RHINITIS ALERGIKA
Oleh:
Widiastri Khoerotunnisa
21360229
Preseptor:
dr, Hadjiman Yotosudarmo Sp. THT-KL
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT karena berkat rahmat dan
hidayah-Nya lah penulis dapat menyelesaikan pembuatan laporan kasus yang berjudul
rhinitis Alergi. Ucapan terimakasih tidak lupa penulis ucapkan kepada dr.Hadjiman
petunjuk , nasehat dan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan Laporan kasus
ini.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan laporan kasus ini masih banyak
terdapat kesalahan. Untuk itu,kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis
harapkan guna perbaikan dalam pembuatan Laporan kasus selanjutnya. Semoga Laporan
kasus ini dapat berguna bagi kita semua,khususnya bagi para pembaca.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Hal
HALAMAN COVER ....................................................................................................................
KATA PENGANTAR .................................................................................................................. i
DAFTAR ISI .............................................................................................................................. iiii
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………………...……iv
DAFTAR PUSTAKA
iii
DAFTAR GAMABAR
iv
BAB I
PENDAHULUAN
Rinitis alergi yaitu penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien yang atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta
dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen
spesifik tersebut. Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and It’s Impact on
Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala gatal, bersin-bersin,
rinore dan rasa tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh
IgE.(1)
Prevalensirinitis alergi diIndonesia berdasarkan penelitian yang dilakukan pada
tahun 2009 mencapai 1,5-12,4% dan cenderung mengalami peningkatan setiap
tahunnya. Berdasarkan data yang dikumpulkan mulai tanggal 23 Mei 2016 sampai 21
Juni 2016 di Poliklinik THT- KL RSUD Prof. Dr. W.Z Johannes Kota Kupang didapati
15 kunjungan, dimana kasus rhinitis alergi merupakan kasus yang cukup banyak
dijumpai. Aeroal ergen yang tersering menyebabkan rinitis alergi yaitu debu rumah, dan
tungau debu rumah.(2)
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala, pemeriksaan
fisik, dan pemeriksaan penunjang. Terapi pada rinitis alergi adalah suatu tahapan
penatalaksanaan yang bersifat holistik berupa edukasi, penghindaran terhadap alergen,
farmakoterapi secara tepat dan rasional dan mungkin imunoterapi. Dalam hal pemberian
terapi, diperlukan pengetahuan yang memadai mengenai patogenesis, patofisiologi rinitis
alergi sebagai landasan dalam pemilihan obat yang tepat.Intervensi dini dan tepat dapat
memperbaiki kualitas hidup dan produktifitas pasien dengan rinitis alergi.(3) Komplikasi
rinitis alergi yang sering adalah polip hidung, otitis media efusi yang sering residif dan
sinusitis paranasal.(1)
Laporan kasus ini akan membahas lebih lanjut tentang kasus rinitis alergi pada
seorang laki-laki berusia 18 tahun. Diharapkan laporan ini dapat menjadi bahan
pembelajaran bagi kasus pasien dengan rinitis alergi.
5
BAB II
DATA PASIEN
POLI THT
Umur : 19 Tahun
Agama : Islam
Pekerjaan : Dagang
No.RM : 419603
2.2 Anamnesis
a. Keluhan Utama:
Sesak
b. Keluhan Tambahan :
hidung gatal, ingus berair (rhinore), bersin bersin, dan rasa tersumbat pada
hidung
6
7
Pasien datang ke poli paru RSUD Ahmad Yani Metro pada hari Selasa,
8 Februari 2022. Kemudian, dari poli paru dikonsulkan ke poli THT dikarenakan
dokter paru curiga mengalami penyakit rhinitis. Pasien dateng dengan keluhan
Sesak,hidung gatal, ingus berair (rhinore), bersin bersin, dan rasa tersumbat pada
• Asma
e. Riwayat Pengobatan:
f. Riwayat Alergi:
Status Present
Kesadaran : Composmentis
Pemeriksaan THT
Telinga - Daun telinga kiri dan kanan : Normotia, Nyeri tekan
tragus (-), tidak ditemukan benjolan dan trauma dan
tanda-tanda infeksi. Nyeri disangkal abses dan fistula
tidak ditemukan.
