A. Latar Belakang
Cedera kepala head Injury merupakan suatu trauma atau jejas yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. Cedera kepala sering kita jumpai di lapangan. Di negara berkembang seperti Indonesia, perkembangan ekonomi dan industri memberikan dampak frekuensi cedera kepala cenderung semakin meningkat, dan merupakan salah satu kasus yang paling sering dijumpai di ruang gawat darurat rumah sakit. Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif dan lebih didominasi oleh kaum laki-laki dibandingkan dengan perempuan. Penyebab cedera kepala terbanyak adalah akibat kecelakaan lalu lintas, disusul dengan jatuh (terutama pada anak-anak). Cedera kepala merupakan peristiwa yang sering terjadi dan mengakibatkan kelainan pada neurologis yang serius Bahkan cedera kepala bisa mengakibatkan
kematian atau penderita bisa mengalami penyembuhan total dan cacat. Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma. Karena itu, sudah saatnya seluruh fasilitas kesehatan yang ada, khususnya puskesmas dan rumah sakit sebagai pelayanan terdepan kesehatan, dapat melakukan penanganan yang optimal bagi penderita cedera kepala. Seperti negara-negara berkembang lainnya, kita tidak dapat memungkiri bahwa masih terdapat banyak keterbatasan, di antaranya keterbatasan pengetahuan dan keterampilan petugas kesehatan. Hal ini memang merupakan tantangan bagi kita dalam menangani pasien dengan cedera, khususnya cedera kepala. Dengan pertimbanganpertimbangan dan alasan itulah kami sebagai pelajar, sebagai bagian dari anggota masyarakat dan sebagai generasi penerus perawat masa depan, merasa perlu memperhatikan hal tersebut. Dalam laporan ini akan dijelaskan tentang definisi cedera kepala, etiologi cedera kepala, klasifikasi cedera kepala, patofisiologi cedera kepala, manifestasi klinis cedera kepala, komplikasi cedera kepala, faktor resiko cedera kepala, pemeriksaan diagnostik cedera kepala, penatalaksanaan cedera kepala, dan asuhan keperawatan untuk cedera kepala.
BAB II PEMBAHASAN
Trigger 1 Sdr M 18 tahun dirawat di IRD sebuah rumah sakit kerena terjatuh dari sepeda motor dan tidak mengenakan helm. Pasien mengeluh kepalanya pusing dan perutnya mual. Dari hasil pemeriksaan fisik ditemukan adanya cephal hematome pada perietalis kanan dengan diameter 9 cm, retrograde amnesia (+), terdapat hematoma periorbita D, muntah (+), reaksi pupil terhadap cahaya (+) dan isokor. Pasien dipasang IV line NaCl 0,9 % life line, oksigen via nasal canule 3 liter/menit. Pasien rencana akan dilakukan head CT Scan.
1. Definisi cedera kepala 2. Etiologi cedera kepala 3. Klasifikasi cedera kepala 4. Patofisiologi cedera kepala 5. Manifestasi Klinis cedera kepala 6. Komplikasi cedera kepala 7. Faktor resiko cedera kepala 8. Penatalaksanaan cedera kepala 9. Asuhan Keperawatan
Analisis 1. Definisi Cedera kepala adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak dan otak yang terjadi baik secara langsung ataupun tidak langsung pada kepala yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran bahkan dapat menyebabkan kematian.
Cedera kepala adalah suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang disertai atau tanpa disertai perdarahan interstitial dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontinuitas otak (Muttaqin 2008).
Menurut Brain Injury Assosiation of America, 2006. Cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala bukan bersifat congenital ataupun degenerative, tetapi disebabkan serangan/benturan fisik dari luar yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik. Cedera kepala atau trauma kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul maupun trauma tajam. Defisit neorologis terjadi karena robeknya substansia alba, iskemia dan pengaruh massa karena hemoragig, serta edema cereblal disekitar jaringan otak. (B.Batticaca, 2008).
Cedera kepala sedang ( CKS ) adalah trauma kepala yang diikuti oleh kehilangan kesadaran atau kehilangan fungsi neorologis seperti misalnya daya ingat atau penglihatan dengan sekor GCS 9-13, yang di buktikan dengan pemeriksaan penunjang CT Scan kepala. ( ATLS 2004 ).
