Oleh:
Syahrir Ika1 dan Agunan P. Samosir2
Abstraksi
Kebijakan privatisasi BUMN di Indonesia semakin menjadi
bagian penting dari kebijakan ekonomi pemerintah. Privatisasi
dipandang sebagai langkah untuk mengurangi intervensi
pemerintah dalam bidang ekonomi yang seharusnya dilaksanakan
oleh sektor swasta. Privatisasi diharapkan dapat meningkatkan
daya saing dan efisiensi perusahaan yang selanjutnya mendukung
pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, privatisasi yang
dilakukan pemerintah saat ini bukan dalam tujuan diantas,
melainkan untuk menutup defisit APBN. Karena sektor-sektor
penerimaan dan pembiayaan lainnya tidak mencukupi dalam
keseimbangan anggaran yang telah ditetapkan. Dalam
perjalanannya, privatisasi yang telah berjalan dan yang akan
dilakukan menjadi dilematis seperti yang telah terjadi pada
privatisasi Indosat baru-baru ini.
Untuk itu, tulisan ini mencoba memberikan pemikiran baru
bagaimana sebenarnya privatisai harus dilakukan. Disamping itu,
tujuan privatisasi ini sebenarnya ditujukan kemana, sehingga
masyarakat dan DPR bisa mengerti maksud dan tujuan privatisasi
saat ini. Tentunya kita berharap bahwa kedepan privatisasi tidak
lagi ditujukan untuk menutup defisit APBN semata, tetapi juga
mengurangi campur tangan pemerintah terhadap sektor-sektor
kegiatan ekonomi yang dapat dilakukan oleh swasta dan pada
akhirnya pemerintah dapat berkonsentrasi kepada bidang yang
semestinya dilakukan. Sumber penerimaan dari BUMN selayaknya
hanya diutamakan dari pajak yang dihasilkan oleh BUMN.
I. Latar Belakang
Selama masa pemerintahan Orde Baru, kebijakan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) menganut sistem berimbang
(balanced budget), Sejak tahun anggaran (TA) 2000, kebijakan APBN
menganut sistem defisit (deficit buidget) direncanakan defisit sebesar Rp44,1
1
Ahli Peneliti Muda pada Pusat Statistik dan Penelitian Keuangan (PSPK), BAF,
Departemen Keuangan RI.
2
Peneliti pada PSPK, BAF, Departemen Keuangan RI.
1
trilyun atau 4,8% terhadap PDB. Kebijakan ini ditempuh dalam rangka
pemulihan ekonomi nasional. Untuk menutup defisit anggaran tersebut
pemerintah mengupayakan program financing melalui pembiayaan dalam
negeri dan luar negeri. Pembiayaan dalam negeri bersumber dari program
privatisasi BUMN dan penjualan aset program retsrukturisasi perbankan,
yang dalam TA 2000 masing-masing ditargetkan sebesar Rp6,5 trilyun dan
Rp18,9 trilyun. Namun, realisasi kedua sumber financing dalam negeri ini (1
April s/d 31 Desember) hanya mencapai Rp18,9 trilyun, yang kesemuanya
bersumber dari penjualan aset program restrukturisasi perbankan,
sementara dari sumber privatisasi nihil. Sumber pembiayaan luar negeri
(penarikan pinjaman luar negeri dikurangi pembayaran cicilan pokok utang
luar negeri) ditargetkan sebesar Rp18,7 trilyun, akan tetapi realisasinya
hanya mencapai Rp9,55 trilyun (51%). Dengan demikian, pada tahun
anggaran 2000, pembiayaan defisit APBN yang bersumber dari privatisasi
BUMN tidak mencapai target (Tabel 1-1).
Pada APBN Tahun 2001, pemerintah merencanakan kebijakan fiskal
yang ekspansif, yaitu dengan manargetkan anggaran defisit sebesar Rp52,5
triliun. Defisit anggaran 2001 dibiayai dengan tiga sumber pembiayaan, yang
masih sama dengan tahun 2000, masing-masing melalui privatisasi BUMN
sebesar Rp6,5 triliun, penjualan aset program restrukturisasi perbankan
sebesar Rp27 trilyun dan pembiayaan luar negeri (netto) sebesar Rp19,0
triliun. Realisasi sampai dengan 31 Desember 2001 menunjukkan bahwa dari
privatisasi BUMN sebesar Rp3,465 triliun, sementara dari penjualan aset
program restrukturisasi perbankan dan pembiayaan luar negeri Rp29,58
triliun dan Rp20,77 triliun (lihat Tabel A-1). Dengan demikian, pembiayaan
dari penjualan aset-aset program restrukturisasi perbankan dan utang luar
negeri bisa melampau target APBN, akan tetapi pembiayaan yang bersumber
dari program privatisasi BUMN tidak mencapai target.
