Anda di halaman 1dari 61

PENYAKIT YANG DISEBABKAN RESPON IMUN

By Himyatul Hidayah., M. Farm., Apt


Beberapa Kelainan Akibat Respon Imun

 Sistem imun adalah mempertahankan tubuh dari


serangan penyakit, namun demikian dalam
keadaan tertentu respon imun seringkali dapat
memberikan hasil yang tidak diinginkan.
 Beberapa respon imun dapat menyebabkan reaksi
hipersensitifitas dan berbahaya bagi tubuh sendiri
apabila sistem imun merusak sel-sel tubuh sendiri
sehingga dapat menyebabkan penyakit yang
disebut penyakit autoimun.
Hipersensitifitas
 Suatu respon antigenik yang berlebihan yang
terjadi pada individu yang sebelumnya telah
mengalami suatu sensitisasi dengan antigen,
kemudian terpapar kembali untuk kedua kalinya,
dapat menimbulkan respon imun sekunder yang
berlebihan atau tidak wajar sehingga menimbulkan
reaksi yang merugikan , menyebabkan kerusakan
pada jaringan tubuhnya
Berdasarkan mekanisme reaksi imunologik yang
terjadi, Gell & Coomb :
1. Tipe I (reaksi anafilaktik)
2. Tipe II (reaksi sitotoksik)
3. Tipe III (reaksi kompleks imun)
4. Tipe IV (reaksi lambat)
Reaksi Anafilaktik
 Terjadi dalam waktu cepat (2-30 menit) setelah
seseorang terpapar kembali dengan antigen yang
sama untuk kedua kali atau yang berikutnya.
 Bila jumlah antigen yang masih cukup banyak atau
bila status imunologik seseorang baik selular
maupun humoral meningkat.
 IgE merupakan antibodi homositotropik atau reagin
 Sistemik sehingga menyebabkan syok dan
kegagalan pernafasan → fatal
 Reaksi lokal termasuk reaksi alergi antara lain asma
dan kemerahan pada kulit.
 IgE melekat pada sel matosit atau basofil diproduksi
oleh tubuh akibat adanya rangsangan antigen.
 IgE terpapar dengan alergen yang spesifik, maka
alergen akan diikat oleh IgE → jembatan atau
crosslinking → merangsang terjadinya degranulasi
pada sel matosit atau basofil sehingga dapat
melepaskan mediator kimia yang merangsang
serangkaian biokima intrasel secara berurutan.
 Reaksi dimulai dari aktifasi enzim metiltransferase dan serin
esterase yang diikuti dengan reaksi fosfatidil inositol →
inositol trifosfat, pembentukan diasilgliserol dan
peningkatan ion Ca2+ intrasitoplasmik.
 Reaksi biokimia menyebabkan terbentuknya senyawa yang
memudahkan fusi membran granula → reaksi degranulasi,
→ mediator kimia histamin, heparin, eosinophil chemotactic
factor, neutrophil chemotactic factor, protein activating factor,
leukotrin dan PG → vasodilatasi, peningkatan permeabilitas
vaskuler, penyempitan saluran bronkus, edema pada
mukosa, dan hipersekresi lendir.
Reaksi sitotoksik
 Terjadi akibat adanya aktivasi dari sistem
komplemen setelah mendapat rangsangan dari
adanya kompleks antigen antibodi, juga adanya sel
efektor lain ( sel makrofag, sel limfosit T-sitoksik dan
sel NK)
Mekanisme Respon imun
 Sebagian besar mikroorganisme difagositosis dan
dibunuh intra lisosom, sulit untuk sel yang ukuran
besar.
 Sel fagosit dan sel efektor lainnya melepaskan
mediator-mediator kimia (protease dan
kolagenase) untuk merusak sel sasaran.
 ADCC (Antibody Dependent Cellular Cytotoxity)
 Sel-sel patologis (sel tumor)
Contoh
1. Transfusi darah, sel-sel darah merah dirusak oleh
adanya antibodi.
Tahun 1901 → Karl Landsteiner → Golongan
darah A, B, AB dan O
Tabel 1. Penggolongan darah menurut ABO

