Anda di halaman 1dari 29

IDEOLOGI

Konsep Ideologi
Istilah ideologi berasal dari kata
idea, yang artinya gagasan, konsep,
pengertian dasar, cita-cita; dan
logos yang berarti ilmu.

Ideologi secara etimologis, artinya


ilmu tentang ide-ide (the science of
ideas), atau ajaran tentang
pengertian dasar (Kaelan, 2013: 60-
61).
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, ideologi
didefinisikan sebagai kumpulan
konsep bersistem yang
dijadikan asas pendapat yang
memberikan arah dan tujuan
untuk kelangsungan hidup.
Ideologi juga diartikan sebagai
cara berpikir seseorang atau
suatu golongan.
Ideologi dapat diartikan paham,
teori, dan tujuan yang
merupakan satu program sosial
politik (Kamus Besar Bahasa
Indonesia, 2008: 517).
Sejarah konsep ideologi dapat ditelusuri
jauh sebelum istilah tersebut digunakan
Destutt de Tracy pada penghujung abad
kedelapan belas.
Tracy menyebut ideologi sebagai science of
ideas, yaitu suatu program yang
Destutt de Tracy
diharapkan dapat membawa perubahan
institusional bagi masyarakat Perancis.
Namun, Napoleon mengecam istilah
ideologi yang dianggapnya suatu
khayalan belaka, yang tidak mempunyai
arti praktis. Hal semacam itu hanya
impian belaka yang tidak akan ditemukan
dalam kenyataan (Kaelan, 2003: 113).
Napoleon
Niccolo Machiavelli (1460--1520)
merupakan pelopor yang membicarakan
persoalan yang secara langsung berkaitan
dengan fenomena ideologi.
Machiavelli mengamati praktik politik para
pangeran, dan mengamati pula tingkah
laku manusia dalam politik, meskipun ia
tidak menggunakan istilah “ideology” sama
sekali.
Ada tiga aspek dalam konsep ideologi
yang dibahas Machiavelli, yaitu agama,
kekuasaan, dan dominasi. Machiavelli
melihat bahwa orang-orang sezamannya
lebih dahulu memperoleh kebebasan, hal
tersebut lantaran perbedaan yang terletak
dalam pendidikan yang didasarkan pada
Niccolo Machiavelli perbedaan konsepsi keagamaan.
Jorge Larrain menyitir pendapat Machiavelli
sebagai berikut.
“Agama kita lebih memuliakan orang-orang yang
rendah hati dan tafakur daripada orang-orang
yang bekerja. Agamalah yang menetapkan
kebaikan tertinggi manusia dengan kerendahan
hati, pengorbanan diri dan sikap memandang
rendah untuk hal-hal keduniawian. Pola hidup ini
karenanya tampak membuat dunia itu lemah, dan
menyerahkan diri sebagai mangsa bagi mereka
yang jahat, yang menjalankannya dengan sukses
dan aman, karena mereka itu sadar bahwa orang-
orang yang menjadikan surga sebagai tujuan pada
umumnya beranggapan bertahan itu lebih baik
daripada membalas dendam, terhadap perbuatan
mereka yang tidak adil” (Larrain, 1996: 9).
Sikap semacam itulah yang menjadikan Machiavelli menghubungkan antara
ideologi dan pertimbangan mengenai penggunaan kekuatan dan tipu daya untuk
mendapatkan serta mempertahankan kekuasaan. Para penguasa – pangeran –
harus belajar mempraktikkan tipuan, karena kekuatan fisik saja tidak pernah
mencukupi.
Machiavelli menengarai bahwa hampir tidak ada orang berbudi yang
memperoleh kekuasaan besar “hanya dengan menggunakan kekuatan yang
terbuka dan tidak berkedok”, kekuasaan dapat dikerjakan dengan baik, hanya
dengan tipuan.
Machiavelli melanjutkan analisisnya tentang kekuasaan dengan mengatakan
bahwa meskipun menjalankan kekuasaan memerlukan kualifikasi yang baik,
seperti menepati janji, belas kasihan, tulus ikhlas.
Penguasa tidak perlu memiliki semua persyaratan itu, tetapi dia harus tampak
secara meyakinkan memiliki kesemuanya itu (Larrain, 1996: 9). Ungkapan
Machiavelli tersebut dikenal dengan istilah adagium, “tujuan menghalalkan segala
macam cara”.
Marx melanjutkan dan mengembangkan
konsep ideologi Machiavelli yang
menonjolkan perbedaan antara penampilan
dan realita dalam pengertian baru.
Ideologi bagi Marx, tidak timbul sebagai
penemuan yang memutar balik realita, dan
juga tidak sebagai hasil dari realita yang
secara objektif gelap (kabur) yang menipu
kesadaran pasif (Larrain, 1996: 43).
Marx mengandaikan bahwa kesadaran
tidak menentukan realitas, tetapi realitas
material-lah yang menentukan kesadaran.
Realitas material itu adalah cara-cara
produksi barang dalam kegiatan kerja
(Hardiman, 2007: 241).
Ideologi timbul dari “cara kerja material
yang terbatas”. Hal ini memunculkan
hubungan yang saling bertentangan
dengan berbagai akibatnya.
Marx mengajarkan bahwa tesis dari
dialektika materialis yang
dikembangkannya adalah masyarakat
agraris yang di dalamnya kaum feodal
pemilik tanah sebagai kelas penguasa
dan petani penggarap sebagai kelas yang
tertindas.
Antitesisnya adalah masyarakat
kapitalis, di dalamnya modal dikuasai
oleh kaum borjuis penguasa, sedangkan
pekerja atau proletar adalah kelas yang
tertindas. Sintesisnya adalah di dalam
masyarakat komunis, tidak ada lagi kelas
penguasa (feodal/borjuis) dan yang
dikuasai (proletar) (Larrain, 1996: 43).
IDEOLOGI-IDEOLOGI DI DUNIA

KAPITALISME
Liberalisme
PANCASILA
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai