Anda di halaman 1dari 15

Disusun Oleh :

• Al ilmi

AL JARRAH • Diky Haikal Hidayat


• Muhammad zulkifli

WA’TADIL • Yunita Dewi


• Yudi Ashari
PENGERTIAN : Kalimat ‘al-jarh wa Ta’dil merupakan satu dari kesatuan pengertian, yang terdiri dari dua kata,
yaitu ‘al-jarh’ dan ‘al-adl’. Al-Jarh secara bahasa merupakan bentuk mashdar, dari kata ‫جر ح‬,,‫ ى‬-‫ر ح‬,‫ ج‬ , yang  berarti
‘seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah pada luka itu’. Dikatakan
juga (tulisan arab), yang berarti hakim dan yang lain melontarkan sesuatu yang menjatuhkan sifat adil saksi, berupa
kedustaan dan sebagainya.[1] Secara terminologi, al-jarh berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang
menodai sifat adilnya atau mencacatkan hapalan dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan gugur riwayatnya
atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak riwayatnya. Adapun ‘at-tajrih’ menyifatinseorang perawi dengan sifat-
sifat yang membawa konsekuensi penilaian lemah atas riwayatnya atau tidak diterima

MANFAAT ILMU AL JARRAH WA’TADIL


ILMU AL-JARH WA ALTA’DIL BERMANFAAT UNTUK MENETAPKAN APAKAH PERIWAYATAN SEORANG RAWI ITU DAPAT DITERIMA ATAU HARUS
DITOLAK SAMA SEKALI. APABILA SEORANG RAWI DINILAI OLEH PARA AHLI SEBAGAI SEORANG RAWI YANG CACAT, PERIWAYATANNYA
HARUS DITOLAK, DAN APABILA SEORANG RAWI DIPUJI SEBAGAI SEORANG YANG ADIL, NISCAYA PERIWAYATANNYA DTERIMA, SELAMA
SYARAT-SYARAT YANG LAIN UNTUK MENERIMA HADIS TERPENUHI.
ILMU AL JARAH WA’TADIL

METODE ILMU AL-JARH WA AL-TA’DIL


PERTAMA, DENGAN KEPOPULERAN DI KALANGAN PARA AHLI ILMU BAHWA IA DIKENAL SEBAGAI SEORANG YANG ADIL
(BISY-SYUHRAH). SEPERTI TERKENALNYA SEBAGAI PARA AHLI ILMU BAGI ASY-SYAFI’I, AHMAD BIN HAMBAL, DAN
SEBAGAINYA. OLEH KARENA ITU, MEREKA SUDAH TERKENAL SEBAGAI ORANG YANG ADIL DI KALANGAN PARA AHLI ILMU
SEHINGGA TIDAK PERLU DIPERBINCANGKAN LAGI TENTANG KEADILANNYA.[5]
KEDUA, DENGAN PUJIAN DARI SEORANG YANG ADIL (TAZKIYAH), YAITU DITETAPKAN SEBAGAI RAWI YANG ADIL YANG
SEMULA RAWI YANG DI-TA’DIL-KAN ITU BELUM TERKENAL SEBAGAI RAWI YANG ADIL
ILMU AL JARAH WA’TADIL