Golongan Antigen Antibodi Golongan Darah yang


Darah dapat diterima

AB A dan B Tidak ada Anti-A A, B, AB, O (penerima


atau Anti-B universal)

B B Anti-A B,O

A A Anti-B A,O

O Tidak ada Anti-A dan Anti-B O (donor universal)


Keterangan :
 Orang yang mempunyai golongan darah A, mempunyai
antibodi terhadap golongan darah B(Anti-B),
sedangkan orang yang mempunyai golongan darah AB
tidak mempunyai antibodi terhadap antigen A(Anti-A)
atau antigen B(Anti-B), sehingga dapat menerima
darah dari golongan darah A dan B tanpa
menimbulkan reaksi.
 Seorang yang mempunyai golongan darah B tidak
dapat menerima darah dari golongan darah A karena
di dalam plasmanya terdapat antibodi terhadap
golongan darah A (Anti-A)
 Golongan darah O mempunyai antibodi terhadap
A dan B. Tidak adanya antigen pada golongan
darah O, maka darahnya dapat ditransfusikan
kepada semua orang, akan tetapi ia sendiri hanya
dapat menerima darah dari golongan O saja,
karena dalam plasmanya terdapat anti-A dan Anti-
B. Anti-A dan Anti-B yang terdapat pada golongan
darah O ini akan segera didegrasikan oleh
penerima tanpa menyebabkan reaksi yang tidak
diinginkan,
 Apabila golongan darah tidak sesuai pada saat
transfusi, misalnya darah golongan B ditransfusikan
pada orang dengan golongan darah a, maka
antigen B yang terdapat dalam darah akan
bereaksi dengan Anti-B pada serum penerima.
Reaksi antigen-antibodi ini akan merangsang reaksi
aktifasi komplemen sehingga menyebabkan
hemolisis sel darah merah donor pada saat masuk
ke dalam tubuh penerima transfusi.
2. Reaksi hemolitik pada bayi baru lahir akibat faktor
rhesus → hemolytic disease of the newborn (HDNB)
Tahun 1930an → jenis antigen lain yang terdapat
pada permukaan sel darah merah.
Apabila sel darah merah dari kera rhesus disuntikkan
ke dalam tubuh kelinci, maka serum darah kelinci
terdapat antibodi terhadap darah kera rhesus yang
dapat menggumpalkan sel darah merah → faktor Rh
(Rh = Rhesus monkey). Rh + 85%, Rh- 15%
 Penyakit HDNB terjadi apabila wanita Rh- menikah
dengan pria Rh+, → 50% Rh+.
 Jika anak yang dilahirkan mempunyai Rh+ maka
ibu yang Rh- akan terpapar dengan antigen Rh
pada waktu melahirkan bayinya melalui darah
plasenta, sehingga sebagian sel darah merah bayi
akan masuk ke dalam sirkulasi darah ibunya dan
menyebabkan terbentuk antibodi terhadap Rh(IgG)
pada tubuh ibunya.
 Pada waktu kehamilan berikutnya, apabila janin yang
dikandungnya Rh+ maka antibodi terhadap Rh+ yang
terdapat di dalam darah ibunya akan masuk ke dalam
darah janin, sehingga dapat merusak dan melisiskan sel
darah merah janin.
 Respon imun → banyaknya sel darah merah yang belum
matang(erythroblast) → erythroblasosis fetalis atau HDNB.
 Ketika janin masih dalam kandungan, sirkulasi darah ibunya
dapat menetralkan racun dan produk distegrasi dari darah
janin. Akan tetapi setelah dilahirkan darah janin tidak
dapat dimurnikan sehingga mengakibatkan anemia berat
dan joundice.
 HDNB dapat dicegah dengan pemberian imunisasi
bagi ibu Rh- yang mengandung bayi Rh+pada saat
akan melahirkan dengan antibodi anti-Rh(Rhogam).
 Apabila HDNB tidak dapat dicegah , bayi yang
baru lahir dilakukan penggantian sel darah
merahnya melalui proses transfusi untuk
menyelamatkan bayinya.
3. Anemia hemolitik akibat Obat
Molekul obat dapat berfungsi sebagai hapten,
karena molekulnya terlalu kecil untuk bersifat
sebagai antigenik. Akan tetapi jika molekul obat
dapat menempel pada permukaan sel platelet
atau trombosit → kompleks ini bersifat antigenik →
antibodi → Merangsang reaksi hipersensifitas II.
Contoh :
Obat sedormid dapat mengikat sel trombosit dan
menyebabkan trombositopenia purpura.
 Kloramfenikol dapat mengikat sel darah putih →
agranulositosis
 Fenasetin, kina, sulfonamid dan kloropromazin
dapat mengikat sel darah merah → anemia
hemolitik
4. Reaksi penolakan jaringan transplantasi
Terjadi apabila penerima sebelumnya pernah
terpapar dengan antigen jaringan transplantasi tsb.
Reaksi ini hanya terjadi pada jaringan transplantasi
yang mengalami vaskularisasi segera setelah
transplantasi, misalnya transplantasi ginjal. Dalam
waktu satu jam setelah terjadi vaskularisasi tampak
infiltrasi neutrofil secara ekstensif dan disusul oleh
kerusakan pembuluh darah glomerulus dan
pendarahan.
Reaksi Kompleks Imun
 Reaksi hipersensifitas tipe III → reaksi yang melibatkan
antibodi terhadap antigen yang larut dan bersirkulasi
dalam serum → berbeda dengan tipe II di mana
antigen berada pada sel atau permukaan sel.
Pemaparan antigen dalam jangka panjang dapat
merangsang → antibodi terutama golongan IgG.
 Antibodi yang terbentuk bereaksi dengan antigen yang
dikenali → kompleks antigen antibodi yang dapat
mengendap pada salah satu jaringan tubuh → reaksi
inflamasi
 Reaksi kompleks imun tergantung pada perbandingan
relatif antara kadar antigen dan antibodi. Apabila
kadar antibodi berlebihan → merangsang aktifasi
komplemen sehingga antigen dapat dieliminasi,
sedangkan bila kadar antigen berlebih → tidak dapat
mengaktifasi komplemen dan tidak menimbulkan reaksi
inflamasi.
 Namun bila kadar antibodi dan antigen relatif sama
kompleks imun yang terbentuk akan cepat mengendap
→ kelainan setempat infiltrasi hebat dari sel-sel PMN,
agregasi trombosit dan vasodilatasi → eritema dan
edema (reaksi arthus), contohnya glomerulonefritis
(kerusakan glomerulus pada ginjal)
Reaksi hipersensitifitas tipe lambat