- Liang telinga luar kiri dan kanan : menyerupai kulit ,
secret (-). tidak ditemukan benjolan/bisul dan trauma.
nyeri tekan tragus (-), Kelainan lain tidak ditemukan.
- Membran timpani kiri dan kanan : Edema (-), massa (-),
hematom (-), perforasi (+), hiperemis (-)
2.4 DIAGNOSIS
Diagnosis Kerja:
Rinitis alergika
Diagnosis Banding:
Rinitis Vasomotor
2.5 TERAPI
Medikamentosa:
Cetrizine
Non medikametosa:
Edukasi hindari allergen, bersihkan lingkungan sekitar seperi kamar tidur.
2.6 Prognosis
- Quo ad vitam : Ad Bonam
hidung perlu diketahui dulu tentang anatomi hidung. Hidung terdiri dari hidung
bagian luar dan hidung dalam. Hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian: yang
paling atas, kubah tulang, yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah
kartilago yang sedikit dapat digerakkan; dan yairg paling bawah adalah lobulus
kerangka tulangnya saja, memisahkan hidung luar dengan hidung dalam. Di sebelah
superior, struktur tulang hidung luar berupa prosesus maksila yang berjalan ke atas
dan kedua tulang hidung, semuanya disokong oleh prosesus nasalis tulang fron-
talis dan suatu bagian lamina perpendikularis tulang etmoidalis. Spina nasalis
anterior merupakan ba- gian dari prosesus maksilaris medial embrio yang rneliputi
premaksila anterior, dapat pula dianggap sebagai bagian dari hidung luar. Bagian
berikutnya, yaitu kubah kartilago yang sedikit dapat digerak- kan, dibentuk oleh
kartilago lateralis superior yang saling berfusi di garis tengah serta berfusi pula de-
ngan tepi atas kartilago septum kuadrangularis. Sepertiga bawah hidung luar atau
lobulus hidung, di- pertahankan bentuknya oleh kartilago lateralis inferior. Lobulus
menufup vestibulum nasi dan dibatasi di sebelah medial oleh kolurnela, di lateral
oleh ala nasi, dan anterosuperior oleh ujung hidung (gambar 2.1)
10
11
koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Septum nasi
menjadi dua hidung. Selanjutnya, pada dinding lateral hidung terdapat pula konka
dengan rongga udara yang tak teratur di antaranya-meatus superior, media dan
diameter yang pasti dari rongga udara, struktur jaringan lunak yang menutupi
hidung dalam cenderung bervariasi tebalnya, juga men- gubah iesistensi, dan
akibatnya tekanan dan volume aliran udara inspirasi dan ekspirasi. Diameter yang
vaskular yang dapat mengembang pada konka dan septum atas, dan dari krusta
Hiatus semilunaris dari meatus lnedia merupakan muara sinus frontalis, etmoi- dalis
anterior dan sinus maksilaris. Sel- sel sinus etrnoidalis posterior bermua- ra pada
kecil pada bagian medial dan lateral dinding hidung dalam dan ke atas hingga kubah
berlebihan dapat mencegah aliran udara untuk mencapai daerah olfaktorius, dan,
dan rostrum sfenoid di posterior dan suatu krista di sebelah bawah, terdiri dari krista
maksial dan krista palatina . Krista dan tonjolan yang terkadang perlu diangkat,
tidak jarang ditemukan. Pembengkokan septum yang dapat terjadi karena faktor-
mengganggu aliran udara dan perlu dikoreksi secara bedah. Konka di dekatnya
umumnya dapat mengkompensasi kelainan septum (bila tidak terlalu berat), dengan
memperbesar ukurannya pada sisi yang konkaf dan mengecil pada sisi lain- nya,
sedemikian rupa agar dapat mempertahankan lebar rongga udara yang optimum.
Jadi, meskipun septum nasi bengkok, aliran udara masih akan ada dan masih
normal. Daerah jaringan erektil pada kedua sisi septum berfungsi mengatur
atap dan bagian lateral rongga udara hidung; jumlah, bentuk, ukuran, dan simetri
bervariasi. Sinus-sinus ini membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah dan
diberi nama yang sesuai: sinus maksilaris, sfenoidalis, frontalis dan etmoidalis .
Yang terakhir biasanya berupa kelompok- kelompok sel etmodialis anterior dan
hidung. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami
dalam rongga hidung. Pada orang sehat, sinus terutama berisi udara.
