Anda di halaman 1dari 16

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Memiliki gigi yang sehat adalah impian setiap orang, sebab selain berfungsi sebagai alat pengunyah, organ ini juga memiliki fungsi untuk menunjang penampilan. Apabila tidak dijaga kebersihannya, gigi dapat menimbulkan masalah seperti karang gigi, gigi berlubang, atau gusi berdarah. Mungkin karena tidak tahu masyarakat bila mengalami masalah gigi seperti gigi berlubang langsung meminta untuk dicabut. Padahal dengan kemajuan teknologi di bidang kedokteran, gigi yang mengalami kerusakan dapat dirawat dan dikembalikan fungsinya seperti semula.

B. Tujuan Refrat Adapun tujuan dari pembuatan refrat ini adalah: 1. Agar dokter muda mengetahui indikasi dan kontraindikasi ekstraksi gigi. 2. Agar dokter muda mengetahui hubungan penyakit-penyakit sistemik dengan tindakan ekstraksi gigi.

BAB II INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI EKSTRAKSI GIGI

A. DEFINISI Exodontia merupakan ilmu yang mempelajari tentang pencabutan gigi yang baik dan benar, yakni aman, higienis, dan tanpa rasa sakit disertai penanggulangan komplikasi baik sebelum, saat, dan setelah tindakan.

Exodontia adalah ilmu yang mempelajari segala sesuatu tentang bagaimana cara mengeluarkan (ekstraksi) gigi secara efektif dan segala perawatan yang menyertainya (Inneke, 1998).

B. KLASIFIKASI EKSTRAKSI Ekstraksi gigi sering dikategorikan menjadi dua macam yakni ekstraksi simpel dan ekstraksi bedah/surgical. Ekstrasi simpel adalah ekstraksi yang dilakukan pada gigi yang terlihat dalam rongga mulut, menggunakan anestesi lokal dan menggunakan alat-alat untuk elevasi bagian gigi yang terlihat. Ekstrasi bedah

adalah ekstraksi yang dilakukan pada gigi yang tidak dapat dijangkau dengan mudah karena berada di bawah garis ginggiva atau karena belum erupsi secara keseluruhan. Dalam ekstraksi bedah, dilakukan sayatan pada gusi untuk menjangkau gigi. Dalam beberapa kasus, gigi tersebut harus dipecah menjadi beberapa bagian sebelum dicabut (Anggraito, 2011).

C. INDIKASI EKTRAKSI GIGI Sebelum melakukan tindakan ekstraksi, seorang dokter gigi perlu mengetahui riwayat medis pasien berupa riwayat alergi, pengobatan yang sedang dilakukan, riwayat cabut gigi sebelumnya, dan kemungkinan reaksi anestesi yang pernah dialami sebelumnya. Hal ini perlu dilakukan agar tindakan ekstraksi gigi dapat dilakukan dengan aman.

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pencabutan gigi: a. Anatomi gigi menentukan jenis alat pencabutan, gerakan pencabutan, dan posisi pencabutan. b. Anestesi dilakukan untuk menghilangkan atau mengurangi rasa sakit. c. Jumlah gigi yang dicabut dalam satu kunjungan. d. Tidak menggunakan tenaga yang besar. e. Pemeriksaan kembali elemen gigi yang baru dicabut.

Hilangnya atau dicabutnya gigi terutama pada usia muda akan membuat gigi-gigi yang lainnya bergerak ke arah gigi yang hilang tersebut sehingga membuat gigi tidak teratur lagi. Oleh karenannya tindakan pecabutan gigi sebaiknya merupakan tindakan terakhir yang dilakukan dokter gigi apabila tidak ada cara lain untuk mempertahankan gigi tersebut di dalam rahang.

Ekstraksi gigi harus sesuai dengan indikasi. Indikasi ekstrasi pada gigi permanen tidak sama dengan gigi decidui (gigi susu). Ekstraksi gigi permanen dilakukan karena berbagai sebab antara lain: 1. Gigi yang berlubang besar sehingga tidak dapat ditambal lagi dan tidak dapat dilakukan perawatan endodontik, misalnya pada gigi dengan akar bengkok, ataupun saluran akar buntu.

2. Gigi yang sangat goyah, oleh karena resorbsi tulang alveolar misalnya pada atropi senilis, patologis, maupun truama.

3. Gigi impaksi

4. Untuk kepentingan ortodontik, biasanya hal ini merupakan perawatan konsul dari bagian ortodontik dengan mempertimbangkan pecabutan gigi untuk mendapatkan tuangan yang dibutuhkan dalam perawatannya.