 Melibatkan respon imun selular (sel T)


 Lambat , baru timbul lebih 12 jam setelah terpapar
dengan antigen, karena migrasi sel T dan
makrofagke tempat adanya antigen.
 Terjadi akibat paparan antigen asing, khususnya
pada jaringan tubuh yang ditangkap oleh fagosit
(makrofag) yang disajikan oleh sel T →
berproliferasi dan berdiferensiasi membentuk sel T
matang dan sel T memori
 Apabila seseorang terpapar kembali dengan
antigen yang sama → reaksi tipe lambat .
 Sel memori akan mengaktifkan sel T untuk
melepaskan senyawa limfokin yang dapat merusak
antigen yang berinteraksi dengan sel T
 Juga merangsang reaksi inflamasi dan menarik
makrofag untuk bermigrasi dan menangkap serta
melisiskan sel yang terinfeksi,
 Efek fagositosis (makrofag) → merusak jaringan.
 Manifestasi tipe IV : tes kulit untuk tuberkulosis.
 Mycobacterium tuberculosis seringkali berada dalam
makrofag → respon imun selular .
 Untuk diagnosis, komponen protein Mycobacterium
tuberculosis disuntikkan pada kulit → reaksi
inflamasi 24-48 jam.
Tabel 2. Perbedaan reaksi hipersensifitas tipe I, tipe II, Tipe III dan tipe IV

