Kelompok 2 :
Pembimbing: Khadijah Asysyifaa Delavega 1102017123
dr. Ida Ratna Nurhidayati, Sp.S Monika Wulandari 1102015141
Ayudia Prameisty 1102017043
dr. Edi Prasetyo, Sp.S Lulu Ah Janah 1102017129
Bayu Abhista Wicaksono 1102017047
Definisi
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak
langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologis yaitu gangguan fisik, kongnitif, fungsi
psikosisial baik temporer maupun permanen.
Epidemiologi
Cedera kepala merupakan penyebab utama kecacatan dan kematian, terutama pada dewasa
muda. Di Amerika Serikat, hampir 10% kematian disebabkan karena trauma, dan setengah dari
total kematian akibat trauma berhubungan dengan otak. Kasus cedera kepala terjadi setiap 7
detik dan kematian akibat cedera kepala terjadi setiap 5 menit. Cedera kepala dapat terjadi pada
semua kelompok usia, namun angka kejadian tertinggi adalah pada dewasa muda berusia 15-24
tahun. Angka kejadian pada laki-laki 3 hingga 4 kali lebih sering dibandingkan wanita (Rowland
et al, 2010). Penyebab cedera kepala di Indonesia mayoritas karena kecelakaan lalu lintas yang
dapat dilaporkan kecenderungannya dari tahun 2007 dengan 2013 hanya untuk transportasi
darat, tampak ada kenaikan cukup tinggi yaitu dari 25,9 persen menjadi 47,7 persen (RISKESDAS,
2013).
ETIOLOGI
Jatuh
Luka tembak
Serangan Cedera ditempat kerja
Kecelakaan saat berkendara Pelecehan anak
Cedera olahraga Kekerasan dalam rumah tangga
Military actions
Abusive head trauma (shaken
baby syndrome)
Patofisiologi
Klasifikasi
Penilaian derajat beratnya cedera kepala dapat dilakukan dengan menggunakan Glasgow Coma
Scale (GCS) yang diciptakan oleh Jennet dan Teasdale pada tahun 1974
Ada 3 aspek yang dinilai yaitu reaksi membuka mata (eye opening), reaksi berbicara (verbal
respons), dan reaksi lengan serta tungkai (motor respons). Cedera kepala diklasifikasikan menjadi
3 kelompok berdasarkan nilai GCS yaitu:
1. Cedera Kepala Ringan (CKR) dengan GCS > 13,
2. Cedera Kepala Sedang (CKS) dengan GCS 9-13,
3. Cedera Kepala Berat (CKB) bila dalam waktu > 48 jam setelah trauma, score GCS < 9
Klasifikasi
Berdasarkan morfologinya, cedera kepala dapat dibagi menjadi:
1. Fraktur Kranium
2. Perdarahan Epidural
3. Perdarahan Subdural
4. Contusio dan perdarahan intraserebral
5. Commotio cerebri
6. Fraktur basii crani
Manifestasi Klinis
Tanda–tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala ringan adalah pasien tertidur atau
kesadaran yang menurun selama beberapa saat kemudian sembuh, sakit kepala yang menetap
atau berkepanjangan, mual dan atau muntah, gangguan tidur dan nafsu makan yang menurun,
perubahan kepribadian diri, letargik. Tanda–tanda atau gejala klinis untuk yang cedera kepala
berat adalah perubahan ukuran pupil (anisocoria), trias Cushing (denyut jantung menurun,
hipertensi, depresi pernafasan) apabila meningkatnya tekanan intrakranial, terdapat pergerakan
atau posisi abnormal ekstremitas.
