Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN KASUS

RHINITIS ALERGIKA

Oleh:
Widiastri Khoerotunnisa
21360229

Preseptor:
dr, Hadjiman Yotosudarmo Sp. THT-KL

KEPANITERAAN KLINIK TELINGA HIDUNG TENGGOROK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
RSUD JEND AHMAD YANI METRO LAMPUNG
PERIODE 24 JANUARI – 27 FEBRUARI
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT karena berkat rahmat dan

hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan pembuatan laporan kasus yang berjudul

rhinitis Alergi. Ucapan terimakasih tidak lupa penulis ucapkan kepada dr.Hadjiman

Yotosudarmo,Sp.THT-KL selaku pembimbing, yang telah banyak memberikan ilmu,

petunjuk , nasehat dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan Laporan kasus

ini.

Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan laporan kasus ini masih banyak

terdapat kesalahan. Untuk itu,kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis

harapkan guna perbaikan dalam pembuatan Laporan kasus selanjutnya. Semoga Laporan

kasus ini dapat berguna bagi kita semua,khususnya bagi para pembaca.

Metro, 10 Februari 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN COVER ....................................................................................................................
KATA PENGANTAR .................................................................................................................. i
DAFTAR ISI .............................................................................................................................. iiii
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………………...……iv

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................... 5


1.1 Pendahuluan ...................................................................................................... 5

BAB II IDENTITAS PASIEN ............................................................................................... 6


2.1 Identitas Pribadi ................................................................................................ 6
2.2 Anamnesis ......................................................................................................... 6
2.3 Pemeriksaan Fisik ............................................................................................. 7

BAB III TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................................... 10


3.1 Anatomi Hidung.............................................................................................. 10
3.2 Definisi............................................................................................................ 14
3.3 Etiologi............................................................................................................ 14
3.4 Patofisiologi .................................................................................................... 16
3.7 Diagnosis ........................................................................................................ 19
3.8 Penatalaksanaan .............................................................................................. 22
3.9 Komplikasi ...................................................................................................... 25

BAB IV KESIMPULAN ........................................................................................................ 26


4.1 Kesimpulan ..................................................................................................... 26

DAFTAR PUSTAKA

iii
DAFTAR GAMABAR

Gambar 1. Anatomi Hidung Luar

Gambar 2. Anatomi dinding lateral hidung

Gambar 3. Muara sinus paranasalis

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Rinitis alergi yaitu penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien yang atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut. Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and It’s Impact on
Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala gatal, bersin-bersin,
rinore dan rasa tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh
IgE.(1)
Prevalensirinitis alergi diIndonesia berdasarkan penelitian yang dilakukan pada
tahun 2009 mencapai 1,5-12,4% dan cenderung mengalami peningkatan setiap
tahunnya. Berdasarkan data yang dikumpulkan mulai tanggal 23 Mei 2016 sampai 21
Juni 2016 di Poliklinik THT- KL RSUD Prof. Dr. W.Z Johannes Kota Kupang didapati
15 kunjungan, dimana kasus rhinitis alergi merupakan kasus yang cukup banyak
dijumpai. Aeroal ergen yang tersering menyebabkan rinitis alergi yaitu debu rumah, dan
tungau debu rumah.(2)
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Terapi pada rinitis alergi adalah suatu tahapan
penatalaksanaan yang bersifat holistik berupa edukasi, penghindaran terhadap alergen,
farmakoterapi secara tepat dan rasional dan mungkin imunoterapi. Dalam hal pemberian
terapi, diperlukan pengetahuan yang memadai mengenai patogenesis, patofisiologi rinitis
alergi sebagai landasan dalam pemilihan obat yang tepat.Intervensi dini dan tepat dapat
memperbaiki kualitas hidup dan produktifitas pasien dengan rinitis alergi.(3) Komplikasi
rinitis alergi yang sering adalah polip hidung, otitis media efusi yang sering residif dan
sinusitis paranasal.(1)
Laporan kasus ini akan membahas lebih lanjut tentang kasus rinitis alergi pada
seorang laki-laki berusia 18 tahun. Diharapkan laporan ini dapat menjadi bahan
pembelajaran bagi kasus pasien dengan rinitis alergi.

