Anda di halaman 1dari 15

Alasan PeraturanPerundang-undangan dibentuk

 Pertama. Pemahaman yang komprehensif tentang maksud


dan tujuan lahirnya suatu peraturan perundang-undangan
adalah dengan mengetahui latar belakang dan urgensi
lahirnya peraturan-perundang-undangan tersebut.[1]
 Kedua. Peraturan perundang-undangan adalah sebuah
sistem komunikasi.[2] Apa yang ada dalam undang-undang
selalu mengandung pertanyaan: siapa yang berkomunikasi,
untuk siapa dan bagaimana metode komunikasinya dan apa
isi dari yang disampaikan tersebut, apa yang menjadi
pengganggu dan penghalang dalam melakukan komunikasi
atau bagaimana sistem komunikasi dapat dikembangkan.
Hierarki Peraturan Perundang-undangan
 Undang-Undang No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan menetapkan bahwa jenis dan
hierarki Peraturan Perundang-Undangan  adalah sebagai berikut: a.
UUD 1945, b. UU/ PERPU, c. Peraturan Pemerintah, d. Peraturan
Presiden, e. Peraturan daerah.[3]
 jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud
di atas diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi.[4]
 Peraturan perundang-undangan selain ‘sebagaimana dimaksud di
atas’ adalah peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya seperti
peraturan menteri, instruksi menteri dan lain-lainnya, yang jika
dibuat harus dengan tegas berdasar dan bersumber dari peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi.[5]
Sejarah kefarmasian
 yuridis Pekerjaan Kefarmasian dan atau Praktik
Kefarmasian adalah istilah ’Praktek Peracikan Obat’,
seperti dimaksud Ordonansi Obat Keras, yang
mendefinisikan istilah ’Apoteker’, yaitu: Mereka yang
sesuai dengan peraturan-peraturan yang berlaku
mempunyai wewenang untuk menjalankan Praktek
Peracikan Obat di Indonesia sebagai seorang Apoteker
sambil memimpin sebuah apotek. [6]
 Undang-Undang No. 7 tahun 1963 tentang Farmasi
yang mendefinisikan “Pekerjaan Kefarmasian“, adalah
pembuatan, pengolahan, peracikan, pengubahan
bentuk, pencampuran, penyimpanan dan penyerahan
obat atau bahan obat. [7]
lanjutan
 UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, yang
menyatakan bahwa Pekerjaan Kefarmasian adalah
pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat,
pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep dokter,
pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan
obat, dan obat tradisional.[8]
 UU ini menyatakan  bahwa Pekerjaan Kefarmasian dalam
pengadaan, produksi, distribusi, dan pelayanan sediaan
farmasi harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang
mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu, [9] dan
mengamanatkan bahwa Ketentuan mengenai pelaksanaan
Pekerjaan Kefarmasian ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah.[10]
lanjutan
 Dalam Undang-Undang Kesehatan yang baru disahkan,
istilah Pekerjaan Kefarmasian tidak didefinisikan. Istilah
yang digunakan adalah “Praktik Kefarmasian“ yang
definisinya tidak dijumpai dalam Ketentuan Umum.
Istilah ini digunakan dalam Pasal 108 ayat (1) yang
menyatakan bahwa “Praktik Kefarmasian yang meliputi
pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi,
pengamanan, pengadaan, penyimpanan dan
pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter,
pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan
obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga
kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan
sesuai dengan peraturan perundang-undangan“.
Pelayanan Kefarmasian
 Dalam PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
dikenalkan istilah “Pelayanan Kefarmasian”, yang
didefinisikan sebagai “suatu pelayanan langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan
Sediaan Farmasi dengan maksud mencapai hasil yang
pasti untuk meningkatkan mutu kehidupan pasien”[11].
 Fasilitas Pelayanan Kefarmasian, yaitu “sarana yang
digunakan untuk menyelenggarakan pelayanan
kefarmasian, yaitu apotek, instalasi farmasi rumah sakit,
puskesmas, klinik, toko obat, atau praktek bersama”.[12]
 “Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat
dilakukan Praktek Kefarmasian oleh Apoteker”[13],
Apoteker penanggungjawab dan
apoteker pendamping
 Dalam Pekerjaan Kefarmasian di Apotek, diatur
tentang Apoteker Penanggung jawab dan Apoteker
Pendamping.[14] Dalam Pasal 54 dinyatakan bahwa
