Anda di halaman 1dari 37

Journal Reading

Elevated Serum Leptin Levels in Patients With Eosinophilic Chronic


Rhinosinusitis

Preceptor :
dr. Rully Satriawan, Sp.THT-KL

Oleh :
Widiastri Khoerotunnisa
Npm 21360229

KEPANITERAAN KLINIK ILMU THT-KL


DI RSUD JENDERAL AHMAD YANI METRO
PERIODE 24 JANUARI 2022 – 27 FEBRUARI 2022
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Paper:
Elevated Serum Leptin Levels in Patients With Eosinophilic Chronic Rhinosinusitis

Oleh:

Widiastri Khoerotunnisa

21360229

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian

kepaniteraan klinik di Bagian Ilmu THT-KL RSUD Jenderal Ahmad Yani Metro

Fakultas Kedokteran Universitas Malahayati Periode 24 Januari 2022 – 27 Februari

2022.

Metro, 07 Februari 2022

dr. Rully Satriawan, Sp.THT-KL

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan Rahmat dan
Hidayah- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah journal reading yang
berjudul “ Elevated Serum Leptin Levels in Patients With Eosinophilic Chronic
Rhinosinusitis”. Penyelesaian makalah journal reading ini banyak mendapat
bantuan serta motivasi dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis menyampaikan rasa terima kasih kepada dr. Rully Satriawan, Sp.THT-KL
selaku pembimbing yang telah memberikan ilmu, petunjuk, nasehat dan kesempatan
kepada penulis untuk menyelesaikan makalah journal reading ini.

Penulis menyadari bahwa makalah ini tentu tidak terlepas dari kekurangan
karena keterbatasan waktu, tenaga dan pengetahuan dari penulis. Maka sangat
diperlukan masukan dan saran yang membangun. Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi yang membacanya.

Metro, 07 Februari 2022

Widiastri Khoerotunnisa

iii
DAFTAR ISI

COVER

HALAMAN PENGESAHAN...................................................................................................
KATA PENGANTAR..............................................................................................................
DAFTAR ISI.............................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang…................................................................................................................
1.2 Metode.................................................................................................................................
1.3 Hasil.....................................................................................................................................
1.4 Kesimpulan..........................................................................................................................
BAB II ISI
2.1 Definisi.................................................................................................................................
2.2 Bahan dan Metode…............................................................................................................
2.3 Analisis Histologi….............................................................................................................
2.4 Kultur sel dan penetalaksanaan…........................................................................................
2.5 Analisis statik….................................................................................................................
2.6 Hasil...................................................................................................................................

BAB III PICO VIA


3.1 PICO…...............................................................................................................................
3.2 Critical Journal (VIA : Validity, Importance, and Availability).......................................
DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN JOURNAL

LAMPIRAN PPT

iv
v
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang:

Rinosinusitis eosinofilik kronis atau ECRS adalah subtipe sinusitis kronis

dengan polip pada hidung yang berhubungan dengan penyakit asma. Pasien dengan

ECRS seringkali menunjukkan rekurensi polip hidung yang tinggi setelah bedah

reseksi. Leptin merupakan hormon yang dihasilkan oleh adiposit dan banyak

ditemui pada penyakit peradangan saluran nafas. Namun, hingga kini, peran leptin

dalam sinusitis eosinofilik kronis belum sepenuhnya dipahami.

1.2 Tujuan

Untuk mengetahui perubahan tingkat leptin dalam darah pada pasien

rinosinusitis eosinofilik kronis.

1.3 Metode

Sebanyak 40 pasien sinusitis eosinofilik kronis, 15 pasien sinusitis kronis

non-eosinofilik, dan subjek kontrol yaitu 12 individu tanpa sinusitis kronis

dilibatkan dalam penelitian ini. Tingkat leptin dalam darah pasien diperiksa, dan

jumlah eosinophil pada polip hidungnya diukur menggunakan pemeriksaan

histologis pada area paling banyak infiltrat selulernya di bawah permukaan epitel.

Kultur fibroblas nasal dari polip hidung distimulasi dengan berbagai konsentrasi

leptin rekombinan secara in vitro untuk menentukan efek dari leptin terhadap

ekspresi eotaksin-3 (Chemokin (C-C motif) ligand 26: 26: CCL26).

1
2

1.4 Hasil

Tingkat leptin dalam darah pada kelompok rinosinusitis eosinofilik kronis

dan kelompok non-rinosinusitis eosinofilik kronis lebih tinggi secara signifikan

dibandingkan dengan kelompok kontrol (p < 0.0001 vs. ECRS; p < 0.05 vs. non

ECRS). Selanjutnya, pasien rinosinusitis eosinofilik kronis menunjukkan

peningkatan tingkat leptin dalam darah secara signifikan dibandingkan pasien non-

rinosinusitis eosinofilik kronis (p < 0.001), walaupun tidak ada perbedaan indeks

massa tubuh di antara kelompok tersebut. Tingkat leptin dalam darah berhubungan

dengan proporsi eosinophil pada darah perifer (r 0.3575, p < 0.01) dan jumlah

eosinofil pada polip nasal (r 0.5109, p < 0.0001). Tingkat leptin dalam darah juga

berhubungan dengan ekspresi mRNA eotaksin-3 pada polip nasal (r 0.5374, p <

0.01). Terakhir, leptin secara signifikan meningkatkan ekspresi eotaksin-3 pada

fibroblast nasal yang ditunjukkan secara in-vitro dari polip nasal dengan reseptor

leptin (p < 0.05).

1.5 Kesimpulan

Tingkat leptin meningkat pada pasien rhinosinusitis eosinofilik kronis dan

dapat mempercepat dan menunjukkan keparahan rinosinusitis eosinofilik kronis

sebagaimana respon peradangan sistemik tipe 2. Saat digabungkan, data ini

menunjukkan leptin yang bersirkulasi memegang peran yang signifikan dalam

perkembangan peradangan eosinofilik pada polip hidung. Kata kunci: rhinosinusitis

eosinofilik kronis, leptin, eosinofil, eotaksin-3, adipokin.


3

BAB II

PENDAHULUAN

2.1 Definisi

Rinosinusitis kronis adalah penyakit heterogen yang ditandai dengan adanya

peradangan lokal pada saluran nafas aras dan sinus paranasal untuk durasi hingg 12

minggu. Rinosinusitis kronis adalah salah satu penyakit kronis yang paling umum

dan mengganggu kualitas hidup pasien yang mengalaminya. Ketika sebagian dari

mekanisme patogenesis rinosinusitis kronis yang kompleks sudah dapat dipahami,

mekanisme secara lengkap dari penyakit ini belum diketahui.

Secara klinis, pasien rinosinusitis kronis seringkali dibagi menjadi dua

kelompok berdasarkan ada atau tidak adanya polip hidung. Pembagiannya adalah

rinosinusitis kronis dengan polip hidung dan rinosinusitis kronis tanpa polip hidung.

Setiap jenis rinosinusitis kronis menunjukkan pola peradangan yang berbeda dan

bervariasi serta heterogen. Sifat patologis dari jaringan rinosinusitis kronis dengan

polip hidung meliputi infiltrasi eosinofil yang tinggi dan profil sitokin tipe 2,

terutama pada negara barat. Sel peradangan lainnya, seperti sel mast, basofil, dan sel

limfoid innate tipe 2 (ILC2) juga dapat berinfiltrasi ke dalam polip hidung dan

menyebabkan respon peradangan. Gambaran klinis dari rinosinusitis kronis dengan

polip hidupng umumnya terdiri atas gangguan nasal dan kehilangan penciuman, dan

seluruh bentuk rinosinusitis kronis berhubungan dengan serangkaian komorbiditas

seperti asma. Umumnya, kortikosteroid topikal dan oral adalah terapi yang

digunakan untuk pasien dengan rinosinusitis kronis dengan polip hidung. Namun,

administrasi kortikosteroid oral jangka panjang dapat menyebabkan beberapa efek


4

samping, sehingga minat untuk memperluas obat yang bertarget pada tipe 2 mulai

berkembang. Operasi sinus adalah solusi yang efektif untuk pasien yang tidak

menginginkan terapi medis. Operasi sinus dapat menyebabkan rekurensi dari

terjadinya rinosinusitis kronis dengan polip hidung. Sehingga, untuk meningkatkan

penatalaksanaan penyakit tersebut, dibutuhkan mekanisme yang tepat untuk

penatalaksanaannya.

