Anda di halaman 1dari 23

FAKTOR- FAKTOR LAHIRNYA KEBIJAKAN UNTUK MEREVI

SI UNDANG- UNDANG NO.22 TAHUN 1997 DENGAN UND


ANG- UNDANG NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG
Pada awalnya narkotikaNARKOTIKA
sangat diperlukan dan mempunyai
manfaat di bidang kesehatan dan ilmu pengetahuan, akan
tetapi penggunaan narkotika menjadi sesuatu yang
berbahaya jika terjadi penyalahgunaan. Oleh karena itu
untuk menjamin ketersediaan narkotika guna kepentingan
kesehatan dan ilmu pengetahuan di satu sisi, dan di sisi
lain perlu upaya untuk mencegah peredaran gelap
narkotika yang selalu menjurus pada terjadinya
penyalahgunaan, sehingga diperlukan regulator sebagai
alat pengaturan di bidang narkotika.

Tindak pidana narkotika merupakan salah satu bentuk


kejahatan inkonvensional yang dilakukan secara sistematis,
menggunakan modus operandi yang tinggi dan teknologi
canggih, serta dilakukan secara terorganisir (organized
crime) dan sudah bersifat transnasional (transnational
crime). Jadi tidak hanya di Indonesia saja, namun pelaku
merupakan sindikat internasional.
A.    SEJARAH PERKEMBANGAN PERATURAN NARKOTIKA DI
INDONESIA.

 Narkotika dalam pengertian opium telah dikenal dan dipergunakan


masyarakat Indonesia khususnya warga Tionghoa dan sejumlah besar
orang Jawa sejak tahun 1617. Selanjutnya diketahui bahwa mulai
tahun 1960-an terdapat sejumlah kecil kelompok penyalahguna
heroin dan kokain. Pada awal 1970-an mulai muncul penyalahgunaan
narkotika dengan cara menyuntik. Orang yang menyuntik disebut
morfinis. Sepanjang tahun 1970-an sampai tahun 1990-an sebagian
besar penyalahguna kemungkinan memakai kombinasi berbagai jenis
narkoba (polydrug user), dan pada tahun 1990-an heroin sangat
populer dikalangan penyalahguna narkotika. Sifat dari narkotika
sebagai kelompok derivate zat adiktif yang menyebabkan kecanduan,
sekali terkena maka mereka akan terus ketagihan.

 Peraturan perundang-undangan yang mengatur narkotika di


Indonesia sebenarnya telah ada sejak berlakunya Ordonansi Obat
Bius (Verdoovende Middelen Ordonnantie, Staatsblad Nomor 278 Jo.
536 Tahun 1927). Ordonansi ini kemudian diganti dengan Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika yang mulai berlaku
tanggal 26 Juli 1976. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1976 telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997
tentang Narkotika yang mulai berlaku tanggal 1 September 1997
1.  ORDONANSI OBAT BIUS (VERDOOVENDE MIDDELEN
ORDONNANTIE, STAATSBLAD NOMOR 278 JO. 536
TAHUN 1927).

 Sebelum Indonesia merdeka, pada masa pemerintahan kolonial


Belanda ditetapkan Ordonansi Obat Bius yang disebut Verdoovende
Middellen Ordonantie (Staatsblad 1927 No. 278 jo. No. 536). Selain
itu, juga diberlakukan ketentuan mengenai pembungkusan candu
yang disebut Opium verpakkings Bepalingen (Staatsblad) 1927 No.
514). Setelah Indonesia Merdeka, kedua intrumen hukum kolonial
Belanda tersebut tetap diberlakukan berdasarkan Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945.

 Perkembangan kejahatan di bidang narkotika pasca masa


kemerdekaan cenderung semaking meningkat dari tahun ke tahun,
sehingga intrumen hukum yang mengatur tindak pidana narkotika
warisan Belanda tersebut dirasakan sudah ketinggalan jaman. Karena
itu, pada tahun 1976 pemerintah menetapkan UU No. 8 Tahun 1976
tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta
Protokal Perubahannya. Kemudian, menyusul diberlakukan UU No. 9
Tahun 1976 tentang Narkotika.
2. UNDANG-UNDANG NOMOR 9 TAHUN 1976 TENTANG
NARKOTIKA.