Karakteristik Hipersensifitas Hipersensifitas Hipersensifitas Hipersensifitas


Tipe I Tipe II Tipe III Tipe IV
Jenis Antibodi IgE IgG, IgM IgG, IgM Tidak ada

Jenis Antigen Eksogen Permukaan sel Antigen larut Organ dan


jaringan
Waktu respon 15-30 menit Menit-jam 3-8 jam 48-72 jam

Keadaan fisik Kemerahan, Lisis dan nekrosis Eritema, nekrosis, Eritema dan
panas dan edema indurasi
bengkak
Diperantai oleh Antibodi Antibodi Antibodi Sel T

Histologi Sel basofil dan Antibodi dan Komplemen dan Monosit dan
eosinofil komplemen neutrofil limfosit
Contoh reaski Alergi, asma, Erythroblastosis Systemic Lupus Tes tuberkulin
demam fetalis, Erythematosus, poison ivy,
goodpasture’s farmer’s lung granuloma
nephritis disease
Penyakit Autoimun
 Kelainan tubuh yang disebabkan oleh reaksi respon
imun terhadap sel tubuh sendiri yang dianggap
sebagai antigen (self-antigen) → kerusakan organ
tubuh
 Jarang terjadi, prevalensi 5% dari penduduk dunia,
75% menyerang kaum wanita.
 Penyakit autoimun dapat terjadi apabila seseorang
kehilangan self-tolerance → sistem imunnya tidak
mampu membedakan antara sel atau jaringan tubuh
sendiri(self) dengan sel atau jaringan asing (non-self) →
jaringan tubuh sebagai antigen yang harus
dimusnahkan.
 Pada penyakit autoimun → baik respon selular
berupa reaksi perusakan jaringan oleh limfosit T
dan makrofag, maupun respon humoral dengan
pembentukan antibodi yang ditujukan terhadap
jaringan tubuhnya sendiri → autoantibodi.
 Respon terhadap sel antigen melibatkan komponen-
komponen yaitu antibodi, sistem komplemen, reaksi
kompleks imun dan cell-mediated immunity (CMI)
Mekanisme reaksi autoimunitas :

 1. Reaksi aotoimunitas tipe I


 2. Reaksi aotoimunitas tipe II (sitotoksik)

 3. Reaksi aotoimunitas tipe III (kompleks imun)

4. Reaksi aotoimunitas tipe IV (cell-mediated


autoimune)
Reaksi aotoimunitas tipe I

 Reaksi ini melibatkan antibodi menyerang jaringan


tubuh sendiri.
 Semula dibuat sebagai respon terhadap paparan
antigen antara lain virus, akan tetapi sekuen asam
amino dari protein virus mirip dengan sekuen
protein dari jaringan tubuh, sehingga antibodi yang
ada dapat merusak jaringan tubuh sendiri →
penyakit hepatitis C
Reaksi Autoimunitas tipe II (Sitotoksik)

 Grave’s disease dan myasthenia gravis


 Penyakit ini terjadi akibat produksi antibodi yang
merangsang tiroid.
 Penyakit gravis melibatkan reaksi antibodi → long
acting thyroid stimulator bereaksi dengan reseptor
thyroid stimulating hormone yang terdapat pada
permukaan kelenjar tiroid sehingga meningkatkan
produksi tiroid yang berlebihan (hyperthyroidism)
dan pembesaran kelenjar tiroid.
 Penyakit myasthenia gravis → melemahkan otot secara
progresif , hal ini disebabkan karena antibodi menutupi
reseptor asetilkolin pada hubungan neuromuskuler.
 Reaksi antara reseptor asetilkolin dengan Ig dapat
mencegah penerimaan impuls syaraf, yang dalam
keadaan normal disalurkan oleh molekul asetilkolin,
sehingga menimbulkan kelemahan otot.
 Apabila yang diserang otot diafragma, maka
diafragma tidak dapat berfungsi dengan baik →
kegagalan pernafasan dan kematian.
Reaksi autoimunitas tipe III (kompleks imun)

