Anda di halaman 1dari 6

A.

Kontroversi Antara Al-Jarh Wa Ta’dil

Terkadang pernyataan-pernyataan ulama tentang jarh dan ta’dil terhadap ulama yang
sama bisa saling bertentangan. Sebagian menjarhnya dan sebagian yang lain menta’dilkannya
maka harus dikaji terlebih dahulu.

Dalam menghadapi kontroversi ini maka ulama menawarkan empat opsi alternatif
untuk memecahkan masalah tersebut1 yaitu sebagai berikut:

a. Al-jarh harus didahulukan secara mutlak walaupun jumlah muaddilnya lebih


banyak daripada jarhnya. Sebab, ulama yang menjarh mengetahui dan
memberitahukan sesuatu mengenai urusan bathiniah yang tidak diketahui oleh
muaddil dan muaddil hanya menilai dari dzahirnya saja. Inilah pendapat
mayoritas ulama.2
b. Ta’dil didahulukan daripada jarh bila yang menta’dilkan lebih banyak karena
banyaknya ulama yang menta’dilkannya maka itu bisa mengukuhkan keadaan
rawi yang bersangkutan. Selain itu, alasannya juga karena sifat asal rawi
adalah terpuji.
c. Jika jarh dan ta’dil bertentangan maka yang harus didahulukan adalah yang
menta’dilkan kecuali yang menjarh menyebutkan sebab-sebabnya. Hal ini
cukup menyebutkan salah satu kecacatannya yang dapat menggugurkan
keadilan rawi tersebut.
d. Jika jarh dan ta’dil bertentangan maka yang harus didahulukan adalah yang
menjarh jika yang ulama yang menjarh lebih banyak daripada yang
menta’dilkannya. Sebagian ulama berpendapat bahwa jika keduanya
bertentangan maka salah satunya tidak bisa didahulukan kecuali dengan
adanya perkara yang mengukuhkan salah satunya yakni keadaan dihentikan
untuk sementara waktu sampai diketahui mana yang lebih kuat di antara
keduanya3 dan tetap dalam ta’arudh bila tidak ditemukan pengukuhan
tersebut.4

1. Apakah Ta’dil Harus Diterangkan Sebabnya?


1
M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, op. cit., h. 163.
2
Al-Khatib, op. cit., h. 241.
3
Ibid.,
4
Endang Soetari, Ilmu Hadis “Kajian Riwayah dan Dirayah”, (Bandung: Mimbar Pustaka, 2005), h.
208.
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Di antaranya yaitu:

Sebagian para imam berpendapat, harus menyebutkan sebab-sebab keadilannya.


Adapun alasannya ada dua:

Karena kadang ulama memberikan rekomendasi keadilan tidak sesuai dengan


sebab yang menjadikan ulama adil. Sebagaimana yang dikatakan kepada
Ahmad bin Yunus: “Abdullah bin Al ‘Amari dha’if, maka dia berkata:
“Sesungguhnya yang mendha’ifkannya hanyalah ulama-ulama Rafidhah yang
marah kepada bapaknya. Seandainya kalian melihat jenggot dan keadaannya
maka Anda akan mengetahui bahwa ia ulama yang tsiqah. “
Sesungguhnya sebab-sebab tersebut mempunyai peran sangat besar terhadap
keadilan ulama, maka manusia cepat memujinya dengan melihatnya secara
dzahir.

Sebagian yang lain tidak mengharuskan penyebutan sebab keadilan. Adapun


alasannya ada dua:

o Ijma’ umat, bahwa ta’dil tidak diambil kecuali dari perkataan ulama yang adil
pula, yang mengetahui segala sesuatu yang menjadikan ulama adil atau jarh.
o Sesungguhnya sebab-sebab keadilan sangat banyak sekali. Bila diharuskan
menyebutkannya, maka penta’dil harus menyebutkan setiap perbuatan baik
yang dilakukan ulama yang dita’dilnya yang sesuai dengan syar’i maupun
yang bertentangan dengan syar’i, sehingga ini sangat sulit untuk
menyebutkannya. Ulama yang berpendapat ini diantaranya Imam An Nawawi,
Mahmud Al-Thahhan, Abdul Mahdi bin Abdul Qadir bin Abdul Hadi.
Pendapat yang kedua inilah yang paling banyak dipakai.