 Kebijakan global penanggulangan kejahatan narkotika pada awalnya dituangkan


dalam The United Nation's Single Convention on Narcotic Drugs 1961. Konvensi
ini pada dasarnya dimaksudkan untuk :
 1. Menciptakan satu konvensi internasional yang dapat diterima oleh negara-
negara di dunia dan dapat mengganti peraturan mengenai pengawasan
internasional terhadap penyalahgunaan narkotika yang terpisah-pisah di 8
bentuk perjanjian internasional.
 2. Menyempurnakan cara-cara pengawasan peredaran narkotika dan membatasi
penggunaannya khusus untuk kepentingan pengobatan dan pengembangan
ilmu pengetahuan;  dan
 3. Menjamin adanya kerjasama internasional dalam pengawasan peredaran
narkotika untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut diatas
 Indonesia adalah salah satu negara yang turut menandatangani konvensi
tersebut, dan kemudian meratifikasinya melalui Undang-undang No. 8 Tahun
1976 Tentang Pengesahan Konvensi Tunggal Narkotika 1961 beserta Protokol
yang Mengubahnya. Instrumen hukum yang kemudian diciptakan pemerintah
untuk menanggulangi kejahatan narkotika di dalam negeri adalah UU No. 9
Tahun 1976 tentang Narkotika. UU No. 9 Tahun 1976 menjadi pengganti dari
undang-undang tentang obat bius warisan pemerintah kolonial Belanda, yaitu
Verdoovende Middelen Ordonantie 1927 (Stbl. 1927 No. 278 yo No. 536) yang
mengatur peredaran, perdagangan, dan penggunaan obat bius.
4. UNDANG- UNDANG NOMOR 39 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA.
 Pertimbangan Pemerintah dalam menyusun UU no. 35 tahun
2009 adalah :
 a.      bahwa untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang
sejahtera, adil dan makmur yang merata materiil dan spiritual
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, kualitas sumber daya manusia
Indonesia sebagai salah satu modal pembangunan nasional perlu
dipelihara dan ditingkatkan secara terus-menerus, termasuk
derajat kesehatannya;
 b.  bahwa untuk meningkatkan derajat kesehatan sumber daya
manusia Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan
rakyat perlu dilakukan upaya peningkatan di bidang pengobatan
dan pelayanan kesehatan, antara lain dengan mengusahakan
ketersediaan Narkotika jenis tertentu yang sangat dibutuhkan
sebagai obat serta melakukan pencegahan dan pemberantasan
bahaya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan
Prekursor Narkotika;
 c.    bahwa Narkotika di satu sisi merupakan obat atau bahan
yang bermanfaat di bidang pengobatan atau pelayanan
kesehatan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan di sisi lain
dapat pula menimbulkan ketergantungan yang sangat merugikan
 d.      bahwa mengimpor, mengekspor, memproduksi, menanam,
menyimpan, mengedarkan, dan/atau menggunakan Narkotika
tanpa pengendalian dan pengawasan yang ketat dan saksama
serta bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
merupakan tindak pidana Narkotika karena sangat merugikan dan
merupakan bahaya yang sangat besar bagi kehidupan manusia,
masyarakat, bangsa, dan negara serta ketahanan nasional
Indonesia;
 e.       bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional
yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi,
teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan
sudah banyak menimbulkan korban, terutama di kalangan generasi
muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat,
bangsa, dan negara sehingga Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1997 tentang Narkotika  sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan situasi dan kondisi yang  berkembang untuk
menanggulangi dan memberantas tindak pidana tersebut;
 f.       bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu
membentuk Undang-Undang tentang Narkotika.
3. UNDANG-UNDANG NOMOR 22 TAHUN 1997 TENTANG
NARKOTIKA.