Polip hidung banyak ditemui pada pasien dari negara Asia. Pasien-pasien

tersebut umumnya memiliki peradangan yang didominasi oleh neutrofil, sementara

pasien pada negara Eropa dan Amerika Serikat seringkali ditandai dengan adanya

peradangan eosinofilik. Kriteria untuk rinosinusitis eosinofil kronis ditetapkan oleh

Japanese Epidemiological Survey of Refractory Eosinophilic Chronic

Rhinosinusitis (JESREC) study. Survei yang dilakukan bertujuan untuk memahami

proporsi eosinofil dalam darah dan jaringan pada pasien sebanyak 1.716 orang yang

sudah melakukan operasi sinus, dan ditemuikan bahwa eosinofil, penyakit etmoid,

asma, dan intoleransi aspirin berhubungan dengan rekurensi penyakit dan

membutuhkan intervensi bedah kembali. Penelitian juga menunjukkan bahwa

prevalensi polip eosinofilik di Jepang serupa dengan polip yang terjadi di negara

barat. Penelitian klinis sebelumnya menunjukkan bahwa adopsi gaya hidup barat

dengan konsumsi energi yang lebih tinggi dan peningkatan obesitas mungkin

menjadi faktor yang menyebabkan peningkatan prevalensi penyakit alergi pada

beberapa dekade terakhir. Jaringan adiposa tidak hanya berperan sebagai sumber

penyimpanan energi, namun juga mensekresikan adipokin seperti leptin dan sitokin,

yang meregulasi berbagai fungsi tubuh dan berperan sebagai mediator peradangan.
5

Jaringan lemak tidak hanya berperan sebagai penyimpanan sumber energi, namun

juga mensekresikan adipokin, seperti leptin dan sitokin, yang meregulasikan

berbagai fungsi tubuh dan berperan sebagai mediator peradangan. Faktanya, sudah

terbukti bahwa obesitas dapat menjadi faktor risiko terjadinya asma dan

keparahannya, walaupun hasilnya tidak konsisten.

Leptin adalah protein 16-kD yang merupakan produk gen ob, yang

disintesiskan dan disekresikan utamanya oleh jaringan adiposa putih. Leptin

memegang peran yang penting dalam regulasi nafsu makan, metabolisme, dan berat

badan. Sebagai adipokin, leptin mempercepat terjadinya peradangan, menghasilkan

reactive oxygen species, menginduksikan aktivasi natural killer cell, dan

meningkatkan aktivasi makrofag, fagositosis, dan pelepasan sitokin. Selain itu,

leptin juga meningkatkan regulasi biosintesis leukotriene pada makrofag alveolar

yang berkontribusi terhadap patogenesis asma. Beberapa penelitian sebelumnya

menunjukkan bahwa tingkat leptin dalam darah meningkat pada pasien yang

memiliki asma, dibandingkan dengan pasien yang sehat. Karena hubungan antara

leptin dan rinosinusitis eosinofilik kronis belum diteliti, peneliti bertujuan untuk

mengetahui hubungan antara tingkat leptin dalam darah dengan keparahan

rinosinusitis eosinofilik kronis.

2.2 BAHAN DAN METODE

pasien dan pengambilan sampel klinis

Diagnosis penyakit sinus ditentukan berdasarkan riwayat pasien,

pemeriksaan klinis, endoskopi nasal, dan computed tomography (CT) dari sinus
6

berdasarkan aturan yang ditentukan oleh European Position Paper mengenai

rinosinusitis dan polip hidung. Pasien dengan rinosinusitis kronis direkrut sebelum

bedah, dari Departemen Otorhinolaringologi, Bedah Kepala dan Leher, Universitas

Fukui, Fukui, Jepang. Sebelum pengambilan sampel, seluruh subyek mengisi

informed consent tertulis. Pasien dengan imunodefisiensi, kelainan koagulasi,

diagnosis sinusitis alergi fungal klasik, sindrom ChurgStrauss (granulomatosis

eosinofilik dengan polingiitis), atau fibrosis sistik, dan pasien yang sedang hamil

dieksklusikan dari penelitian ini. Seluruh pasien yang dijadwalkan untuk bedah

sebelumnya sudah diberikan terapi pengobatan konservatif (regimen antibiotik

jangka panjang, spray steroid nasal, steroid oral, irigasi saline, dan dekongestan)

untuk mengontrol kondisinya namun gagal, Seluruh subyek dilarang mengonsumsi

steroid oral setidaknya 4 minggu sebelum proses bedah. Penelitian ini dilakukan

dengan mengikuti aturan Deklarasi Helsinki dan Good Clinical Practice, dengan

persetujuan sebelumnya oleh Komisi Etik Universitas Fukui (20120073). Detail

mengenai karakteristik pasien dijelaskan dalam Tabel 1.


7

Pasien dilarang mengonsumsi makanan setidaknya 12 jam sebelum bedah,

dan seluruh sampel darah diambil sebelum proses bedah. Sampel darah

disentrifugasi dengan kecepatan 3000g selama 10 menit dan disimpan dalam suhu –

80°C sampai digunakan. Seluruh IgE diukur menggunakan metode ImmunoCAP

(Pharmacia Diagnostics AB, Uppsala, Sweden). Untuk menghitung proporsi sel

darah putih, sampel diambil dengan EDTA sebelum proses bedah dan uji turunan

sel dilakukan menggunakan XN-9000 (Sysmex, Hyogo, Japan). Jaringan unsinata

dan jaringan polip hidung yang cocok dengan sampel darah diambil dari bedah

endoskopi sinus rutin fungsional pada pasien rinosinusitis eosinofilik kronis dan

pasien non-rinosinusitis eosinofilik kronis. Spesimen dari pasien tanpa rinosinusitis

kronis yang digunakan sebagai kontrol diambil dari pasien dengan kista sinonasal,

papilloma, atau deviasi septum nasi. Kriteria skor JESREC digunakan untuk

diagnosis rinosinusitis eosinofilik kronis yang melibatkan sistem pemberian skor

untuk menilai penyakit unilateral atau bilateral, adanya polip hidung, bayangan

etmoid yang dominan pada CT, dan rasio eosinofil pada darah perifer, sebagaimana

yang telah dijelaskan sebelumnya. Skor total yang lebih tinggi dari 11 akan

dianggap sebagai rinosinusitis eosinofil kronis.

Kelompok rinosinusitis kronis selanjutnya diklasifikasikan ke dalam tiga

subkelompok yaitu rinosinusitis eosinofilkik kronis ringan, sedang, dan parah

berdasarkan faktor klinis A (contoh: >5% eosinofil pada darah tepi, dan bayangan

etmoid yang dominan pada CT) dan B (contoh: penyakit komorbid asma bronkial,

intoleransi aspirin, dan obat anti inflamatoris non-steroid).


8

Pemeriksaan Enzyme-Linked Immunosorbent

Konsentrasi leptin dalam darah ditentukan menggunakan pemeriksaan

komersil kit ELISA berdasarkan protokol alat tersebut (Thermo Fisher Scientific,

Waltham, MA, United States). Konsentrasi eiotaksin-3 dalam homogenasi jaringan

dari kultur fibroblast pada hidung ditentukan dengan kit ELISA yang tersedia secara

komersil (R&D Systems, Minneapolis, MN, United States). Absorbansinya diukur

dengan Spectra Max Microplate Reader (Molecular Devices, San Jose, CA, United

States) dengan aplikasi terkait menggunakan teknik immunoassay sandwich

enzyme.

