Anda di halaman 1dari 9

Nama Kelompok :

1. Muhammad Ridwan
2. Rendi Arwanda
3. Pasca Liany Ananta
4. Tasya Almiliana
ZAMAN KERAJAAN
Di Indonesia, korupsi telah ada sejak zaman dulu. Tentunya bukan dengan
nama korupsi. Pada zaman dulu kerajaan-kerajaan menarik upeti (pajak) dari
rakyatnya. Dalam penarikan upeti tersebut, banyak pejabat pemerintahan yang
tidak jujur. Salah satunya dengan cara menggelapkan pajak yang harusnya
sampai ke kerajaan. Bentuk korupsi yang lain, adalah dengan memberikan
janji atau upah pada seseorang untuk membunuh musuh-musuhnya.

Keruntuhan kerajaan-kerajaan di Indonesia, salah satu penyebabnya


adalah perilaku yang menjurus ke arah korupsi dari para pejabat-
pejabatnya. Korupsi tersebut bisa dalam bentuk mengambil barang
yang bukan haknya, menipu, menjebak, menyuap, memberi
keterangan palsu, membocorkan rahasia dan sejenisnya.
Pembunuhan-pembunuhan terjadi silih berganti. Nilai-nilai kemanusiaan seolah-
olah tidak ada artinya. Berbagai tipu daya digunakan untuk mengalahkan
lawannya. Perilaku-perilaku suap, cara-cara licik terjadi turun-menurun. 
Dari sejarah, kita juga mencatat bahwa keruntuhan kerajaaan-kerajan besar, seperti
Sriwijaya, Singosari, Majapahit, Demak, serta banyak kerajaan lain disebabkan
oleh perebutan kekuasaan. Dalam perebutan kekuasaan ini, dipastikan ada pejabat
yang culas, suka memperkaya diri, mengabaikan moral dan sebagainya
ERA KABINET BELANDA
Pada tahun 1755 dengan Perjanjian Giyanti, VOC rnemecah Mataram
menjadi dua kekuasaan yaitu Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan
Surakarta. Kemudian tahun 1757/1758 VOC memecah Kasunanan
Surakarta menjadi dua daerah kekuasaan yaitu Kasunanan Surakarta dan
Mangkunegaran. Baru pada beberapa tahun kemudian Kasultanan
Yogyakarta juga dibagi dua menjadi Kasultanan Yogyakarta dan
Pakualaman.
ERA PASCA
KEMERDEKAAN
Tahun 1963 melalui Keputusan Presiden No 275 Tahun 1963, upaya
pemberantasan korupsi kembali digalakkan. Nasution yang saat itu
menjabat sebagai Menkohankam/Kasab ditunjuk kembali sebagai ketua
dibantu oleh Wiryono Prodjodikusumo. Tugas mereka lebih berat, yaitu
meneruskan kasus-kasus korupsi ke meja pengadilan.
Lembaga ini di kemudian hah dikenal dengan istilah “Operasi Budhi”.
Sasarannya adalah perusahaan-perusahaan negara serta lembaga-
lembaga negara lainnya yang dianggap rawan praktik korupsi dan
kolusi. Operasi Budhi ternyata juga mengalami hambatan. Misalnya,
untuk menghindari pemeriksaan, Dirut Pertamina mengajukan
permohonan kepada Presiden untuk menjalankan tugas ke luar negeri,
sementara direksi yang lain menolak diperiksa dengan dalih belum
mendapat izin dari atasan.
.
Dalam kurun waktu 3 bulan sejak Operasi Budhi dijalankan,
keuangan negara dapat diselamatkan sebesar kurang lebih Rp 11
miliar, jumlah yang cukup signifikan untuk kurun waktu itu. Karena
dianggap mengganggu prestise Presiden, akhirnya Operasi Budhi
dihentikan. Menurut Soebandrio dalam suatu pertemuan di Bogor,
“prestise Presiden harus ditegakkan di atas semua kepentingan yang
lain”.
Selang beberapa hari kemudian, Soebandrio mengumurnkan
pembubaran Paran/Operasi Budhi yang kemudian diganti namanya
menjadi Kotrar (Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi) di
mana Presiden Sukarno menjadi ketuanya serta dibantu oleh
Soebandrio dan Letjen Ahmad Yani. Sejarah kemudian mencatat
pemberantasan korupsi pada masa itu akhirnya mengalami stagnasi
ERA ORDE
BARU
Orde baru bisa dibilang paling banyak mengeluarkan peraturan karena masa Orde
Baru yang cukup panjang. Namun sayangnya tidak banyak peraturan yang dibuat itu
berlaku efektif dan membuat korupsi sedikit berkurang dari bumi Indonesia.
Menyambung pidatonya di Hari Kemerdekaan RI 17 Agustus 1970, pemerintahan
Soeharto mengeluarkan UU No.3 tahun 1971 tentang PemberantasanTindak Pidana
Korupsi. Aturan ini menerapkan pidana penjara maksimum seumur hidup serta
denda maksimum Rp 30 juta bagi semua delik yang dikategorikan korupsi.
Melengkapi undang-undang tersebut, dokumen negara Garis-garis Besar
Besar Haluan Negara (GBHN) yang berisi salah satunya adalah kemauan
rakyat untuk memberantas korupsi. Namun pelaksanaan GBHN ini bocor
karena pengelolaan negara diwarnai banyak kecurangan dan kebocoran
anggaran negara di semua sektor tanpa ada kontrol sama sekali.
Organ-organ negara seperti parlemen yang memiliki fungsi pengawasan
dibuat lemah. Anggaran DPR ditentukan oleh pemerintah sehingga fungsi
pengawasan tak ada lagi. Lembaga yudikatif pun dibuat serupa oleh rezim
Orde Baru, sehingga taka da kekuatan yang tersisa untuk bisa mengadili
kasus-kasus korupsi secara independen. Kekuatan masyarakat sipil
dimandulkan, penguasa Orde Baru secara perlahan membatasi ruang gerak
masyarakat dan melakukan intervensi demi mempertahankan kekuasaannya.
KESIMPULAN
Jadi korupsi terjadi bukan karena partai atau
peraturannya, tapi karena MENTAL masyarakat dan orang-
orangnya, yang mana mental itu harus diubah. Tapi,
bisakah? Jawablah menurut hati Anda, karena sebagai
LANGKAH AWAL untuk dapat membasmi korupsi
adalah: berawal dari diri Anda sendiri.

Anda mungkin juga menyukai