 Dalam sidang khusus ke-17 pada bulan Pebruari 1990 Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) mencanangkan tahun 1991-2000 sebagai The United Nations
Decade Againts Drug Abuse dengan membentuk The United Nations Drug
Control Programme (UNDCP). Badan ini secara khusus bertugas untuk
melakukan koordinasi atas semua kegiatan internasional di bidang
pengawasan peredaran narkotika di negara-negara anggota PBB. Dalam
rangka penanggulangan tindak pidana narkotika yang bersifat
transnasional, PBB menyelenggarakan Kongres VIII tentang Prevention of
Crime and the Treament of Offenders pada 27 Agustus-7 September 1990
di Hawana, Cuba. Resolusi ketiga-belas dari kongres ini menyatakan bahwa
untuk menanggulangi kejahatan narkotika dilakukan antara lain dengan :
 (a) meningkatkan kesadaran keluarga dan masyarakat terhadap bahaya
narkotika melalui penyuluhan-penyuluhan dengan mengikutsertakan pihak
sekolah dan lembaga-lembaga pendidikan dalam pencegahan bahaya
narkotika;
 (b) program pembinaan pelaku tindak pidana narkotika dengan memilah
antara pelaku pemakai/pengguna narkotika (drug users) dan pelaku bukan
pengguna (drug-dealers) melalui pendekatan medis, psikologis,  psikiatris,
maupun pendekatan hukum dalam rangka pencegahan.
5. UU NO. 35 TAHUN 2009 TENTANG NARKOTIKA

 Undang-Undang tentang Narkotika berdasarkan Pancasila dan Undang-


Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kemudian asas-asas
dalam  UU no. 35 Tahun 2009 antara lain ;
a.   keadilan;
b.   pengayoman;
c.   kemanusiaan;
d.   ketertiban;
e.   perlindungan;
f.   keamanan;
g.   nilai-nilai ilmiah; dan
h.   kepastian hukum.

 Tujuan diberlakukannya UU No. 35 Tahun 2009 yaitu ;


1. Menjamin ketersediaan Narkotika untuk kepentingan pelayanan kesehatan
dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
2. Mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari
penyalahgunaan Narkotika;
3. Memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan

4. Menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi Penyalah


Guna dan pecandu Narkotika.
PERBEDAAN UNDANG- UNDANG NO. 22 TAHUN 1997
DENGAN UNDANG-UNDANG NO. 35 TAHUN 2009.
No. UU No. 22 Tahun 1997 UU No. 35 Tahun 2009

1. Penyidik :  Penyidik Polri  dan PPNS Penyidik Polri , PPNS Tertentu dan tambahan yaitu penyidik
Tertentu BNN
2. Kewenangan Penyidik : Menangkap dan menahan, kecuali PPNS hanya memiliki
Menangkap dan menahan kewenangan menangkap saja.

3. Lama waktu penagkapan : 1 x 24 2 x 24 jam, diperpanjang 3 x 24 jam


jam, dapa diperpanjang 2 x 24 jam

4. Lama waktu penyadapan : 30 hari 3 bulan dapat diperpanjang maksimal 3 bulan

5. Ancaman pidana : hanya Pidana maksimum dan minimum


maksimum
6. Pemberatan pidana :  - Ada bagi yang membawa 5 gr atau lebih atau 5 tanaman/
lebih.
7. Alat bukti : sesuai KUHAP Sesuai KUHAP, ditambah bukti elektronik

8. Pemberlakuan pemidanaan : Kepada masyarakat yang melanggar, juga kepada penyidik,


kepada masyarakat yang jaksa, dan petugas laboratorium selaku aparat penegak hukum
melanggar yang ikut melanggar
TERBENTUKNYA BADAN NARKOTIKA NASIONAL ( BNN )

 Undang Undang Narkotika Nomor 35 tahun 2009 mengamanatkan


perubahan paradigma dalam melihat penyalahgunaan narkoba. Para
pengguna narkoba wajib di rehabilitasi.  Undang Undang sebelumnya
menetapkan atau melihat korban penyalah guna narkoba sebagai seorang 
kriminal dan harus di penjara. Inilah perubahan mendasar dalam upaya
menyelamatkan anak bangsa dari jeratan narkoba yang sangat ganas
karena menghancurkan masa depan generasi muda. Tentu saja perubahan
paradigma baru tersebut itu ditetapkan berdasarkan pertimbangan
pemisahan yang jelas antara status pengguna dan pengedar.