2. Etiologi a. Deformasi : Merupakan injuri oleh sesuatu kekuatan yang menyebabkan terjadinya perubahan bentuk dan kerusakan dari bagian tubuh, misalnya fraktur tulang tengkorak. b. Trombosis, emboli, pecah pembuluh darah karena aneurisma dan hipertensi berat. (karin, 2011) c. Trauma lahir (Mary, 2001) d. Pukulan langsung : Dapat menyebabkan kerusakan pada sisi pukulan (coup injury) dan sisi yang berlawanan dari pukulan ketika otak bergerak dalam tengkorak dan mengenai dinding yang berlawanan (contrecoup injury). e. Rotasi/deselerasi : Fleksi, ekstensi, atau rotasi leher menghasilkan serangan pada otak yang menyerang titik tulang pada tengkorak. Rotasi yang hebat menyebabkan trauma
robekan didalam substansi otak dan batang otak, menyebabkan cedera aksonal dan bintik pendarahan intraserebral. f. Tabrakan : Otak seringkali terhindar dari trauma langsung kecuali jika berat (terutama pada anak dengan tengkorak elastis). g. Peluru : Cenderung menyebabkan hilangnya jaringan seiring dengan trauma.
Pembengkakan otak merupakan masalah akibat distrupsi tengkorak yang secara otomatis menekan tengkorak. (Grace & Borley.2007) h. Jatuh : Toodler jatuh dari tangga / tempat bermain Bayi terjadi akbat menggoyangkan bayi terlalu keras,sehingga bayi aharus diperiksa untuk mengetahui adanya cedera kepala non-
kecelakaan(shaken baby sindrome). Lansia penyebab utama pada lansia berkaitan dengan penglihatan yang buruk. (corwin J. Elizabeth,2009)
3. Klasifikasi a. Berdasarkan tipe mekanisme (Grace & Borley.2007) b. Cedera vaskuler : hematoma intracerebral, subdural, ekstradural Cedera tulang : fraktur tengkorak sederhana, tertekan, fraktur dasar tengkorak Cedera sekunder : hipotensi, hipoksia, infeksi
Berdasarkan jenis cedera otak (Grace & Borley.2007) Primer : kerusakan yang terjadi pada otak segera setelah trauma Sekunder : kerusakan yang berkembang kemudian sebagai komplikasi
c. Berdasarkan nilai GCS (george dewanto,dkk, 2009) CKR (Cedera kepal ringan) - Tidak terdapat kelainan pada CT scan otak - Tidak memerlukan tindakan operasi
- Lama dirawat di RS <48 jam CKS (cedera kepala sedang) - Ditemukan kelainan pada CT scan otak - Memerlukan tindakan operasi untuk lesi intrakranial - Dirawat di RS setidaknya >48 jam CKB (Cedra kepala berat) - Dalam waktu 48 jam setelah trauma nilai GCS <9 d. Cedera kepala (Brunner & Suddarth, 2001 : 2211; Long, 1990 : 203) Cedera kepala terbuka Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak atau luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh velositas, masa dan bentuk dari benturan. Kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang tengkorak menusuk dan masuk ke dalam jaringan otak dan melukai durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda tajam / tembakan. Cedera kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen memiliki abses langsung ke otak. Cedera kepala tertutup Benturan kranium pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat, kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan dalam otak cairan akan tumpah. Cedera kepala tertutup meliputi: komusio (gegar otak), kontusio (memar) dan laserasi. e. Berdasarkan mekanismenya cedera kepala dibagi atas; Cedera kepala tumpul Biasanya berkaitan dengan kecelakaan lalu lintas, jatuh atau pukulan benda tumpul. Pada cedera tumpul terjadi akselerasi dan deselerasi yang cepat menyebabkan otak bergerak di dalam rongga cranial dan melakukan kontak pada protuberans tulang tengkorak .
f.