Diagnosis
1. Anamnesis
•Trauma kapitis denga/ tanpa gangguan kesadaran atau dengan interval lucid
•Pendarahan/otorrhea/rhinorrhea
•Amnesia traumatic (retrograde/anterograde)
Diagnosis
2. Pemeriksaan Klinis Umum dan Neurologis
•Penilaian kesadaran berdasarkan scala koma glasgow (SKG/GCS)
Diagnosis
•Penilaian fungsi vital tensi, nadi, pernafasan
•Ecchymosis periorbial bilateral/ eyes/ hematoma kaca mata
•Ecchymosis mastoid bilateral/ battle’s sign
•Gangguan fokal neurologic
•Fungsi motoric : lateralisasi, kekuatan otot
•Reflex tendon, reflex patologis
•Pemeriksaan fungsi batang otak : ukuran besar, bentuk, isokor/anisokor & reaksi pupil
•Reflex kornea
•Doll’s eye phenomen
Diagnosis
•Monitor pola pernafasan :
Cheyne stokes : lesi di hemisfer
Central neurogenic hyperventilation : lesi di mesensefalon – pons
Apnevstic breath : lesi di pons
Ataxic breath : lesi di medulla oblongata
•Gangguan fungsi otonom
•Funduskopi
Diagnosis
3. Pemeriksaan Penunjang
•Foto kepala polos, posisi AP lateral, tangensial
•Foto lain dilakukan atas indikasi termasuk foto servikal
Dari hasil foto, perlu diperhatikan kemungkinan adanya fraktur:
Linier
Impresi
Terbuka/tertutup
Diagnosis
•CT Scan Otak : untuk melihat kelainan yang mungkin terjadi berupa :
Gambaran kontusio
Gambaran edema otak
Gambaran perdarahan(hiperdens)
Hematoma epidural
Hematoma subdural
Pendarahan subarachnoid
Hematoma intraserebral
Diagnosis banding
•Intoksikasi alkohol
•Stroke
Tatalaksana
Dasar tatalaksana awal
A = Airway (jalan nafas).
Bebaskan jalan nafas dengan memeriksa mulut dan mengeluarkan darah, gigi yang patah, muntahan, dsb. Bila perlu lakukan intubasi (waspadai
kemungkinan adanya fraktur tulang leher)
B = Breathing (Pernafasan)
Pastikan pernafasan adekuat.
Perhatikan frekuensi, pola nafas dan pernafasan dada atau perut dan kesetaran pengembangan dada kanan dan kiri (simetris). Bila ada gangguan
pernafasan, cari penyebab apakah terdapat gangguan pada sentral (otak dan batang otak) atau perifer (otot pernafasan dan paru-paru). Bila perlu,
berikan oksigen sesuai dengan kebutuhan dengan target saturasi O2 > 92%
Circulation (sirkulasi)
Pertahankan tekanan darah sistolik >90 mmHg.
Pasang sulur intravena. Berikan cairan intravena drip, NaCl 0,9% atau ringer. Hindari cairan hipotonis. Bila perlu berikan obat vasopressor dan
inotropk
D = Disability (melihat adanya disabilitas)
Berdasarkan konsesnsus perhimpunan dokter saraf seluruh Indonesia (PERDOSSI), disabilitas mengacu pada ada tidaknya lateralisasi dan kondisi
umum dengan memeriksa status umum dan fokal neurologis
Pendarahan Epidural
Operasi
indikasi tindakan operasi EDH:
- Volume >30 cc, atau
- Ketebalan >15 mm, atau
- Pergeseran midline >5 mm, atau
Pasien EDH akut (GCS <9) dan anisokor dievakuasi secepat mungkin
facial palsy yang terjadi pada hari ke 2-3 pasca trauma adalah akibat neurapraxia sekunder dari nervus cranialis VII dan responsif
terhadap steroid, dengan prognosis yang baik. Onset facial palsy secara tiba tiba pada saat bersamaan terjadinya fraktur biasanya
akibat dari transeksi nervus, dengan prognosis buruk.
• Nervus cranialis lain mungkin juga terlibat dalam fraktur basis cranii. Fraktur pada ujung pertosus os temporale mungkin
melibatkan ganglion gasserian. Cedera nervus cranialis VI yang terisolasi bukanlah akibat langsung dari fraktur, tapi mungkin
akibat skunder karena terjadinya ketegangan pada nervus. Nervus kranialis (IX, X, XI,dan XII) dapat terlibat dalam fraktur
condylar os oksipital
• Fraktur os sphenoidalis dapat mempengaruhi nervus cranialis III, IV,dan VI dan juga dapat mengganggu arteri karotis interna dan
berpotensi menghasilkan pembentukan pseudoaneurysma dan fistula caroticocavernous (jika melibatkan struktur vena). Cedera
carotid diduga terdapat pada kasus kasus dimana fraktur berjalan melalui kanal karotid, dalam hal ini, CT-angiografi dianjurkan.
PENCEGAHAN
Primer Sekunder Tersier