 Badan Narkotika Nasional (disingkat BNN) adalah sebuah Lembaga


Pemerintah Non Kementerian (LPNK) Indonesia yang mempunyai tugas
melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pencegahan, pemberantasan
penyalahgunaan dan peredaran gelap psikotropika, prekursor, dan bahan
adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol. BNN
dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab langsung kepada
Presiden melalui koordinasi Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
 
 Dasar hukum BNN adalah Undang-Undang Nomor 35 tahun 2009 tentang
Narkotika. Sebelumnya, BNN merupakan lembaga nonstruktural yang
dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2002, yang
kemudian diganti dengan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2007.
TUGAS DAN FUNGSI BNN
Tugas BNN :
1.Menyusun dan melaksanakan kebijakan nasional mengenai pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
2.Berkoordinasi dengan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam pencegahan
dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor
Narkotika;
3.Meningkatkan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial pecandu
Narkotika, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun masyarakat;
4.Memberdayakan masyarakat dalam pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap
Narkotika dan Prekursor Narkotika;
5.Memantau, mengarahkan dan meningkatkan kegiatan masyarakat dalam pencegahan
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Psikotropika Narkotika;
6.Melalui kerja sama bilateral dan multiteral, baik regional maupun internasional, guna
mencegah dan memberantas peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika;
7.Mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika;
8.Melaksanakan administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara
penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan
9.Membuat laporan tahunan mengenai pelaksanaan tugas dan wewenang.
Selain tugas sebagaimana diatas, BNN juga bertugas menyusun dan melaksanakan
10.
kebijakan nasional mengenai pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan
peredaran gelap psikotropika, prekursor dan bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif
untuk tembakau dan alkohol.
Fungsi BNN :
 
 Penyusunan dan perumusan kebijakan nasional di bidang pencegahan dan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika, psikotropika dan
prekursor serta bahan adiktif lainnya kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan
alkohol yang selanjutnya disingkat dengan P4GN.
 Penyusunan, perumusan dan penetapan norma, standar, kriteria dan prosedur
P4GN.
 Penyusunan perencanaan, program dan anggaran BNN.

 Penyusunan dan perumusan kebijakan teknis pencegahan, pemberdayaan


masyarakat, pemberantasan, rehabilitasi, hukum dan kerjasama di bidang P4GN.
 Pelaksanaan kebijakan nasional dan kebijakna teknis P4GN di bidang pencegahan,
pemberdayaan masyarakat, pemberantasan, rehabilitasi, hukum dan kerjasama.
 Pelaksanaan pembinaan teknis di bidang P4GN kepada instansi vertikal di
lingkungan BNN.
 Pengoordinasian instansi pemerintah terkait dan komponen masyarakat dalam
rangka penyusunan dan perumusan serta pelaksanaan kebijakan nasional di
bidang P4GN.
 Penyelenggaraan pembinaan dan pelayanan administrasi di lingkungan BNN.

 Pelaksanaan fasilitasi dan pengkoordinasian wadah peran serta masyarakat.

 Pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan penyalahgunaan dan peredaran gelap


