Anda di halaman 1dari 28

METODE ILMIAH

RUHANA AFIFI, S.Pd., M.Pd


HOMO SAPIENS

MANUSIA
HOMO FABER

HOMO
LANGUENS

HOMO SOCIUS

HOMO
ECCONOMICUS

HOMO RELIGIUS
Manusia sebagai HOMO SAPIENS
Homo SAPIENS adalah mahluk yang berpikir
sehingga merupakan mahluk yang cerdas dan
bijaksana.
Dengan daya pikirnya manusia dapat berpikir
apakah yang sebaiknya dilakukan pada masa
sekarang atau masa yang akan datang berdasar
kan pertimbangan masa lalu yang merupakan
pengalaman.
Pemikiran yang sifatnya abstrak merupakan
salah satu wujud budaya manusia yang
kemudian diikuti wujud budaya lain, berupa
tindakan atau perilaku, ataupun kemampuan
mengerjakan suatu tindakan.
Manusia sebagai HOMO FABER
Artinya manusia dapat membuat alat-alat dan
mempergunakannya atau disebut sebagai manusia
kerja dengan salah satu tindakan atau wujud
budayanya berupa barang buatan manusia (artifact).
Manusia menciptakan alat-alat karena menyadari
kemampuan inderanya terbatas, sehingga diupayakan
membuat peralatan sebagai sarana pembantu untuk
mencapai tujuan.
Misalnya, karena indera matanya tidak mampu
melihat angkasa luar atau mahluk kecil-kecil maka
diciptakan teropong bintang dan mikroskop, karena
terbatasnya kekuatan fisik maka diciptakannya roda
sebagai sarana utama kereta untuk mengangkut
barang-barang berat
Manusia sebagai HOMO LANGUENS:
Homo Languens: adalah manusia dapat
berbicara sehingga apa yang menjadi pemikiran
dalam otaknya dapat disampaikan melalui
bahasa kepada manusia lain.
Bahasa sebagai ekspresi dalam tingkat biasa
adalah bahasa lisan. Antara suku bangsa dengan
suku bangsa lain terdapat perbedaan bahasa.
Di tingkat bangsa, perbedaan bahasa tersebut
akan semakin jauh. Perbedaan lebih tinggi
diwujudkan dalam tulisan sehingga sebuah
pemikiran dapat diterima oleh bangsa atau
generasi bangsa lain (bila tahu mengartikannya).
Manusia sebagai HOMO SOCIUS:
Artinya manusia dapat hidup bermasyarakat,
bukan bergerombol seperti binatang yang hanya
mengenal hukum rimba, yaitu yang kuat yang
berkuasa.
Manusia bermasyarakat diatur dengan tata
tertib demi kepentingan bersama. Dalam
masyarakat manusia terjadi tindakan tolong-
menolong.
Dengan tindakan itu, walaupun fisiknya relatif
lemah, tetapi dengan kemampuan nalar yang
panjang tujuan-tujuan bermasyarakat dapat
dicapai.
Manusia SBG HOMO ECCONOMICUS
Artinya manusia dapat mangadakan usaha atas dasar
perhitungan ekonomi (homo economicus).
Salah satu prinsip dalam hukum ekonomi adalah,
bahwa semua kegiatan harus atas dasar untung-rugi,
untung apabila input lebih besar daripada output, rugi
sebaliknya.
Dalam tingkat sederhana manusia mencukupi
kebutuhannya sendiri, kemudian atas dasar jasa maka
dikembangkan sistem pasar sehingga hasil produksinya
dijual di pasaran.
Makin luas pemasaran barang makin banyak diperoleh
keuntungan. Salah satu usaha meningkatkan
produktivitas kerja dapat dijalankan dengan
mempergunakan teknologi modern sehingga dapat
ditingkatkan produktivitas kerja manusia
Manusia sebagai HOMO RELIGIUS
Artinya manusia menyadari adanya kekuatan
ghaib yang memiliki kemampuan lebih hebat
daripada kemampuan manusia, sehingga
menjadikan manusia berkepercayaan atau
beragama.
Dalam tahap awal lahir animisme, dinamisme, dan
totenisme yang sekarang dikategorikan sebagai
kepercayaan, kadang-kadang dikatakan sebagai
agama alami.
Kemanusian lahirlah kepercayaan yang disebut
sebagai agama samawi yang percaya kepada
Tuhan Yang Maha Esa, percaya kepada nabiNya,
dan kitab suciNya yang dipergunakan sebagai
pedoman.
Manusia sebagai HOMO HUMANUS
dan HOMO AESTETICUS:
Artinya manusia berbudaya, sedangkan homo
aesteticus artinya manusia yang tahu akan
keindahan.
Dari perbedaan-perbedaan yang sedemikian
banyak makin nyata bahwa manusia memang
memilki sifat-sifat yang unik yang jauh
berbeda dari pada hewan apalagi tumbuhan.
Sehingga manusia tidak dapat disamakan
dengan binatang atau tumbuhan
Sejarah perkembangan manusia, menurut
A. Comte ada 3 tahap yaitu:
1. Tahap teologi atau tahap metafisika,
dengan menyusun mitos.
2. Tahap filsafat
Terdapat dua aliran pemikiran/filsafat
dalam perolehan pengetahuan, ialah
rasionalisme dan empirisme.
3. Tahap positif atau tahap ilmu
Mitos, menurut C.A. Peursen, adalah suatu
cerita yang memberikan pedoman atau arah
tertentu pada sekelompok orang.
Cerita itu dapat ditularkan, dapat pula
diungkapkan lewat tari-tarian, pementasan
wayang dll. Inti cerita adalah lambang-
lambang yang mencetuskan pengalaman
manusia juga lambang kejahatan& kebaikan,
hidup & kematian, dosa & penyucian,
perkawinan & kesuburan, Firdaus & akhirat.
Manusia belum mampu memandang obyek
atau realita dengan inderanya, sehingga
manusia dan alam lebur menjadi satu.
Tujuan manusia menciptakan MITOS,
karena pada saat itu penduduk masih dalam
tingkat mistis peradabannya. Mereka percaya
akan adanya kekuatan-kekuatan gaib yang
melebihi kekuatan manusia biasa.
Dalam zaman demikianlah, mitos dipercayai
kebenarannya karena beberapa faktor.
PERTAMA, karena keterbatasan pengetahuan
manusia
KEDUA, krn keterbatasan penalaran manusia
KETIGA, karena keingintahuan manusia untuk
sementara telah terpenuhi.
Telah dikemukakan bahwa kebenaran
memang harus dapat diterima oleh akal,
tetapi sebagian lagi dapat diterima secara
intuisi, yaitu penerimaan atas dasar kata hati
tentang sesuatu itu benar.
Kata hati yang irasional dalam kehidupan
masyarakat awam sudah dapat diterima
sebagai suatu kebenaran (pseudo science),
kebenaran dan hasratnya ingin tahu sudah
terpenuhi, paling tidak untuk sementara
waktu.
2 aliran filsafat dalam memperoleh ilmu

