Nama:
NIM:
Perekrutan Pasien dan Pengambilan Sampel Klinis
Eksklusi:
• imunodefisiensi
• kelainan koagulasi Seluruh subyek dilarang mengonsumsi
• sinusitis alergi fungal klasik steroid oral setidaknya 4 minggu
• sindrom ChurgStrauss (granulomatosis eosinofilik sebelum proses bedah.
dengan polingiitis)
• fibrosis sistik
• pasien yang sedang hamil
Karakteristik Pasien
Perekrutan Pasien dan Pengambilan Sampel Klinis
Kriteria skor JESREC digunakan untuk diagnosis rinosinusitis eosinofilik kronis yang melibatkan sistem pemberian skor untuk menilai penyakit
unilateral atau bilateral, adanya polip hidung, bayangan etmoid yang dominan pada CT, dan rasio eosinofil pada darah perifer, sebagaimana yang
telah dijelaskan sebelumnya. Skor total yang lebih tinggi dari 11 akan dianggap sebagai rinosinusitis eosinofil kronis.
Subkelompok rinosinusitis Ringan Sedang Parah
kronis
Berdasarkan faktor klinis A (contoh: >5% eosinofil pada darah
tepi, dan bayangan etmoid yang dominan pada CT) dan B
(contoh: penyakit komorbid asma bronkial, intoleransi aspirin,
dan obat anti inflamatoris non- steroid)
Pemeriksaan Enzyme-Linked Immunosorbent
Jaringan polip hidung diambil saat operasi hidung. Secara singkat, spesimen dipotong
dan dikultur dalam wadah 10 cm yang mengandung medium RPMI 1640myang
disuplementasi dengan serum fetus sapi yang diaktivasi panas 10%, glutamin 0.29
mg/ml, penisilin 100 U/ml, dan streptomisin 100 μg/ml, pada suhu 37° C, dalam CO2
Kultur Sel 5% CO2 dan udara yang lembab. Sel diambil selama 1 sampai 2 minggu hingga
mencapai konfluensi, dan sel fibroblast yang diturunkan dari mukosa hidung diambil.
Kemurnian fibroblast yang diambil dengan metode ini diperiksa dengan pemeriksaan
imunohistokimiawi menggunakan sitokeratin dan marker vimentin. Ketika sudah
konfluen, fibroblast yang sudah digabungkan distimulasi dengan rekombinan leptin
berbagai konsentrasi
Pemeriksaan RT-PCR
Jaringan hidung secara segera ditempatkan dalam reagen stabilisasi dan total RNA diekstraksi menggunakan
NucleoSpin RNA II dengan DNase I. Kualitas total RNA dari jaringan sinus diperiksa menggunakan 2100
Bioanalyzer RNA 6000 Nano LabChip. Untai tunggal cDNA disintesiskan menggunakan High Capacity cDNA
Reverse Transcription Kit. RT-PCR semikuantitatif dilakukan dengan metode RaqMan menggunakan sistem
Applied Biosystems StepOnePlus Real Time PCR. Alikuot dari cDNA setara 10 ng of total RNA yang digunakan
untuk rt-PCR. Tingkat ekspresi mRNA dinormalkan hinggan ekspresi median dari gen GAPDH. Reseptor leptin
siRNA-Mediated Silencing Fibroblasts dari polip hidung ditaruh dalam wadah sumuran yaitu plat sumuran 12 (5 ×
105 sel/sumur). Pada konfluensi 70%, sel ditrasfeksikan dengan reseptor siRNA yang menargetkan leptin manusia.
Sel kemudian diambil saat jam ke-24
Western Blot
Konsentrasi total protein dari homogenasi jaringan yang dikultur dari fibroblast nasal diukur menggunakan Bicinchoninic acid Protein
Assay Kit , dan 20 ng protein diberikan untuk proses elektroforesis. Protein ditransblotasi menggunakan Trans-Blot® TurboTM
Transfer Pack dan sistem Trans-Blot® TurboTM. Setelah transfer, blot dihentikan, kemudian diinkubasi dengan reseptor antibodi anti-
leptin. Mereka diinkubasi dengan konjugasi peroksidase dari lebak pedas (HRP-conjugated) dan antibodi IgG anti-rabbit. Kemudian,
blot dikembangkan menggunakan reagen deteksi kemoluminesen Western blot berdasarkan instruksi pabrik. Kepadatan blot diperiksan
menggunakan Fusion Solo S.
Karakteristik Pasien
Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam usia, total IgE dalam darah, protein C-reaktif, atau indeks massa tubuh (IMT)
antar kelompok. Pasien dengan rinosinusitis eosinofilik kronis menunjukkan komorbiditas yang lebih tinggi secara
signifikan dengan asma dibandingkan dengan pasien rinosinusitis kronis non-eosinofilik (p<0.05). Proporsi eosinofil yang
lebih tinggi pada darah tepi ditemui pada pasien rinosinusitis eosinofilik kronis (p < 0.05 vs. kontrol, p < 0.001 vs.
rinosinusitis eosinofilik non-kronis). Pasien rinosinusitis eosinofilik kronis juga menunjukkan peningkatan jumlah
eosinofil pada polip pulpa dan skor JESREC yang lebih tinggi dibandingkan pasien rinosinusitis kronis non-eosinofilik (p
< 0.0001).
Pembahasan
• Ekspresi gen eotaksin-3 sangat berhubungan dengan tingkat leptin dalam darah
dan leptin meningkatkan ekspresi eotaksin-3 pada fibroblas nasal dalam polip
hidung. Selain itu, kombinasi IL-4 atau IL- 13 dengan leptin mengamplifikasi
ekspresi eotaksin-3. Sehingga, peningkatan kebocoran plasma dalam polip hidung
dapat berpotensi mengantarkan leptin yang bersirkulasi ke dalam jaringan
sinonasal dan memengaruhi ekspresi eotaksin-3 dalam polip hidung.
• Peningkatan tingkat leptin berhubungan dengan keparahan asma, yang juga
berhubungan dengan penelitian ini bahwa leptin yang bersirkulasi berkontribusi
terhadap terjadinya peradangan eosinofilik sistemik pada saluran nafas pada pasien
asma dan rinosinusitis eosinofilik kronis
• Peningkatan eosinofil dalam darah yang bersirkulasi menjadi biomarker yang
dapat memprediksi kemungkinan respon yang lebih baik terhadap terapi biologis
Kesimpulan
Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengevaluasi peran leptin dalam rinosinusitis
eosinofilik kronis. Satu kemungkinan yang pasti adalah jumlah adipokin dan aktivitas
fisiologis yang berbeda antara jenis lemak dan penyebarannya. Kemungkinan lainnya
adalah tingkat leptin juga dipengaruhi oleh konsumsi makanan, salah satunya diet tinggi
lemak. Perubahan gaya hidup yang kebarat-baratan dengan konsumsi kalori yang tinggi
diketahui dapat menyebabkan resistensi leptin yang dapat meningkatkan tingkat leptin.
Kesimpulannya, kami menemui bahwa tingkat leptin meningkat pada pasien rinosinusitis
eosinofilik kronis. Selain itu, tingkat leptin secara signifikan berhubungan dengan proporsi
eosinofil dalam darah perifer dan jumlah eosinofil dalam polip hidung. Hasil ini
menunjukkan bahwa leptin memegang peran penting dalam patogenesis rinosinusitis
eosinofilik kronis dalam kondisi yang tidak mempertimbangkan IMT.
Terima kasih!