2.3 Analisis Histologis

Jaringan polip hidung dari pasien dengan rinosinusitis kronis didapatkan saat

proses bedah. Jaringan secara segera difiksasi dengan formalin 10%, direkatkan

dengan paraffin, dan dipotong menjadi potongan tipis. Potongan tersebut diwarnai

dengan hematoksilin eosin. Jumlah eosinofil dalam mukosa dihitung per lapang

tenaga tinggi (x400) pada tiga area yang paling padat dengan infiltrate seluler di

bawah permukaan epitel, dan rerata jumlah eosinofil dihitung. Pemeriksaan

histologis dilakukan oleh tiga peneliti yang ahli dan tidak mengetahui mengenai

data klinis, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

2.4 Kultur Sel dan Penatalaksanaan


9

Jaringan polip hidung diambil dari pasien rinosinusitis kronis saat operasi

hidung. Fibroblas hidung primer pada manusia diambil dari jaringan sebagaimana

yang telah dijelaskan sebelumnya. Secara singkat, spesimen polip hidung dipotong

menjadi potongan kecil dan dikultur dalam wadah 10 cm yang mengandung

medium Roswell Park Memorial Institute (RPMI) 1640 (Nissui Pharmaceutical,

Tokyo, Japan) yang disuplementasi dengan serum fetus sapi yang diaktivasi panas

10% (Gibco, Grand Island, NY, United States), glutamin 0.29 mg/ml, penisilin 100

U/ml, dan streptomisin 100 μg/ml, pada suhu 37° C, dalam CO2 5% CO2 dan udara

yang lembab. Spesimen polip hidung dibuang setelah 24 jam dan pemeriksaan

pertama dilakukan. Sel diambil selama 1 sampai 2 minggu hingga mencapai

konfluensi, dan sel fibroblast yang diturunkan dari mukosa hidung diambil.

Kemurnian fibroblast yang diambil dengan metode ini diperiksa dengan

pemeriksaan imunohistokimiawi menggunakan sitokeratin dan marker vimentin.

Kami mengonfirmasi bahwa kemurniannya lebih tinggi dari 98%. Fibroblas ditaruh

dalam wadah sumuran 24 untuk analisis ekspresi gen dan dalam wadah sumuran 12

untuk analisis protein. Ketika sudah konfluen, fibroblast yang sudah digabungkan

distimulasi dengan rekombinan leptin berbagai konsentrasi (Thermo Fisher

Scientific), IL-4 (R&D Systems), dan IL-13 (R&D Systems).

Sel kemudian diambil saat 24 jam untuk pemeriksaan real-time quantitative

reverse transcription polymerase chain reaction (qRT-PCR) dan 48 jam untuk

ELISA dan analisis Western blot. Setelah stimulasi selama 24 jam, total RNA

diisolasi dari sel. Untuk analisis protein, fibroblast nasal dicuci 2 kali dengan 1 ml

phosphate-buffered saline (PBS) yang bersuhu dingin, dan dilisiskan dengan 0,15
10

ml Mammalian Protein Extraction Reagent (M-PER; Thermo Fisher Scientific)

yang disuplementasi oleh ProteoGuard EDTA-Free Protease Inhibitor Cocktail

(Takara Bio, Shiga, Japan). Hasil lisis diinkubasi dalam es selama 15 menit dan

dijernihkan dengan sentrifugasi selama 10 menit dalam kecepatan 14000 g pada

suhu 4° C. Supernatan diambil untuk pemeriksaan ELISA dan Western blot.

RT-PCR

Jaringan hidung secara segera ditempatkan dalam reagen stabilisasi (RNA

later; (Thermo Fisher Scientific) dan total RNA diekstraksi menggunakan

NucleoSpin RNA II (Macherey-Nagel, Bethlehem, PA, United States) dengan

DNase I (Thermo Fisher Scientific) berdasarkan instruksi pembuat produk. Kualitas

total RNA dari jaringan sinus diperiksa menggunakan 2100 Bioanalyzer (Agilent

Technologies, Santa Clara, CA, United States) menggunakan RNA 6000 Nano

LabChip (Agilent Technologies). Untai tunggal cDNA disintesiskan menggunakan

High Capacity cDNA Reverse Transcription Kit (Thermo Fisher Scientific). RT-

PCR semikuantitatif dilakukan dengan metode RaqMan menggunakan sistem

Applied Biosystems StepOnePlus Real Time PCR (Thermo Fisher Scientific) dalam

reaksi 15-μl (7.5 μl dari 2× TaqMan Master mix [Thermo Fisher Scientific], 0.75 μl

dari 20× campuran primer dan larutan probe). Larutan probe untuk eotaksin-3

(Hs00171146_m1), reseptor leptin (Hs00174497_m1), dan Gliseraldehid trifosfat

dehidrogenase (GAPDH) dibeli dari Thermo Fisher Scientific. Alikuot dari cDNA

setara 10 ng of total RNA yang digunakan untuk rt-PCR. Tingkat ekspresi mRNA

dinormalkan hinggan ekspresi median dari gen GAPDH. Reseptor leptin siRNA-
11

Mediated Silencing Fibroblasts dari polip hidung ditaruh dalam wadah sumuran

yaitu plat sumuran 12 (5 × 105 sel/sumur). Pada konfluensi 70%, sel ditrasfeksikan

dengan reseptor siRNA yang menargetkan leptin manusia (LEPRHSS106018;

Thermo Fisher Scientific), lipofektamin 2000 (Thermo Fisher Scientific), dan Opti-

MEM (Thermo Fisher Scientific), berdasarkan instruksi pabrik. Sel kemudian

diambil saat 24 jam untuk qRT-PCR dan saat 48 jam untuk pemeriksaan ELISA dan

Western blot.

Pemeriksaan Western Blot

Konsentrasi total protein dari homogenasi jaringan yang dikultur dari

fibroblast nasal diukur menggunakan Bicinchoninic acid Protein Assay Kit

mengikuti instruksi pabrik (Thermo Fisher Scientific), dan 20 ng protein diberikan

untuk proses elektroforesis pada Mini-PROTEAN® TGXTM Gel (Bio-Rad

Laboratories, Hercules, CA, United States). Protein ditransblotasi menggunakan

Trans-Blot® TurboTM Transfer Pack dan sistem Trans-Blot® TurboTM (Bio-Rad

Laboratories). Setelah transfer, blot dihentikan dengan susu kering tidak

mengandung lemak 5% dalam 0.1% Tween 20/Tris-buffer saline (TBS) dan TBS itu

sendiri, kemudian diinkubasi dengan reseptor antibodi anti-leptin (1:100; Novus

Biologicals, Centennial, CO, United States). Mereka diinkubasi dengan konjugasi

peroksidase dari lebak pedas (HRP-conjugated) dan antibodi IgG anti-rabbit (Dako;

Agilent Technologies, Santa Clara, CA, United States). Kemudian, blot

dikembangkan menggunakan reagen deteksi kemoluminesen Western blot

(Amersham ECL Prime; GE Healthcare, Chicago, IL, United States) berdasarkan


12

instruksi pabrik. Kepadatan blot diperiksan menggunakan Fusion Solo S (Vilber,

Marne-la-Vallée cedex, France).

2.5 Analsis statistik

Perbedaan antara kelompok dianalisis menggunakan analisis variansi

Kruskal Wallis dengan uji post-hoc Dunnett, uji U Mann-Whitney, uji Chi-squared,

dan uji Fisher. Nilai q berdasarkan penemuan palsu dihitung untuk menyesuaikan

berbagai perbandingan menggunakan metode Benjamini-Hochberg (BH). Korelasi

diperiksa menggunakan korelasi tingkat Spearman. Pada seluruh kasus, nilai p <

0.05 atau nilai q dinilai signifikan secara statistik. Seluruh analisis statistik

dilakukan menggunakan aplikasi GraphPad Prism 5.0 (GraphPad Software, La

Jolla, CA, United States).

2.6 HASIL

Karakteristik Pasien

Secara keseulutuhan, 40 pasien dengan rinosinusitis eosinofilik kronis, 15

pasien rinosinusitis kronis non-eosinofilik, dan 12 pasien tanpa rinosinusitis kronis

(kontrol) dilibatkan dalam penelitian ini. Sampel darah dari subyek kontrol diambil

saat septoplasty, operasi kista etmoid, dan turbinektomi submukosa. Tabel 1

menunjukkan karakteristik kontrol, pasien rinosinusitis kronis non-eosinofilik, dan

pasien rinosinusitis eosinofilik kronis yang dilibatkan dalam penelitian ini. Tidak

ada perbedaan yang signifikan dalam usia, total IgE dalam darah, protein C-reaktif,

atau indeks massa tubuh (IMT) antar kelompok. Pasien dengan rinosinusitis

eosinofilik kronis menunjukkan komorbiditas yang lebih tinggi secara signifikan


13

dengan asma dibandingkan dengan pasien rinosinusitis kronis non-eosinofilik

(p<0.05). Proporsi eosinofil yang lebih tinggi pada darah tepi ditemui pada pasien

rinosinusitis eosinofilik kronis (p < 0.05 vs. kontrol, p < 0.001 vs. rinosinusitis

eosinofilik non-kronis).