Tabel 1.1
Ringkasan APBN Tahun Anggaran 2000, 2001, 2002 & 2003
(dalam triliun rupiah)
3
Uraian Lengkap lihat Nota Keuangan dan UU Nomor 19 tahun 2002 Tentang RAPBN
Tahun 2002, Bab IV, halaman 46-48.
4
P ROA
E (1-5)
N Profitabilta
A s BUMN
W (A)
A
R
ROE
A
(1-5)
N 4 3 2 1
- µ +ó
σ
Skala Prioritas
A+B
Sangat
x 100
9
Kompetitif
(4)
Skala Prioritas
P
Pertama : > µ + ó (80 –
E
100)
R
Kompetitif Kedua : µ + ó (60 -79)
M
(3) Ketiga : µ - ó (40 -59)
I Karakteristik Keempat : < µ - σ (20 – 39)
N Industri
T (B)
A Public Utilities
A level sedang
N (2) Skor ROA dan ROE (Penawaran)
N Pendekatan mikro ini memfokuskan
berdasarkan: perhatian pada kondisi
SK MENEG PENDAYAGUNAAN BUMN,
permintaan dan penawaran suatu unitNOMOR usaha: serta porsi saham pemerintah
215/M-PBUMN/1999,
yang Public TANGGAL
Utilities ke publik. Ada 2 (dua)
akan dilepas tahap: 27 SEPTEMBER
yang 1999. yaitu :
perlu dilakukan,
level tinggi Skor Permintaan : berdasarkan
(1) mengidentifikasi
(1) posisi BUMN kepentingan
yang akanpublicdiprivatisasikan,
utilities dan (2)
menghitung proyeksi nilai privatisasi.
Sudah RI/SS/OT
Panjang
Belum IPO/SS/O
Besar
Sehat
Pendek SS/OTH
Kecil SS/OTH
BESA
% X Rp = Rp Rata-
KECI
10
4
Ruffin (1998), misalnya, mendefinisikan MRS sebagai “the rate at which a
consumer is just willing to substitute good Y for another unit of good X, holding the
level of satisfaction constant.”
5
Ruffin (1998, loc cit). Misalnya, mendefinisikan RTS sebagai “the rate at which a
unit of capital can be substituted for a unit of labor and still keep output constant.”
11
6
Ruffin (1998, op cit), misalnya, mendefinisikan MPL sebagai “
7
RPT adalah “The rate at which one output can be traded for another in the
productive process while holding the total quantities of inputs constant.”
12
Kuantitas
Y
C*
Slope = -Px*/
C Py*
Y1
E Slope = -
Px/Py
Y*
Y1’
Kuantitas
X
X1 X* P X1’
Penjelasan Grafik
Dengan rasio harga Px/Py perusahaan akan berproduksi X1, Y1; kendala
anggaran masyarakat adalah C. Dengan kendala anggaran ini, individu-
individu membeli (demand) X1’, dan Y1’; terjadi excess demand untuk barang
8
Lihat, misalnya, Ruffin (1988).
9
William L. Megginson adalah Chair in Finance, Michael F. Price Clloge of Business,
University of Oklahoma, USA.
10
Jeffry M. Netter adalah Professor di Department of Banking and Finance, Terry
College of Business, University of Georgia.
13
X sejumlah (X1’ – X1) dan excess supply untuk barang Y sebanyak (Y1 – Y1’).
Mekanisme pasar akan mendorong harga-harga ini ke arah titik-titik
keseimbangan (equlibrium levels), Px* dan Py*. pada tingkat harga-harga
tersebut, kendala anggaran masyarakat diwakili oleh garis lurus C*, dan
supply dan demand akan berada pada posisi equilibrium. Kombinasi X* dan
Y* akan dipilih dan alokasi ini adalah efisien.