5
BAB II

DATA PASIEN

PENGKAJIAN AWAL MEDIS RAWAT JALAN

POLI THT

Tanggal Kunjungan : 08 Februari 2022

Dokter : dr. Hadjiman Yotosudarmo, Sp. THT-KL

2.1 Identitas Pribadi

Nama pasien : Ny. Desti Yulianti

Umur : 19 Tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Pekerjaan : Dagang

Alamat : Purwodadi mekar Batang hari Lampung Timur

No.RM : 419603

2.2 Anamnesis

(Anamesis dilakukan dengan alloanamesis pada hari jumat, 28 Januari 2022)

a. Keluhan Utama:

Sesak

b. Keluhan Tambahan :

hidung gatal, ingus berair (rhinore), bersin bersin, dan rasa tersumbat pada

hidung

6
7

c. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke poli paru RSUD Ahmad Yani Metro pada hari Selasa,

8 Februari 2022. Kemudian, dari poli paru dikonsulkan ke poli THT dikarenakan

dokter paru curiga mengalami penyakit rhinitis. Pasien dateng dengan keluhan

Sesak,hidung gatal, ingus berair (rhinore), bersin bersin, dan rasa tersumbat pada

hidung. Keluhan dirasakan terus menurus dan menggangu aktivitas sehari-hari.

Riwaya Penyakit Dahulu:

• Asma

d. Riwayat Penyakit Keluarga:

Os mengatakan Ibu dari ayah (nenek) mengalami asma

e. Riwayat Pengobatan:

Dokter spesialis Paru

f. Riwayat Alergi:

Riwayat alergi debu

2.3 Pemeriksaan Fisik

Status Present

Keadaan Umum : Tampak Sakit Ringan

Kesadaran : Composmentis

GCS : 15 (E: 4, V: 5, M:6)


Tanda Vital
Tekanan Darah : 122/80 mmHg
Nadi : 103/ menit
Suhu : 36.3°C
Pernapasan : 20 x/menit
SpO2 : 97 %
8

Pemeriksaan THT
Telinga - Daun telinga kiri dan kanan : Normotia, Nyeri tekan
tragus (-), tidak ditemukan benjolan dan trauma dan
tanda-tanda infeksi. Nyeri disangkal abses dan fistula
tidak ditemukan.
- Liang telinga luar kiri dan kanan : menyerupai kulit ,
secret (-). tidak ditemukan benjolan/bisul dan trauma.
nyeri tekan tragus (-), Kelainan lain tidak ditemukan.
- Membran timpani kiri dan kanan : Edema (-), massa (-),
hematom (-), perforasi (+), hiperemis (-)

Hidung - Bagian luar hidung : Tidak ditemukan tanda trauma,


bridge, dorsum nasi, ala nasi kolumella, nares anterior dan
fosa kanina dalam batas normal. Edem (-)
- Bagian dalam hidung kanan : tidak ditemukan massa,
warna konka lipid ungu. Secret (+).
- Bagian dalam hidung kiri : tidak ditemukan massa, warna
konka lipid ungu. Secret (+).
Mulut - Mulut normal, tidak pucat, mukosa bibir lembab, tidak ada
pembengkakan atau pun perdarahan pada gusi, karies
(-),abses (-), Nyeri (-) sikatrik (-).
- Tonsil : warna normal, tidak ada perbesaran, detritus (-),
kripta (-), perlengketan (-).
Leher - KGB Tidak teraba membesar. Nyeri (-), Deviasi (-)
9

2.4 DIAGNOSIS
Diagnosis Kerja:
Rinitis alergika
Diagnosis Banding:
Rinitis Vasomotor

2.5 TERAPI
Medikamentosa:
Cetrizine
Non medikametosa:
Edukasi hindari allergen, bersihkan lingkungan sekitar seperi kamar tidur.

