Anda di halaman 1dari 27

PENGARUH BEBERAPA PEKERJAAN DENGAN MENGGUNAKAN SEPATU BOOTH TERHADAP ANGKA KEJADIAN INFEKSI JAMUR KULIT Vinna Taulina*,

Inayati Habib** *Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta **Dosen Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Abstrak Latar belakang : Indonesia merupakan Negara kepulauan yang dikelilingi perairan yang luas dan masih banyak hutan-hutan yang lebat, sehingga kelembapan udara ratarata tinggi. Dengan iklim yang demikian, sangat mudah bagi berbagai sumber penyakit untuk berkembang biak terutama bagi jamur . Jamur golongan Dermatophyta adalah salah satu jamur yang berkembang biak pesat di daerah tropis yang suhu normalnya lebih dari 25C. Ada tiga genu yang dapat mengenai manusia, yaitu Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton floccosum. Sedangkan infeksi jamur kulit pada kaki atau yang di sebut juga dengan tinea pedis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita di daerah kulit kaki, punggung kaki, jari kaki, serta daerah interdigital, yang diakibatkan oleh pemakaian sepatu tertutup, contohnya sepatu booth dalam jangka waktu yang cukup lama. Tujuan penelitian : Penelitian ini dilakukan dengan tujuan utama adalah untuk mengetahui pengaruh antara beberapa pekerjaan dengan menggunakan sepatu booth terhadap angka kejadian infeksi jamur kulit. Metode penelitian : Metode yang dipakai untuk penelitian kali ini adalah dengan metode observasi dan eksperimental laboratorium yang dilakukan secara cross sectional. Eksperimental laboratorium dilakukan dengan menggunakan media

Sabaroud Dextrosa Agar (SDA). Dengan menggunakan kerokan kulit yang terinfeksi jamur, kemudian dikultur pada media tersebut. Di inkubasi pada suhu kamar dengan waktu 5 hari. Hasil dan kesimpulan : Dari 30 responden didapatkan 11 orang positif terkena infeksi jamur kulit. Dengan rincian 2 orang responden dari kelompok kerja pengumpul sampah, dan 9 orang responden dari kelompok kerja pencuci mobil dan motor. Dan sisanya 19 orang negatif. Ini dapat juga dikatakan sebanyak 36,7% yang positif infeksi jamur kulit dengan rincian, 6,7% dari kelompok kerja pengumpul sampah, dan 30,0% dari kelompok kerja pencuci mobil dan motor. Dan 63,3% terbukti negatif infeksi jamur kulit. Setelah dilakukan penelitian, dapat diketahui bahwa ada pengaruh antara macam pekerjaan dengan menggunakan sepatu booth terhadap angka kejadian infeksi jamur kulit. Kata kunci : Pemakaian sepatu tertutup, Infeksi jamur kulit, Sabaroud dextrosa Agar. PENDAHULUAN Indonesia merupakan Negara kepulauan yang dikelilingi perairan yang luas, dan masih banyak hutan-hutan yang lebat, sehingga kelembapan udara rata- rata tinggi. Sebab seperti yang dikemukakna oleh Reifsneider bahwa suatu keadaan tempat yang sering terjadi deras, hutan yang lebat, perairan laut yang luas, dan banyak angina yang berhembus pada daerah tersebut, disertai ketidakteraturan suhu dan sinar matahari yang tidak merata menyebabkan kelembapan yang tinggi, dan hal yang ini dapat ditemukan di Indonesia. Dengan iklim yang demikian, sangat mudah bagi berbagai sumber penyakit untuk berkembang biak terutama bagi jamur . Jamur golongan Dermatophyta adalah salah satu jamur yang berkembang biak pesat di daerah tropis yang suhu normalnya lebih dari 25C. Jamur golongan Dermatophyta terdiri dari 39 spesies dan 11 diantara nya diketahui sebagai penyebab infeksi yang selalu menduduki 10 besar penyakit kulit di Indonesia dan diketahui sebagai penyebab infeksi yang sering pada manusia di berbagai penjuru dunia.

Ada tiga genu yang dapat mengenai manusia, yaitu Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton floccosum. Walaupun grup ini terdiri dari 37 spesies yang berbeda, hanya enam spesies yang menyebabkan penyakit secara kronis yang biasanya di daerah pedesaan. Infeksi jamur kulit pada kaki atau yang di sebut juga dengan tinea pedis adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh infeksi jamur dermatofita di daerah kulit kaki, punggung kaki, jari kaki, serta daerah interdigital.13 Tinea pedis atau yang disebut juga dengan Athletes foot, atau orang awam sering menyebutnya dengan kutu air. Biasanya sering ditemukan pada orang dewasa yang setiap hari menggunakan sepatu tertutup, contohnya penggunaan sepatu booth. Dan pada orang yang bekerja di tempat yang basah, mencuci, di sawah dan sebagainya.13 Infeksi juga dapat menyebar melalui penggunan pancuran dan ruang ganti pakaian umum, di mana kulit yang terinfeksi dan terkelupas berperan sebagai sumber infeksi. Tidak ada tindakan pengendalian yang benar-benar efektif selain higiene yang tepat dan penggunaan bedak untuk mempertahankan agar ruang antar jari-jari kaki tetap kering. Pada banyak orang, tinea pedis menahun bersifat asimtomatis dan hanya menjadi aktif pada keadaan panas atau basah yang berlebihan atau pemakaian alas kaki yang tidak sesuai.15 Dermatofita adalah segolongan jamur yang mempunyai sifat mencernakan keratin, dan menggunakkannya sebagai makanannya. Dalam jaringan, jamur tampak sebagai hifa atau dapat membagi diri menjadi arthospora. Pada medium pembiakan padat, Dextrosa Sabaroud Agar (DSA), jamur akan membentuk koloni yang ringan, berbulu, dan berserbuk. Serta memiliki bentuk khas yaitu makrokonidia atau mikrokonidia yang memungkinkan untuk dikenali spesiesnya.24 Adanya persamaan morfologik menempatkan mereka dalam satu golongan.Pada tahun 1934 Emmons mengajukan klasifikasi atas dasar morfologik, yaitu terdapat tiga genus: Microsporon, Trichopyton, Epidermophyton.Bentuk klinik disebabkan adanya beberapa faktor, yaitu faktor manusia, lingkungan dan afinitet Dermatofit terhadap hospes. Ditinjau dari faktor-faktor itu, maka dermatofita dibagi tiga yaitu:

1. Dermatofita Zoofilik, yang terutama ditemukan pada bintang dan kadangkadang pada manusia, misalnya Microsporon canis, Triciphyton aquineum, Tricophyton veruccossum. 2. Dermatofita Geofilik, yang dapat hidup di tanah, misalnya Microsporon gypseum, Microsporon cooksi. 3. Dermatofita Anthrofilik, yang terutama ditemukan pada manusia, yaitu Triciphyton rubrum, Triciphyton concentricum, Microsporonaudouini. Gambaran yang disebabkan spesis yang zoofilik dan geofilik pada umumnya memberikan gambaran yang akut pada manusia dan lebih mudah disembuhkan, sedangkan spesies anthrofilik yang memberikan gambaran klinik dengan peradangan tidak begitu jelas, akan tetapi mudah menjadi menahun dan sukar disembuhkan. Tabel 1. infeksi jamur utama dan organisme penyebab penyakit Organisme penyebab Microsporum Epidermophyton sp. Microsporum Trichophyton Epidermophyton sp Microsporum Epidermophyton sp Microsporum Trichophyton Epidermophyton sp Microsporum Epidermophyton sp Microsporum gejala sp. sp. Kadas pada kulit kepala Identifikasi organisme Ada/tidak makrokonidia dan mikrokonidia pada

Tinea capitis Trichophyton

Tinea corporis

kerokan dari lesi sp. Kadas pada Ada/tidak makrokonidia sp. tangan dan dan mikrokonidia pada kaki kerokan dari lesi sp. Kadas pada Ada/tidak makrokonidia sp. tangan kaki sp. sp. sp. sp. Kadas pada paha Kadas pada kaki dan dan mikrokonidia pada kerokan dari lesi Ada/tidak makrokonidia dan mikrokonidia pada kerokan dari lesi Ada/tidak makrokonidia dan mikrokonidia pada

Tinea manus Trichophyton

Tinea

cruris

"jock itch" Tinea foot" Tinea

pedis"athlete's Trichophyton

kerokan dari lesi sp. Infeksi pada Ada/tidak makrokonidia

unguium

Trichophyton Epidermophyton sp

sp.

kuku

dan

mikrokonidia

pada

kerokan dari lesi

Kebanyakan jamur terdapat di alam dan tumbuh dengan mudah bila terdapat sumber nitrogen dan karbohidrat, yaitu kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan bagi kebanyakan mikroorganisme lain. Pengisolasian jamur digunakan Sabaroud Dextrosa Agar yang mengandung glukosa dan ekstrak sapi (pH 5,0). Bahan tersebut sering digunakan karena tidak mendukung pertumbuhan bakteri.15

Gambar 2 Biakan T.rubrum

Gambar 3 Biakan M.gypseum

Gambar 4 Biakan E.floccosum

Tinea pedis sering terjadi pada orang dewasa yang setiap hari harus memakai sepatu tertutup dan pada orang yang sering bekerja di tempat yang basah, mencuci, di sawah dan sebagainya. Keluhan penderita bervariasi, mulai dari tanpa keluhan sampai mengeluh sangat gatal dan nyeri karena terjadinya infeksi sekunder dan peradangan. Dikenal 3 bentuk klinis yang sering dijumpai, yakni :

1. Bentyuk intertriginosa. Manifestasi kliniknya berupa maserasi, deskuamasi, dan erosi pada sela jari. Tampak warna keputihan, basah dan dapat terjadi fisura yang terasa nyeri bila tersentuh. Infeksi sekunder dapat menyertai fisura tersebut dan lesi dapat meluas sampai ke kuku dan kulit jari. Pada kaki, lesi sering mulai dari sela jari III, IV, dan V. Bentuk klinik ini dapat berlangsung bertahun-tahun tanpa keluhan sama sekali. Pada suatu ketika kelainan ini dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri, sehingga terjadi limfangitis, limfadenitis, selulitis, dan erisipilas yang disertai gejala-gejala umum. 2. Bentuk vesikuler akut. Penyakit ini ditandai terbentuknya vesikula-vesikula dan bula yang terletak agak dalam di bawah kulit dan sangat gatal. Lokasi yang tersering adalah telapak kaki dengan bagian tengah dan kemudian melebar serta vesikulanya memecah. Infeksi sekunder dapat memperburuk keadaan ini. 3. Bentuk moccasin foot. Pada bentuk ini seluruh kaki dan telapak, tepi sampai punggung kaki, terlihat kulit menebal dan berskuama, Eritem biasa ringan, terutama terlihat pada bagian tepi lesi (USU digital library, 2003).