Nuansa yang sama dipaparkan oleh Shirley11 dan Walsh12 (sekitar
2001), “Public versus Private Ownership: The Current State of Debate,”.
Kedua penulis ini mencoba menjawab tiga pertanyaan, yaitu: (i) apakah
kompetisi (competition) lebih penting dibandingkan dengan kepemilikan
(ownership), (ii) apakah intervensi pemerintah terhadap BUMN terkait
dengan resiko penurunan kesejahteraan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan jika intervensi ke sektor swasta; dan (iii) apakah BUMN mengalami
permasalahan corporate governance yang lebih parah dibandingkan dengan
yang ada di perusahaan swasta.
Kemudian kedua penulis ini mengemukakan argumen bahwa
walaupun jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah ya maka
proses privatisasinya harus diperhatikan. Jika proses tersebut terdistorsi,
maka kinerja perusahaan yang diprivatisasi akan jauh lebih buruk dari kinerja
BUMN. Kesimpulan studi kedua penulis ini adalah bahwa perusahaan swasta
akan berkinerja lebih baik dibandingkan dengan BUMN jika mereka berada
dalam struktur pasar yang bersaing. Kesimpulan yang tidak konklusif terjadi
jika BUMN berada di struktur pasar monopoli.
11
Mary M. Shirley adalah Reseacher (Peneliti) Bank Dunia, Washington, DC, USA.
12
Patrick Walsh adalah Research Manager dan Consultant Development Research
Group Bank Dunia, Washington, DC, USA.
14
13
Basri, Faisal H., (2002), “Konsep Privatisasi”, makalah yang disampaikan dalam
Seminar Terbatas: Privatisasi Ditinjau dari Aspek Ekonomi Makro, yang
diselenggarakan oleh Kantor Badan Usaha Milik Negara, Graha sawala, Gedung
Utama Departemen Keuangan, Jakarta, 21 Mei 2002.
14
Yasin, Mahmud (2002), “Restrukturisasi dan Privatisasi” pointers seminar/rapat
koordinasi direksi/komisaris BUMN di Jakarta, 17 April 2002.
15
b. Privatisasi di Indonesia
15
Megginson, William L. dan Netter, Jeffry M. “From State to Market: A Survey of
Empirical Studies On Privatization,” Forthcoming, Journal of Economic Literature
(June 2001), www. worldbank.org
16
1. Public Offering
16
Nankani, Helen, “Techniques of Privatization of State-owned Enterprises”, The
International Bank for Reconstructive and Development / The World Bank, 1989
17
2. Private Sale
Pada strategi ini, pemerintah menjual semua atau sebagian saham
yang dimiliki atas BUMN tertentu kepada satu atau sekelompok investor
tertentu. Calon investor pada umumnya sudah diidentifikasi terlebih dulu,
sehingga pemerintah dapat memilih investor mana yang paling cocok untuk
dijadikan partner usahanya. Strategi private sale ini fleksibel, tidak harus
melalui pasar modal. Cocok untuk privatisasi BUMN yang memiliki kinerja
rendah, yang belum layak untuk melakukan public offering. BUMN ini
memerlukan investor yang memiliki usaha di bidang industri yang sama,
memiliki posisi keuangan yang kuat, dan memiliki kinerja dan teknologi yang
baik. Strategi ini juga cocok untuk negara-negara yang belum memiliki pasar
modal, atau belum memiliki badan formal yang mampu menjaring investor
17
Artjan, M. Faisal, “IPO Sebagai Alternatif Privatisasi BUMN”, Majalah Usahawan No.