RASIONALISME EMPIRISME

Mengembangkan Mengembangkan
pengetahuan pengetahuan
berdasarkan dengan
logika/ mengandalkan
berdasarkan hasil pengamatan
deduksi ( berpikir dan percobaan
abstrak) (berdasarkan
induksi)
Penalaran Deduktif (Rasionalisme) adalah
cara berfikir yang bertolak dari pernyataan
yang bersifat umum untuk menarik
kesimpulan yang bersifat khusus.
Penarikan kesimpulan secara deduktif ini
menggunakan pola berfikir yg dsb silogisme.
Silogisme itu terdiri atas 2 buah pernyataan
dan sebuah kesimpulan.
Kedua pernyataan itu disebut premis mayor
dan premis minor. Kesimpulan atau konklusi
diperoleh dengan penalaran deduktif dari
kedua premis tersebut.
Contoh:
Semua makhluk bernafas (premis mayor)
Si Ali adalah seorang makhluk (premis minor)
Jadi, si Ali juga bernafas (kesimpulan)
Kesimpulan yang diambil ini hanya
benar, bila kedua premis yang digunakan
benar dan cara menarik kesimpulannya
juga benar.
Jika salah satu dari ketiga salah, maka
kesimpulan yg diambil juga tidak benar.
Penalaran Induktif (Empirisme) adalah cara
berfikir dengan menarik kesimpulan umum
dari pengamatan atas gejala-gejala yang
bersifat khusus
Contoh:
Logam besi jika dipanaskan bertambah
panjang
Alumunium jika dipanaskan bertambah
panjang
Tembaga jika dipanaskan bertambah panjang
Kesimpulannya semua logam jika dipanaskan
akan bertambah panjang.
3. Tahap positif atau tahap ilmu
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
pengetahuan yang diperoleh hanya dengan
penalaran deduktif tidak dapat diandalkan
karena bersifat abstrak dan lepas dari
pengalaman.
Demikian juga pengetahuan yang diperoleh
hanya dari penalaran induktif juga tidak dapat
diandalkan karena kelemahan panca indera.
Karena itu himpunan pengetahuan yang
diperoleh belum dapat disebut ilmu
pengetahuan.
Agar supaya himpunan pengetahuan itu dapat
disebut ilmu pengetahuan, harus digunakan
perpaduan antara rasionalisme dan empirisme,
yang dikenal sebagai metode keilmuan atau
pendekatan ilmiah.
Secara lengkap dapat dikatakan bahwa suatu
himpunan pengetahuan dapat disebut IPA
bilamana memenuhi persyaratan berikut:
1. Obyeknya pengalaman manusia yang berupa
gejala-gejala alam,
2. Dikumpulkan melalui metode keilmuan
3. Mempunyai manfaat untuk kesejahteraan
manusia.
PERKEMBANGAN IPA DALAM PERIODE