2.6 Prognosis
- Quo ad vitam : Ad Bonam

- Quo ad sanam : Ad Bonam

- Quo ad Fungsionam : Ad Bonam


BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 ANATOMI HIDUNG

Untuk mengetahui penyakit dan kelaianan hidung. Misalnya sumbatan

hidung perlu diketahui dulu tentang anatomi hidung. Hidung terdiri dari hidung

bagian luar dan hidung dalam. Hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian: yang

paling atas, kubah tulang, yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah

kartilago yang sedikit dapat digerakkan; dan yairg paling bawah adalah lobulus

hidung yang mudah digerakkan. Belahan bawah aperfura piriforrnis hanya

kerangka tulangnya saja, memisahkan hidung luar dengan hidung dalam. Di sebelah

superior, struktur tulang hidung luar berupa prosesus maksila yang berjalan ke atas

dan kedua tulang hidung, semuanya disokong oleh prosesus nasalis tulang fron-

talis dan suatu bagian lamina perpendikularis tulang etmoidalis. Spina nasalis

anterior merupakan ba- gian dari prosesus maksilaris medial embrio yang rneliputi

premaksila anterior, dapat pula dianggap sebagai bagian dari hidung luar. Bagian

berikutnya, yaitu kubah kartilago yang sedikit dapat digerak- kan, dibentuk oleh

kartilago lateralis superior yang saling berfusi di garis tengah serta berfusi pula de-

ngan tepi atas kartilago septum kuadrangularis. Sepertiga bawah hidung luar atau

lobulus hidung, di- pertahankan bentuknya oleh kartilago lateralis inferior. Lobulus

menufup vestibulum nasi dan dibatasi di sebelah medial oleh kolurnela, di lateral

oleh ala nasi, dan anterosuperior oleh ujung hidung (gambar 2.1)

10
11

Gambar 2.1. Anatomi Hidung Luar

Hidung dalam membentang dari os internun di sebelah anterior hingga

koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Septum nasi

merupakan struktur tulang di garis tengah, secara anatomi membagi organ

menjadi dua hidung. Selanjutnya, pada dinding lateral hidung terdapat pula konka

dengan rongga udara yang tak teratur di antaranya-meatus superior, media dan

inferior (Gambar 2.2). Senientara kerangka tulang tan.rpaknya menentukan

diameter yang pasti dari rongga udara, struktur jaringan lunak yang menutupi

hidung dalam cenderung bervariasi tebalnya, juga men- gubah iesistensi, dan

akibatnya tekanan dan volume aliran udara inspirasi dan ekspirasi. Diameter yang

berbeda-beda disebabkan oleh kongesti dan dekongesti mukosa, perubahan badan

vaskular yang dapat mengembang pada konka dan septum atas, dan dari krusta

dan deposit atau sekret mukosa.


12

Gambar 2.2 Anatomi dinding lateral hidung

Duktus nasolakrimalis berrnuara pada meatus inferior di bagian anterior.

Hiatus semilunaris dari meatus lnedia merupakan muara sinus frontalis, etmoi- dalis

anterior dan sinus maksilaris. Sel- sel sinus etrnoidalis posterior bermua- ra pada

meafus superior, sedangkan sinus sfenoidalis bermuara pada resesus

sfenoetmoidalis (Gambar 2.3). Ujung-ujung saraf olfaktorius menempati daerah

kecil pada bagian medial dan lateral dinding hidung dalam dan ke atas hingga kubah

hidung. Deformitas struktur demikian pula penebalan atau edema mukosa

berlebihan dapat mencegah aliran udara untuk mencapai daerah olfaktorius, dan,

den- gan demikian dapat sangat mengganggu penghiduan.

Bagian tulang dari septum terdiri dari kartilago septum (kuadrangularis) di

sebelah anterior, lamina perpendikularis tulang etrnoidalis di sebelah atas, vorner

dan rostrum sfenoid di posterior dan suatu krista di sebelah bawah, terdiri dari krista

maksial dan krista palatina . Krista dan tonjolan yang terkadang perlu diangkat,

tidak jarang ditemukan. Pembengkokan septum yang dapat terjadi karena faktor-

faktor pertumbuhan ataupun trauma dapat sedemikian hebatnya sehingga


13

mengganggu aliran udara dan perlu dikoreksi secara bedah. Konka di dekatnya

umumnya dapat mengkompensasi kelainan septum (bila tidak terlalu berat), dengan

memperbesar ukurannya pada sisi yang konkaf dan mengecil pada sisi lain- nya,

sedemikian rupa agar dapat mempertahankan lebar rongga udara yang optimum.