Pasien rinosinusitis eosinofilik kronis juga menunjukkan peningkatan

jumlah eosinofil pada polip pulpa dan skor JESREC yang lebih tinggi dibandingkan

pasien rinosinusitis kronis non-eosinofilik (p < 0.0001).

Tingkat Leptin dalam Darah

Tingkat leptin dalam darah pada pasien kelompok rinosinusitis eosinofilik

kronis dan rinosinusitis kronis non-eosinofilik lebih tinggi secara signifikan

dibandingkan subjek di kelompok kontrol (p < 0.0001, nilai q < 0.0001 vs.

rinosinusitis eosinofilik kronis; p < 0.05, nilai q < 0.05 vs. rinosinusitis kronis non-

eosinofilik) (Gambar 1A). Tingkat leptin dalam darah juga lebih tinggi secara

signifikan pada pasien rinosinusitis eosinofilik kronis dibandingkan pasien

rinosinusitis kronis non-eosinofilik (p < 0.001, q-value < 0.001) (Gambar 1A).
14

Selain itu, pasien subkelompok rinosinusitis eosinofilik kronis menunjukkan

peningkatan tingkat leptin dibandingkan pasien subkelompok rinosinusitis kronis

non-eosinofilik (p < 0.05, nilai q < 0.05 vs. rinosinusitis eosinofilik kronis ringan; p

< 0.001, nilai q < 0.01 vs. rinosinusitis eosinofilik kronis sedang; p < 0.0001, nilai q

< 0.001 vs. rinosinusitis eosinofilik kronis parah) dan subjek kontrol (p < 0.001,

nilai q < 0.001 vs. rinosinusitis eosinofilik kronis ringan; p < 0.0001, nilai q <

0.0001 vs. rinosinusitis eosinofilik kronis sedang; p < 0.0001, nilai q < 0.0001 vs.

rinosinusitis eosinofilik kronis parah) (Gambar 1B). Kami juga menemukan bahwa

tingkat leptin dalam darah berhubungan dengan skor JESREC (r 0.3378, p < 0.05;

Gambar S1), tetapi tidak IgE total (data tidak disajikan) atau IMT (Gambar S2).

Hubungan Antara Tingkat Leptin dan Eosinofil dalam Darah Perifer dan

Eosinofil pada Polip Hidung

Telah diketahui bahwa eosinofil berperan dalam patogenesis polip hidung.

Selain itu, pada rinosinusitis eosinofilik kronis, jumlah eosinofil infiltrasi dalam

polip hidung dan juga proporsi eosinofil dalam darah perifer cukup penting.
15

Eosinofil mengekspresikan isoform aktif dari reseptor leptin, dan leptin

meningkatkan kemampuan hidup dan kemotaksis dari eosinofil. Kejadian tersebut

penting dalam patogenesis peradangan Th2. Sehingga, untuk menguji potensi

keterlibatan leptin dalam rinosinusitis kronis, kami menentukan bahwa terdapat

hubungan antara tingkat leptin dan proporsi eosinofil dalam darah tepi. Kami

menemui adanya hubungan yang signifikan antara leptin dan eosinofil dalam darah

tepi (r 0.3575, p < 0.01; Gambar 2A). Selanjutnya, kami menentukan apabila ada

hubungan antara tingkat leptin dan jumlah eosinofil dalam polip hidung. Kami

menemui bahwa tingkat leptin dalam darah berhubungan dengan jumlah eosinofil

dalam jaringan polip hidung (r 0.5109, p < 0.0001; Gambar 2B).

Leptin Meningkatkan Ekspresi Gen Eotaksin-3 dalam Fibroblas Hidung

Sebelumnya sudah dibahas bahwa imunoreaktivitas eotaksin 3 (Chemokine

(C-C motif) ligand 26: CCL26) meningkat dalam polip hidung, dan tingkat protein

eotaksin-3 meningkat pada rinosinusitis kronis. Sehingga, untuk mengevaluasi

adanya eotaksin-3 dalam sampel bedah ini, kami mencari tahu bahwa tingkat

ekspresi mRNA eotaksin-3 dalam seluruh ekstrak jaringan polip hidng, Walaupun

jumlah sampel terbatas (n: 32), ekspresi mRNA eotaksin-3 dalam polip hidung dari

pasien rinosinusitis eosinofilik kronis lebih tinggi secara signifikan dibandingkan

pada polip hidung pasien rinosinusitis kronis non-eosinofilik (p < 0.0001, Gambar

3A). Terdapat korelasi yang signifikan antara tingkat ekspresi eotaksin-3 pada polip

hidung dan tingkat leptin dalam darah pada pasien yang kelompoknya sama (r

0.5374, p < 0.01; Gambar 3B).


16

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang membahas mengenai fibroblast

nasal dari polip hidung yang mengekspresikan eotaksin-3, kami menstimulasi

fibroblast nasal dari polip hidung dengan leptin rekombinan dengan berbagai

konsentrasi untuk mengetahui apabila leptin dapat meningkatkan ekspresi eotaksin-

3. Hasil menunjukkan bahwa 10 μM leptin meningkatkan secara signifikan ekspresi

mRNA eotaksin-3 dan protein dalam fibroblast yang terdapat pada polip hidung

(Gambar 4A,B). Untuk mengonfirmasi keterlibatan reseptor leptin pada induksi

yang dimediasi leptin pada eotaksin-3, Pendekatan dengan RNA kecil yang

menginterferensi (siRNA) dilakukan. Transfeksi dengan 500 nM siRNA yang

menargetkan reseptor leptin secara signifikan menekan ekspresi mRNA reseptor

leptin dan protein dari fibroblast yang dihasilkan oleh polip hidung (p < 0.05,

Gambar 4C,D). Pengurangan gen reseptor leptin berhubungan dengan pengurangan

induksi eotaksin-3 (Gambar 4E). Hasil ini mendukung konsep bahwa peningkatan

eotaksin-3 oleh leptin bergantung pada reseptor leptin. Pada akhirnya, kami juga

menstimulasi fibroblast yang diturunkan dari polip hidung dengan IL-4 dan IL-13.

Sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 4F, stimulasi dengan IL-4 atau IL-13

dapat meningkatkan ekspresi eotaksin-3. Selanjutnya, kombinasi leptin dan IL-4

atau IL-13 dapat lebih lanjut mengamplifikasi ekspresi eotaksin-3 (Gambar 4F).
17

GAMBAR 4 | Induksi eotaxin-3 oleh leptin. (SEBUAH) Fibroblas hidung terendam yang terbentuk dari sel polip hidung dirangsang dengan berbagai

konsentrasi leptin.n - 8– 10). (B) Fibroblas hidung terendam dipanen setelah stimulasi dengan 10 M leptin selama 48 jam, dan seluruh sel lisat

dikumpulkan. Kadar eotaxin-3 dalam lisat dan medium sel diukur dengan ELISA (n - 6). (C–E) Fibroblas yang terendam ditransfeksi dengan 500 nM RNA

kontrol dan siRNA yang menargetkan reseptor leptin manusia. (C) Analisis ekspresi gen reseptor leptin (LEPR). (D) Seluruh sel lisat dielektroforesis dan

dipindahkan ke membran PVDF. Sebuah western blot representatif dengan antibodi reseptor leptin anti-manusia ditampilkan. (E) 48 jam setelah transfeksi,

sel dirangsang dengan 10 M leptin selama 24 jam (n - 8). (F) IL-4 (100 ng/ml) dan IL-13 (100 ng/ml) dengan/ tanpa leptin (10 M) selama 24 jam. Lisis sel

dipanen untuk RNA untuk menganalisis ekspresi mRNA eotaxin-3 oleh RT-PCR (n - 8). Data yang ditampilkan berarti± SEM dari empat percobaan

independen. *p < 0,05, **p < 0,01 dibandingkan dengan sel yang tidak distimulasi.