Gambar 5. Beberapa bentuk gambaran tinea pedis Pengobatan Pengobatan terdiri atas pembuangan tuntas struktur epitel yang terinfeksi dan yang mati serta pemberian bahan kimia antijamur secara topikal. Pengobatan berlebihan sering menyebabkan dermatofitid. Harus dilakukan usaha-usaha untuk mencegah reinfeksi. Bila daerah serangan luas, pemberian griseofulvin secara oral selama 1-4 minggu terbukti efektif. Infeksi kuku memerlukan pengobatan griseofulvin selama beberapa bulan dan kadang-kadang dilakukan pembedahan buangan kuku. Sering terjadi kekambuhan infeksi kuku (Jawezt, 1996). A.Langkah-langkah pencegahan 1. Perkembangan infeksi jamur diperberat oleh panas, basah dan macerasi. Daerah-daerah intertrigo atau daerah antara jari-jari sesudah mandi harus dikeringkan betul-betul dan diberi bedak pengering (talcum ; ZeaSORB) atau bedak anti jamur (Tinactin/Doctorin), sesudahnya dan tiap pagi. 2. Alas kaki harus pas betul dan tidak terlalu ketat. 3. Pasien dengan hiperhidrosis agar memakai kaos kaki dari bahan katun yang menyerap dan jangan memakai bahan wool atau bahan sintetis. 4. Pakaian dan handuk agar sering diganti dan dicuci bersih-bersih dalam air panas. B.Terapi lokal 1. Lesi-lesi yang meradang akut yang bervesikula dan bereksudat harus dirawat dengan kompres basah secara terbuka secara berselang-selang.(4-6 kali sehari) atau terus, menerus. Vesikula harus dikempeskan tetapi kulitnya harus tetap utuh. 2. Haloprogin atau tolnalfat, arutan atau cream dioleskan 3 kali sehari akan menyebabkan involusi dari sebagian besar lesi skuama superfisial dalam waktu 1-3 minggu. 3. Lesi hiperkeratosis yang tebal memerlukan terapi lokal dengan obat-obatan yang mengandung bahan keratolitik seperti asam salisilat.

C.Sistemik Pemberian Griseofulvin merupakan antibiotik yang diberikan secara oral yang diperoleh dari spesies Penicillium tertentu. Obat ini tidak berpengaruh terhadap bakteri atau jamur yang mengakibatkan mikosis sistemik tetapi menekan dermatofites tertentu. Setelah pemberian per oral, griseofulvin disebarkan seluruh tubuh. Obat terakumulasi di epidermis dan jaringan keratinisasi lainnya (rambut dan kuku). Keratin merupakan sumber nutrisi utama untuk dermatofites, dan degradasi keratin oleh jamur ini mengakibatkan dicernakannya obat. Dalam organisme, griseofulvin diduga berinteraksi dengan mikrotubula dan mengganggu funsi mitosis gelendong, menimbulkan penghambatan pertumbuhan. Griseofulvin bermanfaat secara klinik untuk mengobati infeksi dermatofita pada kulit, rambut, dan kuku yang disebabkan oleh spesies Trichopyton, Epidermophyton, dan Microsporum. Obat ini tidak berpengaruh terhadap kandidiasis superfisial atau kandidiasis sistemik atau setiap mikosis sistemik lainnya. Biasanya diperlukan terapi oral selama berminggu-minggu sampai berbulan-bulan. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan utama adalah untuk mengetahui pengaruh antara beberapa pekerjaan dengan menggunakan sepatu booth terhadap angka kejadian infeksi jamur kulit. METODOLOGI PENELITIAN A. RANCANGAN PENELITIAN Penelitian ini merupakan uji observasi, eksperimental laboratorium yang dilakukan secara cross sectional. B. Alat dan Bahan Penelitian Alat : a) Alkohol 70%

b) Skalpel c) Media Sabaroud Dektrosa Agar d) Kapas Bahan : a) Kerokan kulit yang terinfeksi jamur kulit C. Jalannya Penelitian Penelitian terlebih dahulu dengan observasi para responden, sekaligus memberikan kuissioner. Sejalan dengan itu, dilakukan pengambilan sampel jamur kulit yang terdapat pada para responden (jika responden tersebut positif terinfeksi jamur kulit). Jawaban dari kuissioner dapat kita gunakan untuk mengetahui berapa lama para pekerja bekerja (tahun), lingkungan tempat bekerja, dan berapa lama penggunaan sepatu booth per hari (jam). Yang kemudian hasilnya diuji dengan uji Chi square dan t-test. Kemudian dilakukan penanaman jamur dalam cawan petri yang telah dberi Sabaroud Dextrosa Agar (SDA). Cara mendapatkan kerokan kulit dilakukan dengan tahap-tahap di bawah ini : 1. Bersihkan kulit dengan alkohol 70% (yang dikerok sebaiknya bagian tepi dari lesi yang paling aktif tertutup oleh skuama). 2. Keroklah dengan skalpel, miring dengan membuat sudut 45o ke arah atas. 3. Hasil kerokan ditampung pada kertas bersih, objek glass atau cawan petri yang sudah ada Sabaroud Dextrosa Agar (SDA). 4. Kemudian diinkubasi pada suhu kamar (30o) selama 1 minggu.23 HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Tabel 4. frekuensi angka jamur kulit pada pekerja pengumpul sampah

No. Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Lingkugan Lama bekerja bekerja basah basah basah basah basah basah basah basah basah basah (tahun) 1 tahun 2 tahun 1 tahun 3 tahun 3 tahun 1 tahun 1 tahun 2 tahun 3 tahun 1 tahun TOTAL

Lama pemakaian sepatu booth (jam) 4 jam 4 jam 3 jam 4 jam 4 jam 3 jam 4 jam 4 jam 3 jam 4 jam

Infeksi jamur kulit Positif Negatif + + 8 26,7%

2 6,7%

Sumber : Data primer Tabel 5. frekuensi angka jamur kulit pada pekerja pencuci mobil dan motor No. Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Lingkungan bekerja basah basah basah basah basah basah basah basah basah basah Lama bekerja (tahun) 1 tahun 4 tahun 1 tahun 3 tahun 1 tahun 1 tahun 1 tahun 2 tahun 2 tahun 1 tahun Lama pemakaian sepatu booth (jam) 4 jam 3 jam 4 jam 4 jam 3 jam 3 jam 4 jam 3 jam 4 jam 4 jam + + + + + + + + 9 1 Infeksi jamur kulit Positif + Negatif

10

TOTAL Tabel 6. frekuensi angka jamur kulit pada polisi lalu lintas No. Responden 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Lingkungan Lama bekerja bekerja kering kering kering kering kering kering kering kering kering kering (tahun) 5 tahun 5 tahun 5 tahun 5 tahun 5 tahun 5 tahun 5 tahun 5 tahun 5 tahun 5 tahun TOTAL Sumber : Data primer tabel 7. persentase angka kejadian infeksi jamur kulit No. 1. 2. 3. Kelompok Pengumpul sampah Pencuci mobil dan motor Polisi lalu lintas Infeksi Jamur Kulit Positif Negatif 2 6,7 % 9 30,0% 0 0% 11 TOTAL 36,7% IV.2 HASIL PENELITIAN LABORATORIUM 8 26,7% 1 3,3% 10 33,3% 19 63,3%% Lama pemakaian sepatu booth (jam) 7 jam 7 jam 7 jam 7 jam 7 jam 7 jam 7 jam 7 jam 7 jam 7 jam

30,0%

3,3%

Infeksi jamur kulit Positif Negatif 10 33,3%

0 0%

TOTAL 10 33,3% 10 33,3% 10 33,3% 30 100,0%

Setelah dilakukan pemeriksaan langsung dengan observasi lapangan, kemudian dilakukan penelitian laboratorium, yang dilaksanakan di Laboratorium Mikrobiologi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.

11

Tahap-tahap yang dilaksanakan pada pemeriksaan laboratorium adalah sebagai berikut : 5. Bersihkan kulit dengan kapas yang telah diberi alkohol 70% (yang dikerok sebaiknya bagian tepi dari lesi yang paling aktif tertutup oleh skuama). 6. Keroklah dengan skalpel, miring dengan membuat sudut 45o ke arah atas. 7. Hasil kerokan ditampung pada kertas bersih, objek glass atau cawan petri yang sudah ada Sabaroud Dextrosa Agar (SDA). 8. Kemudian diinkubasi pada suhu kamar (30o) selama 1 minggu. Setelah dilakukan penelitian selama 1 minggu, maka di dapatkan hasil seperti yang terdapat pada tabel di bawah ini : tabel 8. kelompok jamur yang menginfeksi responden Kelompok PEKERJA PENGUMPUL SAMPAH No. 7 No. Responden No.3 Jenis jamur 1. Trichophyton sp 2. Candida sp 1. Tricophyton sp 2. Candida sp No. 1 No. 3 3. Aspergilus sp 1. Candida sp 1. Tricophyton sp 2. Aspergilus sp No. 4 No. 5 No. 6 No.7 No. 8 No.9 3. 1. 1. 1. 1. 1. Candida sp Aspergilus sp Candida sp Candida sp Candida sp Aspergilus sp

PEKERJA PENCUCI MOBIL DAN MOTOR

2. Candida sp 1. Tricophyton sp 2. Microsporum sp 3. Candida sp 1. Microsporum sp

No.10

12

2. Aspergilus sp TOTAL 11 orang

Tabel 9. Hasil percobaan dengan menggunakan sediaan SDA No. 1. Responden Kel.A no.3 Gambar jamur Tricophyton sp, tampak koloni yang berwarna putih bersih seperti gumpalan kapas, dan permukaan halus seperti beludru. Candida sp tampak koloni berwarna krem berbentuk seperti pasta, permukaannya halus dan licin, koloni juga memiliki bau yeast yang khas Tricophyton sp, tampak koloni yang berwarna putih bersih seperti gumpalan kapas, dan permukaan halus seperti beludru. Keterangan Gambar spesifik penjelasan

Kel.A no.7

13

Candida sp tampak koloni berwarna krem berbentuk seperti pasta, permukaannya halus dan licin, koloni juga memiliki bau yeast yang khas Aspergilus sp, sporanya berwarna hitam. Dan ini merupakan ciri spesifik yang membedeakan dengan Microsporum sp. 3 Kel.B no.3 Tricophyton sp, tampak koloni yang berwarna putih bersih seperti gumpalan kapas, dan permukaan halus seperti beludru. Aspergilus sp, sporanya berwarna hitam. Dan ini merupakan ciri spesifik yang membedeakan dengan Microsporum sp.