LAMBAT Pseudo science, mitos,logika


Abad ke 5

SEDANG Awal ipa , penemuan alat


Abad ke 10 bantu, heliocentris, liberalisme

CEPAT Revolusi industri, alat bantu


Abad ke 19 lebih baik, penemuan mesin modern

SANGAT CEPAT IPA modern, riset telaah


Abad ke 20 mikroskopik, analisis
tinggi abstraksi dalam
METODE ILMIAH
Metode ilmiah atau proses ilmiah (bahasa
Inggris: scientific method) merupakan proses
keilmuan untuk memperoleh pengetahuan secara
sistematis berdasarkan bukti fisis. Ilmuwan
melakukan pengamatan serta membentuk
hipotesis dalam usahanya untuk menjelaskan
fenomena alam. Prediksi yang dibuat berdasarkan
hipotesis tersebut diuji dengan melakukan
eksperimen. Jika suatu hipotesis lolos uji berkali-
kali, hipotesis tersebut dapat menjadi suatu teori
ilmiah.
Langkah-Langkah Metode Ilmiah
Langkah-Langkah Metode Ilmiah
Karena metode ilmiah dilakukan secara sistematis
dan berencana, maka terdapat langkah-langkah yang
harus dilakukan secara urut dalam pelaksanaannya.
Adapun langkah-langkah metode ilmiah adalah
sebagai berikut:
1. Merumuskan masalah.
2. Merumuskan hipotesis.
3. Mengumpulkan data.
4. Menguji hipotesis.
5. Merumuskan kesimpulan.
1. Merumuskan Masalah

Berpikir ilmiah melalui metode ilmiah didahului dengan


kesadaran akan adanya masalah. Permasalahan ini
kemudian harus dirumuskan dalam bentuk kalimat tanya.
Dengan penggunaan kalimat tanya diharapkan akan
memudahkan orang yang melakukan metode ilmiah
untuk mengumpulkan data yang dibutuhkannya,
menganalisis data tersebut, kemudian
menyimpulkannya.Permusan masalah adalah sebuah
keharusan.
Bagaimana mungkin memecahkan sebuah permasalahan
dengan mencari jawabannya bila masalahnya sendiri
belum dirumuskan?
2. Merumuskan Hipotesis

Hipotesis adalah jawaban sementara dari rumusan


masalah yang masih memerlukan pembuktian
berdasarkan data yang telah dianalisis.
Rumusan hipotesis yang jelas dapat membantu
mengarahkan pada proses selanjutnya dalam metode
ilmiah. Seringkali pada saat melakukan penelitian,
seorang peneliti merasa semua data sangat penting.
Oleh karena itu melalui rumusan hipotesis yang baik akan
memudahkan peneliti untuk mengumpulkan data yang
benar-benar dibutuhkannya. Hal ini dikarenakan berpikir
ilmiah dilakukan hanya untuk menguji hipotesis yang
telah dirumuskan.
3. Mengumpulkan Data

Pengumpulan data merupakan tahapan yang agak


berbeda dari tahapan-tahapan sebelumnya dalam
metode ilmiah. Pengumpulan data dilakukan di
lapangan. Seorang peneliti yang sedang
menerapkan metode ilmiah perlu mengumpulkan
data berdasarkan hipotesis yang telah
dirumuskannya. Pengumpulan data memiliki peran
penting dalam metode ilmiah, sebab berkaitan
dengan pengujian hipotesis. Diterima atau
ditolaknya sebuah hipotesis akan bergantung pada
data yang dikumpulkan.
4. Menguji Hipotesis
Berpikir ilmiah pada hakekatnya merupakan sebuah
proses pengujian hipotesis. Dalam kegiatan atau
langkah menguji hipotesis, peneliti tidak membenarkan
atau menyalahkan hipotesis, namun menerima atau
menolak hipotesis tersebut.
Karena itu, sebelum pengujian hipotesis dilakukan,
peneliti harus terlebih dahulu menetapkan taraf
signifikansinya. Semakin tinggi taraf signifikansi yang
tetapkan maka akan semakin tinggi pula derajat
kepercayaan terhadap hasil suatu penelitian.
Hal ini dimaklumi karena taraf signifikansi
berhubungan dengan ambang batas kesalahan suatu
pengujian hipotesis itu sendiri.
5. Merumuskan Kesimpulan

Langkah paling akhir dalam berpikir ilmiah pada sebuah


metode ilmiah adalah kegiatan perumusan kesimpulan.
Rumusan simpulan harus bersesuaian dengan masalah yang
telah diajukan sebelumnya.
Kesimpulan atau simpulan ditulis dalam bentuk kalimat
deklaratif secara singkat tetapi jelas. Harus dihindarkan untuk
menulis data-data yang tidak relevan dengan masalah yang
diajukan, walaupun dianggap cukup penting.
Ini perlu ditekankan karena banyak peneliti terkecoh dengan
temuan yang dianggapnya penting, walaupun pada hakikatnya
tidak relevan dengan rumusan masalah yang diajukannya.

Anda mungkin juga menyukai