02 Th. XXIX, Februari 2000
18
4. Sale of Assets
Pada strategi ini pemerintah tidak menjual saham yang dimiliki atas
saham BUMN tertentu, tetapi menjual aset BUMN secara langsung kepada
pihak swasta. Alternatif lain, pemerintah tidak menjual aset BUMN secara
langsung, tetapi menggunakannya sebagai kontribusi pemerintah dalam
pembentukan perusahaan baru, bekerjasama dengan pihak swasta. Dalam
18
Nankani, Helen, “Techniques of Privatization of State-owned Enterprises”, The
International Bank for Reconstructive and Development / The World Bank, 1989
19
ibid
19
5. Fragmentation
Dalam strategi fragmentation, BUMN direorganisasi atau dipecah-
pecah menjadi beberapa perusahaan, atau dibuat suatu holding company
dengan beberapa anak perusahaan. Salah satu atau beberapa anak cabang
kemudian dijual kepada pihak swasta. Kebijakan ini akan menghasilkan
beberapa pemilik baru atas satu BUMN, sehingga diharapkan dapat
menciptakan suasana bisnis yang lebih kompetitif. Strategi ini cocok untuk
menjual BUMN yang besar, dengan harga yang mahal. Karena mahalnya,
biasanya tidak banyak calon investor yan tertarik untuk membeli. Dengan
dipecah-pecah, harganya menjadi lebih murah, dan alternatif untuk seorang
investor menjadi lebih banyak. Ia dapat memilih bagian mana yang paling
menarik untuk dibeli.
Suatu BUMN yang besar dapat menjadi perusahaan monopoli.
Dengan dipecah-pecah, BUMN bisa menjadi beberapa perusahaan yang
20
Nankani, Helen, “Techniques of Privatization of State-owned Enterprises”, The
International Bank for Reconstructive and Development / The World Bank, 1989
20
7. Kontrak manajemen
Dalam strategi kontrak manajemen, pemerintah mengundang
perusahaan swasta untuk "mengelola" BUMN selama periode tertentu,
dengan memberikan imbalan tertentu (dituangkan dalam kontrak
kerjasama). Perusahaan tersebut harus bergerak dibidang yang sama,
21
ibid
22
Nankani, Helen, “Techniques of Privatization of State-owned Enterprises”, The
International Bank for Reconstructive and Development / The World Bank, 1989
21
8. Kontrak/sewa aset
23
ibid
22
atau aset tersebut. Strategi ini cocok untuk meningkatkan return on assets
(ROA), sehingga aset BUMN bisa dimanfaatkan secara optimal.
PT. Tambang Timah (Indonesia) telah menerapkan metode ini.
Demikian pula Port Kelang dan National Park Facilities dari Malaysia, serta
Port of Singapore dari Singapura. BUMN-BUMN tersebut telah menyewakan
asset yang dimiliki dalam rangka meningkatkan ROA.24
9. Likuidasi
Likuidasi merupakan alternatif terakhir yang dapat dilakukan
pemerintah terhadap BUMN. Alternatif ini dapat dipilih apabila BUMN
tersebut adalah BUMN komersial, bukan BUMN public utilities atau
memberikan public services, tetapi dalam kenyataannya tidak pernah
mendapatkan keuntungan dan selalu menjadi beban negara.
24
Nankani, Helen, “Techniques of Privatization of State-owned Enterprises”, The
International Bank for Reconstructive and Development / The World Bank, 1989
23
manajemen yang baik, tersedia cukup waktu untuk melaksanakan IPO, serta
cukup tersedia likuiditas dana di pasar modal.
24
25
26
27
Tabel 4.2
PDB Tahun 1999-2000 dan Perkiraan PDB Tahun 2003
(miliar rupiah)
Tahun PDB
1999 1.099.731,6
2000 1.282.017,6
2001 1.468.100,0
2002 1.685.378,0
2003* 1.853.915,8
2003** 1.938.184,7
* Diperkirakan naik 10% dari tahun 2002
** Diperkirakan naik 15% dari tahun 2002
28
