• Yudi Ashari PENGERTIAN : Kalimat ‘al-jarh wa Ta’dil merupakan satu dari kesatuan pengertian, yang terdiri dari dua kata, yaitu ‘al-jarh’ dan ‘al-adl’. Al-Jarh secara bahasa merupakan bentuk mashdar, dari kata جر ح,, ى-ر ح, ج , yang berarti ‘seseorang membuat luka pada tubuh orang lain yang ditandai dengan mengalirnya darah pada luka itu’. Dikatakan juga (tulisan arab), yang berarti hakim dan yang lain melontarkan sesuatu yang menjatuhkan sifat adil saksi, berupa kedustaan dan sebagainya.[1] Secara terminologi, al-jarh berarti munculnya suatu sifat dalam diri perawi yang menodai sifat adilnya atau mencacatkan hapalan dan kekuatan ingatannya, yang mengakibatkan gugur riwayatnya atau lemah riwayatnya atau bahkan tertolak riwayatnya. Adapun ‘at-tajrih’ menyifatinseorang perawi dengan sifat- sifat yang membawa konsekuensi penilaian lemah atas riwayatnya atau tidak diterima
MANFAAT ILMU AL JARRAH WA’TADIL
ILMU AL-JARH WA ALTA’DIL BERMANFAAT UNTUK MENETAPKAN APAKAH PERIWAYATAN SEORANG RAWI ITU DAPAT DITERIMA ATAU HARUS DITOLAK SAMA SEKALI. APABILA SEORANG RAWI DINILAI OLEH PARA AHLI SEBAGAI SEORANG RAWI YANG CACAT, PERIWAYATANNYA HARUS DITOLAK, DAN APABILA SEORANG RAWI DIPUJI SEBAGAI SEORANG YANG ADIL, NISCAYA PERIWAYATANNYA DTERIMA, SELAMA SYARAT-SYARAT YANG LAIN UNTUK MENERIMA HADIS TERPENUHI. ILMU AL JARAH WA’TADIL
METODE ILMU AL-JARH WA AL-TA’DIL
PERTAMA, DENGAN KEPOPULERAN DI KALANGAN PARA AHLI ILMU BAHWA IA DIKENAL SEBAGAI SEORANG YANG ADIL (BISY-SYUHRAH). SEPERTI TERKENALNYA SEBAGAI PARA AHLI ILMU BAGI ASY-SYAFI’I, AHMAD BIN HAMBAL, DAN SEBAGAINYA. OLEH KARENA ITU, MEREKA SUDAH TERKENAL SEBAGAI ORANG YANG ADIL DI KALANGAN PARA AHLI ILMU SEHINGGA TIDAK PERLU DIPERBINCANGKAN LAGI TENTANG KEADILANNYA.[5] KEDUA, DENGAN PUJIAN DARI SEORANG YANG ADIL (TAZKIYAH), YAITU DITETAPKAN SEBAGAI RAWI YANG ADIL YANG SEMULA RAWI YANG DI-TA’DIL-KAN ITU BELUM TERKENAL SEBAGAI RAWI YANG ADIL ILMU AL JARAH WA’TADIL
SYARAT-SYARAT BAGI ORANG YANG MEN-TA’DIL-KAN DAN MEN - TAJIRH KAN
1. BERILMU PENGETAHUAN, 2. TAKWA, 3. WARA’ (ORANG YANG SELALU MENJAUHI PERBUATAN MAKSIAT, SYUBHAT, DOSA-DOSAKECIL, DAN MAKRUHAT-MAKRUHAT, 4. JUJUR 5. MENJAUHI FANATIK GOLONGAN, 6. MENGETAHUI SEBAB-SEBAB UNTUK MEN-TA’DIL-KAN DAN MEN-TAJRIH-KAN Pertentangan Antara Al-Jarah dan Al- Ta’dil ◦ a. Al-Jarh harus didahulukan secara mutak, walaupun jumlah mu’addil-nya lebih banyak daripada jarh-nya. Sebab bagi jarih tertentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh mu’adil, dan kalau jarih dapat membenarkan mu’adil tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya saja, sedangkan jarih memberitakan urusan batiniyah yang tidak diketahui oleh si mu’adil. Inilah pendapat yang dipegang mayoritas ulama.[8] ◦ b. Ta’dil didahulakan daripada jarh, bila yang men-ta’dil-kan lebih banyak karena banyaknya yang men-ta’dil-kan bisa mengukuhkan keadaan rawi-rawi yang bersangkutan. Menurut ‘Ajjaj Al-Khatib, pendapat ini dapat diterima, sebab yang men-ta’dil. Meskipun lebih banyak jumlahnya, tidak memberitahukan apa yang menyanggah pernyataan yang men-tajrih.