Anda di halaman 1dari 3

Kemerdekaan Perempuan dan

Neoliberalisme
PERAYAAN kemerdekaan Indonesia, tahun ini, cukup menarik bagi perempuan
Indonesia. Penyebabnya, perayaan kemerdekaan tahun ini bertepatan dengan periode
transisional menuju pemerintahan baru, yakni pemerintahan hasil pemilu presiden
(Pilpres) 2009.

Ada hal yang paradoksal di sini. Di satu sisi, ada pengakuan formal mengenai
kemerdekaan bangsa Indonesia. Namun, setelah 64 tahun kemerdekaan "formal" ini,
mayoritas rakyat Indonesia masih terperosok pada sebuah situasi yang tidak jauh beda
dengan jaman kolonial dulu, seperti kemiskinan, pengangguran, pembodohan, dan
sebagainya.

Sementara itu, kaum perempuan Indonesia, yang menempati lebih dari separuh
populasi, masih merupakan korban dari berbagai belenggu sosial, ekonomi, dan politik
di negeri ini. Artinya, bila kemerdekaan dianggap sebagai pembebasan rakyat dari
segala bentuk belenggu (ekonomi, politik, dan sosial budaya), maka sebagaian besar
perempuan Indonesia belumlah merdeka. Sebab, belenggu sosial, ekonomi, dan politik
itu masih menyisakan ruang bagi terjajahnya kaum perempuan.

Neoliberal dan Nasib Perempuan

Pada akhir abad 19, ketika Kartini muncul, musuh utama bagi kaum perempuan
adalah sistim sosial patriarkal dan kolonialisme. Ketika itu, kedua belenggu ini
menjelma sebagai kekuatan besar yang menghisap dan menindas perempuan.

Sekarang ini, bagi gerakan feminis di berbagai belahan dunia, neoliberalisme


dipandang sebagai rejim baru yang menindas perempuan. Neoliberalisme, yang oleh
banyak orang dikatakan kapitalisme tanpa sarung tangan, sangat agressif dalam
menempatkan perempuan sekedar sebagai tenaga kerja ber-upah murah, hingga
menjadikan perempuan sebagai komoditi yang diperdagangkan.

Joelle Palmieri, direktur Les Pénélopes dan the Association for the Promotion of
the Social and Solidarity Economy (APRESS), menganggap neoliberalisme sebagai
pengejawantahan bentuk patriarkhi baru di bidang ekonomi, karena sangat berlandaskan
kepada kompetisi ekonomi bebas. Sementara itu, bagi sejumlah gerakan feminis di
dunia ketiga, neoliberalisme dianggap sebagai ekspresi penjajahan di era modern.
Penyebabnya, menurut mereka, neoliberalisme telah merampas segala sumber daya
potensial, dan, karenanya, tidak menyisakan sedikitpun bagi perempuan dan generasi
mendatang.

Sementara itu, beberapa feminis berpendapat bahwa perempuan terkena dampak


neoliberal lebih keras dibanding laki-laki. Untuk kesimpulan ini, mereka punya dua
penjelasan; pertama, perempuan sangat lemah aksesnya terhadap sumber daya ekonomi,
sehingga mereka begitu bergantung kepada negara. Sehingga, ketika negara menghapus
peran sosialnya, maka perempuan akan mendapatkan dampak cukup jauh. Kedua,
sekarang ini perempuan masih mengalami penindasan berlapis; patriarkhi dan
kapitalisme. Sehingga, karena hal itu, perempuan sangat bergantung kepada
perlindungan negara, dan adanya sebuah regulator.

Di Indonesia, misalnya, potret kemiskinan memperlihatkan bahwa kaum


perempuan masih menempati kelompok sosial paling miskin di Indonesia, mengutip
studi ADB (2005), mencapai 70%. Sementara, kaum perempuan yang tidak tertampung
dalam industri dimobilisasi menjadi buruh tani dan buruh kebun (69,32% dari 47,67%
tenaga kerja di perdesaan), buruh migran (71.433). Sementara itu, jumlah perempuan
Indonesia yang terseret pada perdagangan (tracficking) dan bisnis pelacuran mencapai
650 ribu hingga satu juta orang pertahun.

Anti Neoliberalisme

Dengan kemenangan SBY-Budiono, pada pilpres lalu, berarti gerakan


perempuan di Indonesia sulit berharap adanya perubahan ekonomi, politik, dan sosial-
budaya, yang akan mengeluarkan mereka dari ketertindasan dan eksploitasi.

Neoliberalisme, bagaimanapun, bukan takdir yang tak dapat diubah. Di berbagai


belahan dunia, gerakan perempuan mengambil bagian paling aktif untuk menentang
sistem keserakahan ini. Di negara tetangga kita, Papua New guinea, perempuan berada
di garis depan perjuangan melawan swastanisasi tanah dan reformasi pendidikan, yang
dianjurkan oleh IMF dan Bank Dunia. Di Bolivia, ketika privatisasi air digalakkan,
perempuan menjadi unsur paling dinamis dan paling maju dari gerakan sosial.

Di Indonesia, sebetulnya, perempuan telah menjadi bagian tidak terpisahkan dari


perjuangan anti neoliberalisme. Hanya saja, memang, artikulasi politik dari aktifitas ini
belum terlihat. Sebagai misal, kita merasa miris ketika mendengar bahwa, mengutip
CSIS, ada 80% perempuan lebih senang memilih SBY-Budiono. Artinya, masih banyak
perempuan yang belum menyadari bahwa masa depan mereka terancam oleh
neoliberalisme, yang akan dipraktekkan oleh SBY-Budiono.

Ini merupakan tantangan terbesar: Menyakinkan mayoritas perempuan,


utamanya kalangan perempuan miskin, bahwa musuh terbesar mereka sekarang ini
adalah sistim neoliberalisme.

Hambatan lainnya, perempuan harus sanggup menyakinkan gerakan sosial


lainnya, seperti gerakan buruh, petani, rakyat miskin perkotaan, mahasiswa, masyarakat
adat, gerakan lingkungan, dan sebagainya, bahwa mereka harus menjadi "core" bersama
untuk menghadapi gurita "neoliberalisme". Dengan jumlah kuantitatif yang lebih besar,
maka perempuan menyimpan kekuatan yang sangat besar, tinggal bagaimana
mengartikulasikannya secara tepat.

Anda mungkin juga menyukai