2.7 PEMBAHASAN

Sejauh pemahaman kami, kami adalah peneliti pertama yang menjelaskan

mengenai peningkatan tingkat leptin dalam darah dan menemui bahwa tingkat leptin

berhubungan dengan keparahan penyakit pada pasien rinosinusitis eosinofilik

kronis. Sebagai prototipe adipositokin, tingkat leptin yang bersirkulasi dalam tubuh
18

diketahui menunjukkan jumlah lemak tubuh dalam individu, walaupun tingkat

leptin tidak berkorelasi dengan IMT pada penelitian ini. Walaupun begitu,

penemuan dalam penelitian ini berhubungan dengan penelitian sebelumnya yang

menunjukkan bahwa peningkatan leptin bisa jadi berhubungan dengan patogenesis

asma dalam kondisi yang tidak melibatkan IMT. Selain itu, penelitian oleh JESREC

menunjukkan bahwa signifikansi peningkatan eosinofil pada jaringan polip hidung

(lokal) dan peredaran darah tepi (sistemik) pada pasien rinosinusitis eosinofilik

kronis. Berdasarkan penelitian ini, peningkatan proporsi eosinofil tepi adalah salah

satu gambaran klinis yang penting dalam mendiagnosis rinosinusitis eosinofilik

kronis. Salah satu temuan yang paling menarik dalam penelitian ini adalah pasien

rinosinusitis eosinofilik kronis menunjukkan peningkatan tingkat leptin, dan kedua

proporsi eosinofil pada sistem darah tepi dan polip hidung berkorelasi dengan

tingkat leptin dalam darah. Penelitian lainnya menyebutkan bahwa leptin

memperpanjang ketahanan hidup sel eosinofil dan meningkatkan kemokinesis

sebagaijmana terjadinya sekresi sitokin proinflamatoris. Contohnya, Kato dkk.

menunjukkan bahwa leptin menginduksikan kemotaksis eosinofil dan

mengamplifikasikan respon kemotaksis terhadap eotaksin. Pada kasus dimana

peradangn kronis menyebabkan kebocoran plasma ke dalam jaringan, retensi

beberapa komponen di dalam plasma, termasuk albumin, yang merupakan salah

satu substansi penting yang menunjukkan adanya peradangan akibat eosinofil pada

polip hidung. Hasil terkini menunjukkan bahwa ekspresi gen eotaksin-3 sangat

berhubungan dengan tingkat leptin dalam darah dan leptin meningkatkan ekspresi

eotaksin-3 pada fibroblas nasal dalam polip hidung. Selain itu, kombinasi IL-4 atau
19

IL-13 dengan leptin mengamplifikasi ekspresi eotaksin-3. Sehingga, peningkatan

kebocoran plasma dalam polip hidung dapat berpotensi mengantarkan leptin yang

bersirkulasi ke dalam jaringan sinonasal dan memengaruhi ekspresi eotaksin-3

dalam polip hidung. Cukup dipahami bahwa terhadap kondisi patologis tertentu

yang terjadi secara bersamaan pada kondisi asma dan rinosinusitis kronis dengan

polip hidung. Walaupun pola peradangan bersifat heterogen, penyakit asma dan

rinosinusitis kronis dengan polip hidung utamanya disebabkan oleh peradangan tipe

2. Faktanya, respon peradangan tipe 2 berhubungan dengan eosinofilia, yang secara

umum berhubungan dengan prevalensi yang lebih tinggi serta keparahan asma dan

rinosinusitis kronis dengan polip hidung. Selain itu, setiap penyakit berdampak satu

sama lain, sebagaimana pasien asma dengan rinosinusitis kronis mengalami

peningkatan frekuensi kekambuhan asma. Penelitian sebelumnya menunjukkan

bahwa peningkatan tingkat leptin berhubungan dengan keparahan asma, yang juga

berhubungan dengan penelitian ini bahwa leptin yang bersirkulasi berkontribusi

terhadap terjadinya peradangan eosinofilik sistemik pada saluran nafas pada pasien

asma dan rinosinusitis eosinofilik kronis. Baru-baru ini, bukti terbaru menunjukkan

efektivitas antibodi monoclonal (terapi biologis) yang menargetkan penanda

peradangan tipe 2. Terapi biologis ini menyediakan hasil yang menjanjikan yang

mendukung terapi tersebut sebagai penatalaksanaan yang unggul untuk penyakit

saluran nafas kronis termasuk rinosinusitis kronis dengan polip hidung.

Dalam menangani asma eosinofilik parah, peningkatan eosinofil dalam

darah yang bersirkulasi menjadi biomarker yang dapat memprediksi kemungkinan

respon yang lebih baik terhadap terapi biologis. Walaupun signifikansi antibodi
20

monoclonal dalam menargetkan sitokin tipe 2 telah terbukti, efeknya dapat berbeda

tergantung endotype dari penyakit masing-masing pasien. Bersamaan dengan ini,

kami memeriksa signifikansi leptin yang bersirkulasi pada pasien rinosinusitis

eosinofilik kronis dengan memfokuskan pada faktor yang berhubungan dengan

rekurensi rinosinusitis eosinofilik kronis. Kami menemukan bahwa tingkat leptin

berhubungan dengan eosinofilia pada sistem darah perifer dan polip hidung, dan

juga berhubungan dengan keparahan penyakit rinosinusitis eosinofilik kronis.

Sehingga, penelitian ini menunjukkan bahwa dibutuhkan penelitian lebih

lanjut untuk mengevaluasi peran leptin dalam rinosinusitis eosinofilik kronis,

contohnya dengan menargetkan leptin dalam percobaan klinis. Mekanisme yang

mendasari peningkatan leptin pada pasien rinosinusitis eosinofilik kronis hingga

kini belum diketahui secara pasti. Satu kemungkinan yang pasti adalah jumlah

adipokin dan aktivitas fisiologis yang berbeda antara jenis lemak dan

penyebarannya. Kemungkinan lainnya adalah tingkat leptin juga dipengaruhi oleh

konsumsi makanan, salah satunya diet tinggi lemak. Perubahan gaya hidup yang

kebarat-baratan dengan konsumsi kalori yang tinggi diketahui dapat menyebabkan

resistensi leptin yang dapat meningkatkan tingkat leptin. Selain itu, obesitas sentral,

yang juga dikenal sebagai obesitas abdominal juga dapat menjadi faktor lainnya.

Untuk memperjelas poin ini, mengukur massa lemak total, terutama pada lemak

abdominal, dapat membantu cukup banyak. Penelitian selanjutnya yang melibatkan

latar belakang pasien yang lebih mendetail akan dibutuhkan, sehingga dapat

memahami lebih tentang hubungan antara peningkatan antara pasien rinosinusitis

eosinofilik kronis dan perubahan dalam gaya hidup urban.


21

Kesimpulannya, kami menemui bahwa tingkat leptin meningkat pada pasien

rinosinusitis eossinofilik kronis jika dibandingkan dengan kelompok kontrol dan

non-rinosinusitis eosinofilik kronis. Selain itu, tingkat leptin secara signifikan

berhubungan dengan proporsi eosinofil dalam darah perifer dan jumlah eosinofil

dalam polip hidung. Hasil ini menunjukkan bahwa leptin memegang peran penting

dalam patogenesis rinosinusitis eosinofilik kronis dalam kondisi yang tidak

mempertimbangkan IMT.
BAB III

PICO VIA

3.1 PICO

P : Sebanyak 40 pasien sinusitis eosinofilik kronis, 15 pasien sinusitis kronis non-

eosinofilik, dan subjek kontrol yaitu 12 individu tanpa sinusitis kronis dilibatkan

dalam penelitian ini.

I : pada penelitian ini tidak dilakukan intervensi

C : Pada penelitian tersebut dilakukan perbandingan antara rinosinusitis

eosinofilik kronis, rinosinusitis non eosinofilik kronis, dan pasien tanpa

rinosinusitis kronik.