14
saat lahir. Sinus paranasalis Iainnya timbul pada masa kanak-kanak dalam Tulang
Dengan teresorpsinya bagian tengah yang keras, maka membran mukosa hidung
membran yang melapisi hidung, dengan cirri adanya sumbatan hidung, rinore,
bersin, gatal pada hidung dan/atau postnasal drainage.’ Sedangkan rinitis alergi
secara klinis merupakan gangguan fungsi hidung yang terjadi setelah pajanan
Rhinitis Alergi menurut WHO ARIA (2001) adalah kelainan pada hidung
setelah mukosa hidung terpapar oleh allergen yang diperantai oleh igE dengan
adalah pajanan udara dingin, debu, uap, bau cat, polusi udara, tinta cetak, bau
Alergen penyebab pada bayi dan anak sering disebabkan oleh alergen
makanan, sedangkan alergen inhalan lebih berperan pada anak yang lebih besar.
Manifestasi klinis reaksi hipersensitivitas tipe I pada telinga, hidung dan tenggorok
15
anak sebelum usia 4 tahun jarang ditemukan. reaction atau reaksi alergi fase lambat
(RAFL) yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperaktivitas)
Pada kontak pertama dengan allergen atau tahap sensititasi , makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (antigen presenting cell/APC) akan
diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung dengan
0) . kemudian sel penyaji akan melepas sitokin interleukin 1(IL 1) yang akan
reseptornya dipermukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan
akan memproduksi Imunoglobulin E (ig E). IgE di sirkulasi darah akan masuk ke
jaringan dan diikat oleh reseptor ig E di permukaan sel mastosit atau basophil (sel
mediator) sehingga ke dua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensititasi yang
tersensititasi terpapar dengan allergen yang sama, maka kedua rantai Ig E akan
dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk
stimulating factor) dll. Inilah yang disebut sebagai reaksi alergi fase cepat (RAFC).
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga
akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan
permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung
Pada RAFC , sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinophil dan netrofil di jaringan target. Respons ini
tidak berhenti sampai disini saja. Tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai puncak
6-8 jam setelah pemaparan. pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis dan
tahap senstisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/ reaksi alergi. Rreaksi alergi
terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase
cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan allergen sampai 1 jam
setelahnya dan late phase allergic peningkatan sitokin seperti IL3,IL4,IL5 dan
secret hidung . timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat
17
Cationic protein (ECP), Eosinophilic derived protein (EDP), major basic protein
(MBP) dan eosinophilic peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik
(allergen), iritasi oleh factor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap
rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi.
bud) dengan pembesaran sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga
serangan, mukosa Kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus
(aspergillus,Alternaria)
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan , misalnya penisilin
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,
Dengan masuknya antigen asing kedalam tubuh terjadi reaksi yang secara
1. Respons primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat
non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
2. Respons sekunder:
ialah sistem imunitas seluler atau humoral atau keduanya di bangkitkan. Bila Ag
berhasil dieliminasi pada tahap ini,reaksi selesai. Bila Ag masih ada atau
memang sudah ada defek dari sistem imunologik ,maka reaksi berlanjut menjadi
respon tertier.
3. Respons Tertier
Reaksi imunologik yang terjadi ini tidak menguntungkan tubuh. reaksi ini
dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh
tubuh.
sitotoksik/sitolitik, tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi
19
3.6 KLASIFIKASI
WHO Initiative ARIA (Allergic Rhinitis and its impact on asthma) tahun 2000,yaitu
2. Persisten (menetap) : bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4
minggu.