5. Gigi yang merupakan fokus infeksi, dimana keberadaan gigi yang tidak sehat dapat merupakan sumber infeksi bagi tubuh.

6. Gigi yang menyebabkan trauma jadingan lunak sekitarnya. 7. Penderita yang mendapat terapi radiasi pada regio kepala dan leher dapat dilakukan ekstraksi pada gigi yang terkena radiasi. Radiasi dapat menyebabkan kerapuhan gigi, karies pada gigi, dan pada gigi yang sebelumnya sudah rusak bila terkena radiasi dapat menjadi lebih parah. Komplikasi yang paling sering oleh karena ekstraksi gigi setelah terapi radiasi adalah septikemia dan osteoradionecrosis/ORN (Koga et al, 2008).

8. Gigi dengan supernumerary, dimana gigi tumbuh berlebih dan tidak normal.

9. Gigi dengan fraktur/patah pada akar, misalnya karena jatuh. Kondisi ini dapat menyebabkan rasa sakit berkelanjutan pada penderita sehingga gigi tersebut menjadi non-vital atau mati.

10. Gigi dengan sisa akar, dimana sisa akar akan menjadi patologis karena hilangnya pembuluh darah dan jaringan ikat, sehingga kondisi ini membuat akar gigi tidak vital.

11. Gigi dengan fraktur/patah pada bagian tulang alveolar ataupun pada garis fraktur tulang alveolar. 12. Gigi yang terletak pada garis fraktur yang mengganggu reposisi. 13. Keinginan pasien untuk dicabut giginya. Beberapa alasan penderita ingin mencabut giginya antara lain: a. Ingin terhindar dari rasa sakit yang sering mengganggu. b. Ingin diganti dengan gigi tiruan yang menurutnya lebih baik. c. Enggan /tidak punya waktu untuk datang berulang-ulang ke dokter gigi. d. Faktor ekonomi. e. Faktor ketidaktahuan penderita.

Indikasi pencabutan gigi pada gigi decidui/susu antara lain: 1. Gigi ekstra yang menghambat pertumbuhan gigi lain 2. Gigi persistensi, dimana gigi sulung tidak tanggal pada waktunya sehingga menyebabkan gigi permanen terhambat pertumbuhannya. 3. Gigi susu yang merupakan fokus infeksi 4. Gigi susu dengan karies besar sehingga gigi menjadi non vital 5. Gigi susu yang sudah goyah dan sudah waktunya tanggal 6. Gigi susu yang akarnya menyebabkan ulkus dekubitus.

D. KONTRAINDIKASI EKSTRAKSI GIGI Sebelum melakukan ekstraksi gigi, seorang dokter gigi harus benar-benar mengetahui keadaan pasien untuk memastikan bahwa tidak ada kondisi yang akan membahayakan sebelum, saat, maupun setelah ekstraksi gigi. Oleh karenanya harus diketahui kontraindikasi dilakukannya ekstraksi maupun keadaan atau kondisi yang membuat ekstraksi gigi harus ditunda untuk sementara waktu. Kontra indikasi eksodonsi akan berlaku sampai dokter akan memberi ijin atau menanti keadaan umum penderita dapat menerima suatu tindakan bedah tanpa menyebabkan komplikasi yang membahayakan bagi jiwa penderita. Ekstraksi pada gigi dengan kondisi tertentu sebaiknya ditunda, misalnya pada infeksi gigi yang progresif hingga menyebar ke tulang. Hal ini akan menyulitkan anestesi. Untuk mengatasinya maka perlu diberikan antibiotik sebelum ekstraksi.