 SLE dan rheumatoid arthritis


 Manifestasi SLE terjadi pada berbagai organ dan
jaringan di seluruh tubuh, terutama menyerang
kaum wanita. Penyebabnya belum sepenuhnya
diketahui, akan tetapi beberapa penderita
ditemukan antibodi yang spesifik terhadap
beberapa komponen tubuhnya sendiri termasuk
terhadap DNA, dilepaskan pada saat
penghancuran sel atau jaringan secara normal
terutama sel-sel kulit.
 Secara genetik, dijumpai gangguan sistem regulasi
sel T dan fungsi sel B yang dapat diinduksi oleh
berbagai faktor.
 Gejala awal yang menetap adalah alergi
terhadap antigen, hal ini akibat adanya anti-
limfosit T yang dapat menyebabkan limfopenia dan
kerentanan terhadap infeksi oportunistik.
 Defisiensi sel T-penekan (Ts) → gangguan utama
sehingga sel B menjadi hiperaktif memproduksi Ig
berlebihan, terutama di daerah tepi.
 Aktivasi sel B dapat memacu pembentukan antibodi
anti-DNA secara tidak terkendali, kemudian
bereaksi dengan self antigen dalam tubuhnya.
 Kompleks self antigen dan autoantibodi yang
terbentuk dapat mengaktivasi sistem komplemen
dan respon imun sel-sel efektor lain yang berakibat
kerusakan jaringan, misalnya kerusakan jaringan
pembuluh darah (baskulitis), kerusakan glomerulus
(glomerulonefritis) dan kerusakan jaringan lainnya.
 Artritis reumatoid merupakan kelainan sendi yang
disebabkan reaksi kompleks imun antara IgM, IgG dan
komplemen pada persendian .
 Reaksi kompleks imun yang terjadi antara faktor
reumatoid dengan Fc-IgG yang ditimbun pada sinovia
sendi akan mengaktifkan sistem komplemen dan
melepas mediator kemotaksisterhadap granulosit.
 Respon inflamasi yang disertai peningkatan
permiabilitas vaskuler menimbulkan pembengkakan
sendi dan sakit bila eksudat berambah banyak.
 Senyawa enzimatik yang dilepaskan oleh neurofil
segera memecah kolagen dan tulang rawan sendi
yang menimbulkan dekstruksi permukaan sendi
sehingga mengganggu fungsi normal sendi.
 Akibat inflamasi yang berulang, dapat terjadi
penimbunan fibrin dan penggantian tulang rawan
oleh jaringan ikat, sehingga sendi sulit digerakkan
Reaksi Autoimunitas Tipe IV (Cell-mediated autoimmune)