SYARAT-SYARAT BAGI ORANG YANG MEN-TA’DIL-KAN DAN MEN - TAJIRH KAN


1.      BERILMU PENGETAHUAN,
2.      TAKWA,
3.      WARA’ (ORANG YANG SELALU MENJAUHI PERBUATAN MAKSIAT, SYUBHAT, DOSA-DOSAKECIL, DAN MAKRUHAT-MAKRUHAT,
4.      JUJUR
5.      MENJAUHI FANATIK GOLONGAN,
6.      MENGETAHUI SEBAB-SEBAB UNTUK MEN-TA’DIL-KAN DAN MEN-TAJRIH-KAN
 Pertentangan Antara Al-Jarah dan Al-
Ta’dil
◦ a.       Al-Jarh harus didahulukan secara mutak, walaupun jumlah mu’addil-nya lebih banyak
daripada jarh-nya. Sebab bagi jarih tertentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui
oleh mu’adil, dan kalau jarih dapat membenarkan mu’adil tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya
saja, sedangkan jarih memberitakan urusan batiniyah yang tidak diketahui oleh si mu’adil. Inilah
pendapat yang dipegang mayoritas ulama.[8]
◦ b.      Ta’dil didahulakan daripada jarh, bila yang men-ta’dil-kan lebih banyak karena banyaknya yang
men-ta’dil-kan bisa mengukuhkan keadaan rawi-rawi yang bersangkutan. Menurut ‘Ajjaj Al-Khatib,
pendapat ini dapat diterima, sebab yang men-ta’dil. Meskipun lebih banyak jumlahnya, tidak
memberitahukan apa yang menyanggah pernyataan yang men-tajrih.[9]
◦ c.       Bila jarh dan ta’dil bertentangan, salah satunya tidak bisa didahulakan, kecuali dengan adanya
perkara yang mengukuhkan salah satunya, yakni keadaan dihentikan sementara, sampai diketahui mana
yang lebih kuat di antara keduanya.[10]
Bentuk Lafazh-Lafazh Ilmu Al-Jarh Wa Al-
Ta’dil
◦Lafazh-lafazh yang digunakan untuk mentarjihkan dan menta’dilkan itu bertingkat. Menurut Ibnu
Hatim, Ibnu Shalah, dan Imam An-Nawawi, lafazh-lafazh itu disusun secara bertingkat-tingkat yaitu 4
tingkatan, menurut Al-Hafizd Ad-Dzahaby dan Al-‘Iraqy menjadi 5 tingkatan, sedangkan Ibnu Hajar
menyusunnya menjadi 6 tingkatan,[12] yaitu sebagai berikut.
◦Tingkat pertama, segala sesuatu yang mengandung  kelebihan rawi dalam keadilan, dengan
menggunakan lafazh-lafazh yang af’alu al-ta’dil atau ungkapan lain yang mengandung ungkapan sejenis,
misalnya “Orang yang paling tsiqat, orang yang paling kuat hapalannya”.
◦Tingkatan kedua, memeperkuat ke-tsiqah-an rawi dengan membubuhi satu sifat yang menunjukan
keadilan dan ke-dahbit-annya, baik sifatnya yang dihubungkan itu selafadz (dengan mengulangnya)
maupun semakna, misalnya “Orang yang hafidz (lagi) petah lidahnya”.
◦Tingkatan ketiga, menunjukan keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung arti’kuat ingatan’,
misalnya “Orang yang hafizh (kuat hapalannya)”
◦Tingkatan keempat, menunjukan keadilan dan kedlabitan, tetapi dengan lafadh yang tidak
mengandung arti kuat ingatan dan adil, misalnya “Orang yang sangat jujur”
◦Tingkatan kelima, menunjukan kejujuran rawi, tetapi dengan lafazh yang tidak terfaham adanya
kedlabithan, misalnya “Orang yang berstatus jujur”
Tingkatan At-Ta’dil
1. Tingkatan Pertama
Yang menggunakan bentuk superlatif dalam penta’dil-an,
atau dengan menggunakan wazan af’ala dengan
menggunakan ungkapan-ungkapan seperti : “Fulan
kepadanyalah puncak ketepatan dalam periwayatan” atau
“Fulan yang paling tepat periwayatan dan ucapannya”
atau Fulan orang yang paling kuat hafalan dan
ingatannya”.
2. Tingkatan Kedua
Dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ke-tsiqah-
annya, ke-‘adil-annya, dan ketepatan periwayatannya,
baik dengan lafadh maupun dengan makna; seperti :
tsiqatun-tsiqah, atau tsiqatun-tsabt, atau tsiqah dan
terpercaya (ma’mun), atau tsiqah dan hafidh.
3. Tingkatan Ketiga
Yang menunjukkan adanya pentsiqahan tanpa adanya
penguatan atas hal itu, seperti : tsiqah, tsabt, atau hafidh.
4. Tingkatan Keempat
Yang menunjukkan adanya ke-‘adil-an dan kepercayaan tanpa
adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian. Seperti :
Shaduq, Ma’mun (dipercaya), mahalluhu ash-shidq (ia
tempatnya kejujuran), atau laa ba’sa bihi (tidak mengapa