14

Kel.B no.4

Candida sp tampak koloni berwarna krem berbentuk seperti pasta, permukaannya halus dan licin, koloni juga memiliki bau yeast yang khas Aspergilus sp, sporanya berwarna hitam. Dan ini merupakan ciri spesifik yang membedeakan dengan Microsporum sp. Aspergilus sp, sporanya berwarna hitam. Dan ini merupakan ciri spesifik yang membedeakan dengan Microsporum sp. Aspergilus sp, sporanya berwarna hitam. Dan ini merupakan ciri spesifik yang membedeakan dengan Microsporum sp.

Kel.B no.8

15

Kel.B no.9

Candida sp tampak koloni berwarna krem berbentuk seperti pasta, permukaannya halus dan licin, koloni juga memiliki bau yeast yang khas Microsporum sp, pada media SDA akan tampak seperti gumpalan berwarna hijau kecoklatan. Tricophyton sp, tampak koloni yang berwarna putih bersih seperti gumpalan kapas, dan permukaan halus seperti beludru. Candida sp tampak koloni berwarna krem berbentuk seperti pasta, permukaannya halus dan licin, koloni juga memiliki bau yeast yang khas

16

Kel.B no.10

Microsporum sp, pada media SDA akan tampak seperti gumpalan berwarna hijau kecoklatan. Aspergilus sp, sporanya berwarna hitam. Dan ini merupakan ciri spesifik yang membedeakan dengan Microsporum sp.

tabel 10. jumlah persentase jenis jamur No. 1. 2. 3. 4. TOTAL PEMBAHASAN Dari tabel 4, hasil analisa data didapat bahwa dari 10 orang responden penelitian terdapat 2 (6,7%) responden yang positif mengalami infeksi jamur kulit. Sedangkan yang negatif infeksi jamur kulit ada 8 orang (26,7%). Pada tabel di atas, dapat juga dilihat bahwa kasus infeksi jamur kulit banyak terdapat pada responden yang lama bekerja 1 tahun (16,7%). Dari tabel 5, hasil analisa data didapat bahwa dari 10 orang responden didapat (30,0%) responden yang positif mengalami infeksi jamur kulit. Sedangkan yang negative ada 1 orang (3,3%). Artinya pada kelompok ini didapatkan hasil yang paling banyak diantara kelompok yang lain. Pada tabel di atas juga dapat dilihat, bahwa Jenis jamur Tricophyton sp Microsporum sp Aspergilus sp Candida sp Jumlah 4 2 5 9 20 Persentase (%) 20% 10% 25% 45% 100%

17

kasus infeksi jamur kulit banyak di dapatkan pada responden dengan lama bekerja 1 tahun (20,0%), kemudian lama bekerja 2 tahun (6,7%), dan kasus yang paling sedikit adalah pada lama bekerja 3 tahun (3,3%). Dan bila dikaitkan dengan lama penggunaan sepatu booth per hari (jam), maka dengan lama penggunaan 4 jam/hari didapatkan hasil paling banyak yaitu (20,0%), dan hasil paling sedikit pada lama penggunaan 3 jam/hari yaitu (13,3%). Pada kelompok ini tidak didapatkan satupun yang positif terinfeksi jamur kulit. Sehingga dapat dilihat persentase angka kejadian infeksi jamur kulit pada kelompok ini adalah 0%. Pada tabel 8, setelah dilakukan penelitian di laoratorium dengan menggunakan media Sabaroud Dextrosa Agar (SDA), pada kelompok pekerja pengumpul sampah dengan 2 responden yang positif. Responden nomor 3 didapatkan hasil jamur yang menginfeksi adalah jamur Tricophyton sp, sangat terlihat jelas pada media SDA tersebut ditumbuhi jamur dengan koloni yang berwarna putih bersih seperti gumpalan kapas, dan permukaan halus seperti beludru. Dan juga Candida sp yang mengkontaminasi, ini terlihat jelas pada media SDA ditumbuhi jamur dengan koloni berwarna krem berbentuk seperti pasta, permukaannya halus dan licin, koloni juga memiliki bau yeast yang khas.sedangkan responden nomor 7, didapatkan jamur yang menginfeksi adalah Tricophyton sp, sedangkan Candida sp, Aspergilus sp merupakan jamur yang mengkontaminasi. Dengan perlakuan yang sama, pada kelompok kerja pencuci mobil dan motor didapatkan 9 responden yang positif. Pada responden nomor nomor 1, 5, 6, dan 7 tidak didapatkan jenis jamur yang biasa menginfeksi jamur kulit. Yang didapatkan pada media SDA adalah jenis jamur Candida sp. Ini terlihat jelas pada media SDA, seluruh permukaan media ditumbuhi dengan koloni jamur berwarna krem berbentuk seperti pasta, permukaannya halus dan licin, koloni juga memiliki bau yeast yang khas. Candida sp merupakan flora normal selaput mukosa saluran pernapasan, saluran pencernaan dan genitalia wanita (Jawezt, 1996). Dan mudah sekali didapatkan di alam bebas.

