3. 4.
5.
2.
6. 7.
Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapatkan imbalan dan perlakuan yang adil dan layak hubungan kerja. Pasal 28 E (Perubahan); Ayat 3; Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat. Pasal 28 H (Perubahan); 1. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.
3.
Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat.
mengenai berlakunya dasar-dasar daripada hak untuk Berorganisasi dan untuk Berunding Bersama sudah diratifikasi oleh Indonesia menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan nasional. Ayat 5; Pekerja/buruh merupakan mitra kerja pengusaha yang sangat penting dalam proses produksi dalam rangka meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya, menjamin kelangsungan perusahaan, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia pada umumnya. Ayat 7; Masyarakat pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pengusaha di Indonesia merupakan bagian dari masyarakat dunia yang sedang menuju era pasar bebas. Untuk menghadapi hal tersebut, semua pelaku dalam proses produksi perlu bersatu dan menumbuhkembangkan sikap profesional. Di samping itu, pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh perlu menyadari pentingnya tanggung jawab yang sama dengan kelompok masyarakat lainnya dalam membangun bangsa dan negara. Serikat pekerja/serikat buruh didirikan secara bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab oleh pekerja/buruh untuk memperjuangkan kepentingan pekerja/buruh dan keluarganya. Penjelasan Pasal; Pasal 1; 1. Pengertian Serikat Pekerja/Serikat Buruh adalah organisasi yang dibentuk dari, oleh, dan untuk pekerja/buruh baik di perusahaan maupun diluar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis dan bertanggungjawab guna memperjuangkan, membela serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya. 2. Pengertian Federasi serikat pekerja/serikat buruh adalah gabungan serikat pekerja/serikat buruh. 3. Pengertian Konfederasi serikat pekerja/serikat buruh adalah gabungan federasi serikat pekerja/serikat buruh. 4. Pengertian pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pasal 3; Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh mempunyai sifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab. Pasal 4; 1. Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh bertujuan memberi perlindungan dan pembelaan hak dan kepentingan, serta meningkatkan kesejahteraan yang layak bagi pekerja/buruh dan keluarganya. 2. Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh mempunyai fungsi : a. sebagai pihak dalam pembuatan perjanjian kerja bersama dan penyelesaian perselisihan industrial ; b. sebagai wakil pekerja/buruh dalam lembaga kerjasama dibidang ketenagakerjaan sesuai dengan tingkatnya; c. sebagai sarana meningkatkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis, dan berkeadilan sesuai dengan peraturan perundanganundangan yang berlaku; d. sebagai sarana menyalurkan aspirasi dalam memperjuangkan hak dan kepentingan anggotanya; e. sebagai perencana, pelaksana, dan penanggung jawab pemogokan pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku; f. sebagai wakil pekerja/buruh dalam memperjuangkan kepemilikan saham diperusahaan. Pasal 5; 1. Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. 2. Serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurangkurangnya 10 (sepuluh) orang pekerja/buruh. Pasal 6; 1. Serikat pekerja/serikat buruh berhak membentuk dan menjadi anggota federasi serikat pekerja/serikat buruh;
2. Federasi serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurangkurangnya 5 (lima) serikat pekerja/serikat buruh; Pasal 7; 1. Federasi serikat pekerja/serikat buruh berhak membentuk dan menjadi anggota konfederasi serikat pekerja/serikat buruh. 2. Konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dibentuk oleh sekurangkurangnya 3 (tiga) federasi serikat pekerja/serikat buruh. Pasal 9; Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh dibentuk atas kehendak bebas pekerja/buruh tanpa tekanan atau campur tangan pengusaha, pemerintah, partai politik, dan pihak manapun. Pasal 11; 1. Setiap serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/ serikat buruh harus memiliki anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. 2. Anggaran dasar sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurangkurangnya harus memuat : a. nama dan lambang; b. dasar negara, asas, dan tujuan; c. tanggal pendirian; d. tempat kedudukan; e. keanggotaan dan kepengurusan; f. sumber dan pertanggungjawaban keuangan , dan g. ketentuan perubahan anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga. Pasal 12; Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh harus terbuka untuk menerima anggota tanpa membedakan aliran politik, agama, suku bangsa, dan jenis kelamin. Pasal 14; 1. Serikat pekerja/buruh tidak boleh menjadi anggota lebih dari satu serikat pekerja/serikat buruh di satu perusahaan. 