Anda di halaman 1dari 4

Kekerasan di Negeri Bersyariat

Tulisan ini sebenarnya merupakan bentuk reaksi kekagetan ketika membaca berita yang berjudul Tidak Perlu Tunggu 1000 Kasus Buktikan Kekerasan Di Aceh. Saya cukup tercengang ketika data statistik yang ada juga menunjukkan bahwa angka kekerasan terhadap perempuan di Aceh cukup tinggi. Selama 2010, ada 41 kasus kekerasan terhadap perempuan yang ditangani oleh LBH APIk dan 15 kasus yang ditangani oleh KKTGA. Polda Aceh sendiri membeberkan bahwa terdapat 146 kasus kekerasan yang dialami perempuan, 178 kasus anak-anak, dan 3 kasus trafficking. Ini belum termasuk kasus-kasus tak terdata yang pasti jauh lebih banyak jumlahnya dikarenakan korban takut, malu dan enggan melapor (theglobejournal.com). Mengapa hal demikian dapat terjadi? Apakah demikian cara sebagian masyarakat Aceh memperlakukan perempuan? Ataukah kekerasan terhadap perempuan hal yang dianggap lazim bagi sebagian masyarakat Aceh? Padahal di dalam hukum sudah sangat jelas diatur bahwa kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan merupakan salah satu jenis pelanggaran HAM, yang diakui bahkan secara Internasional seperti yang termuat pada Deklarasi dan Rencana Aksi Beijing yang menegaskan kembali bahwa: Hak Asasi Perempuan adalah Hak Asasi Manusia. Landasan hukum penegakan hak perempuan yang bersifat menyeluruh ialah Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi tersebut yang terlihat jelas dalam Undang-Undang RI No. 7 Tahun 1984, tentang Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita. Hukum yang mengatur tentang kekerasan terhadap perempuan lebih tegas diatur di dalam Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Oleh karenanya, segala bentuk tindakan kekerasan, pelecehan dan diskriminasi terhadap perempuan merupakan tindakan melawan hukum. Baiklah jika kemudian masyarakat Aceh yang terkenal dengan syariat Islamnya, tidak paham dan tidak mau menggunakan hukum Nasional, apa lagi hukum Internasional sebagai landasan untuk memperlakukan perempuan secara manusiawi. Maka gunakanlah hukum Islam sebagai landasan untuk memperlakukan perempuan secara pantas. Karena bukankah di dalam Al-Quran sendiri dengan jelas dan tegas melarang tindak-tindak kekerasan dan menghimbau umat Islam untuk membentuk relasi antarsesama dengan berlandaskan kasih sayang, persamaan dan keadilan, bahkan terhadap perempuan. Al-Quran berulang kali memperingati untuk menghormati dan berbuat baik terhadap istri dan melarang menyakiti apa lagi menyiksa. Lihat saja Al-Quran pada Surat An-Nisa ayat 19: Hai orangorang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai

mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak, serta ayat-ayat lainnya yang tak dapat habis dicantumkan. Bahkan jika menelisik lebih jauh pada Hadist Rasulullah, begitu banyak hadist-hadist yang menginstruksikan untuk memperlakukan perempuan secara manusiawi bahkan terhormat. Lihat saja hadist-hadist yang sudah sangat sering terdengar seperti Surga di bawah telapak kaki Ibu, Ketika seorang sahabat bertanya kepada Rasulullah, siapa manusia yang lebih beerhak dihormati dan dipergauli dengan baik, maka Rasulullah menjawab Ibumu sebanyak tiga kali, baru bapakmu (HR Imam Bukhari), Orang yang paling baik di antara kamu adalah orang yang paling baik terhadap istrinya (HR Tirmidzi), dan banyak hadist lainnya yang tak mungkin disebutkan. Seperti beberapa kisah pada masa Rasulullah, pernah datang seorang wanita kepada Rasulullah yang mengadukan bahwa suaminya telah memukulnya. Maka Rasulullah berdiri seraya menolak perlakuan tersebut dengan bersabda, Salah seorang dari kamu memukuli istrinya seperti memukul seorang budak, kemudian setelah itu memeluknya kembali, apakah dia tidak merasa malu?. Juga pada sebuah kisah, ketika Rasulullah mengizinkan memukuk istri dengan pukulan yang tidak membahayakan, dan setelah diberi nasihat serta ancaman secukupnya, beliau didatangi 70 wanita dan mengadu bahwa mereka dipukuli suaminya. Rasulullah kemudian berpidato seraya berkata, Demi Allah, telah banyak wanita yang berdatangan kepada keluarga Muhammad untuk mengadukan suaminya yang sering memukulnya. Demi Allah, mereka yang suka memukul istri tidaklah aku dapatkan sebagai orang-orang yang terbaik di antara kamu sekalian. Benar bahwa di dalam Al-Quran juga memuat ayat yang memperbolehkan untuk memukul perempuan. Namun harus diperhatikan tindakan tersebut dilakukan pada istri macam apa? Dalam situasi apa? Tujuannya untuk apa? Serta cara memukulnya seperti apa? Bahkan jika pun Allah mengizinkan seorang suami memukul istrinya, dengan syarat dan ketentuan yang telah digariskan, seperti yang tertulis pada surat An-Nisa ayat 34 (......Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar). Jadi, seorang suami hanya diperbolehkan memukul istrinya jika telah terlihat tanda-tanda nusyuznya, yakni tindakan istri yang hendak menodai ikatan suci pernikahan, tidak beradab, berbuat jahat, dan tindakan lainnya yang tidak dapat ditolerir (M. H Taufik : 2011). Dan itu pun jika telah melalui tahapan untuk disadarkan dengan cara baik-baik namun tidak juga berhasil, dan pukulan merupaka cara terakhir yang ditempuh. Belum lagi jika kita memperhatikan sambungan ayat berikutnya yang menegaskan tentang memutuskan hukum dalam persoalan rumah tangga secara adil (An-Nisa: 35): Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Bahkan Rasulullah pernah bersabda Jangan lah kalian memukul kaum perempuan (HR Imam Abu Daud dan Ibnu Majah)