Berdasarkan morfologinya cedera kepala dikelompokkan menjadi; Fraktur tengkorak Fraktur tengkorak dapat terjadi pada atap dan dasar tengkorak . Fraktur dapat berupa garis/ linear, mutlipel dan menyebar dari satu titik (stelata) dan membentuk fragmen-fragmen tulang (kominutif). Fraktur tengkorak dapat berupa fraktur tertutup yang secara normal tidak memerlukan perlakuan spesifik dan fraktur tertutup yang memerlukan perlakuan untuk memperbaiki tulang tengkorak . Lesi intracranial Dapat berbentuk lesi fokal (perdarahan epidural, perdarahan subdural, kontusio, dan peradarahan intraserebral), lesi difus dan terjadi secara bersamaan Cedera otak difus : Umumnya menunjukkan gambaran CT Scan yang normal, namun keadaan klinis neurologis penderita sangat buruk bahkan dapat dalam keadaan koma. Berdasarkan pada dalamnya koma dan lamanya koma, maka cedera otak difus dikelompokkan menurut kontusio ringan, kontusio klasik, dan Cedera Aksona Difus ( CAD). Hemoragi subarachnoid Akumulasi darah di bawah membrane arachnoid, tetapi di atas pia meter. Ruang ini normalnya hanya berisisi CSS. Hemoragi subarachnoid biasanyua terjadi akibat pecahnya aneurisma intracranial, hipertensi berat, malformasi arteriovenosa, atau cedera kepala. Darah tekanan berakumulasi di tas atau di bawah meningen sehingga menyebabakan peningkatan di jaringan otak bi bawahnya. ( Corwin, 2008) Hematom intrakranial : Selalu di ikuti kontosio, adanya bekuan darah, edema lokal, disebabkan frakrur tengkorak, penetrasi peluru, akselerasi-deselerasi tiba-tiba. Hematom Intraserebral :
Perdarahan di jaringan otak karena pecahnya pembuluh darah arteri, kapiler dan vena/ perdarahan kedalam substansi otakakibat hipertensi sistemik. (Karin, 2011) Epidural Hematom: Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah arteri meningeal, pembuluh darah ini tidak dapat menutup sendiri karena itu sangat berbahaya. (Smeltzer, suzanne C, 2001)
4. Patofisiologi
Benturan kepala
Trauma kepala
Trauma akibat deselerasi/ akselerasi Trauma pada jaringan lunak Robekan & distoris
Rusaknya jaringan kepala Luka terbuka MK: Resiko tinggi terhadap infeksi MK: Nyeri Girus medialis tergeser
Hematoma
Perubahan pada cairan intra & ekstra sel (oedema) Peningkatan suplai darah ke daerah trauma (vasodilatasi)
MK: ketidakefektifan perfusi jaringan cerebral Merangsang hipotalamus Hipotalamus terfiksasi (pada diensefalon) Hipoksia jaringan Kerusakan pertukaran gas
produksi ADH Retensi Na + H2O Mual, muntah MK: Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
Pernapasan dangkal
Gangguan bahasa
5. Manifestasi Klinis a. Tanda dan gejala pada anak dengan cedera kepala (Veda.2008) Trauma kepala ringan Tidak kehilangan kesadaran/ tidak pingsan Sadar/ dapat berinteraksi Mungkin muntah namun hanya sekali
Trauma kepala sedang Tidak sadar < 30 detik Sadar dan berespon terhadap suara Muntah dua kali atau lebih Sakit kepala Kejang singkat satu kali dapat terjadi langsung setelah trauma Bisa mengalami lecet, benjol atau luka robek yang esar di kepala
Trauma kepala berat Tidak sadar > 30 detik Mengantuk dan tidak berespon terhadap suara Memiliki tanda-tanda trauma lain yang signifikan seperti lebar pupil tidak sama, kelemahan lengan dan kaki Ada sesuatu yang tersangkut dikepala Mengalami kejang yang kedua
b. Tanda dan gejala pada kontusio cerebral Lobus temporal Lobus frontalis Frontal-temporal : agitasi, kebingungan, tapi tetap terjaga : Hemiparesis : Apasia
c. Gejala klinis cedera kepala pada lansia dapat berjalan perlahan-lahan dan bermacam-macam,yakni dari tanpa gejala demensia,kehilangan kesadaran,sakit kepala,mual,hemiparesis,afasia,sampai ataksia. Karena itu lansia perlu observasi sampai 2-3 bulan karena pada lansiaakibat cedera kepaladapat membuat hematomakronis. d. Tanda dan gejala spesifik fraktur basal, yaitu: Raccoon eyes (kebocoran darah ke dalam sinus frontal) dan tanda battle ( memar dibelakang telinga akibat perdarahan dalam sinus mastoid).( Muscary, 2005)
10