 Penyakit multiple sclerosis


 Sel T dan makrofag merusak sel-sel saraf.
 Gejalanya beragam mulai dari kelelahan yang
kronis sampai kelumpuhan (paralysis)
 Perkembangannya sangat lambat dan dapat
berlangsung selama bertahun-tahun.
 Penyebabnya belum diketahui secara pasti, secara
epidemiologi diduga beberapa jenis
mikroorganisme patogen terlibat dalam proses
perjalanan penyakit.
 Infeksi virus Epstein-Barr → penyebab utamanya.
 Belum ditemukan obat untuk mengatasi kondisi
penderita, akan tetapi pemberian interferon dan
beberapa obat → memperlambat keparahan
penyakit
 Hashimoto’s thyroiditis dan DM yang tergantung insulin.
 Hashimoto’s thyroiditis terjadi akibat dekstruksi kelenjar
tiroid, melalui respon imun selular terutama sel T.
Ditemukan pada wanita dewasa berupa pembesaran
kelenjar tiroid (goiter) dan kelainan fungsi kelenjar.
 Terjadi peningkatan aktifitas sel T-sitotoksik dan
produksi limfokin oleh limfosit T
 Diduga autoantibodi dibentuk karena adanya
kerusakan sel akibat respon imun selular.
 Efek sitotoksisitas juga terjadi dengan bantuan
ADCC.
 Kompleks autoantigen-autoantibodi melekat pada
sel folikular, selanjutnya merangsang sel-sel efektor
yaitu sel K untuk merusak kelenjar tiroid.
 DM yang tergantung insulin (insulin dependent
diabetes mellitus)., melalui mekanisme yang sama,
respon imun selular dapat merusak sel-sel
pangkreas yang mensekresi insulin.
Tabel 3. Spektrum Penyakit Autoimun dan Organ Sasaran
Jenis Penyakit Organ Antibodi terhadap
Tiroiditis Hashimoto’s Tiroid Tiroglobulin, tiroid peroksidase
Miksedema primer Tiroid Reseptor TSH sitoplasmik (Thyroid
stimulating hormone, TSH)