Pada pasien yang menggunakan obat antikoagulan semisal aspirin maupun warfarin, hendaknya menghentikan penggunaannya 3 hari menjelang ekstraksi gigi. Pada pasien-pasien dengan katup jantung prostetik maupun riwayat oprasi jantung terbuka 6 bulan yang lalu harus mendapatkan terapi antibiotik untuk mengurangi resiko infeksi. Kontraindikasi pencabutan gigi didasarkan beberapa faktor, yang utama faktor lokal dan sistemik. 1. Faktor Lokal a. Kontraindikasi ekstraksi gigi yang bersifat setempat umumnya menyangkut suatu infeksi akut jaringan di sekitar gigi. Misalnya gigi dengan kondisi abses yang menyulitkan anestesi. b. Sinusitis maksilaris akut. Sinus adalah rongga berisi udara yang terdapat di sekitar rongga hidung. Sinusitis (infeksi sinus) terjadi jika membran mukosa saluran pernapasan atas (hidung, kerongkongan, sinus) mengalami pembengkakan. Pembengkakan tersebut menyumbat saluran sinus yang bermuara ke rongga hidung. Akibatnya cairan mukus tidak dapat keluar secara normal. Menumpuknya mukus di dalam sinus menjadi faktor yang mendorong terjadinya infeksi sinus. Pecabutan gigi terutama gigi premolar dan molar sebaiknya ditunda sampai sinusitisnya teratasi (Inneke, 1998). c. Radioterapi kepala dan leher. Alasan melarang ekstraksi dengan keadaan seperti tersebut diatas adalah bahwa infeksi akut yang

berada di sekitar gigi, akan menyebar melalui aliran darah ke seluruh tubuh dan terjadi keadaan septikemia. Komplikasi lainnya adalah osteoradionekrosis (Koga et al, 2008). d. Adanya suspek keganasan, yang apabila dilakukan ekstraksi gigi akan menyebabkan kanker cepat menyebar dan makin ganas.

2. Faktor Sistemik Pasien dengan kontra indikasi yang bersifat sistemik memerlukan pertimbangan khusus untuk dilakukan ekstraksi gigi. Bukan kontra indikasi mutlak. Faktor-faktor ini meliputi pasien-pasien yang memiliki riwayat penyakit khusus. Dengan kondisi riwayat penyakit tersebut, ekstraksi bisa dilakukan dengan persyaratan bahwa pasien sudah berada dalam pengawasan dokter ahli dan penyakit yang menyertainya bisa dikontrol dengan baik. Hal tersebut penting untuk menghindari terjadinya komplikasi sebelum pencabutan, saat pencabutan, maupun setelah pencabutan gigi (Inneke, 1998).

a. Diabetes mellitus. Diabetes yang terkontrol dengan baik tidak memerlukan terapi antibiotik profilaktik untuk pembedahan rongga mulut. Pasien dengan diabetes yang tidak terkontrol akan mengalami penyembuhan lebih lambat dan cenderung mengalami infeksi, sehingga memerlukan pemberian antibiotik profilaksis. Responnya terhadap infeksi tersebut

diduga keras akibat defisiensi leukosit polimorfonuklear dan menurunnya atau terganggunya fagositosis, diapedisis, dan khemotaksis karena hiperglikemi. b. Kehamilan Kehamilan bukan kontraindikasi terhadap pembersihan kalkulus ataupun ekstraksi gigi, karena tidak ada hubungan antara kehamilan dengan pembekuan darah. Perdarahan pada gusi mungkin merupakan manifestasi dari gingivitis kehamilan/ epulis yang disebabkan pergolakan hormon selama kehamilan. Namun perlu diwaspadai terjadinya kondisi hipertensi dan diabetes mellitus gestasional yang umumnya temporer selama kehamilan. Umumnya kendala bagi ibu hamil adalah ekstraksi gigi dapat meningkatkan stress, baik oleh karena nyeri maupun peradangan dari proses pencabutan gigi yang akan meningkatkan prostaglandin yang berperan dalam kontraksi uterus, namun hal itu dapat diatasi dengan pemberian analgetik maupun antiinflamasi yang aman bagi ibu hamil. Bila keadaan umum ibu hamil kurang jelas, sebaiknya dikonsulkan kebagian obsgyn (Inneke, 1998; APA 2007). c. Penyakit Kardiovaskuler Pasien dengan penyakit jantung termasuk kontraindikasi ekstraksi gigi. Kontraindikasi di sini bukan berarti kita tidak boleh melakukan tindakan ekstraksi gigi pada pasien ini, namun dalam penangannannya perlu konsultasi pada para ahli, dalam hal ini dokter spesialis jantung.