O : Penelitian ini menunjukan bahwa tingkat leptin meningkat pada pasien

rinosinusitis eossinofilik kronis jika dibandingkan dengan kelompok kontrol dan

non-rinosinusitis eosinofilik kronis. Selain itu, tingkat leptin secara signifikan

berhubungan dengan proporsi eosinofil dalam darah perifer dan jumlah eosinofil

dalam polip hidung. Hasil ini menunjukkan bahwa leptin memegang peran penting

dalam patogenesis rinosinusitis eosinofilik kronis dalam kondisi yang tidak

mempertimbangkan IMT.

22
3.2 Critical Journal (VIA : Validity, Importance, and Availability)

Validity

1. Apakah fokus penelitian ini sesuai dengan tujuan penelitian?

Ya (√) Tidak (x) Tidak dapat disimpulkan (?)

YA, penelitian ini berfokus pada tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui

perubahan tingkat leptin dalam darah pada pasien rinosinusitis eosinofilik kronis

dan rinosinusotis non eosinofilik kronis.

2. Apakah subjek penelitian ini diambil dengan cara yang tepat?

Ya (√) Tidak (x) Tidak dapat disimpulkan(?)

YA, subjek penelitian diambil sesuai dengan perubahan tingkat leptin dalam darah

pada pasiem rinosinusitis eosinofilik dan non rhinosinusitis eosinofilik kronis.

3. Apakah data yang dikumpulkan sesuai dengan tujuan penelitian?

Ya (√) Tidak (x) Tidak dapat disimpulkan(?)

YA, sesuai pada penelitian ini data yang diperoleh meliputi kelompok

rhinosinusitis eosinofilik kronis dan kelompok non rhinosinusitis eosinofilik

kronis.

4. Apakah penelitian ini mempunyai jumlah subjek yang cukup untuk

meminimalisirkan kebetulan?

Ya (√) Tidak (x) Tidak dapat disimpulkan(?)

YA, sampel dalam penelitian ini terdiri atas 40 pasien sinusitis eosinofilik kronis,

23
15 pasien sinusitis kronis non eosinofilik, dan subjek kontrol yaitu 12 individu

tanpa sinusitis kronis dilibatkan dalam penelitian ini.

5. Apakah data telah dianalisis secara teliti?

Ya (√) Tidak (x) Tidak dapat disimpulkan(?)

YA, analisis data penelitian dilakukan dengan cukup baik.

Importance

1. Apakah penelitian ini penting?

Ya (√) Tidak (x) Tidak dapat disimpulkan(?)

YA, penelitian ini penting karena untuk mengetahui perubahan tingkat leptin

dalam darah pada pasien rinosinusitis eosinofilik kronis.

Availability
2. Apakah penelitian ini bisa diterapkan di negara Indonesia?

Ya (√) Tidak (x) Tidak dapat disimpulkan(?)

YA, hasil penelitian ini dapat menjadi referensi mengenai perubahan tingkat leptin

pada pasien rhinosinusitis. Selain itu, penelitian ini juga dapat menjadi acuan untuk

penelitian - penelitian selanjutnya mengenai perubahan tingkat leptin di negara -