setiap Apoteker hanya dapat melaksanakan praktik
(sebagai Penanggung Jawab) di 1 (satu) apotek, atau
Puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit.
 Sedangkan Apoteker Pendamping hanya dapat
melaksanakan praktik paling banyak di 3 (tiga) apotek,
atau Puskesmas atau instalasi farmasi rumah sakit.
Izin melakukan pekerjaan kefarmasian
PP 51 tahun 2009 mengatur mekanisme sebagai berikut :
 setiap Apoteker harus memiliki Surat Tanda Registrasi
Apoteker (STRA).
 jika Apoteker akan melakukan Pekerjaan Kefarmasian
di Apotek atau Instalasi Farmasi Rumah Sakit, maka
Apoteker tersebut wajib memiliki Surat Izin Praktik
Apoteker (SIPA). Jika Apoteker akan melakukan
Pekerjaan Kefarmasian pada fasilitas produksi dan
fasilitas distribusi atau penyaluran, maka Apoteker
wajib memiliki Surat Izin Kerja (SIK).
Sertifikat KOmpetensi
PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian
mewajibkan dimilikinya Sertifikat Kompetensi Profesi.
[15] Bagi Apoteker yang baru lulus pendidikan profesi,
dapat memperoleh secara langsung Sertifikat Kompetensi
Profesi setelah melakukan registrasi. Sertifikat
Kompetensi Profesi ini berlaku selama 5 (lima) tahun dan
dapat diperpanjang melalui uji kompetensi profesi.
Dispensing Dan substitusi Obat
 PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian memberikan
kebolehan kepada Tenaga Kesehatan diluar Tenaga Kefarmasian
[16]. Hal ini tercantum dalam Pasal 22 yang menyatakan:
Dalam hal di daerah terpencil yang tidak ada apotek, dokter atau
dokter gigi yang telah memiliki Surat Tanda Registrasi
mempunyai wewenang meracik dan menyerahlan obat kepada
pasien yang dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
 pada Pasal 24 huruf (b) Apoteker juga diberikan kewenangan
melakukan penggantian obat merek dagang dengan obat generik
yang sama komponen aktifnya atau obat merek dagang lain atas
persetujuan dokter dan/ atau pasien. Penggantian obat merek
dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya
dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada pasien
yang kurang mampu secara finansial untuk tetap dapat membeli
obat dengan mutu yang baik.
Kesimpulan
 Pekerjaan Kefarmasian menurut PP 51 Tahun 2009
adalah pembuatan termasuk pengendalian mutu
Sediaan Farmasi, pengamanan, pengadaan,
penyimpanan dan pendistribusian atau penyaluran
obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas resep
dokter, pelayanan informasi obat, serta
pengembangan obat, bahan obat dan obat
tradisional.
Daftar Pustaka
 [1] Amir Hamzah Pane, Drs, Apt, MM, MH, SH, adalah Ketua
Bidang Usaha BPP ISFI, Ketua Komite Advokasi dan Bantuan
Hukum Pengurus Pusat GP Farmasi Indonesia, dan Dosen
Universitas Muhammadiyah UHAMKA. Dalam seminar ini penulis
bertindak dan berpendapat atas nama pribadi.
 [2] Pasal 1 angka (2) UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan: Peraturan perundang-undangan
adalah peraturan tertulis yang dibentuk oleh lembaga negara atau
pejabat yang berwenang dan mengikat secara umum.
 [3] Pasal 7 ayat (1) UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan
 [4] Pasal 7 ayat (4) UU No. 10 tahun 2004 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan
 [5] Maria Farida Indrati S, Ilmu Perundang-undangan. Jenis, Fungsi,
dan Materi Muatan,  Penerbit Kanisius, Jakarta, Cet. 5, hal. 73, 74
Daftar Pustaka
 [6] Pasal 1 ayat (1) huruf  (b) Ordonansi Obat Keras,
St. 1937 No. 41.
 [7] Pasal 2 huruf (e) Undang-Undang No. 7 tahun
1963 tentang Farmasi.
 Pasal 1 huruf (13) UU 23 tahun 1992 tentang
Kesehatan.
 [8] Pasal 63 ayat (1) UU 23 tahun 1992 tentang
Kesehatan
 [9] Pasal 63 ayat (2) UU 23 tahun 1992 tentang
Kesehatan
Daftar Pustaka
 [10] Pasal 1 huruf (4) PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian
 [11] Pasal 1 huruf (11) PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian
 [12] Pasal 1 huruf (13) PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian
 Pasal 14 PP 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian.
 [13] Pasal 37 dan Pasal 39 PP 51 tahun 2009 tentang
Pekerjaan Kefarmasian
 [14] Pasal 33 PP 51 tahun 2009, Tenaga Kefarmasian
adalah a. Apoteker, b. Tenaga Teknis Kefarmasian, seperti
Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, AnalIs Farmasi, dan
Tenaga Menengah Farmasi/ Asisten Apoteker.

Anda mungkin juga menyukai