18

Pada responden nomor nomor 3, jamur yang menginfeksi adalah Tricophyton sp, sedangkan Candida sp, Aspergilus sp merupakan jamur yang mengkontaminasi. Pada responden nomor 4, jenis jamur yang biasa menginfeksi jamur kulit tidak didapatkan. Yang ditemukan hanya Aspergilus sp. Pada media SDA, terlihat serupa seperti jamur Microsporum sp, hanya saja warnanya berbeda. Warna spora dari Aspergilus sp adalah hitam. Aspergilus sp merupakan suatu jamur yang banyak ditemukan di mana-mana pada tumbuhan yang membusuk (Jawezt, 1996). Sehingga kemungkinan untuk terkontaminasi sangat besar. Pada responden nomor 8, tidak didapatkan jenis jamur yang biasa menginfeksi jamur kulit. Yang didapatkan pada media SDA adalah jenis jamur Candida sp, dan Aspergilus sp. Pada responden nomor 9, jenis jamur yang menginfeksi adalah Tricophyton sp, Microsporum sp, pada media SDA akan tampak seperti gumpalan berwarna hijau kecoklatan, ini merupakan sporanya yang membedakan dengan Aspergilus sp. Dan juga Candida sp, yang merupakan kontaminasi. Pada responden nomor 10, jamur yang menginfeksi adalah Microsporum sp,sedangkan Aspergilus sp merupakam kontaminasi. Dari tabel 10 di atas dapat diketahui persentase jumlah jenis jamur yang menginfeksi para responden pada penelitian ini. Dari data di atas, jenis jamur yang paling banyak menginfeksi adalah Candida sp sebanyak 45%. Sebenarnya jenis jamur ini termasuk jamur yang mengkontaminasi dalam penelitian ini. Jenis jamur ini merupakan flora normal selaput mukosa saluran pernapasan, saluran pencernaan dan genitalia wanita (Jawezt, 1996). Dan sangat mudah sekali ditemukan ditemukan di mana saja. Selain Candida sp, jenis jamur ini sebenarnya jamur yang tidak diinginkan dalam penelitian ini. Dan jenis jamur ini merupakan kontaminasi juga. Aspergilus sp merupakan suatu jamur yang banyak ditemukan di mana-mana pada tumbuhan yang membusuk besar. (Jawezt, 1996). Sehingga kemungkinan untuk terkontaminasi sangat

19

Kemudian ada 2 lagi jenis jamur yang menginfeksi jamur kulit, yaitu Trichophyton sp sebanyak 20% dan Microsporum sp sebanyak 10%. Kedua jenis jamur ini merupakan jenis yang diinginkan dalam penelitian. Karena berdasarkan tinjauan pustaka pada bab sebelumnya dikatakan bahwa, jenis jamur yang paling banyak menginfeksi kulit adalah Trichophyton sp, Microsporum sp dan Epidermophyton sp. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan, dapat dilihat bahwa penggunaan sepatu booth sangat mempengaruhi angka kejadian infeksi jamur kulit. Ini dapat terlihat pada pada tabel 3 dan tabel 4. Pada tabel 4 (kelompok pekerja pencuci mobil dan motor) mempunyai angka kejadian infeksi jamur kulit yang sangat tinggi sekali dibandingkan dengan keloompok yang lain. Dari 10 responden, terdapat 9 orang yang positif jamur kulit. Penulis mempunyai beberapa pendapat dan fakta terhadap hasil tersebut, antara lain : 1. Pada kelompok ini menggunakan sepatu booth dengan durasi 4 jam/hari bahkan lebih. Sehingga penulis berasumsi, semakin lama penggunaan sepatu booth, semakin tinggi pula tingkat kelembapan yang terjadi. 2. Selain penggunaan sepatu booth yang lama, lingkungan bekerja sangat mendukung sekali terhadap kemunculan jamur. Ini sudah menjadi rahasia umum, kalau pekerjaan pencucian mobil dan motor pasti setiap hari berkutat dengan air setiap saat. Sehingga dapat dikatakan, pada pekerjaan ini mempunyai resiko terhadap angka kejadian infeksi jamur kulit. 3. Selain itu kebersihan lingkungan tempat bekerja kurang terjaga, penulis dapat berpendapat seperti ini dikarenakan lokasi pencucian tersebut terletak di depan selokan mataram. Kebanyakan dari mereka menggunakan air tersebut sebagai alat untuk bekerja mereka. Yang kita tahu, bahwa air tersebut banyak digunakan oleh penduduk sekitar aliran selokan untuk kegiatan sehari-hari. Seperti buang sampah, bahkan untuk kakus, walaupun tidak banyak dan sering. Ini berdasarkan pengamatan penulis.