Oleh karenanya, tidak pantas jika menggunakan Al-Quran sebagai pengabsah tindakan kekerasan, sehingga sedikit saja perempuan melakukan tindakan yang tidak menyenangkan maka dianggap pantas untuk dimaki, dilecehkan apa lagi dipukuli. Konon pada masa jahiliyah ketika manusia belum mengenal Islam dan sebelum Rasulullah diutus untuk memperbaiki akhlak manusia, salah satu hal yang identik pada masa ini adalah kondisi perempuan benar-benar terpuruk. Perempuan dianggap sebagai aib, anak-anak perempuan yang lahir bahkan dikubur hidup-hidup, jika pun tidak dibunuh ia diperlakukan dengan sangat hina dan rendah, perempuan hanya dijadikan sebagai pelayan dan pemuas laki-laki, dijadikan budak yang dapat diperjualbelikan dan seolah benda bebas diperlakukan seperti apapun. Itu adalah kondisi pada masa jahiliyah. Namun, jika ada yang masih memperlakukan perempuan dengan rendah, hina dan tidak manusiawi, maka apa perbedaan mereka dengan manusia-manusia yang hidup pada masa jahiliyah? Jika memang tidak ingin menggunakan hukum buatan manusia sebagai kamuflase, maka mengapa tak gunakan hukum Tuhan dan ajaran Islam, mengapa tidak menjadikan Rasulullah sebagai contoh dalam memperlakukan perempuan? Sebagian orang Islam selama ini juga sangat sinis dengan prinsip-prinsip kesetaraan gender yang selama ini memperjuangkan hakhak perempuan karena dianggap ajaran liberal dan sesat, dengan salah satu dalihnya bahwa umat Islam tak butuh kesetaraan gender karena Islam sendiri sudah memuliakan perempuan. Namun, mana realisasi konkritnya??? Apakah Islam hanya mengatur tentang tata cara beribadah? Dan jika memang Al-Quran dan Hadist sudah menetapkan standar baku tentang perlakuan yang pantas terhadap perempuan, maka bukankah segala bentuk tindakan pelecehan dan kekerasan terhadap perempuan juga merupakan bagian dari dosa dan pembangkangan terhadap hukum Tuhan? Dan orang-orang yang dengan seringnya melakukan tidak kekerasan terhadap perempuan, sesungguhnya sedang mengamalkan ajaran dari agama apa? Oleh karenanya, jika masyarakat Aceh yang katanya ingin melaksanakan syariat Islam, ingin menggunakan Al-Quran dan Hadist sebagai landasan, maka seharusnya masyarakat Aceh merupakan kelompok masyarakat yang paling baik dalam hal perlakuan terhadap perempuan, bukan sebaliknya. Karena bukankah sangat kontradiktif, ketika Allah SWT melalui agama Islam mengajarkan berbuat baik dan memuliakan perempuan, tapi Aceh yang menerapkan syariat Islam justru memiliki angka kekerasan terhadap perempuan yang cukup tinggi. Perempuan Aceh sendiri selayaknya mempertegas diri atas segala tindakan kekerasan dan sewenang-wenang terhadapnya. Baik itu kekerasan fisik, psikis, seksual, bahkan kekerasan ekonomi. Dulu bahkan para pejuang perempuan Acehyang tak perlu saya sebut namanya---bertarung nyawa melawan para penjajah yang bertindak sewenang-wenang terhadap masyarakat Aceh, namun sungguh Ironis jika perempuan Aceh saat ini hanya demi melindungi diri sendiri pun tak mampu.

Dalam rangka memperingati Kampanye Internasional 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (25 November-10 Desember)

Anda mungkin juga menyukai