Anda di halaman 1dari 7

Pemeriksaan Penunjang

● Tidak perlu dilakukan pemeriksaan penunjang khusus untuk menegakkan diagnosis.


● Apabila diperlukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang sesuai diagnosis banding.
● Pemeriksaan histopatologi dapat dilakukan pada kasus yang tidak dapat ditegakkan berdasarkan
gambaran klinis (PERDOSKI, 2017).
Terapi
● Pityriasis rosea bersifat self-limiting atau dapat sembuh secara spontan dalam 5-8 minggu. Belum
ada uji klinis yang adekuat mengenai efikasi pemberian medikamentosa pada pityriasis rosea.

● Pengobatan lebih bersifat simtomatis untuk mengurangi gejala dan mempercepat penyembuhan.
Lesi biasanya asimtomatik, tetapi pengobatan untuk pruritus mungkin diperlukan (Gomez, 2018).
Pengobatan mencakup antihistamin oral, obat topikal dengan bedak salisilat yang dibubuhi mentol
0,5-1% dan terapi supportif berupa pelembab (emollient). Pemberian kortikosteroid topikal
diberikan hanya sesuai indikasi dan tidak dianjurkan pemberian steroid sistemik (Mahajan, Relhan
dan Garg, 2016).

● Dosis antihistamin oral, obat topikal dan terapi supportif berupa pelembab yang dapat diberikan
pada kasus yaitu:
○ Antihistamin sistemik: apabila pruritus menganggu dapat diberi Cetirizine 1x10 mg/hari
sebelum tidur.
○ Antipruritus topikal: bedak asam salisilat 2%+menthol 1% dapat diberiksan sehari 3 kali bila
gatal menganggu.
○ Emollient: lotion Vaseline 100 ml digunakan setiap 6 jam setelah mandi
● Pada beberapa kasus dapat diberikan antivirus jenis acyclovir, antibiotik golongan makrolid dan
fototerapi UV B. Namun hal ini perlu diperhatikan mengingat etiopatogenesis dari pityriasis rosea
masih kontroversial, belum diketahui secara pasti, dan beberapa penelitian tidak menganjurkan
pemberian pengobatan tersebut.

● Bila terdapat flu like syndrome dan atau kelainan kulit yang luas dapat diberikan acyclovir. Penelitian
menyebutkan pemberian acyclovir dosis tinggi (800 mg 5 kali sehari selama 7 hari) diduga
memberikan perbaikan gejala yang cepat dan resolusi lesi yang signifikan pada kasus pityriasis rosea
yang berat.

● Pemberian makrolid jenis eritromisin (4 kali 250 mg per hari) pada pityriasis rosea belum diketahui
mekanismenya secara pasti, namun diyakini bahwa mereka bertindak lebih melalui tindakan anti-
inflamasi dan imunomodulator daripada efek antibiotik, dimana diketahui bakteri tidak berkaitan
dengan penyakit.

● Pemberian fototerapi UVB dinilai dapat mempercepat penyembuhan karena menghambat fungsi
sel langerhans sebagai penyaji antigen, namun penggunaanya harus hati-hati karena dapat
menyebabkan hiperpigmentasi pasca inflamasi sehingga beberapa ahli tidak merekomendasikan
penggunannya (Gomez, 2018; Schwartz, 2021).
Edukasi
● Edukasi bahwa kelainan kulit merupakan self-limiting dan dapat sembuh sendiri selama 5-8
minggu. Terapi diberikan untuk mengatasi rasa gatal yang muncul. Obat diminum sehari sekali
sebelum tidur bila merasa gatal.

● Pasien juga dapat mengoleskan bedak dan pelembap untuk mengurangi gatal.

● Pasien kiranya tetap menjaga kebersihan kulit, mandi air yang tidak terlalu dingin namun juga tidak
terlalu hangat, dan jangan menggaruk lesi untuk mencegah infeksi sekunder.

● Pasien diminta menghindari bahan iritan yang dapat memperparah lesi.

● Bila lesi atau pruritus menetap lebih dari 12 minggu pasien perlu periksa kembali untuk
pertimbangan diagnosis lain seperti sifilis sekunder dan pertimbangan pemeriksaan laboratorium
seperti biopsi untuk memastikan diagnosis, dan menanyai pasien lagi tentang penggunaan obat-
obatan yang dapat menyebabkan lesi serupa pitiriasis rosea (Rakel, R. E. and Rakel, D. P., 2016).
Prognosis
● Quo ad vitam: ad bonam. Pityriasis Rosea tidak memiliki komplikasi yang serius
● Quo ad functionam: ad bonam. Lesi umumnya mengalami resolusi spontan dalam waktu 4-10
minggu dan sebagian kecil bertahan hingga 3 bulan. Lesi hipopigmentasi dan hiperpigmentasi
pasca inflamasi dapat terjadi.
● Quo ad sanationam: dubia ad bonam. Pityriasis Rosea dapat rekuren namun jarang terjadi
(PERDOSKI, 2017).
Daftar Pustaka
Bhugra P, Maiti A. Secondary Syphilis. N Engl J Med. 2020 Oct 1;383(14):1375. doi:
10.1056/NEJMicm2001103. PMID: 32997911.
 
Drago F, Ciccarese G, Herzum A, Rebora A, Parodi A. Pityriasis Rosea during Pregnancy: Major and
Minor Alarming Signs. Dermatology. 2018;234(1-2):31-36. doi: 10.1159/000489879. Epub 2018 Jun
22. PMID: 29936509.
 
Drago F, Ciccarese G, Javor S, Parodi A. Vaccine-induced pityriasis rosea and pityriasis rosea-like
eruptions: a review of the literature. J Eur Acad Dermatol Venereol. 2016 Mar;30(3):544-5. doi:
10.1111/jdv.12942. Epub 2014 Dec 29. PMID: 25545307.
 
Gomez JMV. Pityriasis rosea: diagnosis and treatment. Am Fam Physician. 2018;97(1):38-44.
https://www.aafp.org/afp/2018/0101/p38.html
 
Mahajan, K., Relhan, V., Relhan, A. K., & Garg, V. K. (2016). Pityriasis Rosea: An Update on
Etiopathogenesis and Management of Difficult Aspects. Indian journal of dermatology, 61(4), 375–384.
https://doi.org/10.4103/0019-5154.185699
 
Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI). (2017). Panduan Praktik Klinis
bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia. Jakarta: PERDOSKI.
terimakasih

Anda mungkin juga menyukai