Uraian Proyeksi
2003 2004 2005
Pembiayaan 1,8 0,4 (1,2)
1. Dalam Negeri 2,1 0,8 (0,6)
- Perbankan - - -
- Non Perbankan 2,1 0,8 (0,6)
- Penjualan asset perbankan 2,4 1,7 -
- Privatisasi 0,4 0,3 0,3
- Penerbitan obligasi - - -
- Amortisasi (0,7) (1,2) (1,0)
2. Luar Negeri (netto) (0,3) (0,5) (0,5)
- Perbankan 1,7 1,4 1,1
- Non Perbankan (2,0) (1,8) (1,7)
Tabel 4.4
Hasil Privatisasi Tahun 2000-2002 dan Perkiraan Tahun 2003
(miliar rupiah)
Tahun Hasil Privatisasi
20001) -
2)
2001 3.465,0
20023) 3.952,2
4)
2003 7.415,7
Ket:
1) Angka PAN, 2) Angka realisasi APBN-P
3) APBN, 4) Berdasarkan proyeksi Propenas dan asumsi
pertumbuhan PDB Tahun 2003 naik 10% dari tahun 2002
29
Tabel 4.5
Hasil Privatisasi Tahun 2000-2002 dan Perkiraan Tahun 2003
(miliar rupiah)
Tahun Hasil Privatisasi
20001) -
2)
2001 3.465,0
20023) 3.952,2
20034) 7.752,7
Ket: 1) Angka PAN, 2) Angka realisasi APBN-P
3) APBN, 4) Berdasarkan proyeksi Propenas dan asumsi
pertumbuhan PDB Tahun 2003 naik 15% dari tahun
2002
Tabel 4.6
Perkembangan Persentase Privatisasi BUMN terhadap PDB
31
32
Tabel 4.8
Nilai Karakteristik Industri dan Profitabilitas BUMN
34
Tabel 4.9
Peluang Privatisasi berdasarkan Indeks Nilai Karakteristik Industri
35
ROA ROE
Tingkat Kesehatan Skor Jumlah BUMN Skor Jumlah BUMN
Tidak sehat 0 80 0 70
Kurang sehat 1 8 1 8
2 7 2 15
Sehat 3 8 3 14
4 13 4 9
Sangat sehat 5 29 5 29
36
Tabel 4.11
Skala Prioritas Privatisasi BUMN
Tabel 4.12.
Skala Prioritas Privatisasi BUMN berdasarkan
Distribusi Saham Pemerintah
37
38
Tabel 4.13
Nama-nama BUMN yang masuk
Prioritas Privatisasi untuk Tahun Anggaran 2002
39
40
41
5.2. Rekomendasi
1. Pemerintah dapat memilih dua pendekatan untuk mengestimasi nilai
privatisasi BUMN yang lebih realisitis untuk tahun anggaran 2003,
yaitu:
42
Pendekatan Makro.
Asumsi yang dipakai Perkiraan Hasil Privatisasi
BUMN
(Rp milyar)
0,4% PDB dan Pertumbuhan 7.415,7
PDB 2003 sebesar 10% dari
2002. 7.752,7
0,4% PDB dan Pertumbuhan
PDB 2003 sebesar 15% dari
2002.
Pendekatan Mikro.
Skenario Pelepasan Perkiraan Hasil Privatisasi
Saham Pemerintah BUMN
(Rp milyar)
Skenario Pesimis (20%) 3.068,0
Skenario Konservatif (40%) 6.136,0
Skenario Optimis (60%) 9.205,2
43
Telkom dan PT Antam) Right Issue dan sebagian lagi bisa memilih
Strrtegic Sale.
3. BUMN-BUMN tertentu yang berada di prioritas kedua dan memiliki nilai
privatisasi yang cukup besar seperti: PLN, BNI, Bank Mandiri, Pupuk
Sriwijaya, Indosat dan BRI serta Krarkatau Steel, bisa saja disertakan
dalam program privatisasi. Namun, mengingat beberapa kelemahan
yang ada diperusahaa-perusahaan tersebut sebaiknya dalam tahun
2003 tidak boleh dipaksakan untuk diprivatisasi. Bila dipaksakan akan
menghadapi benturan kepentingan dengan kelangsungan bisnis BUMN
yang bersangkutan dan memberikan citra kurang baik dimata publik.
Tabel 4.14
Daftar BUMN yang akan diprivatisasi pada tahun 2002
44
Tabel 4.15
Nilai Privatisasi BUMN 25 BUMN Skala Prioritas Pertama
(Rp milyar)
45
Tabel 4.16
Beberapa BUMN Non Prioritas Tetapi Nilai Privatisasi Tinggi
46
_____________, Master Plan Badan Usaha Milik Negara Tahun 2002 - 2006,
Kementrian BUMN, Februari 2002.
47
Edi Swasono, Sri, Refleksi Sosial Politik dan Sosial Kultural (Go Public vs
Privatisasi: Seminar dan Lokakarya Strategi Reformasi BUMN,
Harian Ekonomi Bisnis Bekerjasama dengan Universitas Gadjah
Mada, Jakarta 27 Maret 2002.
48