menjadi:
2. Sedang dan Berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
3.7 DIAGNOSIS
1. Anamnesis
berulang. Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi
hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan
process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari lima kali setiap
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang kadang disertai dengan banyak
air mata keluar (lakrimasi). Rinitis alergi sering disertai oleh gejala
Konjungtivitis alergi. Seringkali gejala yang timbul tidak lengkap, terutama pada
anak. Kadang kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau
2. Pemeriksaan Fisik
atau livid disertai adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten,mukosa
fasilitas tersedia. Gejala spesifik lain pada anak terdapatnya bayangan gelap di
daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi
hidung. Gejala ini disebut allergic shiner. Selain dari itu sering juga tampak anak
disebut sebagai allergic salute. Keadaan menggosok ini lama kelamaan akan
gigi geligi ( facies adenoid). Dinding posterior faring tampak granuler dan edema
3. Pemeriksaan Penunjang
a. In Vitro
test) seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada
pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga
prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari suatu keluarga
b. In Vivo
kulit, uji intrakutan atau intadermal yang tunggal atau berseri (Skin End-
(IPDFT), namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi
Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima
hari. Karena itu pada “Challenge Test”, makanan yang dicurigai selama
makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika
3.8 PENATALAKSANAAN
1. MedikaMentosa
secara inhibitor kompetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama pengobatan rinitis
sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan
plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Yang termasuk kelompok ini antara lain
23
darah otak. Bersifat selektif mengikat reseptor H-1 perifer dan tidak mempunyai
Antihistamin diabsorpsi secara oral dengan cepat dan mudah serta efek untuk
mengatasi gejala respon fase cepat seperti rinore, bersin, gatal, tetapi tidak efektif
untuk mengatasi gejala obstruksi hidung pada fase lambat. Antihistamin non
terhadap jantung tersebut disebabkan repolarisasi jantung yang tertunda dan dapat
dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengn antihistamin atau
topikal. Namun pemakaian secara topikal hanya boleh untuk beberapa hari saja
respons fase lambat tidak berhasil diatasi dengan obat lain. Obat yang sering dipakai
rangsangan alergen (bekerja pada respon fase cepat dan lambat). Preparat sodium
kalsium) sehingga penglepasan mediator dihambat. Pada respons fase lambat, obat
ini juga menghambat proses inflamasi dengan menghambat aktifasi sel netrofil,
eosinofil dan monosit. Hasil terbaik dapat dicapai bila diberikan sebagai profilaksis.
untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik pada permulaan
sel efektor. Pengobatan baru lainnya untuk rinitis alergi ialah anti leukotrien
2. Operatif
konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi
3. Imunoterapi
Cara pengobatan ini dilakukan pada alergi inhalan dengan gejala yang berat
dan sudah berlangsung lama serta dan dengan pengobatan cara lain tidak
IgG blocking antibody dan penurunan IgE. Ada 2 metode imunoterapi yang umum
3.9 KOMPLIKASI
1. Polip Hidung
satu faktor penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
3. Sinusitis Paranasal
BAB IV
KESIMPULAN
datang dengan keluhan Sesak,hidung gatal, hidung tersumbat, dan ingus berair
( rhinore ). Pada anamnesis ditemukan gejala gatal pada hidung, bersin-bersin, keluar
cairan encer banyak dari hidung dan rasa tersumbat pada hidung. Faktor penyebab dari
pasien adalah debu, penggunaan obat nyamuk semprot, terpapar asap rokok dan
kendaraan. Pada pemeriksaan fisik ditemukan, tampak mukosa hidung edema, basah,
berwarna pucat disertai adanya sekret encer berwarna bening yang banyak, namun tidak
bau. Pemeriksaan penunjang tidak dilakukan pada pasien ini. Pasien diedukasi untuk
menghindari faktor allergen dan bahan iritan, menggunakan masker saat berkendaraan,
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Irawati, N., Kasakeyan, E., Rusmono, N. Rinitis Alergi. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telonga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi keenam. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI;2007; 128-134.
2. Rambe A Y F, Munir D, Haryuna T S, Eyanoer PC. Hubungan rinitis alergi dan
disfungsi tuba Eustachius dengan menggunakan timpanometri. ORLI. 2015;43.
3. Ghanie A. Penatalaksanaan Rhinitis Alergi Terkini. Temu Ilmiah Akbar Lustrum
IX Oktober 2007; Palembang. 2011.
4. Wheatley L M TA. Allergic Rhinitis. The new england journal of medicine.
2015;372:456-63.
5. Brozek J ea. Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma (ARIA)2010 Revision
Journal of Allergy and Clinical Immunology 2010:22 of 153.
6. Seidman M, et al. Clinical Practice Guideline: Allergic Rhinitis.
Otolaryngology–Head and Neck Surgery. 2015;152(1S): S1 –S43.
7. National Libraryof Medicine. Allergic Rhinitis. Diunduh dari
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000813.htm.[Diakses
Juni2016].