Narkotika dan Prekursor Narkotika.
 Pelaksanaan pemutusan jaringan kejahatan terorganisasi di bidang narkotika,
psikotropika dan prekursor serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif untuk
tembakau dan alkohol.
 Pengkoordinasian peningkatan kemampuan lembaga rehabilitasi medis dan
rehabilitasi sosial pecandu narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya,
kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol yang diselenggarakan oleh
pemerintah dan masyarakat.
 Peningkatan kemampuan lembaga rehabilitasi penyalahguna dan/atau pecandu
narkotika dan psikotropika serta bahan adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif
tembakau dan alkohol berbasis komunitas terapeutik atau metode lain yang telah
teruji keberhasilannya.
 Pelaksanaan penyusunan, pengkajian dan perumusan peraturan perundang-
undangan serta pemberian bantuan hukum di bidang P4GN.
 Pelaksanaan kerjasama nasional, regional dan internasional di bidang P4GN.
 Pelaksanaan pengawasan fungsional terhadap pelaksanaan P4GN di lingkungan
BNN.
 Pelaksanaan koordinasi pengawasan fungsional instansi pemerintah terkait dan
komponen masyarakat di bidang P4GN.
 Pelaksanaan penegakan disiplin, kode etik pegawai BNN dan kode etik profesi
penyidik BNN.
 Pelaksanaan pendataan dan informasi nasional penelitian dan pengembangan, serta
pendidikan dan pelatihan di bidang P4GN.
 Pelaksanaan pengujian narkotika, psikotropika dan prekursor serta bahan adiktif
lainnya, kecuali bahan adiktif untuk tembakau dan alkohol.
 Pengembangan laboratorium uji narkotika, psikotropika dan prekursor serta bahan
adiktif lainnya, kecuali bahan adiktif tembakau dan alkohol.
 Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan pelaksanaan kebijakan nasional di bidang
P4GN.
PENINGKATAN PEREDARAN NARKOBA DI INDONESIA
 Berdasarkan penelitian Universitas Indonesia dan Badan Narkotika Nasional
(BNN) tahun 2008 di temukan bahwa angka kematian penyalah guna sebesar
40 orang perhari di seluruh Indonesia.  Kematian sia sia ini lebih banyak
disebabkan karena para korban itu tidak mendapatkan akses pengobatan
medis dan rehabiltasi sosial. Kondisi seperti itu menjadi lebih mengenaskan
lagi sehubungan sebagian besar korban yang meninggal dunia tersebut
adalah kelompok usia produktif, atau pemuda/i  berumur 20 sampai 30 tahun.
 Pada saat ini, ancaman peredaran gelap maupun penyalahgunaan narkotika
semakin meluas dan meningkat di Indonesia. Data dan Badan Narkotika
Nasional Republik Indonesia, sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2004
telah berhasil disita narkotika seperti ganja dan derivatnya sebanyak 127,7
ton dan 787.259 batang; heroin sebanyak 93,9 kg; morfin sebanyak 244,7
gram; serta kokain sebanyak 84,7 kg.
 Berdasarkan laporan tahunan BNN 2010 Sampai Oktober 2010  Kepolisiaan
Republik Indonesia mengungkap 23.820 kasus narkotika dengan 31.963
orang menjadi tersangka, dan 61 jaringan sindikat narkoba.
http://www.bnn.go.id/
 Pernyataan Kepala BNN dalam Simposium Pemulihan akibat penyelahgunaan
Narkoba seasia ke V di Jakarta disebutkan berdasarkan data hanya 17.734
orang pecandu yang mengakses layanan terapi baik rawat jalan maupun
rawat inap pada tahun 2009. Jumlah itu sama dengan 0,5% pecandu dari
angka 3,6 juta pecandu di Indonesia. http://www.inilah.com/
VONIS MA ATAS PUTUSAN PERKARA NARKOTIKA

 Penegak Hukum, khususnya Hakim di PN, PT, dan MA seharusnya


mencontoh Hakim Artidjo Alkostar dan Hakim Suryajaya dengan
memberikan vonis maksimal untuk Bandar Narkotika.
 Berikut sejumlah Putusan kasus Narkotika yang dipimpin oleh Hakim
Artidjo Alkostar :
1. KWEH EICHOON (Warga Negara Malaysia)
Kasus : Memiliki ekstasi dan sabu dalam ratusan ribu gram.
Putusan : Vonis mati (19/4/2013).
Sebelumnya PT Banten memvonis 12 tahun dan di PN Tangerang 20 tahun.
2. ANANTA LIANGGARA ALIAS ALUNG
Kasus : Kurir peredaran Psikotropika
Putusan : 20 tahun penjara (21/10/2013)
Sebelumnya divonis 1 tahun oleh PN Surabaya dan PT Jawa Timur