Jadi, meskipun septum nasi bengkok, aliran udara masih akan ada dan masih

normal. Daerah jaringan erektil pada kedua sisi septum berfungsi mengatur

ketebalan dalam berbagai kondisi atmosfer yang berbeda.

Gambar 2.3 Muara sinus paranasalis

Sinus Paranasaliis. Manusia mempunyai sekitar 12 rongga di sepanjang

atap dan bagian lateral rongga udara hidung; jumlah, bentuk, ukuran, dan simetri

bervariasi. Sinus-sinus ini membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah dan

diberi nama yang sesuai: sinus maksilaris, sfenoidalis, frontalis dan etmoidalis .

Yang terakhir biasanya berupa kelompok- kelompok sel etmodialis anterior dan

posterior yang saling berhubungan, masing-masing kelompok bermuara ke dalam

hidung. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami

modifikasi, dan mampu menghasilkan mukus, dan bersilia, sekret disalurkan ke

dalam rongga hidung. Pada orang sehat, sinus terutama berisi udara.
14

Sinus maksilaris rudimenter, atau antrun umumnya telah ditemukan pada

saat lahir. Sinus paranasalis Iainnya timbul pada masa kanak-kanak dalam Tulang

wajah. Tulang-tulang ini bertumbuh melebihi kranium yang menyangganya.

Dengan teresorpsinya bagian tengah yang keras, maka membran mukosa hidung

menjadi tersedot ke dalam rongga-rongga yang baru terbentuk ini.

3.2 DEFINISI RHINITIS ALERGI

Pada tahun 1998 Joint Task Force on Practice Parameters in Allergy,

Asthma, and Immunology mendefinisikan rinitis sebagai ‘peradangan pada

membran yang melapisi hidung, dengan cirri adanya sumbatan hidung, rinore,

bersin, gatal pada hidung dan/atau postnasal drainage.’ Sedangkan rinitis alergi

secara klinis merupakan gangguan fungsi hidung yang terjadi setelah pajanan

alergen melalui inflamasi yang diperantarai oleh Imunoglobulin E yang spesifik

terhadap alergen tersebut pada mukosa hidung.

Rhinitis Alergi menurut WHO ARIA (2001) adalah kelainan pada hidung

setelah mukosa hidung terpapar oleh allergen yang diperantai oleh igE dengan

gejala bersin-bersin , rinore,rasa gatal pada hidung dan hidung tersumbat.

3.3 ETIOLOGI RHINITIS ALERGI

Gejala rinitis alergi dapat dicetuskan oleh berbagai faktor, diantaranya

adalah pajanan udara dingin, debu, uap, bau cat, polusi udara, tinta cetak, bau

masakan, bubuk detergen, serta bau minuman beralkohol. Umumnya faktor

pencetus ini berupa iritan non spesifik.

Alergen penyebab pada bayi dan anak sering disebabkan oleh alergen

makanan, sedangkan alergen inhalan lebih berperan pada anak yang lebih besar.

Manifestasi klinis reaksi hipersensitivitas tipe I pada telinga, hidung dan tenggorok
15

anak sebelum usia 4 tahun jarang ditemukan. reaction atau reaksi alergi fase lambat

(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperaktivitas)

setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan allergen atau tahap sensititasi , makrofag atau

monosit yang berperan sebagai sel penyaji (antigen presenting cell/APC) akan

menangkap allergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah

diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan

molekul HLA kelas II membentuk komplek peptida MHC kelas II (Major

Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (th

0) . kemudian sel penyaji akan melepas sitokin interleukin 1(IL 1) yang akan

mengaktifkan Th 0 untuk berploriferasi menjadi Th 1 dan Th2. Th 2 akan

menghasilkan berbagai sitokin seperti IL 3,IL 4, IL 5 dan IL 13 dapat diikat oleh

reseptornya dipermukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan

akan memproduksi Imunoglobulin E (ig E). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke

jaringan dan diikat oleh reseptor ig E di permukaan sel mastosit atau basophil (sel

mediator) sehingga ke dua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensititasi yang

menghasilkan sel mediator yang tersensititasi . bila mukosa yang sudah

tersensititasi terpapar dengan allergen yang sama, maka kedua rantai Ig E akan

mengikat allergen spesifik dan terjadi degranulasi(pecahnya dinding sel) mastosit

dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk

(preformed mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan

Newiyformed mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), leukotriene D4 (LT