Dengan berkonsultasi, untuk mendapatkan rekomendasi atau izin dari dokter spesialis mengenai waktu yang tepat bagi pasien untuk menerima tindakan ekstraksi gigi tanpa terjadi komplikasi yang membahayakan bagi jiwa pasien serta tindakan pendamping yang diperlukan sebelum atau sesudah dilakukan ekstraksi gigi, misalnya saja penderita jantung rematik harus diberi Penicillin G Benzatin sebelum dan sesudah ekstraksi dilakukan. d. Kelainan Darah / Blood Dyscrasia Pasien-pasien dengan penyakit trombositopeni purpura, leukemia, anemia, hemofilia, maupun kelainan darah lainnya sangat penting untuk diketahui riwayat penyakitnya sebelum dilakukan tindakan ekstraksi gigi. Untuk itu agar tidak terjadi komplikasi pasca ekstraksi perlu ditanyakan adakah kelainan perdarahan seperti waktu perdarahan dan waktu pembekuan darah yang tidak normal pada penderita. e. Hipertensi Bila anestesi lokal yang kita gunakan mengandung vasokonstriktor, pembuluh darah akan menyempit menyebabkan tekanan darah meningkat, pembuluh darah kecil akan pecah, sehingga terjadi perdarahan. Apabila kita menggunakan anestesi lokal yang tidak mengandung vasokonstriktor, darah dapat tetap mengalir sehingga terjadi perdarahan pasca ekstraksi.

f. Jaundice/Hepatitis Pasien dengan penyakit hati dapat mengalami gangguan pembekuan darah oleh karena defisiensi faktor-faktor pembekuan yang dibentuk oleh hati. Oleh karenanya pasien dengan penyakit hati dapat menyebabkan prolonged hemorrahage yaitu perdarahan yang terjadi berlangsung lama sehingga bila penderita akan menerima pencabutan gigi sebaiknya dikirimkan dulu kepada dokter ahli yang merawatnya atau sebelum pencabutan dilakukan premediksi dahulu dengan vit K (Suharti, 2006) g. Sifilis Sifilis adalah penyakit infeksi yang diakibatkan Treponema pallidum. Pada penderita sifilis, daya tahan tubuhnya rendah, sehingga mudah terjadi infeksi sehingga penyembuhan luka terhambat. h. Nefritis Ekstraksi gigi yang meliputi beberapa gigi pada penderita nefritis, dapat berakibat keadaan nefritis bertambah buruk. Sebaiknya penderita nefritis berkonsultasi terlebih dahulu dengan dokter ahli sebelum melakukan ekstraksi gigi. i. Toxic Goiter Tindakan bedah mulut, termasuk mencabut gigi, dapat mengakibatkan krisis tiroid, tanda-tandanya yaitu kesadaran turun, gelisah, tidak terkontrol meskipun telah diberi obat penenang, bahkan kejang, komplikasi lainnya dapat menimbulkan kegagalan jantung.

BAB III KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dari pembuatan refrat ini adalah: 1. Ekstraksi gigi membutuhkan informasi riwayat penyakit yang diderita oleh pasien agar tindakan ekstraksi gigi dapat berjalan aman, serta komplikasi baik sebelum, saat, dan setelah tindakan ekstraksi gigi dapat dihindari. 2. Tindakan ekstraksi gigi dapat pula melibatkan disiplin ilmu lain, seperti penyakit dalam, jantung paru, THT, maupun kebidanan, untuk itu tidak perlu segan untuk mengkonsulkan pasien dengan kondisi kusus yang melibatkan disiplin ilmu tersebut sebelum melakukan ekstraksi gigi. 3. Ekstraksi gigi atas permintaan pasien biasanya dikarenakan kurangnya informasi mengenai tindakan perawatan gigi, dan pasien ingin cepat menghilangkan rasa sakit.

DAFTAR PUSTAKA

Anggraito. 2011. Beberapa Alasan Gigi Dicabut. http://tanyapepsodent.com/beberapa-alasan-gigi-dicabut. Diakses pada tanggal 12 April 2011. APA.2007. Dental Work During Pregnancy. http://www.americanpregnancy.org/pregnancyhealth/dentalwork.html. Diakses pada tanggal 12 April 2011. Koga, D.H., Salvajoli J.V., Alves F.A. Dental extractions and radiotherapy in head and neck oncology: review of the literature. http://oralpathol.dlearn.kmu.edu.tw/case/Journal%20reading-intern-0811/RT-dental%20extraction-OD-2008.pdf. Diakses pada tanggal 12 April 2011.

Inneke H.P. 1998. Ilmu Pencabutan Gigi. Jakarta: DEPKES RI Suharti C. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II. Jakarta: FKUI

Anda mungkin juga menyukai