2. Dalam hal seorang pekerja/buruh dalam satu perusahaan ternyata tercatat pada lebih dari satu serikat pekerja/buruh, yang bersangkutan harus menyatakan secara tertulis satu serikat pekerja/buruh yang dipilih. Pasal 15; Pekerja/buruh yang menduduki jabatan tertentu didalam satu perusahaan dan jabatan itu menimbulkan pertentangan kepentingan antara pihak pengusaha dan pekerja/buruh, tidak boleh menjadi pengurus serikat pekerja/buruh diperusahaan yang bersangkutan. Pasal 18; 1. Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah terbentuk memberitahukan secara tertulis kepada instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat untuk dicatat. 2. Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dengan dilampiri : a. daftar nama anggota pembentuk; b. anggaran dasar dan anggaran rumah tangga; c. susunan dan nama pengurus. Pasal 23; Pengurus serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan harus memberitahukan secara tertulis keberadaannya kepada mitra kerjanya sesuai dengan tingkatannya. Pasal 25; 1. Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berhak :
a. b. c. d.
membuat perjanjian kerja bersama dengan pengusaha; mewakili pekerja/buruh dalam menyelesaikan perselisihan industrial; mewakili pekerja/buruh dalam lembaga ketenagakerjaan; membentuk lembaga dan melakukan kegiatan yang berkaitan dengan usaha peningkatan kesejahteran pekerja/buruh; e. melakukan kegiatan lainnya dibidang ketenagakerjaan yang tidak bertentangan dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Pasal 27; Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang telah mempunyai nomor bukti pencatatan berkewajiban : a. melindungi dan membela anggota dari pelanggaran hakhak dan memperjuangkan kepentingannya; b. memperjuangkan peningkatan kesejahteraan anggota dan keluarganya; c. mempertanggungjawabkan kegiatan organisasi kepada anggotanya sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga. Pasal 28; Siapapun dilarang menghalanghalangi atau memaksa pekaerja/buruh untuk membentuk atau tidak membentuk, menjadi pengurus, atau tidak menjadi pengurus, menjadi atau tidak menjadi anggota dan/atau menjalankan atau tidak menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dengan cara : a. melakukan pemutusan hubungan kerja, memberhentikan sementara, menurunkan jabatan, atau melakukan mutasi; b. tidak membayar atau mengurangi upah pekerja/buruh; c. melakukan intimidasi dalam bentuk apapun; d. melakukan kampanye anti pembentukan serikat pekerja/serikat buruh. Pasal 29; 1. pengusaha harus memberikan kesempatan kepada pengurus dan/atau anggota serikat pekerja/serikat buruh untuk menjalankan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh dalam perjanjian kerja bersama. 2. Dalam kesempatan kedua belah pihak dan/atau perjanjian kerja bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diatur mengenai : a. jenis kegiatan yang diberikan kesempatan; b. tata cara pemberian kesempatan; c. pemberian kesempatan yang mendapat upah dan yang tidak mendapat upah. Pasal 34; 1. Pengurus bertanggung jawab dalam penggunaan dan pengelolaan keuangan dan harta kekayaan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh. 2. Pengurus wajib membuat pembukuan keuangan dan harta kekayaan serta melaporkan secara berkala kepada anggotanya menurut anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan. Pasal 37; Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh bubar dalam hal : a. dinyatakan oleh anggotanya menurut anggaran dasar dan anggaran rumah tangga; b. perusahaan tutup atau menghentikan kegiatannya untuk selamalamanya yang mengakibatkan putusnya hubungan kerja bagi seluruh pekerja/buruh diperusahaan setelah seluruh kewajiban pengusaha terhadap pekerja/buruh diselesaikan menurut peraturan perundangundangan yang berlaku; c. dinyatakan dengan putusan pengadilan. Pasal 42; 1. Pelanggaran terhadap Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (2), Pasal 21 atau Pasal 31 dapat dikenakan sanksi administratif pencabutan nomor bukti pencatatan serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh. 2. Serikat pekerja/serikat buruh, federasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang dicabut nomor bukti pencatatannya kehilangan haknya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) huruf a, b, dan c sampai
dengan waktu serikat pekerja/serikat buruh, fedrasi dan konfederasi serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan telah memenuhi ketentuan Pasal 5 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 ayat (2), Pasal 21 atau Pasal 31. Pasal 43; 1. Barang siapa yang menghalanghalangi atau memaksa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28, dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 2. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) merupakan tidak pidana kejahatan.