negara dengan insidensi rhinosinusitis yang cukup tinggi

24
25
DAFTAR PUSTAKA

Agache, I., Rocha, C., Beltran, J., Song, Y., Posso, M., Solà, I., et al. (2020). Efficacy and
Safety of Treatment with Biologicals (Benralizumab, Dupilumab and Omalizumab)
for Severe Allergic Asthma: A Systematic Review for the EAACI Guidelines -
Recommendations on the Use of Biologicals in Severe Asthma. Allergy 75, 1043–
1057. doi:10.1111/all.14235
Bachert, C., Gevaert, P., Holtappels, G., Cuvelier, C., and van Cauwenberge, P. (2000).
Nasal Polyposis: From Cytokines to Growth. Am. J. Rhinol. 14, 279–290.
doi:10.2500/105065800781329573
Bachert, C., Han, J. K., Desrosiers, M., Hellings, P. W., Amin, N., Lee, S. E., et al. (2019).
Efficacy and Safety of Dupilumab in Patients with Severe Chronic Rhinosinusitis
with Nasal Polyps (LIBERTY NP SINUS-24 and LIBERTY NP SINUS-52):
Results from Two Multicentre, Randomised, Double-Blind, Placebo-Controlled,
Parallel-Group Phase 3 Trials. Lancet 394, 1638–1650. doi:10.1016/s0140-
6736(19)31881-1
Bado, A., Levasseur, S., Attoub, S., Kermorgant, S., Laigneau, J. P., Bortoluzzi, M. N., et
al. (1998). The Stomach Is a Source of Leptin. Nature 394, 790–793.
doi:10.1038/29547
Barrios-Correa, A. A., Estrada, J. A., and Contreras, I. (2018). Leptin Signaling in the
Control of Metabolism and Appetite: Lessons from Animal Models. J. Mol.
Neurosci. 66, 390–402. doi:10.1007/s12031-018-1185-0
Beuther, D. A., and Sutherland, E. R. (2007). Overweight, Obesity, and Incident Asthma:
A Meta-Analysis of Prospective Epidemiologic Studies. Am. J. Respir. Crit. Care
Med. 175, 661–666. doi:10.1164/rccm.200611-1717OC
Bhattacharyya, N. (2011). Incremental Health Care Utilization and Expenditures for
Chronic Rhinosinusitis in the United States. Ann. Otol. Rhinol. Laryngol. 120, 423–
427. doi:10.1177/000348941112000701
Camargo, C. A., Jr., Weiss, S. T., Zhang, S., Willett, W. C., and Speizer, F. E. (1999).
Prospective Study of Body Mass index, Weight Change, and Risk of AdultOnset
Asthma in Women. Arch. Intern. Med. 159, 2582–2588. doi:10.1001/
archinte.159.21.2582
Carbone, F., La Rocca, C., and Matarese, G. (2012). Immunological Functions of Leptin
and Adiponectin. Biochimie 94, 2082–2088. doi:10.1016/ j.biochi.2012.05.018
Chan, J. L., Heist, K., DePaoli, A. M., Veldhuis, J. D., and Mantzoros, C. S. (2003). The
Role of Falling Leptin Levels in the Neuroendocrine and Metabolic Adaptation to
Short-Term Starvation in Healthy Men. J. Clin. Invest. 111, 1409–1421.
doi:10.1172/jci17490
Chupp, G. L., Bradford, E. S., Albers, F. C., Bratton, D. J., Wang-Jairaj, J., Nelsen, L. M.,
et al. (2017). Efficacy of Mepolizumab Add-On Therapy on Health-Related Quality
of Life and Markers of Asthma Control in Severe Eosinophilic Asthma (MUSCA):
A Randomised, Double-Blind, Placebo-Controlled, Parallel-Group, Multicentre,
Phase 3b Trial. Lancet Respir. Med. 5, 390–400. doi:10.1016/s2213-
2600(17)30125-x
Conus, S., Bruno, A., and Simon, H. U. (2005). Leptin Is an Eosinophil Survival Factor. J.
Allergy Clin. Immunol. 116, 1228–1234. doi:10.1016/j.jaci.2005.09.003
Dardeno, T. A., Chou, S. H., Moon, H. S., Chamberland, J. P., Fiorenza, C. G., and
Mantzoros, C. S. (2010). Leptin in Human Physiology and Therapeutics. Front.
Neuroendocrinol. 31, 377–393. doi:10.1016/j.yfrne.2010.06.002
Denlinger, L. C., Phillips, B. R., Ramratnam, S., Ross, K., Bhakta, N. R., Cardet, J. C., et
al. (2017). Inflammatory and Comorbid Features of Patients with Severe Asthma
and Frequent Exacerbations. Am. J. Respir. Crit. Care Med. 195, 302–313.
doi:10.1164/rccm.201602-0419OC
Devereux, G. (2006). The Increase in the Prevalence of Asthma and Allergy: Food for
Thought. Nat. Rev. Immunol. 6, 869–874. doi:10.1038/nri1958
Ek, A., Middelveld, R. J. M., Bertilsson, H., Bjerg, A., Ekerljung, L., Malinovschi, A., et
al. (2013). Chronic Rhinosinusitis in Asthma Is a Negative Predictor of Quality of
Life: Results from the Swedish GA2LEN Survey. Allergy 68, 1314–1321.
doi:10.1111/all.12222
Fokkens, W. J., Lund, V. J., Mullol, J., Bachert, C., Alobid, I., Baroody, F., et al. (2012).
European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2012. Rhinology 23,
1–298. doi:10.4193/Rhino12.000
Gurkan, F., Atamer, Y., Ece, A., Kocyigit, Y., Tuzun, H., and Mete, N. (2004). Serum
Leptin Levels in Asthmatic Children Treated with an Inhaled Corticosteroid. Ann.
Allergy Asthma Immunol. 93, 277–280. doi:10.1016/s1081-1206(10) 61501-3
Heiss, C. N., Mannerås-Holm, L., Lee, Y. S., Serrano-Lobo, J., Håkansson Gladh, A.,
Seeley, R. J., et al. (2021). The Gut Microbiota Regulates Hypothalamic
Inflammation and Leptin Sensitivity in Western Diet-Fed Mice via a GLP1r-
dependent Mechanism. Cell Rep. 35, 109163. doi:10.1016/ j.celrep.2021.109163
Hu, Y., Cao, P. P., Liang, G. T., Cui, Y. H., and Liu, Z. (2012). Diagnostic Significance of
Blood Eosinophil Count in Eosinophilic Chronic Rhinosinusitis with Nasal Polyps
in Chinese Adults. Laryngoscope 122, 498–503. doi:10.1002/lary.22507
Hulse, K. E. (2016). Immune Mechanisms of Chronic Rhinosinusitis. Curr. Allergy
Asthma Rep. 16, 1. doi:10.1007/s11882-015-0579-0
Imoto, Y., Kato, A., Takabayashi, T., Stevens, W., Norton, J. E., Suh, L. A., et al. (2019).
Increased Thrombin-Activatable Fibrinolysis Inhibitor Levels in Patients with
Chronic Rhinosinusitis with Nasal Polyps. J. Allergy Clin. Immunol. 144, 1566.
doi:10.1016/j.jaci.2019.08.040
Iqbal, I. Z., Kao, S. S., and Ooi, E. H. (2020). The Role of Biologics in Chronic
Rhinosinusitis: A Systematic Review. Int. Forum Allergy Rhinol. 10, 165–174.
doi:10.1002/alr.22473
Kato, H., Ueki, S., Kamada, R., Kihara, J., Yamauchi, Y., Suzuki, T., et al. (2011). Leptin
Has a Priming Effect on Eotaxin-Induced Human Eosinophil Chemotaxis. Int. Arch.
Allergy Immunol. 155, 335–344. doi:10.1159/000321195
Katotomichelakis, M., Tantilipikorn, P., Holtappels, G., De Ruyck, N., Feng, L., Van
Zele, T., et al. (2013). Inflammatory Patterns in Upper Airway Disease in the Same
Geographical Area May Change over Time. Am. J. Rhinol. Allergy 27, 354–360.
doi:10.2500/ajra.2013.27.3922
Kern, R. C., Conley, D. B., Walsh, W., Chandra, R., Kato, A., Tripathi-Peters, A., et al.
(2008). Perspectives on the Etiology of Chronic Rhinosinusitis: An Immune Barrier
Hypothesis. Am. J. Rhinol. 22, 549–559. doi:10.2500/ ajr.2008.22.3228
Lam, K., Hirsch, A. G., and Tan, B. K. (2014). The Association of Premorbid Diseases
with Chronic Rhinosinusitis With and Without Polyps. Curr. Opin. Otolaryngol.
Head Neck Surg. 22, 231–241. doi:10.1097/ moo.0000000000000052
Liang, Z., Liu, L., Zhao, H., Xia, Y., Zhang, W., Ye, Y., et al. (2016). A Systemic
Inflammatory Endotype of Asthma with More Severe Disease Identified by
Unbiased Clustering of the Serum Cytokine Profile. Medicine (Baltimore) 95,
e3774. doi:10.1097/md.0000000000003774
Lin, D. C., Chandra, R. K., Tan, B. K., Zirkle, W., Conley, D. B., Grammer, L. C., et al.
(2011). Association between Severity of Asthma and Degree of
ChronicRhinosinusitis. Am. J. Rhinol. Allergy 25, 205–208. doi:10.2500/
ajra.2011.25.3613
Luder, E., Ehrlich, R. I., Lou, W. Y., Melnik, T. A., and Kattan, M. (2004). Body Mass
Index and the Risk of Asthma in Adults. Respir. Med. 98, 29–37.
doi:10.1016/j.rmed.2003.08.004
Luglio, H. F., Sulistyoningrum, D. C., Huriyati, E., Lee, Y. Y., and Wan Muda, W. A. M.
(2017). The Gene-Lifestyle Interaction on Leptin Sensitivity and Lipid Metabolism
in Adults: A Population Based Study. Nutrients 9, 716. doi:10.3390/ nu9070716
Mahdavinia, M., Carter, R. G., Ocampo, C. J., Stevens, W., Kato, A., Tan, B. K., et al.
(2014). Basophils Are Elevated in Nasal Polyps of Patients with Chronic
Rhinosinusitis Without Aspirin Sensitivity. J. Allergy Clin. Immunol. 133, 1759–
1763. doi:10.1016/j.jaci.2013.12.1092
Mancuso, P., Canetti, C., Gottschalk, A., Tithof, P. K., and Peters-Golden, M. (2004).
Leptin Augments Alveolar Macrophage Leukotriene Synthesis by Increasing