 Jaksa Penuntut umum juga harus menuntut maksimal para Bandar


Narkotika dan mengajukan banding jika putusan Hakim terlalu rendah.
PENDEKATAN SOSIAL DAN KESEHATAN BAGI PENGGUNA NARKOTIKA

 Banyak pihak mengagap UU No 22 Tahun 1997 tentang Narkotika gagal menjalankan


fungsinya memberikan aturan mengenai narkotika di Indonesia, sehingga
diperbaharui dengan UU No 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Banyak pihak yang
berharap UU No 35 Tahun 2009 tetang Narkotika (UU Narkotika) memberikan peran
lebih di bidang pendekatan kesehatan dan sosial bagi pengguna narkotika dan
menjadikan pemidanaan sebagai sarana terakhir bagi pengguna narkotika. Harapan
tersebut belum semuanya terpenuhi, karena UU Narkotika masih sangat tarik menarik
melihat pengguna narkotika.
 Di satu sisi UU Narkotika memiliki tujuan untuk memberikan jaminan pengaturan
upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalahguna dan pecandu narkotika, namun
dalam ketentuan di dalamnya jaminan rehabilitasi bagi penyalahguna narkotika
digantikan oleh korban penyalahguna narkotika dan pecandu narkotika. Jaminan
rehabilitasi medis dan kesehatan bagi penyalahguna sangat tergantung terhadap
keputusan oleh hakim yang memeriksa perkara pengguna narkotika, namun dalam
prakteknya hal tersebut terbatas bila pengguna didakwa sebagai penyalahguna. UU
Narkotika juga masih  kental dengan penggunaan pendekatan pemidanaan dengan
unsur-unsur didalamnya yang tidak jelas membedakan antara Pengguna,
Distributor, Bandar dan Produsen Narkotika. 
 Sebagai contoh Pengguna narkotika karena kecanduaan harus membeli narkotika
secara melawan hukum dan tanpa hak, kemudiaan narkotika tersebut dimiliki atau
dikuasai, baru setelah itu digunakan untuk dirinya sendiri. Berbagai rangkaiaan
tindakan untuk menyalahgunakan narkotika tersebut dapat dikenakan tiga pasal
sekaligus yakni Pasal 127 dengan ancaman hukuman maksimum 4 tahun, Pasal 112
dengan ancaman hukuman minimum 4 tahun dan maksimum 12 tahun dan Pasal 114
dengan ancaman hukuman minimum 5 dan maksimum 20 tahun. 
 Tingginya ancaman hukuman bagi pengguna narkotika dengan
kurangnya pengaturan akses pendekatan kesehatan dan sosial
melalui rehabilitasi bagi pengguna, mengakibatkan banyak
pengguna narkotika yang harus dihukum tanpa diberikan akses
kesehatan dan rehabilitasi. Upaya pendekatan pemidanaan tanpa
memperhitungkan akses rehabilitasi medis dan sosial di
dalamnya, tidak menyelesaikan permasalahan peredaran gelap
narkotika, karena siklus akan terulang setelah pengguna keluar
dari penjara.

 Lebih parah, upaya pendekatan pemidanaan menimbulkan


permasalahan beralih ke tempat-tenpat penahanan di mana
akhirnya peredaran gelap narkotika di dalam tahanan semakin
berkembang . Ditambah dengan beredarnya juga penyakit
menular serta secara tidak langsung tempat penahanan menjadi
kelebihan dari kemampuan daya tampung. 
BALAI BESAR REHABILITASI BADAN NARKOTIKA NASIONAL
(BABESREHAB BNN )
 Balai Besar Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional Indonesia adalah sebuah
tempat yang dikhususkan untuk merehabilitasi korban penyalahgunaan narkoba
di Indonesia.[1] Rehabilitasi adalah jalan yang baik bagi proses penyembuhan
korban penyalahgunaan narkoba.[1] Pusat rehabilitasi narkoba BNN terletak di
Desa Wates Jaya, kecamatan Cigombong, Lido, Kab. Bogor. Balai Besar
Rehabilitasi BNN diawali dengan Wisma Parmadi Siwi pada 31 Oktober 1974,
yang diresmikan oleh ibu Tien Soeharto. Pada mulanya Wisma Parmadi Siwi
bertujuan untuk mendidik tahanan anak nakal dan Pekerja Seks Komersial (PSK),
kemudian pada tahun 1985, wisma ini menjadi tempat rehabilitasi bagi anak
nakal dan korban narkoba. Pada tahun 2002, namanya berubah menjadi Unit
Terapi dan Rehabilitasi (UPT T&R) BNN Lido, tujuannya menjadi tempat
rehabilitasi para korban narkoba. Hingga belakangan ini, namanya berubah
menjadi Balai Besar Rehabilitasi Badan Narkotika Nasional, disingkat
Babesrehab BNN.

 Pelaksanaan pelayanan di Babesrehab BNN bagi pecandu dan penyalahguna


narkoba menggunakan sistem one stop center (pelayanan satu atap) terdiri dari
pelayanan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial dalam satu atap.
Babesrehab ini memiliki struktur organisasi dan dipimpin oleh Ka. Babesrehab
BNN. Pada pelayanan rehabilitasi sosial menggunakan metode Therapeutic
Community (TC) dengan kapasitas daya tampung berjumlah 500 orang yang
berlangsung selama 6 bulan
DI BABESREHAB, ADA BEBERAPA "RUMAH" (TEMPAT
REHABILITASI) YANG DIKELOMPOKKAN SEBAGAI BERIKUT, YAKNI:
 
 
 Detoks, adalah rumah bagi pecandu yang baru memulai penanganan. Rumah Detoks
terbagi menjadi dua, yakni untuk pria dan wanita. Di sini pecandu akan ditangani
selama rata-rata 2 minggu.
 Entry Unit, adalah rumah yang disinggahi pecandu yang sudah "dibersihkan"
sebelumnya di rumah Detoks. Pada Entry Unit, setiap pecandu akan diberi pemahaman
mengenai program yang sedang dan akan dijalaninya selama 6 bulan ke depan.
 Green House, adalah rumah tempat pelatihan dan pendidikan para pecandu laki-laki
yang berusia kurang dari 35 tahun. Di sini para pecandu akan dilatih sikap, tingkah laku,
dan kepribadiannya agar dapat diterima masyarakat. Program di rumah ini berlangsung
selama 4 bulan.
 House of Hope, adalah rumah tempat pelatihan dan pendidikan para pecandu laki-laki
yang berusia di atas 30 tahun, atau pecandu yang sudah pernah keluar dari panti
rehabilitasi sebelumnya. Berbeda dengan Green House, di rumah Hope pecandu akan
diubah pola pikirnya agar tidak terikat pada narkoba dan diterima masyarakat. Program
di rumah ini berlangsung selama 4 bulan.
 HoC (House of Change), rumah ini memiliki program yang sama dengan rumah Hope,
namun dikhususkan untuk para pegawai negeri sipil atau pejabat negara, dan militer
atau polisi. Program di rumah ini berlangsung selama 4 bulan.
 Re-Entry, rumah ini adalah rumah terakhir dari keseluruhan program rehabilitasi di
Babesrehab BNN. Di sini pecandu akan dipantau, dan diberi pelatihan/peningkatan
keahlian serta juga perbaikan pola pikir agar dapat siap kembali ke masyarakat.
Program di rumah ini berlangsung selama 1 bulan.
 Jadi Total Program normal adalah 6 bulan.
PELAYANAN YANG DIBERIKAN DI BABESREHAB