2. Apakah Jarh Harus Diterangkan Sebabnya?

Dalam hal ini ulama berpendapat, sebagian ulama tidak mengharuskan menjelaskan
jarh selama syarat-syarat sebagai Jarh telah terpenuhi. Sedangkan sebagian yang lain
mengharuskan menjelaskan sebab-sebab jarh. Di antara alasannya:

 Menjelaskan sebab-sebab jarh tidak sulit, karena dengan satu sebab sudah cukup.
 Kebanyakan manusia menyelisihi perbuatan yang menjadikan ulama dijarh. Yang
sependapat dengan pendapat ini diantaranya Imam An Nawawi, Mahmud Ath
Thahhan, Ibnu Ash Shalah dan yang lainnya.

B. Lafadz-Lafadz Ilmu Al-Jarh Wa Ta’dil

Ibnu Abi Hatim dalam bagian pendahuluan kitabnya Al Jarh wa At Ta’dil


menetapkan lafaz-lafaz dalam jarh wa ta’dil menjadi empat tingkatan, sedangkan para ulama
lainnya menambah dua poin menjadi enam, di antaranya adalah:

a. lafadz tingkatan ta’dil


o Lafaz menggunakan bentuk superlative (mubalaghah) dalam ketsiqahan atau
mengikuti wazan af’al, contoh: ‫( فالن اثبت الن اس‬Fulan adalah manusia yang paling

teguh), ‫(فالن اليه المنته الثبوت‬fulan yang paling tinggi keteguhannya) dan lainnya.

o Lafaz yang menyebutkan salah satu sifat atau dua sifat yang menguatkan
ketsiqahannya dan keadilan contoh: ‫ ثقة ثقة‬- ‫ثقة ثبت‬

o Ungkapan yang menunjukkan ketsiqahan tanpa adanya penguat contoh: -‫ثقة – ثبت‬

‫متقن‬

o Lafaz yang menunjukkan ta’dil tanpa adanya isyarat akan kekuatan hafalan dan
ketelitian, contoh: shaduquna (ulama yang jujur), ma’mun (terpercaya) laa ba’sa
bih (tidak masalah atau tidak ada cacat).
o Lafaz yang tidak menunjukan ketsiqahan atau pun celaan Contoh; Fulanun
Syaikhun, rawiya ‘anhu An Nas (manusia meriwayatkan darinya).
o Lafaz yang mendekati adanya jarh contoh: fulan shalih hadis (lumayan) atau
yuktabu hadisuhu (hadisnya dicatat).

Karena terjadi perbedaan peringkat, maka ada lafaz yang sama untuk peringkat al-jarh
dan ta’dil, tetapi memiliki peringkat yang berbeda. Lafaz saduq, misalnya, ada ulama yang
menempatkannya pada peringkat kedua dalam urutan al-ta’dil dan ada ulama yang
menempatkannya pada urutan keempat. Adanya perbedaan dalam menempatkan peringkat
lafaz, untuk jarh wa ta’dil itu memberi petunjuk bahwa memahami tingkat kualitas yang
dimaksudkan oleh lafaz jarh wa ta’dil diperlukan penelitian misalnya dengan
menghubungkan penggunaan lafaz itu kepada ulama yang memakainya.

Untuk memperoleh gambaran lebih jelas tentang macam-macam lafaz untuk jarh wa
ta’dil beserta peringkatnya masing-masing, perlu dipelajari lebih mendalam kitab-kitab yang
membahas al-jarh wa ta’dil dan perbedaan lafadz yang digunakan dalam kitab tersebut.

b. Hukum Tingkatan-tingkatan Ta’dil

- Untuk tiga tingkatan pertama, dapat dijadikan hujjah, meskipun sebagian mereka
lebih kuat dari sebagian yang lain.
- Adapun tingkatan keempat dan kelima, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadis
mereka boleh ditulis, dan diuji kedlabithan mereka dengan membandingkan hadis
mereka dengan hadis-hadis para tsiqah yang dlabith. Jika sesuai dengan hadis
mereka, maka bisa dijadikan hujjah. Dan jika tidak sesuai, maka ditolak.
- Sedangkan untuk tingkatan keenam, tidak bisa dijadikan hujjah. Tetapi hadis
mereka ditulis untuk dijadikan sebagai pertimbangan saja, bukan untuk pengujian,
karena mereka tidak dlabith.