a. istirahat antara jam kerja, sekurang-kurangnya setengah jam setelah bekerja selama 4 (empat) jam terus menerus dan waktu istirahat tersebut tidak termasuk jam kerja; b. istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu ; c. cuti tahunan, sekurang-kurangnya 12 (dua belas) hari kerja setelah pekerja/buruh yang bersangkutan bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus ; dan d. istirahat panjang, sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terusmenerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun. 3. Pelaksanaan waktu istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. 4. Hak istirahat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d hanya berlaku bagi pekerja/buruh yang bekerja pada perusahaan tertentu. 5. Perusahaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 80; Pengusaha wajib memberikan kesempatan yang secukupnya kepada pekerja/buruh untuk melaksanakan ibadah yang diwajibkan oleh agamanya. Pasal 81; 1. Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid. 2. Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Pasal 82; 1. Pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 (satu setengah) bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 (satu setengah) bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. 2. Pekerja/buruh perempuan yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan. Pasal 83; Pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilakukan selama waktu kerja. Pasal 84; Setiap pekerja/buruh yang menggunakan hak waktu istirahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (2) huruf b, c, dan d, Pasal 80, dan Pasal 82 berhak mendapat upah penuh. Pasal 85; 1. Pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi. 2. Pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan tersebut harus dilaksanakan atau dijalankan secara terus-menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha. 3. Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada hari libur resmi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib membayar upah kerja lembur. 4. Ketentuan mengenai jenis dan sifat pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan Keputusan Menteri. Pasal 86 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja); UU 13 Tahun 2003, (Ketenagakerjaan)
1. Setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas : a. keselamatan dan kesehatan kerja; b. moral dan kesusilaan; dan c. perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama. 2. Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja. 3. Perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 88 (Pengupahan); Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Untuk mewujudkan penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemerintah menetapkan kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh. 1. Kebijakan pengupahan yang melindungi pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi : a. upah minimum; b. upah kerja lembur; c. upah tidak masuk kerja karena berhalangan; d. upah tidak masuk kerja karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya; e. upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya; f. bentuk dan cara pembayaran upah; g. denda dan potongan upah; h. hal-hal yang dapat diperhitungkan. 2. Pemerintah menetapkan upah minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) huruf a berdasarkan kebutuhan hidup layak dan dengan memperhatikan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi. Pasal 99 (Kesejahteraan); 1. Setiap pekerja/buruh dan keluarganya berhak untuk memperoleh jaminan sosial tenaga kerja. 2. Jaminan sosial tenaga kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 104 (SP/SB); 1. Setiap pekerja/buruh berhak membentuk dan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh. 2. Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102, serikat pekerja/serikat buruh berhak menghimpun dan mengelola keuangan serta mempertanggung jawabkan keuangan organisasi termasuk dana mogok. 3. Besarnya dan tata cara pemungutan dana mogok sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam anggaran dasar dan/atau anggaran rumah tangga serikat pekerja/serikat buruh yang bersangkutan. Pasal 137 (Mogok Kerja); Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan. Pasal 151 (PHK); 1. Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. 2. Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
3. Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.