D4),Leukotrien C4 (LT C4), Bradikinin, platelet activating factor (PAF) dan


16

berbagai sitokin. (IL3,IL4,IL5,IL6,GM-CSF (Granulocyte Macrophage Colony

stimulating factor) dll. Inilah yang disebut sebagai reaksi alergi fase cepat (RAFC).

Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus

sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga

akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan

permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung

tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang ujung saraf

vidianus,juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi

pengeluaran cairan inter cellular adhesion molecule 1 (ICAM 1).

Pada RAFC , sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang

menyebabkan akumulasi sel eosinophil dan netrofil di jaringan target. Respons ini

tidak berhenti sampai disini saja. Tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak

6-8 jam setelah pemaparan. pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan

jumlah sel inflamasi seperti eosinophil,limfosit, netrofil, basophil dan mastosit di

mukosa hidung serta

3.4 PATOFISIOLOGI RHINITIS ALERGI

Rhinitis Alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan

tahap senstisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Rreaksi alergi

terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase

cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan allergen sampai 1 jam

setelahnya dan late phase allergic peningkatan sitokin seperti IL3,IL4,IL5 dan

granulocyte macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) dan ICAM 1 pada

secret hidung . timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat
17

peranan eosinophil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti eosinophilic

Cationic protein (ECP), Eosinophilic derived protein (EDP), major basic protein

(MBP) dan eosinophilic peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik

(allergen), iritasi oleh factor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap

rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.

3.5 GAMBARAN HISTOLOGI

Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh darah (vascular

bud) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga

pembesaran ruang interselular dan penebalan membrane basal ,serta ditemukan

infiltrasi sel-sel eosinophil pada jaringan mukosa dan submucosa hidung.

Gambaran yang demikian terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan

serangan, mukosa Kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus

menerus/persisten sepanjang tahun,sehingga lama kelamaan terjadi proliferasi

jaringan ikat dan hyperplasia mukosa,sehingga tampak mukosa hidung menebal.

Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:

1. Alergen inhalan ,yang masuk Bersama dengan udara pernapasan. Misalnya

tungau debu rumah ( D.pteronyssinus,D.farinae,B.tropicalis),kecoa ,serpihan

epitel kulit binatang (kucing,anjing), rerumputan (Bermuda grass) serta jamur

(aspergillus,Alternaria)

2. Alergen ingestan yang masuk saluran cerna,berupa makanan, misalnya

susu,sapi,telur,coklat,ikan laut,udang kepiting dan kacang-kacangan.

3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan , misalnya penisilin

dan sengatan lebah.


18

4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,

misalnya bahan kosmetik,perhiasan.

Satu macam allergen dapat merangsang lebih dari satu organ

sasaran,sehingga memberi gejala campuran, misalnya tungau debu rumah yang

memberi gejala asma bronkial dan rhinitis alergi.

Dengan masuknya antigen asing kedalam tubuh terjadi reaksi yang secara

garis besar terdiri dari:

1. Respons primer

Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat

non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya

dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder.

2. Respons sekunder:

Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai 3 kemungkinan

ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya di bangkitkan. Bila Ag

berhasil dieliminasi pada tahap ini,reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau

memang sudah ada defek dari sistem imunologik ,maka reaksi berlanjut menjadi

respon tertier.

3. Respons Tertier

Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. reaksi ini

dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh

tubuh.

Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe,yaitu tipe 1,

atau reaksi anafilaksis (immediate hypersentitivity),tipe 2 atau reaksi

sitotoksik/sitolitik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi
19

tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang

banyak dijumpai dibidang THT adalah tipe 1 yaitu Rinitis Alergi.

3.6 KLASIFIKASI

Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari

WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its impact on asthma) tahun 2000,yaitu

berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :

1. Intermitten (Kadang-Kadang) : bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau

kurang dari 4 minggu.

2. Persisten (menetap) : bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4

minggu.

Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit,rhinitis alergi dibagi

menjadi:

1.Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, penggunaan aktivitas harian,

bersantai,berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang menggangu.

2. Sedang dan Berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

3.7 DIAGNOSIS

1. Anamnesis

Gejala rhinitis alergi yang khas adalah terdapatnya serangan bersin

berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi

hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan

mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning

process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali setiap

serangan, terutama merupakan gejala pada RAFC dan kadang-kadang pada


20

RAFL sebagai akibat dilepaskannya histamin.

Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung

tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang kadang disertai dengan banyak

air mata keluar (lakrimasi). Rinitis alergi sering disertai oleh gejala

Konjungtivitis alergi. Seringkali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada

anak. Kadang kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau

satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien.

2. Pemeriksaan Fisik

Pada Rinoskopi anterior tampak mukosa edema,basah,berwarna pucat

atau livid disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten,mukosa

inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan nasoendoskopi dapat dilakukan bila

fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak terdapatnya bayangan gelap di

daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi

hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak

menggosok-gosok hidung, karena gatal , dengan punggung tangan. Keadaan ini

disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan

mengakibatkan timbulnya garis melintang di dorsumnasi bagian sepertiga

bawah,yang disebut allergic crease. Mulut sering terbuka dengan lengkung

langit-langit yang tinggi,sehingga akan menyebabkan gangguan pertumbuhan

gigi geligi ( facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema

(cobblestone appearance). Serta dinding lateral facial menebal, lidah tampak

seperti gambaran peta ( geographic tongue).


21

3. Pemeriksaan Penunjang

a. In Vitro

Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.

Demikian pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio immunosobert

test) seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada

pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga

menderita asma bronkial atau urtikaria. Pemeriksaan ini berguna untuk

prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga

dengan derajat alergi tinggi. Lebih bermakna adalah pemeriksaan IgE

spesifik dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA

(Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay Test). Pemeriksaan sitologi

hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis tetap berguna sebagai

pemeriksaan pelengkap. Ditemukan eosinofil dalam jumlah banyak

menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (>5sel/lap)

mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN

menunjukkan adanya infeksi bakteri.

b. In Vivo

Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit

kulit, uji intrakutan atau intadermal yang tunggal atau berseri (Skin End-

point Titration/SET), SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan

menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi bertingkat

kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat

alergi serta dosis inisial dan desensitisasi dapat diketahui.


22

Untuk alergi makanan, uji kulit yang akhir-akhir ini banyak

dilakukan adalah Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test

(IPDFT), namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi

dan provokasi (“Challenge Test”).

Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima

hari. Karena itu pada “Challenge Test”, makanan yang dicurigai selama

lima haru, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis

makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika

gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan .

3.8 PENATALAKSANAAN

Terapi yang paling ideal adalah mengindari kontak dengan alergen

penyebabnya (avoidance) dan eliminas

1. MedikaMentosa

Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamin H-1, yang bekerja

secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat

farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis

alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan

dekongestan secara peroral.

Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-

1 (klasik) dan generasi-2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik,

sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan

plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain
23

adalah difenhidramin, klorfeniramin, prometasin, siproheptadin sedangkan yang

dapat diberikan secara topikal adalah azelastin.

Antihistamin generasi-2 bersifat lipofobik, sehingga sulit menembus sawar

darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai

efek kolinergik, antiadrenergik dan efek pada SSP minimal (non-sedatif).

Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efek untuk

mengatasi gejala respon fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif

untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non

sedatif dapat dibagi menjadi 2 golongan menurut keamanannya. Kelompok pertama

adalah astemisol dan terfenadin yang mempunyai efek kardiotoksik. Toksisitas

terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat

menyebabkan aritmia ventrikel, henti jantung dan bahkan kematian mendadak

(sudah ditarik dari peredaran). Kelompok kedua adalah loratadin, setirisin,

fexofenadin, desloratadin dan levosetirisin.

Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai sebagai

dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengn antihistamin atau

topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja

untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.

Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala terutama sumbatan hidung akibat

respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Obat yang sering dipakai

adalah kortikosteroid topikal (beklometason, budesonid, flunisolid, flutikason,

mometason furoat dan triamsinolon). Kortikosteroid topikal bekerja untuk

mengurangi jumlah sel mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran


24

protein sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah bocornya

plasma. Hal ini menyebabkan epitel hidung tidak hiperresponsif terhadap

rangsangan alergen (bekerja pada respon fase cepat dan lambat). Preparat sodium

kromoglikat topikal bekerja menstabilkan mastosit (mungkin menghambat ion

kalsium) sehingga penglepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat, obat

ini juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel netrofil,

eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis.

Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromide, bermanfaat

untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permulaan

sel efektor. Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi ialah anti leukotrien

(zafirlukast/montelukast), anti IgE, DNA rekombinan.

2. Operatif

Tindakan konkotomi parsial (pemotongan sebagian konka anterior),

konkoplasti atau multiple outfractured, inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila

konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi

memakai AgNO3 25% atau triklor asetat

3. Imunoterapi

Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat

dan sudah berlangsung lama serta dan dengan pengobatan cara lain tidak

memberikan hasil yang memuaskan. Tujuan dari imunoterapi adalah pembentukan

IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum

dilakukan yaitu intradermal dan sub-lingual.


25

3.9 KOMPLIKASI

Komplikasi rhinitis Alergi yang sering ialah:

1. Polip Hidung

Beberapa peneliti mendapatkan , bahwa alergi hidung merupakan salah

satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.

2. Otitis media efusi yang residif, terutama pada anak-anak

3. Sinusitis Paranasal
BAB IV
KESIMPULAN

Telah dilakukan pemeriksaan pada pasien perempuan, berusia 19 tahun. Pasien

datang dengan keluhan Sesak,hidung gatal, hidung tersumbat, dan ingus berair

( rhinore ). Pada anamnesis ditemukan gejala gatal pada hidung, bersin-bersin, keluar

cairan encer banyak dari hidung dan rasa tersumbat pada hidung. Faktor penyebab dari

pasien adalah debu, penggunaan obat nyamuk semprot, terpapar asap rokok dan

kendaraan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan, tampak mukosa hidung edema, basah,

berwarna pucat disertai adanya sekret encer berwarna bening yang banyak, namun tidak

bau. Pemeriksaan penunjang tidak dilakukan pada pasien ini. Pasien diedukasi untuk

menghindari faktor allergen dan bahan iritan, menggunakan masker saat berkendaraan,

menghindari asap rokok. Prognosis pada pasien ini baik.

26
DAFTAR PUSTAKA

1. Irawati, N., Kasakeyan, E., Rusmono, N. Rinitis Alergi. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telonga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi keenam. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI;2007; 128-134.
2. Rambe A Y F, Munir D, Haryuna T S, Eyanoer PC. Hubungan rinitis alergi dan
disfungsi tuba Eustachius dengan menggunakan timpanometri. ORLI. 2015;43.
3. Ghanie A. Penatalaksanaan Rhinitis Alergi Terkini. Temu Ilmiah Akbar Lustrum
IX Oktober 2007; Palembang. 2011.
4. Wheatley L M TA. Allergic Rhinitis. The new england journal of medicine.
2015;372:456-63.
5. Brozek J ea. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA)2010 Revision
Journal of Allergy and Clinical Immunology 2010:22 of 153.
6. Seidman M, et al. Clinical Practice Guideline: Allergic Rhinitis.
Otolaryngology–Head and Neck Surgery. 2015;152(1S): S1 –S43.
7. National Libraryof Medicine. Allergic Rhinitis. Diunduh dari
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000813.htm.[Diakses
Juni2016].

Anda mungkin juga menyukai