20

4. Banyaknya pelanggan yang datang, juga sangat menghambat mereka untuk mengistirahatkan kaki mereka terhadap pengab dan lembabnya sepatu booth yang basah terkena air seharian. Banyak fakta yang didapatkan penulis pada saat penelitian berlangsung. Banyak dari para pekerja pencuci mobil dan motor yang bertutur, bahwa pekerjaan mereka memang ringan, namun punya resiko yang tidak gampang. Setiap orang yang bekerja sebagai pencuci mobil dan motor pasti terkena penyakit kutu air, ini diujarkan oleh seorang responden. Sehingga terkadang mereka harus merelakan untuk melepaskan pekerjaan daripada harus menderita dengan gatal yang teramat sangat pada kaki mereka. Memang penyakit ini tidak terlalu berbahaya. Namun cukup mengganggu aktifitas sehari-hari. Ini sesuai dengan seminar dr. Kusmarinah Barmono spKK (Sriwijaya Post, 2007). Selain pekerja pencuci mobil dan motor, pekerja pengumpul sampah pada tabel 3, mempunyai kedudukan kedua terhadap angka kejadian infeksi jamur kulit. Pada tabel dapat dilihat, dari 10 responden, hanya 2 orang yang positif jamur kulit. Memang lingkungan tempat bekerja merteka sangat kotor, karena dikelilingi oleh sampah dan kotoran. Namun, lingkungan mereka tidak sebasah dan selembab pada kelompok kerja pencuci mobil dan motor. Sehingga kemunculan angka kejadian jamur kulit tak terlalu banyak dibandingkan kelompok pencuci mobil dan motor. Fakta yang sangat menarik dapat kita lihat pada tabel 5 (polisi lalu lintas), walaupun mereka menggunakan sepatu booth dengan durasi 7 jam/hari. Namun mereka tidak ada yang terjangkit infeksi jamur kuit. Berdasarkan fakta yang didapatkan di lapangan, penulis mempunyai beberapa pendapat, antara lain : 1. Pada kelompok ini, mereka mempunyai lingkungan yang bersih, kering dan tidak kotor dan selembab kelompok yang lain. Sehingga kemungkinan untuk kemunculan angka kejadian infeksi jamur kulit sangat kecil. 2. Selain itu, mereka juga menggunakan kaos kaki yang menyerap keringat dan juga sepatu yang sesuai ukuran, tidak terlalu ketat. Sehingga kelembapan dapat dicegah. Walaupun waktu penggunaan mereka lebih lama dibandingakn

21

dengan kelompok kerja yang lain. Namun, itu tak memjadi masalah bagi mereka. 3. Dan ternyata pengahasilan atau status ekonomi juga dapat mempengaruhi angka kejadian infeksi jamur kulit, ini seseuai dengan seminar dr. Kusmarina Barmono spKK. Pada kelompok kerja ini, mempunyai penghasilan yang lebih dari pada kelompok kerja yang lain. Sehingga secara tak langsung dapat memperbaiki status kesehatan mereka. Sehingga bila terdapat kelainan sedikit saja pada tubuh mereka, tanpa pikir panjang mereka langsung berobat. Selain itu, pendidikan juga turut serta dalam mempengaruhi angka kejadian infeksi jamur kulit. Ini terbukti pada saat dilakukannya penelitian. Banyak dari responden yang kurang mengetahui bahwa gatal-gatal, ruam, retak-retak, dan kemerahan pada sela-sela jari kaki yang dialami mereka adalah akibat ulah jamur. Fakta ini didapatkan pada responden pengumpul sampah. Dengan observasi langsung, peneliti banyak menemukan responden pada kelompok ini yang mengalami gatal-gatal, ruam, dan retak-retak pada sela jari kaki. Seperti yang telah dijelaskan di atas, mereka seolah menganggap itu adalah hal yang lumrah dan biasa. Dan mereka juga tidak pernah ada usaha untuk memperbaiki ataupun mengobati penyakit ini. Namun ini semua mereka lakukan dengan bukan tanpa alasan yang kuat. Mereka kekurangan dana ataupun biaya untuk pergi ke pelayanan pusat kesehatan. Sehingga penyakit ini dibiarkan saja tanpa penanganan lebih lanjut lagi. Berdasarkan hasil dan fakta-fakta yang didapatkan pada penelitian ini. Tampaknya pekerja harus lebih perhatian lagi terhadap lingkungan bekerjanya. Selain itu, media untuk bekerja, dalam hal ini penggunaan sepatu booth harus lebih diperhatikan dengan lebih khusus lagi. Sehingga keadaan lingkungan maupun media pekerjaan tak mengganggu konsentrasi dalam bekerja. Dibawah ini ada beberapa cara untuk pemakaian sepatu booth, agar terhindar dari infeksi jamur kulit. Antara lain : 1. Sebelum memakai sepatu booth, pastikan terlebih dahulu kalau sepatu tersebut tidak dalam keadaan basah, maupun lembab.

22

2. Setelah itu, pastikan juga keadaan kaki anda dalam keadaan bersih dan juga kering. 3. Sebaiknya sebelum memakai sepatu tersebut, guyurlah kaki anda, terutama sela-sela jari kaki dengan menggunkan bedak anti jamur. 4. Sebaiknya gunakan kaos kaki dari bahan lembut. Yang dapat berfungsi sebagai penyerap keringat. 5. Setelah menggunakan sepatu tersebut, pastikan sepatu tersebut disimpan pada tempat terbuka, dan terkena sinar. Sehingga kuman-kuman bakal jamur dapat musnah. 6. Jangan lupa untuk membersihkan kaki setelah pemakaian. Dengan cara, bersihkan dengan air. Setelah itu diseka dengan handuk dan pastikan kering UCAPAN TERIMAKASIH 1. Dekan fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, bapak dr. H. Erwin Santosa, Sp.A., M.Kes. 2. Dosen pembimbing karya tulis ilmiah, ibu dr. Hj. Inayati Habib, M.Kes. Terima kasih atas bimbingannya dan kritikan terhadap KTI saya, sehingga dapat mencapai hasil yang optimal. Dan sesuai dengan harapan bersama. 3. Para staf TU yang sedikit banyak telah membantu kelancaran akademik dan KTI saya selama ini. 4. Pemberi semangat moril dan materil, papa dan mama ku tercinta. H. Taufik dan Hj. Lily Sriwati. Tiada kata-kata yang bisa menandingi pengorbanan kalian berdua. Aku bisa ada di dunia karena kalian, aku bertahan di dunia juga karena kalian. Aku mencintai kalian karena Allah. 5. Adik-adikku tersayang. Wahyu Ade Saputra dan Rizky Arief Budiman. Jadilah anak yang berguna bagi dunia dan akhirat. 6. Keluarga papa Suratimin dan mama Kustiah di pekalongan ( Insya Allah jadi mertua ku nanti), terima kasih atas dorongan semangat dan menerima