dengannya). Khusus untuk Ibnu Ma’in kalimat laa ba’sa bihi
adalah tsiqah (Ibnu Ma’in dikenal sebagai ahli hadits yang
mutasyaddid, sehingga lafadh yang biasa saja bila ia ucapkan
sudah cukup untuk menunjukkan ketsqahan perawi tersebut).
Hukum Tingkatan-Tingkatan Ini
1. Untuk tiga tingkatan pertama, dapat dijadikan hujjah,
meskipun sebagian mereka lebih kuat dari sebagian yang
lain.
2. Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa
dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka boleh ditulis, dan
diuji kedlabithan mereka dengan membandingkan hadits
mereka dengan hadits-hadits para tsiqah yang dlabith.
Jika sesuai dengan hadits mereka, maka bisa dijadikan
hujjah. Dan jika tidak sesuai, maka ditolak.
3. Sedangkan untuk tingkatan keenam, tidak bisa
dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka ditulis untuk
dijadikan sebagai pertimbangan saja, bukan untuk
pengujian, karena mereka tidak dlabith.
Tingkatan Al-Jarh
1. Tingkatan Pertama
Yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang
paling rendah dalam tingkatan al-jarh seperti : layyinul-
hadiits (lemah haditsnya), atau fiihi maqaal (dirinya
diperbincangkan), atau fiihi dla’fun (padanya ada
kelemahan).
2. Tingkatan Kedua
Yang menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi
dan tidak boleh dijadikan sebagai hujjah; seperti : “Fulan
tidak boleh dijadikan hujjah”, atau “dla’if, atau “ia
mempunyai hadits-hadits yang munkar”, atau majhul
(tidak diketahui identitas/kondisinya).
3. Tingkatan Ketiga
Yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis
haditsnya, seperti : “Fulan dla’if jiddan (dla’if sekali)”,
atau “tidak ditulis haditsnya”, atau “tidak halal
periwayatan darinya”, atau laisa bi-syai-in (tidak ada apa-
apanya). (Dikecualikan untuk Ibnu ma’in bahwasannya
ungkapan laisa bisyai-in sebagai petunjuk bahwa hadits
perawi itu sedikit).
4. Tingkatan Keempat
Yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsua hadits,
seperti : Fulan muttaham bil-kadzib (dituduh berdusta)
atau “dituduh memalsukan hadits”, atau “mencuri hadits”,
atau matruk (yang ditinggalkan), atau laisa bi tsiqah
(bukan orang yang terpercaya).
Hukum Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh
1. Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan
sebagai hujjah terhadap hadits mereka, akan tetapi boleh
ditulis untuk diperhatikan saja. Dan tentunya orang untuk
tingkatan kedua lebih rendah kedudukannya daripada
tingkatan pertama.
2. Sedangkan empat tingkatan terakhir tidak boleh
dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh ditulis, dan tidak
dianggap sama sekali.(Tadriibur-Rawi halaman 229-233;
Kitab-Kitab yang membahas Tentang Al-Jarh wat-
Ta’dil
Penyusunan karya dalam ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil telah
berkembang sekitar abad ketiga dan keempat, dan komentar
orang-orang yang berbicara mengenai para tokoh secara jarh
dan ta’dil sudah dikumpulkan. Dan jika permulaan
penyusunan dalam ilmu ini dinisbatkan kepada Yahya bin
Ma’in, Ali bin Al-Madini, dan Ahmad bin Hanbal; maka
penyusunan secara meluas terjadi sesudah itu, dalam karya-
karya yang mencakup perkataan para generasi awal tersebut.
1. Kitab Ma’rifatur-Rijaal, karya Yahya bin Ma’in (wafat
tahun 233 H), terdapat sebagian darinya berupa
manuskrip.
2. Kitab Adl-Dlu’afaa’ul-Kabiir dan Adl-Dlu’afaa’ush-
Shaghiir, karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari
(wafat tahun 256 H), dicetak di India. Karya beliau yang
lain : At-Tarikh Al-Kabiir, Al-Ausath, dan Ash-
Shaghiir[/I].
3. Kitab Ats-Tsiqaat, karya Abul-Hasan Ahmad bin
Abdillah bin Shalih Al-‘Ijly (wafat tahun 261 H),
manuskrip.
4. Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Abu Zur’ah
Ubaidillah bin Abdilkariim Ar-Razi (wafat tahun 264 H),
manuskrip.
SEKIAN
TERIMAKASIH
MAAP BILA ADA KESALAHAN KATA MAUPUN CARA PENULISAN

Anda mungkin juga menyukai