Anemia pemisiosa Sel darah merah Faktor intrinsik, sel parietal lambung

Penyakit Addison Adrenal Sel-sel adrenal


Menopouse dini Rahim Sel yang memproduksi tiroid
Infertilitas pria Sperma Spermatozoa
Diabetes tergantung insulin Pankreas Sel beta pankreas
Diabetes resisten insulin Sistemik Reseptor insulin
Alergi atopik Sistemik Reseptor beta-adrenergik
Miatenia gravis Otot Otor, reseptor asetilkolin
Sindrom goodpasture Ginjal, paru Membran dasar ginjal dan paru
Pemfigus Kulit Desmosone
Pemfigoid Kulit Membran dasar kulit
Uveitis fakogenik Lensa mata Protein lensa mata
Anemia hemolitik Platelet, sel darah merah Sel darah merah
Sirosis bilier primer Liver Mitokondria
Neutopenia idiopatik Neutrofil Neutrofil
Kolitis ulseratif Kolon Lipopolisakarida kolon
Sindrom Sjogren Kelenjar sekretorik Mitokondria
Vitiligo Kulit Melanosit
Reumatoid artritis Kulit, ginjal, sendi IgG
SLE Sendi DNA, RNA, nukleoprotein
Imunodefisiensi
 Imunodefisiensi atau imunokompromais : fungsi sistem imun
yang menurun atau tidak berfungsi dengan baik.
 Fungsi masing-masing komponen sistem imun humoral maupun
selular atau keduanya dapat terganggu baik oleh sebab
kongenital maupun sebab yag didapat.
 Terjadi akibat infeksi (AIDS, virus mononukleosis, rubela dan
campak), penggunaan obat (steroid, penyinaran, kemoterapi,
imunosupresi, serum anti-limfosit), neoplasma dan penyakit
hematologik (limfoma/ hodgkin, leukemia, mieloma,
neutropenia, anemia aplastik, anemia sel sabit), penyakit
metabolik (enteropati dengan kehilangan protein, sindrom
nefrotik, DM, malnutrisi), trauma dan tindakan bedah (luka
bakar, splenektomi, anestesi), SLE dan hepatitis kronik.
 Berbagai mikroorganisme (kuman, virus, parasit, jamur)
yang ada di lingkungan maupun yang sudah ada
dalam tubuh penderita, yang dalam keadaan normal
tidak patogenik atau memiliki patogenitas rendah,
dalam keadaan imunodefisiensi dapat menjadi invasif
dan menimbulkan berbagai penyakit.
 Imunodefisiensi mempunyai risiko yang lebih tinggi
terhadap infeksi yang berasal dari tubuh sendiri
maupun secara nasokomial dibanding dengan yang
tidak imunodefisiensi.
Penggolongan imunodefisiensi
1. Imunodefisiensi kongenital
2. Imunodefisiensi yang didapat (acquired immune
deficiencies)
1. Imunodefisiensi kongenital
 Imunodefisiensi kongenital atau Imunodefisiensi primer pada
umumnya disebabkan oleh kelainan respon imun bawaan yang
dapat berupa kelainan dari sistem fagosit dan komplemen
atau kelainan dalam diferensiasi fungsi limfosit.
 Disfungsi fagosit : disebabkan oleh defisiensi enzim yang
diperlukan untuk membunuh mikroorganisme, misalnya
gangguan pada granula azurofil dalam sel polimorfonuklear
(PMN) , sehingga kekurangan sel PMN kekurangan enzim untuk
metabolisme oksidative misalnya defisinsi lisozom, defisiensi
mieloperoksidase dan defisiensi laktoferin.
 Penyakit lain : penyakit granulomatosa kronik yang
menyebabkan gangguan fungsi neutrofil
 Defisiensi komponen komplemen → penderita tidak
mampu mengeliminasi kompleks antigen antibodi
yang terdapat dalam tubuh secara efektif.
 Defisiensi protein komplemen C3 atau C5 dapat
menyebabkan gangguan opsonisasi
mikroorganisme, juga terjadi gangguan pelepasan
faktor kemotaksis sehingga proses fagositosis juga
terganggu,
 Kelainan intrinsik pada sel B, menyebabkan
produksi Ig terganggu, sehingga jumlah sel B dalam
sirkulasi berkurang atau tidak ada sama sekali.
 Pada congenital agammaglobulinemia yang
biasanya dijumpai pada kaum pria (X-linked
agammaglobulinemia ) produksi Ig umumnya
tertekan dan dalam kelenjar limfe hanya terdapat
sedikit folikel limfoid atau sel plasma.
 Pada defisiensi Ig selektif, limfosit B tidak mampu
memproduksi Ig kelas tertentu , yang sering
dijumpai defisiensi IgA sehingga mudah terinfeksi
saluran nafas atau saluran cerna.
 Penderita defisiensi limfosit T mudah terinfeksi
berulang oleh bakteri patogen yang berkapsul,
rentan terhadap infeksi virus, jamur dan mikroba
yang patogenitasnya rendah.
 DiGeorge syndrome, Wiskoott-aladrich syndrome dan
chronic mucocutaneus candidiasis
 DiGeorge syndrome ditandai dengan tidak
terbentuknya kelenjar timus sama sekali atau
pembentukan timus yang tidak lengkap pada saat
embriogenesis, sehingga tidak dapat terbentuk sel
limfosit T.
 Wiskoott-aladrich syndrome dijumpai adanya
kelainan pada proses ekspresi antigen oleh
makrofag → ditandai dengan trombositopenia dan
eksim serta kadar IgM yang sangat rendah
 Chronic mucocutaneus candidiasis → gangguan produksi
migration inhibitory factor dan gangguan produksi
limfokin lainnya.
 Imunodefisiensi kongenital dapat juga disebabkan oleh
defisiensi sel induk limfoid yang ditandai oleh kelainan
limfosit B dan limfosit T → severe combined
immunodeficiency yang umumnya disebabkan oleh
gangguan enzim recombinase untuk pembentukan
reseptor pada sel B dan sel T → sel B dan sel T tidak
berhasil menjadi sel yang imunokompeten sehingga
terjadi imunodefisiensi selular maupun humoral.
2. Imunodefisiensi dapatan (Acquired immune deficiency)

 Disebabkan oleh infeksi virus yang dapat merusak


sel limfosit, malnutrisi, penggunaan obat-obat
sitotoksik dan kortikosteroid, serta akibat penyakit
kanker seperti penyakit hodgkin, leukemia,
mieloma, limfositik kronik dll.
 Contoh :