c. Lafadz tingkatan jarh:

Lafaz yang menunjukan adanya kelemahan (yaitu jarh yang paling ringan),
contohnya fulan layyinun Al Hadis, atau hadisuhu maqalun, (hadisnya
diperbincangkan).
Lafaz yang menunjukkan adanya kelemahan terhadap rawi tidak dapat dijadikan
hujjah, contoh fulan laa yuhtaj bihi (fulan tidak bisa dijadikan hujjah), atau dha’if,
lahu manakir (hadis nya munkar).
Lafaz yang menunjukan lemah sekali tidak dapat ditulis hadis nya, contoh : fulan
laa yuktab hadis uhu (fulan hadis nya tidak ditulis), laa tahillu riwayatahu (tidak
boleh meriwayatkan darinya), fulan dha’if jiddan, wahn bi marattin (ulama yang
sering melakukan persangkaan).
Lafaz yang menunjukkan adanya tuduhan berbuat dusta atau pemalsuan hadis.
Contoh fulan muthamun bil kadzb (fulan dituduh berbuat dusta), fulan muthamun
bi Al Wadh’i (fulan dituduh membuat hadis palsu), yasriqu Al Hadis (dia mencuri
hadis), matruk, atau laisa bi tsiqah.
Lafaz yang menunjukkan adanya perbuatan dusta atau yang semacamnya, contoh
kadzdzab atau dajjal, wadha’ (pemalsu).
Lafaz yang menunjukkan adanya mubalaghah (superlatif) dalam perbuatan dusta,
contoh fulan paling pembohong, ilaihi al muntaha bi al kadzb (dia pangkalnya
kedustaan) dan lainnya.

d. Hukum Tingkatan-tingkatan Al-Jarh

 Untuk dua tingkatan pertama tidak bisa dijadikan sebagai hujjah terhadap hadis
mereka, akan tetapi boleh ditulis untuk diperhatikan saja. Dan tentunya ulama
untuk tingkatan kedua lebih rendah kedudukannya daripada tingkatan pertama.
 Sedangkan empat tingkatan terakhir tidak boleh dijadikan sebagai hujjah, tidak
boleh ditulis, dan tidak dianggap sama sekali.

Penjelasan ulama tersebut dapat disimpulkan:

Syarat-syarat yang berkenaan dengan sifat pribadi, yakni bersifat adil, (sifat adil
dalam hal ini adalah menurut ulama ahli hadis), yaitu tidak bersikap fanatik terhadap mazhab
yang dianutnya, dan tidak bermusuhan dengan periwayat yang dinilainya, termasuk terhadap
periwayat yang berbeda aliran dengannya.

Syarat-syarat yang berhubungan dengan penguasaan pengetahuan, dalam hal ini harus
memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam, terutama yang berkenaan dengan ajaran
Islam, bahasa Arab, hadis dan ilmu hadis, pribadi periwayat yang di kritiknya, adat istiadat
(urf) yang berlaku, sebab-sebab yang melatarbelakangi sifat-sifat utama dan tercela yang
dimiliki oleh periwayat.

Dalam mengemukakan kritikan, sikap ulama, ahli kritik hadis ada yang ketat
(tasyaddud), ada yang longgar (tasahhul), ada pula yang berada antara kedua sifat itu yakni
moderat (tawassut). Ulama yang dikenal mutasyaddid atau mutasahhil ada yang berkaitan
dengan sikap dalam menilai kesahihan hadis dan ada yang berkaitan dengan sikap dalam
menilai.

Adapun untuk menetapkan Jarh, ada dua unsur yang bisa dijadikan dasar, pertama,
melalui kesaksian satu atau dua ulama yang adil. Jadi jarh ditetapkan cukup dengan
kesaksian satu ulama yang adil, laki-laki atau perempuan, merdeka atau budak. Kedua,
melalui kemasyhuran di kalangan ahli ilmu dengan jarh- (cacat) nya. Barang siapa yang
terkenal di kalangan ahli ilmu jarh (cacat) nya, maka ia majruh (ulama yang dijarh). Bahkan
ini jarhnya lebih kuat dari pada jarh dari kesaksian satu atau ulama yang adil.

Anda mungkin juga menyukai