[9] ◦ c. Bila jarh dan ta’dil bertentangan, salah satunya tidak bisa didahulakan, kecuali dengan adanya perkara yang mengukuhkan salah satunya, yakni keadaan dihentikan sementara, sampai diketahui mana yang lebih kuat di antara keduanya.[10] Bentuk Lafazh-Lafazh Ilmu Al-Jarh Wa Al- Ta’dil ◦Lafazh-lafazh yang digunakan untuk mentarjihkan dan menta’dilkan itu bertingkat. Menurut Ibnu Hatim, Ibnu Shalah, dan Imam An-Nawawi, lafazh-lafazh itu disusun secara bertingkat-tingkat yaitu 4 tingkatan, menurut Al-Hafizd Ad-Dzahaby dan Al-‘Iraqy menjadi 5 tingkatan, sedangkan Ibnu Hajar menyusunnya menjadi 6 tingkatan,[12] yaitu sebagai berikut. ◦Tingkat pertama, segala sesuatu yang mengandung kelebihan rawi dalam keadilan, dengan menggunakan lafazh-lafazh yang af’alu al-ta’dil atau ungkapan lain yang mengandung ungkapan sejenis, misalnya “Orang yang paling tsiqat, orang yang paling kuat hapalannya”. ◦Tingkatan kedua, memeperkuat ke-tsiqah-an rawi dengan membubuhi satu sifat yang menunjukan keadilan dan ke-dahbit-annya, baik sifatnya yang dihubungkan itu selafadz (dengan mengulangnya) maupun semakna, misalnya “Orang yang hafidz (lagi) petah lidahnya”. ◦Tingkatan ketiga, menunjukan keadilan dengan suatu lafadz yang mengandung arti’kuat ingatan’, misalnya “Orang yang hafizh (kuat hapalannya)” ◦Tingkatan keempat, menunjukan keadilan dan kedlabitan, tetapi dengan lafadh yang tidak mengandung arti kuat ingatan dan adil, misalnya “Orang yang sangat jujur” ◦Tingkatan kelima, menunjukan kejujuran rawi, tetapi dengan lafazh yang tidak terfaham adanya kedlabithan, misalnya “Orang yang berstatus jujur” Tingkatan At-Ta’dil 1. Tingkatan Pertama Yang menggunakan bentuk superlatif dalam penta’dil-an, atau dengan menggunakan wazan af’ala dengan menggunakan ungkapan-ungkapan seperti : “Fulan kepadanyalah puncak ketepatan dalam periwayatan” atau “Fulan yang paling tepat periwayatan dan ucapannya” atau Fulan orang yang paling kuat hafalan dan ingatannya”. 2. Tingkatan Kedua Dengan menyebutkan sifat yang menguatkan ke-tsiqah- annya, ke-‘adil-annya, dan ketepatan periwayatannya, baik dengan lafadh maupun dengan makna; seperti : tsiqatun-tsiqah, atau tsiqatun-tsabt, atau tsiqah dan terpercaya (ma’mun), atau tsiqah dan hafidh. 3. Tingkatan Ketiga Yang menunjukkan adanya pentsiqahan tanpa adanya penguatan atas hal itu, seperti : tsiqah, tsabt, atau hafidh. 4. Tingkatan Keempat Yang menunjukkan adanya ke-‘adil-an dan kepercayaan tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan ketelitian. Seperti : Shaduq, Ma’mun (dipercaya), mahalluhu ash-shidq (ia tempatnya kejujuran), atau laa ba’sa bihi (tidak mengapa dengannya). Khusus untuk Ibnu Ma’in kalimat laa ba’sa bihi adalah tsiqah (Ibnu Ma’in dikenal sebagai ahli hadits yang mutasyaddid, sehingga lafadh yang biasa saja bila ia ucapkan sudah cukup untuk menunjukkan ketsqahan perawi tersebut). Hukum Tingkatan-Tingkatan Ini 1. Untuk tiga tingkatan pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian mereka lebih kuat dari sebagian yang lain. 2. Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka boleh ditulis, dan diuji kedlabithan mereka dengan membandingkan hadits mereka dengan hadits-hadits para tsiqah yang dlabith. Jika sesuai dengan hadits mereka, maka bisa dijadikan hujjah. Dan jika tidak sesuai, maka ditolak. 3. Sedangkan untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadits mereka ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja, bukan untuk pengujian, karena mereka tidak dlabith. Tingkatan Al-Jarh 1. Tingkatan Pertama Yang menunjukkan adanya kelemahan, dan ini yang paling rendah dalam tingkatan al-jarh seperti : layyinul- hadiits (lemah haditsnya), atau fiihi maqaal (dirinya diperbincangkan), atau fiihi dla’fun (padanya ada kelemahan). 2. Tingkatan Kedua Yang menunjukkan adanya pelemahan terhadap perawi dan tidak boleh dijadikan sebagai hujjah; seperti : “Fulan tidak boleh dijadikan hujjah”, atau “dla’if, atau “ia mempunyai hadits-hadits yang munkar”, atau majhul (tidak diketahui identitas/kondisinya). 3. Tingkatan Ketiga Yang menunjukkan lemah sekali dan tidak boleh ditulis haditsnya, seperti : “Fulan dla’if jiddan (dla’if sekali)”, atau “tidak ditulis haditsnya”, atau “tidak halal periwayatan darinya”, atau laisa bi-syai-in (tidak ada apa- apanya). (Dikecualikan untuk Ibnu ma’in bahwasannya ungkapan laisa bisyai-in sebagai petunjuk bahwa hadits perawi itu sedikit). 4. Tingkatan Keempat Yang menunjukkan tuduhan dusta atau pemalsua hadits, seperti : Fulan muttaham bil-kadzib (dituduh berdusta) atau “dituduh memalsukan hadits”, atau “mencuri hadits”, atau matruk (yang ditinggalkan), atau laisa bi tsiqah (bukan orang yang terpercaya). Hukum Tingkatan-Tingkatan Al-Jarh 1. Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan sebagai hujjah terhadap hadits mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja. Dan tentunya orang untuk tingkatan kedua lebih rendah kedudukannya daripada tingkatan pertama. 2. Sedangkan empat tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak boleh ditulis, dan tidak dianggap sama sekali.(Tadriibur-Rawi halaman 229-233; Kitab-Kitab yang membahas Tentang Al-Jarh wat- Ta’dil Penyusunan karya dalam ilmu Al-Jarh wat-Ta’dil telah berkembang sekitar abad ketiga dan keempat, dan komentar orang-orang yang berbicara mengenai para tokoh secara jarh dan ta’dil sudah dikumpulkan. Dan jika permulaan penyusunan dalam ilmu ini dinisbatkan kepada Yahya bin Ma’in, Ali bin Al-Madini, dan Ahmad bin Hanbal; maka penyusunan secara meluas terjadi sesudah itu, dalam karya- karya yang mencakup perkataan para generasi awal tersebut. 1. Kitab Ma’rifatur-Rijaal, karya Yahya bin Ma’in (wafat tahun 233 H), terdapat sebagian darinya berupa manuskrip. 2. Kitab Adl-Dlu’afaa’ul-Kabiir dan Adl-Dlu’afaa’ush- Shaghiir, karya Imam Muhammad bin Isma’il Al-Bukhari (wafat tahun 256 H), dicetak di India. Karya beliau yang lain : At-Tarikh Al-Kabiir, Al-Ausath, dan Ash- Shaghiir[/I]. 3. Kitab Ats-Tsiqaat, karya Abul-Hasan Ahmad bin Abdillah bin Shalih Al-‘Ijly (wafat tahun 261 H), manuskrip. 4. Kitab Adl-Dlu’afaa’ wal-Matrukiin, karya Abu Zur’ah Ubaidillah bin Abdilkariim Ar-Razi (wafat tahun 264 H), manuskrip. SEKIAN TERIMAKASIH MAAP BILA ADA KESALAHAN KATA MAUPUN CARA PENULISAN