23

kehadiranku dengan tangan terbuka. Insya Allah, Vina janji tidak akan mengecewakan kalian lagi. Vina akan berusaha menjadi yang terbaik. 7. Mas Herlambang Budi Santoso, terima kasih atas cinta dan sayangnya selama ini. Nasehat dan dukungan mas sangat membantu ad dalam menyelesaikan semua ini. Mas adalah segalanya buat ad. Sayangi aku apa adanya. KESIMPULAN 1. Macam pekerjaan dengan menggunakan sepatu booth, ternyata sangat berpengaruh terhadap angka kejadian infeksi jamur kulit. 2. Bukan hanya macam pekerjaan dan lingkungan yang mempengaruhi infeksi jamur kulit, tapi juga lama pekerjaan (tahun), dan lama penggunaan (jam) juga turut andil dalam kemunculan infeksi jamur kulit ini. 3. Selain itu faktor pendidikan dan status sosial ekonomi juga turut mempengaruhi terhadap kejadian infeksi jamur kulit. DAFTAR PUSTAKA 1. Atk, (1999)._Gangguan Kaki Bisa Berbahaya. http/www.kompas.com 2. Anonim. (2006). Classification Of Fungal Infection. www.kcom.edu. Diakses 11 september 2006,pukul 14.30. 3. Anonim. (2006). Dermatophyta Histopatoloy.

www.doctor.fungus.com.diakses 30 september 2006 4. Anonim. (2006). Microsporum sp. www.doctorfungus.com. Diakses 9 september 2006

24

5. Anonim. (2006). Tricophyton september 2006

sp. www.doctorfungus.com. Diakses 9

6. Djuanda, Adhi Prof.Dr., Hamzah, Mochtar,Dr., & Aisah, Siti, Dr. (2002) . Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi ketiga. Jakarta 7. Eliss, David. (2006). Identification of Common Dermatophytes.

www.micologyonline.com. Diakses 30 mei 2006 8. Ellis, David. (2006). Dermatophytosis. www.micologyonline.com. Diakses 30 mei 2006 9. Ellis, David. (2006). Microsporum. www.micologyonline.com. Diakses 30 mei 2006 10. Ellis, David. (2006). Tricophyton. www.micologyonline.com. diakses 20 agustus 2006

11. Gerard J. Tortora, Berdell R. Funke, Christine I. Case, (2001). Microbiology An Introducion_.International Edition, sevent edition, USA, Addison Wesley Longman, Inc. 12. Hay RJ, Joan Stokes E,(1993). Clinical Microbiology. Sevent edition. Hal 548-552. Ridgway and M. W. D Wren. 13. Harahap, M, (2000), Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Hipokrates, Jakarta.

25

14. Jawetz, Melnick & Adelberg, (1996), Mikrobiologi Kedokteran, Edisi 20, Alih bahasa oleh Edi Nugroho dan RF Maulany, EGC, Jakarta 15. Jawetz, Melnick , JL & Aldeberg E.A.. (1996). Mikrobiologi Kedokteran, Edisi Jakarta 16. Jawetz, Melnick , JL & Aldeberg E.A. (1996). Medical Microbiology, Edisi 21, Appleton and Langenstanford, CT, New Jersey. 17. Katzung,G,Bertram.& Agoes,Azwar,H,Prof,Dr,(Eds). 1998. Farmakologi Dasar Dan Klinik. Jakarta

18. Kamus Kedokteran Dorland. (1996). Edisi Kedua, EGC, Jakarta. 19. Kenneth Landow, MD, (1992). Kapita Selekta Terapi Dermatologik Hand Book Of Dermatology Treatment. Alih bahasa oleh dr. Petrus Adrianto. Cetakan kedua, Jakarta. 20. Morchella, M. D. Harry , J. M. H. D, (1996), Dermatology Third Edition, WB, Saunders Company page 1935-2198. 21. Nopita, D, (2003), Identifikasi Jamur Penyebab Tinea Ungium Pada Anakanak Di Pondok Pesantren Kapyak Yogyakarta. Skripsi, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta. 22. Rook, A, (1982). Text Book Of Dermatology, In : D. S. Wilkinson and F. J. G. Ebling ; editor 2nd ed, 845-884, Blackwell Scientific Publication Osney Mead, Oxford London.

26

23. Suryani, L, dkk, (2005), Buku Petunjuk Pratikum Mikrobiologi, Hal 11-17, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta. 24. Tony, H, Paul Shears, (1997). Atlas Berwarna Mikrobiologi Kedokteran. Alih bahasa oleh Ferdian Endrawan Pratama dan Poppy Kumala, Hal 232-233. Jakarta.

27

Anda mungkin juga menyukai