yang menjadi salah satu faktor yang membuat perbedaan pendapat ulama terhadap kedudukan sadd adz-dzariah dan fath adz-dzariah. Secara etimolohis kata fathu al-dzariah merupakan gabungan dari dua kata, yaitu fathu dan al-dzariah. Kata fathu merupakan bentuk dari kata - yang berarti membuka, sedangkan kata keduanya adalah al-dzariah yang merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana (wasilah) dan sebab terjadinya sesuatu. Bentuk jamak dari adz- dzariah ( ) adalah adz-dzarai () . Karena itulah, dalam beberapa kitab usul fikih istilah yang digunakan adalah sadd adz-dzara Sedangkan secara terminologi, kata fath al-dzariah adalah ( , ) dan pendekatan ini yang menarik, kajian fiqh yang mengandung empowering terhadap kemanusian. Satu dari sekian tujuan Islam adalah menghindari kerusakan (mafsadah) dan mewujudkan kemaslahatan, maka jika suatu perbuatan diduga kuat akan menjadi sarana terjadinya perbuatan lain yang baik, maka diperintahkanlah suatu perbuatan yang menjadi sarana tersebut (fath al-dzariah) Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, 1999, hal.132 , , , Juhaya S. Praja, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, 1999, hal.132. Rasionalisasi Membuka fiqh atau kajian fatwa lebih luas Memperkuat ahli-ahli dalam bidang kajian sosial di dalam sidang-sidang komisi fatwa Kajian lebil pada pendekatan multidisipliner Fatwa Sistemik ( Maqasid Jasse Auda ) Dimensi kognisi dari pemikiran keagamaan (cognition), kemenyeluruhan (wholeness), keterbukaan (oppenes), hirraki berfikir yang saling mempengaruhi (interrelated hierarchy), berpikir keagamaan yang melibatkan berbagai dimensi (multidimensionality) dan kebermaksudan (Purposefulness). Ke enam fitur tersebut sangat saling erat berkaitannya, saling menembus (semipermeable) dan berhubungan satu dan lainnya, sehingga membentuk keutuhan sistem berpikir. Namun, satu dimensi (fitur) yang menjangkau semua fitur yang lain dan merepresentasikan inti metodelogi analisis sistem adalah fitur kebermaksudan (maqashid).