Phospholipase Activity and Enhancing Group IVC iPLA2 (cPLA2gamma) Protein
Expression. Am. J. Physiol. Lung Cel Mol. Physiol. 287, L497–L502.
doi:10.1152/ajplung.00010.2004
Masuzaki, H., Ogawa, Y., Sagawa, N., Hosoda, K., Matsumoto, T., Mise, H., et al. (1997).
Nonadipose Tissue Production of Leptin: Leptin as a Novel PlacentaDerived
Hormone in Humans. Nat. Med. 3, 1029–1033. doi:10.1038/nm0997- 1029
Meltzer, E. O., Hamilos, D. L., Hadley, J. A., Lanza, D. C., Marple, B. F., Nicklas, R. A.,
et al. (2004). Rhinosinusitis: Establishing Definitions for Clinical Research and
Patient Care. J. Allergy Clin. Immunol. 114 (6 Suppl. l), 155–212.
doi:10.1016/j.jaci.2004.09.029
Mosen, D. M., Schatz, M., Magid, D. J., and Camargo, C. A., Jr. (2008). The Relationship
Between Obesity and Asthma Severity and Control in Adults. J. Allergy Clin.
Immunol. 122 (3), 507. doi:10.1016/ j.jaci.2008.06.024
Murakami, K., Sasaki, S., Takahashi, Y., Uenishi, K., Yamasaki, M., Hayabuchi, H., et al.
(2007). Nutrient and Food Intake in Relation to Serum Leptin Concentration Among
Young Japanese Women. Nutrition 23, 461–468. doi:10.1016/j.nut.2007.04.006
Orlandi, R. R., Kingdom, T. T., Hwang, P. H., Smith, T. L., Alt, J. A., Baroody, F. M., et
al. (2016). International Consensus Statement on Allergy and Rhinology:
Rhinosinusitis Executive Summary. Int. Forum Allergy Rhinol. 6 (Suppl. 1), S3–
S21. doi:10.1002/alr.21694
Ortega, H. G., Liu, M. C., Pavord, I. D., Brusselle, G. G., FitzGerald, J. M., Chetta, A., et
al. (2014). Mepolizumab Treatment in Patients with Severe Eosinophilic Asthma. N.
Engl. J. Med. 371, 1198–1207. doi:10.1056/NEJMoa1403290
Poposki, J. A., Klingler, A. I., Tan, B. K., Soroosh, P., Banie, H., Lewis, G., et al. (2017).
Group 2 Innate Lymphoid Cells Are Elevated and Activated in Chronic
Rhinosinusitis with Nasal Polyps. Immun. Inflamm. Dis. 5, 233–243.
doi:10.1002/iid3.161
Quek, Y. W., Sun, H. L., Ng, Y. Y., Lee, H. S., Yang, S. F., Ku, M. S., et al. (2010).
Associations of Serum Leptin with Atopic Asthma and Allergic Rhinitis in Children.
Am. J. Rhinol. Allergy 24, 354–358. doi:10.2500/ajra.2010.24.3483
Sahu, A. (2003). Leptin Signaling in the Hypothalamus: Emphasis on Energy Homeostasis
and Leptin Resistance. Front. Neuroendocrinol. 24, 225–253.
doi:10.1016/j.yfrne.2003.10.001 Schleimer, R. P. (2017). Immunopathogenesis of
Chronic Rhinosinusitis and Nasal Polyposis. Annu. Rev. Pathol. 12, 331–357.
doi:10.1146/annurev-pathol052016-100401
Schleimer, R. P., Kato, A., Peters, A., Conley, D., Kim, J., Liu, M. C., et al. (2009).
Epithelium, Inflammation, and Immunity in the Upper Airways of Humans: Studies
in Chronic Rhinosinusitis. Proc. Am. Thorac. Soc. 6, 288–294.
doi:10.1513/pats.200808-088RM
Sood, A., Ford, E. S., and Camargo, C. A., Jr. (2006). Association Between Leptin and
Asthma in Adults. Thorax 61, 300–305. doi:10.1136/thx.2004.031468 Sood, A.
(2011). Sex Differences: Implications for the Obesity-Asthma Association. Exerc.
Sport Sci. Rev. 39, 48–56. doi:10.1097/JES.0b013e318201f0c4
Stevens, W. W., Ocampo, C. J., Berdnikovs, S., Sakashita, M., Mahdavinia, M., Suh, L.,
et al. (2015a). Cytokines in Chronic Rhinosinusitis. Role in Eosinophilia and
Aspirin-Exacerbated Respiratory Disease. Am. J. Respir. Crit. Care Med. 192, 682–
694. doi:10.1164/rccm.201412-2278OC
Stevens, W. W., Peters, A. T., Suh, L., Norton, J. E., Kern, R. C., Conley, D. B., et al.
(2015b). A Retrospective, Cross-Sectional Study Reveals that Women with
CRSwNP Have More Severe Disease Than Men. Immun. Inflamm. Dis. 3, 14–22.
doi:10.1002/iid3.46
Stevens, W. W., Staudacher, A. G., Hulse, K. E., Poposki, J. A., Kato, A., Carter, R. G., et
al. (2021). Studies of the Role of Basophils in Aspirin-Exacerbated Respiratory
Disease Pathogenesis. J. Allergy Clin. Immunol. 148, 439.
doi:10.1016/j.jaci.2021.02.045
Takabayashi, T., Kato, A., Peters, A. T., Hulse, K. E., Suh, L. A., Carter, R., et al. (2013).
Excessive Fibrin Deposition in Nasal Polyps Caused by Fibrinolytic Impairment
through Reduction of Tissue Plasminogen Activator Expression. Am. J. Respir. Crit.
Care Med. 187, 49–57. doi:10.1164/rccm.201207-1292OC
Takabayashi, T., Kato, A., Peters, A. T., Suh, L. A., Carter, R., Norton, J., et al. (2012).
Glandular Mast Cells with Distinct Phenotype Are Highly Elevated in Chronic
Rhinosinusitis with Nasal Polyps. J. Allergy Clin. Immunol. 130, 410.
doi:10.1016/j.jaci.2012.02.046
Takabayashi, T., Tanaka, Y., Susuki, D., Yoshida, K., Tomita, K., Sakashita, M., et al.
(2019). Increased Expression of L-Plastin in Nasal Polyp of Patients with
Nonsteroidal Anti-inflammatory Drug-Exacerbated Respiratory Disease. Allergy 74,
1307–1316. doi:10.1111/all.13677
Tan, B. K., Klingler, A. I., Poposki, J. A., Stevens, W. W., Peters, A. T., Suh, L. A., et al.
(2017). Heterogeneous Inflammatory Patterns in Chronic Rhinosinusitis Without
Nasal Polyps in Chicago, Illinois. J. Allergy Clin. Immunol. 139, 699.
doi:10.1016/j.jaci.2016.06.063
Taveras, E. M., Rifas-Shiman, S. L., Camargo, C. A., Jr., Gold, D. R., Litonjua, A. A.,
Oken, E., et al. (2008). Higher Adiposity in Infancy Associated with Recurrent
Wheeze in a Prospective Cohort of Children. J. Allergy Clin. Immunol. 121, 1161.
doi:10.1016/j.jaci.2008.03.021
Taylor, B., Mannino, D., Brown, C., Crocker, D., Twum-Baah, N., and Holguin, F.
(2008). Body Mass Index and Asthma Severity in the National Asthma Survey.
Thorax 63, 14–20. doi:10.1136/thx.2007.082784
Tokunaga, T., Sakashita, M., Haruna, T., Asaka, D., Takeno, S., Ikeda, H., et al. (2015).
Novel Scoring System and Algorithm for Classifying Chronic Rhinosinusitis: The
JESREC Study. Allergy 70, 995–1003. doi:10.1111/all.12644
Tomassen, P., Vandeplas, G., Van Zele, T., Cardell, L. O., Arebro, J., Olze, H., et al.
(2016). Inflammatory Endotypes of Chronic Rhinosinusitis Based on Cluster
Analysis of Biomarkers. J. Allergy Clin. Immunol. 137, 1449.
doi:10.1016/j.jaci.2015.12.1324
Van Zele, T., Claeys, S., Gevaert, P., Van Maele, G., Holtappels, G., Van Cauwenberge,
P., et al. (2006). Differentiation of Chronic Sinus Diseases by Measurement of
Inflammatory Mediators. Allergy 61, 1280–1289. doi:10.1111/ j.1398-
9995.2006.01225.x
von Mutius, E., Schwartz, J., Neas, L. M., Dockery, D., and Weiss, S. T. (2001). Relation
of Body Mass Index to Asthma and Atopy in Children: The National Health and
Nutrition Examination Study III. Thorax 56, 835–838. doi:10.1136/
thorax.56.11.835
Wang, E. T., Zheng, Y., Liu, P. F., and Guo, L. J. (2014). Eosinophilic Chronic
Rhinosinusitis in East Asians. World J. Clin. Cases 2, 873–882. doi:10.12998/
wjcc.v2.i12.873
Wellen, K. E., and Hotamisligil, G. S. (2005). Inflammation, Stress, and Diabetes. J. Clin.
Invest. 115, 1111–1119. doi:10.1172/jci25102
Wong, C. K., Cheung, P. F., and Lam, C. W. (2007). Leptin-mediated Cytokine Release
and Migration of Eosinophils: Implications for Immunopathophysiology of Allergic
Inflammation. Eur. J. Immunol. 37, 2337–2348. doi:10.1002/eji.200636866
Yamada, T., Miyabe, Y., Ueki, S., Fujieda, S., Tokunaga, T., Sakashita, M., et al. (2019).
Eotaxin-3 as a Plasma Biomarker for Mucosal Eosinophil Infiltration in Chronic
Rhinosinusitis. Front. Immunol. 10, 74. doi:10.3389/ fimmu.2019.00074
Yamamoto, R., Ueki, S., Moritoki, Y., Kobayashi, Y., Oyamada, H., Konno, Y., et al.
(2013). Adiponectin Attenuates Human Eosinophil Adhesion and Chemotaxis:
Implications in Allergic Inflammation. J. Asthma 50, 828–835. doi:10.3109/
02770903.2013.816725
Zheng, H., Wu, D., Wu, X., Zhang, X., Zhou, Q., Luo, Y., et al. (2018). Leptin Promotes
Allergic Airway Inflammation Through Targeting the Unfolded Protein Response
Pathway. Sci. Rep. 8, 8905. doi:10.1038/s41598-018- 27278-4
Zheng, H., Zhang, X., Castillo, E. F., Luo, Y., Liu, M., and Yang, X. O. (2016). Leptin
Enhances TH2 and ILC2 Responses in Allergic Airway Disease. J. Biol. Chem. 291,
22043–22052. doi:10.1074/jbc.M116.743187

Anda mungkin juga menyukai