 Rehabilitasi medis.Detoksifikasi, intoksifikasi, rawat jalan,


pemeriksaan kesehatan, pemeriksaan penunjang, penanganan
penyakit dampak buruk narkoba, psikoterapi, penanganan dual
diagnosis, Voluntary Counseling and Testing (VCT), seminar, terapi
aktivitas kelompok, dan lain-lain.
 Rehabilitasi sosial berbasis Therapeutic Community. Kegiatan yang
ada didalamnya antara lain: konseling individu, static group,
seminar, terapi kelompok, dan lain-lain.
 Kegiatan kerohanian berupa bimbingan mental dan spiritual
(BinTal).
 Peningkatan kemampuan. Komputer, bahasa asing, multimedia
(audio, video, radio), percetakan dan sablon, bengkel otomotif, salon
kecantikan, kesenian, musik, tata boga, kerajinan tangan.
 Terapi Keluarga (Family Support Group, Family Counseling).

 Terapi Psikologi (hypnotheraphy, individual counseling,


psychotheraphy, evaluasi psikologi, psycho education).
 Rekreasi (Family Outing, Static Outing).

 PERAWATAN INI TIDAK DIPUNGUT BIAYA / GRATIS


KESIMPULAN
 Jika dikaitkan dengan rasa keadilan, maka pendekatan kesehatan dan sosial lebih
diutamakan bagi para pengguna narkotika baik ketika pengguna narkotika sedang
menjalani proses peradilan maupun sebelum menjalani proses peradilan merupakan
bentuk tanggung jawab Negara terhadap pemenuhan hak asasi manusia khususnya
mendapatkan akses kesehatan dan sebagai wujud perlindungan hak tersangka dan
terdakwa. Pemberiaan akses rehabilitasi juga sangat berperan dalam memutus mata
rantai peredaran gelap narkotika serta mencegah penggunaan narkotika illegal di
 tempat-tempat penahanan. Sayangnya sampai saat ini Pemerintah belum siap
dalam mewujudkan pendekatan kesehatan dan sosial bagi pengguna narkotika yang
sedang dalam proses peradilan. 

 Memandang permasalahan pengguna narkotika bukan sebagai tindakan yang dapat


dihapuskan dengan pemberian efek jera semata melalui pemidanaan saja, tanpa
memperhatikan pendekatan kesehatan dan sosial. 
 Melalui jajaran Kementerian dan sektor-sektor terkait yang berada di bawah
Pemerintahan RI, mengeluarkan kebijakan-kebijakan dengan pendekatan sosial dan
kesehatan bagi para pengguna narkotika.

 Faktor- faktor lahirnya kebijakan pemerintah untuk merevisi Undang- Undang Nomor
22 Tahun 1997 dengan Undang- Undang nomor 35 tahun 2009 tentang Narkotika
adalah ; faktor perundang-undangan (substance), faktor aparat penegak hukum
(structure), dan budaya hukum masyarakat (legal culture) sebagai tiga komponen
pokok dalam sistem hukum (legal system) yang satu sama lain saling melengkapi
dan mempengaruhi efektifitas penegakan hukum dalam masyarakat dimana
masing- masing disesuaikan dengan perkembangan tindak pidana narkotika.
KESIMPULAN
 Mengembangkan laboratorium Narkotika dan Prekursor Narkotika;
Karena perkembangan dan perubahan unsur kimia menjadi cela
hukum bagi pengedar Narkotika untuk merubah komposisinya.
 Harus ada upaya serius dari Pemerintah untuk MEMISKINKAN para
Bandar atau Pengedar narkoba, karena disinyalir dan terbukti
pada beberapa kasus penjualan narkoba untuk kegiatan
pencucian uang (money laundring) dan digunakan untuk
pendanaan teroris (Narco Terrorism). Hal ini diatur dalam Pasal 2
Ayat (1) huruf b dan c UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan
dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)
dibawah pengawasan Lembaga Independent Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
 Ketegasan penegakan hukum adalah untuk memberantas jaringan
narkotika sampai ke akar akarnya dan  untuk menimbulkan aspek
jera bagi kriminal dan bagi yang coba coba menjadi Bandar.
Sehingga diharapkan dapat memutus mata rantai peredaran
narkotika di Indonesia.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai