Anda di halaman 1dari 20

OBAT ANTI TUBERKULOSIS

( TBC )
DISUSUN OLEH :
Kelompok 5
1. Anggraini
2. Arial Ramdan
3. Listyana Hafsah
4. Mutiara Rahmadania
• Prinsip pengobatan TBC
• Pada dasarnya, tujuan utama dari pengobatan dan
pengendalian TBC adalah mencegah penularanbakteri
Mycobacterium tuberculosis dari penderita ke orang lain,
serta mengurangi faktor-faktor risiko yang memicu
terjadinya penularan.
• Dengan memberikan obat TBC yang cocok dengan kondisi
kesehatan pasien, serta memastikan pasien tidak lupa
minum obat dan sesuai dengan dosis dan anjuran dokter,
pasien juga diharapkan dapat sembuh total, terhindar dari
risiko kematian, serta kambuhnya penyakit di lain waktu.
• Menurut Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, agar
tingkat keberhasilan pengobatan semakin tinggi, dokter dan
tim medis umumnya menggunakan prinsip-prinsip sebagai
berikut:
1. Memberikan obat dalam bentuk kombinasi beberapa jenis
obat untuk mencegah kekebalan atau resistensi terhadap obat.
2. Pengobatan dilakukan di bawah pengawasan langsung
(directly observed treatment) oleh seorang pengawas
menelan obat (PMO).
3. Pemberian obat-obatan dilakukan dalam 2 tahap, yaitu
intensif dan lanjutan.
Lanjutan…….
• Tahap intensif
 Tahap intensif adalah tahap awal, di mana
penderita menerima obat TBC setiap hari di
bawah pengawasan langsung.
 Apabila pengobatan diberikan dengan tepat,
kondisi penyakit yang menular umumnya akan
berubah menjadi tidak menular dalam 2
minggu. Lama pengobatan tahap intensif adalah
2 bulan.
• Tahap lanjutan
 Sementara itu, pada tahap lanjutan, dokter akan memberikan obat-
obatan TBC dalam jumlah dan jenis yang lebih sedikit. Namun,
pengobatan tahap ini berlangsung lebih lama dibanding dengan
tahap intensif, yaitu sekitar 4 bulan pada pasien penderita TBC aktif.
 Lama waktu pengobatan dan kombinasi obat-obatan yang diberikan
akan berbeda-beda pada setiap langsung. Hal ini bergantung pada
usia, kesehatan secara keseluruhan, ada atau tidak adanya resistensi
obat, serta lokasi infeksi TBC di dalam tubuh.
 Jika pengobatan tahap intensif berfokus pada mencegah resistensi
obat, pengobatan tahap lanjutan bertujuan untuk membunuh kuman
yang bersifat dorman, sehingga peluang untuk terjadinya
kekambuhan dapat dicegah.
• Jenis-jenis obat TBC yang umum
 Untuk membasmi bakteri M. tuberculosis, obat-obatan TBC
yang diberikan adalah antibiotik dan anti infeksi sintesis.
Terdapat 5 jenis obat TBC yang umum diresepkan, yaitu
isoniazid, rifampicin, pyrazinamide, ethambutol, dan
streptomycin. Kelima jenis obat TBC ini biasa disebut dengan
obat primer, atau obat lini pertama.
 Sesuai dengan prinsip pengobatan yang telah dijelaskan
sebelumnya, obat-obatan tersebut akan diberikan dalam
bentuk kombinasi. Tergantung pada kondisi pasien, kombinasi
obat TBC yang diberikan pun mungkin akan berbeda-beda.
• Berikut adalah penjelasan mengenai masing-masing obat
TBC:
1. Isoniazid (INH)
Isoniazid adalah obat TBC yang paling murah tapi efektif
untuk membunuh bakteri penyebab TBC dibanding obat
lainnya, seperti rifampicin dan streptomycin. Obat ini bisa
membunuh 90% kuman TB dalam beberapa hari pertama
setelah mulai dosis.
Dosis isoniazid untuk pengobatan TBC biasanya sekitar
300 mg untuk orang dewasa, dan anak-anak 10 mg per
berat badan hingga 300 mg. Obat ini diminum satu kali
sehari, atau sesuai anjuran dokter.
Biasanya, obat ini digabungkan dengan
obat anti tuberkulosis lainnya. Isoniazid
memiliki sifat bakterisid dan lebih efektif
terhadap bakteri yang sedang dalam
keadaan aktif berkembang. Obat ini
bekerja dengan cara mengganggu sintesa
mycolic acid, yaitu senyawa yang berperan
dalam membangun dinding bakteri.
• Beberapa efek samping yang mungkin ditimbulkan oleh pengobatan TBC
dengan isoniazid meliputi:

1. Efek neurologis, seperti gangguan penglihatan, vertigo, insomnia, euforia,


perubahan tingkah laku, depresi, gangguan ingatan, gangguan otot
2. Hipersentivitas, seperti demam, menggigil, kulit kemerahan,
pembengkakan kelenjar getah bening, vaskulitis (peradangan pembuluh
darah)
3. Efek hematologis, seperti anemia, hemolisis (kerusakan sel darah merah),
trombositopenia (penurunan kadar trombosit)
4. Gangguan saluran pencernaan: mual, muntah, sembelit, nyeri ulu hati
5. Hepatotoksisitas: kerusakan hati yang disebabkan oleh zat kimia dalam
obat
6. Efek samping lainnya: sakit kepala, jantung berdebar, mulut kering, retensi
urin, rematik
2. Rifampicin
Rifampicin bisa membunuh kuman yang tidak dapat
dibunuh oleh obat isoniazid. Rifampicin harus diminum
bersama dengan obat anti TBC lainnya.
Untuk orang dewasa dan anak-anak yang beranjak dewasa,
dosis obat adalah sebanyak 600 mg satu kali sehari, atau 600
mg 2-3 kali seminggu. Sementara itu, bayi dan anak-anak
diberikan dosis yang tergantung pada berat badannya, yang
biasanya berkisar antara 7,5-15 mg per kg berat badan.
Serupa dengan isoniazid, rifampicin memiliki sifat
bakterisid. Namun, rifampicin dapat membunuh bakteri
bersifat semi-dorman yang biasanya tidak bereaksi terhadap
isoniazid. Obat ini bekerja dengan cara mengganggu kerja
enzim bakteri.
• Beberapa efek samping yang mungkin dapat muncul akibat pengobatan TBC
dengan rifampicin adalah:

1. Gangguan pencernaan: panas di perut, sakit perut, mual, muntah,


kembung, anoreksia, kejang perut, diare
2. Gangguan sistem saraf pusat: mengantuk, letih, sakit kepala, pusing,
bingung, sulit berkonsentrasi, gangguan penglihatan, otot mengendur
3. Hipersensitivitas: demam, sariawan, hemolisis, pruritus, gagal ginjal akut
4. Urin berubah warna akibat zat berwarna merah di dalam obat rifampicin
5. Risiko terjadinya hepatotoksisitas
6. Gangguan lainnya gangguan menstruasi, hemoptisis (batuk berdarah)
7. Namun jangan khawatir karena efek samping ini bersifat sementara.
Rifampicin juga berisiko apabila dikonsumsi ibu hamil karena
meningkatkan peluang kelahiran dengan masalah tulang belakang (spina
bifida ).
3. Pyrazinamide
Pyrazinamide bekerja dengan cara membunuh bakteri yang
berada dalam sel dengan pH asam. Penggunaannya juga harus
dibarengi dengan obat TBC lainnya.
Dosis untuk orang dewasa dan anak adalah sebanyak 15-30
mg per kg berat badan, dan diminum satu hari sekali. Atau
bisa juga diberikan sebanyak 50-70 mg per kg berat badan
selama 2-3 minggu. 
Efek samping yang khas dalam penggunaan obat ini adalah
peningkatan asam urat dalam darah (hiperurisemia). Itu
sebabnya pengidap TBC yang diresepkan obat ini harus juga
rutin kontrol kadar asam uratnya. Selain itu, kemungkinan
penderita juga akan mengalami anoreksia, hepatotoksisitas,
mual, dan muntah.
4. Ethambutol
Ethambutol diberikan khusus untuk pasien dengan risiko terjadinya
resistensi obat TBC. Namun, jika risiko resistensi obat termasuk rendah,
pengobatan TBC dengan ethambutol dapat dihentikan.
Dosis untuk orang dewasa dan anak di atas 13 tahun adalah sebanyak
15-25 mg per kg berat badan, dan diminum sebanyak 1 kali sehari.
Penambahan dosis biasanya dilakukan secara bertahap. Ethambutol juga
harus dikombinasikan dengan pengobatan TBC lainnya.
Cara kerja ethambutol bersifat bakteriostatik, yaitu dengan
menghambat pertumbuhan bakteri M. tuberculosis yang resisten
terhadap obat isoniazid dan streptomycin. Obat TBC ini juga menghalangi
pembentukan dinding sel oleh mycolic acid.
Obat TBC ini tidak boleh diberikan untuk bayi dan anak-anak di bawah
13 tahun. Efek samping yang mungkin akan timbul adalah gangguan
penglihatan, buta warna, penyempitan jarak pandang, sakit kepala, mual,
muntah, serta sakit perut.
5. Streptomycin
Berbeda dengan keempat obat TBC sebelumnya yang diminum lewat
mulut, obat TBC jenis streptomycin ini diberikan lewat suntikan ke jaringan
otot. Obat ini tersedia dalam bentuk serbuk untuk disuntikkan bersamaan
dengan Aqua Pro Injeksi dan Spuit.
Dosis yang biasanya diberikan untuk orang dewasa adalah 15 mg/kg
berat badan per hari, atau 25-30 mg/kg berat badan dalam 2-3 kali
seminggu. Untuk pasien anak-anak, dosisnya adalah 20-40 mg/kg berat
badan, atau 25-30 mg/kg berat badan sebanyak 2-3 kali seminggu.
Cara kerja obat TBC ini adalah dengan membunuh bakteri yang sedang
membelah diri, yaitu dengan menghambat proses sintesis protein bakteri.
Biasanya obat TBc jenis suntik ini diberikan jika Anda sudah mengalami
penyakit TB untuk kedua kali atau tidak sembuh dengan obat minum.
Pemberian obat TBC ini harus memerhatikan apakah penderita memiliki
gangguan ginjal, sedang hamil, atau memiliki gangguan pendengaran.
6. Obat-obatan lini kedua (second-line drugs)
Saat ini, semakin banyak bakteri yang
resisten atau kebal terhadap obat TBC lini
pertama. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh
penggunaan obat TBC yang kurang tepat, baik
oleh tim medis maupun pasien.
Meskipun kasus kejadiannya masih cukup
rendah, namun kasus resistensi terhadap obat
TBC isoniazid dan rifampicin ternyata cukup
tinggi.
• Maka itu, World Health Organization (WHO) merekomendasikan penggunaan
obat-obatan TBC lini kedua, yang meliputi:
1. Capreomycin
2. Cycloserine
3. Para-aminosalicylic acid (PAS)
4. Ethionamide
5. Amikacin
6. Kanamycin
7. Ciprofloxacin
8. Ofloxacin
9. Levofloxacin
Pengobatan TBC lini kedua ini cenderung lebih mahal, menimbulkan lebih
banyak efek samping, serta membutuhkan waktu yang relatif lebih lama, yaitu
sekitar 18-20 bulan. Selain itu, jika tidak ditangani dengan kombinasi pengobatan
TBC yang tepat, penderita TBC resisten obat berpotensi terancam nyawanya.
• Pengobatan untuk TBC laten
TBC laten adalah kondisi di mana tubuh Anda telah terpapar
bakteri M. tuberculosis, namun bakteri tersebut masih dalam kondisi
“tertidur”. Sehingga, tubuh Anda tidak menunjukkan gejala-gejala
infeksi atau penyakit TBC aktif
Jika Anda memiliki TBC laten dan berusia 65 tahun ke bawah,
Anda mungkin perlu mendapatkan obat-obatan TBC. Lansia di atas
65 tahun perlu mendapatkan pengawasan lebih lanjut karena obat-
obatan tersebut berpotensi menyebabkan kerusakan hati.
Biasanya, TBC laten akan ditangani dengan kombinasi obat
rifampicin dan isoniazid selama 3 bulan. Dalam beberapa kasus,
dokter juga mungkin akan meresepkan obat TBC isoniazid saja dan
Anda harus minum obat tersebut selama 6 bulan.
Yang harus diperhatikan sebelum mengonsumsi obat TBC

1. Sebelum Anda menjalani pengobatan TBC, terdapat beberapa


kondisi yang memerlukan perhatian khusus.
2. Misalnya, wanita hamil yang menderita TBC. Saat Anda hamil,
dokter tidak akan meresepkan obat TBC jenis streptomycin
karena berpotensi menembus dinding plasenta janin Anda.
Kondisi tersebut berisiko menyebabkan gangguan pendengaran
dan keseimbangan pada janin.
3. Selain itu, jika Anda sedang memakai alat kontrasepsi, seperti pil
atau suntikan KB, Anda harus menghindari pengobatan TBC
dengan rifampicin. Rifampicin berpotensi menurunkan kinerja
alat kontrasepsi yang sedang Anda gunakan.
Lanjutan…..

• Obat TBC jenis isoniazid, rifampicin, dan pyrazinamide


harus diberikan dengan dosis sewajarnya pada penderita
gangguan ginjal. Selain itu, penggunaan rifampicin juga
berpotensi mengganggu obat oral anti diabetes yang
dikonsumsi oleh penderita diabetes.
• Bagaimana Anda tahu Anda sudah tidak perlu menjalani
pengobatan TBC? Anda akan dinyatakan sembuh apabila
telah mengonsumsi obat TBC sampai habis, dan hasil
kultur dahak Anda negatif setelah diperiksa setidaknya 2
kali berturut-turut.

Anda mungkin juga menyukai