Penyakit infeksi HIV → AIDS, ditandai dengan


penurunan jumlah dan fungsi sel limfosit T-penolong
(Th), peningkatan jumlah sel limfoid yang premateur
dan peningkatan aktifitas sel T-penekan (Ts).
 Juga dijumpai adanya gangguan fagosit, di mana
sel manosit dan makrofag tidak bisa berfungsi
dengan baik.
 Pada AIDS jumlah sel B yang mensekresi Ig
bertambah akan tetapi ternyata Ig poliklonal yang
diprosuksi tidak berfungsi → adanya gangguan
intrinsik sel B.
 AIDS → sindrome penyakit oleh infeksi oportunistik
→ Candida, Cytomegalovirus, Taxoplasma,
Pneumocytis carinii, dan mikroba patogen lainnya.
 Virus HIV → sistem kekebalan baik selular maupun
humoral → rentan terhadap berbagai penyakit
infeksi juga menderita penyakit kanker terutama
kanker kulit dan pembuluh darah yang jarang
dijumpai → Kaposi’s sarcoma → kematian yang
disebabkan oleh pneumonia berat dan gangguan
sistem saraf.
 Imunodefisiensi → berkembangnya sel-sel kanker ,
di mana kegagalan sistem imun untuk memusnahkan
senyawa asing.
 Sel-sel kanker terjadi akibat adanya mutasi pada
sel atau terinduksi oleh virus onkogenik, yang
keberadaannya selalu dipantau dan dieliminasi
oleh sistem imun sebelum berkembang menjadi sel
tumor atau kanker.
 Proses pemantauan yang tidak dikehendaki →
immunological surveillance.
 Hubungan antara penurunan sistem imun dengan
kejadian kanker → kanker sebagian besar diderita
oleh orang tua karena sistem imunnya mulai
menurun dan anak-anak yang sistem imunnya tidak
dapat berkembang dengan baik.
 Suatu sel akan menjadi sel kanker ketika terjadi
transformasi sel dan berproliferasi tanpa dapat
dikontrol oleh sistem imun, terutama sistem imun
selular.
 Pada proses transformasi sel menjadi sel tumor, maka
permukaan sel tumor terdapat tumor-associated antigen
yang dapat dikenali oleh sistem imun selular sebagai
sel asing sehingga akan mengaktifkan sel T-sitotoksis
untuk berinteraksi dengan sel tumor dan melisiskan sel
tumor tersebut.
 Aktifitas immunological surveillance menjadi kurang
berfungsi ketika sel tumor menempel pada jaringan
dan mendapatkan peredaran darah, maka sel akan
berkembang dengan lebih cepat dan tidak terkendali
sehingga resisten terhadap sel imun.
 Seringkali sel tumor tidak mempunyai penanda
tumor-associated antigen pada permukaan selnya
sehingga tidak dikenali oleh sel asing oleh sistem
kekebalan.
 Sel tumor juga dapat menekan sistem imun dengan
memproduksi senyawa yang dapat menurunkan
efektifitas sel T-sitotoksik dan beberapa jenis
kanker dapat mempercepat proses apoptosis sel-
sel kekebalan.
Tabel 4. Beberapa jenis penyakit yang dapat menyebabkan
imunodefisiensi

Jenis Penyakit Sel Target


Acquired immune deficiencies syndrome Sel T {Virus merusak sel Th(CD4)}
(AIDS)
Imunodefisiensi IgA Sel B dan T (rentan terhadap infeksi pada mukosa)

Retikular disgenesis Sel B, Sel T dan sel induk (defisiensi sel induk, sel
B dan sel T tidak berkembang)

Severe combined immunodeficiency Sel B, sel T dan sel induk (defisiensi pada sel B dan
sel T)
DiGeorge syndrome Sel T (kelainan pada timus menyebabkan
defisiensi sel T)
Wiskoott-aladrich syndrome Sel B dan sel T (sedikit platelet dalam darah dan
sel T abnormal)
X-linked agammaglobulinemia Sel B (penurunan produksi Ig)
Sekian

Anda mungkin juga menyukai