e. Cedera kepala ringan Kebingungan, sakit kepala, rasa mengantuk yang abnormal, sebagian besar pasien mengalami penyembuhan total dalam beberapa jam atau hari, pusing, kesulitan berkonsentrasi, depresi, kesulitan belajar, dan kesulitan bekerja. f. Cedera kepala sedang Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebingungan atau bahkan koma, gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, perubahan tanda-tanda vital, gangguan penglihatan dan pendengaran, disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo, dan gangguan pergerakan. g. Cedera kepala berat Amnesia dan tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah terjadinya penurunan kesehatan, pupil tak ekual, pemeriksaan motorik tak ekual, adanya cedera terbuka, fraktur tengkorak, dan penurunan neurologik. (Brunner & Suddarth, 2001)
6. Komplikasi a. Edema serebral dan herniasi Edema serebral adalah penyebab paling umum dari peningkatan tekanan intra cranial pada pasien yang mengalami cedera kepala. Puncak pembengkakan terjadi kira-kira 72 jam setelah kecelakaan. Herniasi (perubahan posisi otak ke bawah atau lateral)menyebabakan terjadinya iskemia, infark, kerusakan otak ireversibel, dan kematian. b. Defisit neurologik dan psikologik Pasien yang mengalami cedera kepala dapat mengalami paralisis saraf fokal seperti anosmia (tidak dapat mencium bau-bauan) atau abnormalitas gerakan mata, dan deficit neurologic seperti afasia, defek memori, dan kejang pos traumatic atau epilepsy. Pasien mengalami sisa penurunan psikologik seperti ( melawan, emosi labil, atau tidak punya malu, perilaku agresif) dan konsekuensi gangguan, kurangnya wawasan terhadap respon emosi. c. Infeksi Infeksi sistemik (pneumonia, infeksi saluran kemih, septikemia), infeksi bedah neuro (infeksi luka, osteomielitis, meningitis, ventikulitis, abses
11
otak) dan osifikasi heterotrofik (nyeri tulang pada sendi-sendi penunjang berat badan )(Bare& Smeltzer, 2001)
Anak baru berjalan beresiko besar terhadap cedera jatuh. Anak dibawah 2 tahun menderita akibat yang jauh lebih buruk karena cedera kepala tertutup dari pada remaja. Anak usia sekolah beresiko paling besar dari cedera pejalan kaki, cedera akibat sepeda (kendaraan bermotor) dan penumpang kendaraan bermotor. Pada umur belasan tahun terjadi peningkatan resiko yaitu tabrakan kendaraan bermotor dan biasanya pada kecelakaan lalu lintas. - Jenis kelamin : laki-laki lebih beresiko dari pada perempuan - Ras : orang Amerika lebih beresiko dari pada orang Asia. Hal ini mungkin dipengaruhi budaya. Budaya orang barat dan orang timur berbeda. - Lingkungan : keadaan lingkungan mempengaruhi keamanan. ( Berhman dkk.2000)
b. Reversible - Hipertensi, penyakit jantung, lipid abnormalitas, dan obesitas - Kebiasaan hidup seperti diet, kebiasaan merokok, alkoholik dan aktifitas, pengendara kendaraan bermotor yang ceroboh tidak mengenakan sabuk pengaman, penggunaansenjata yang tidak tepat. c. Cedera kepala sering terjadi pada bayi sampai remaja - Pada bayi yang jatuh dari tempat tidur - Anak yang terjatuh dari tangga,tertabrak karena menyebrang,Naik sepeda terjatuh,terpeleset,jatuh dari pohon dan anak yang saling pukul antara temannya. d. Cedera kepala pada dewasa
12
- Kecelakaan lalu lintas,tabrakan,terjatuh dari sepeda motor,orang yang berjalan dijalan raya. - Benturan yang keras dikepala - Kepala terbentur bagian dari mobilkarena menabrak /terjungkal
8. Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan fisik - GCS - Amnesia pasca trauma (Post Traumatik Amnesia / PTA) : PTA didefinisikan sebagai lamanya waktu setelah cedera kepala saat pasien merasa bingung, disorientasi, konsebtrasi menurun, dan/atau ketidak mampuan untuk membentuk memori baru. Cara Penilaian GCS Pemeriksaan GCS meliputi respon membuka mata, respon verbal dan respon motorik. (Ewens, 2010). Glasgow coma scale berguna/bermanfaat untuk evaluasi dan penatalaksanaan pasien dengan gangguan kesadaran pasca trauma,juga untuk menentukan prognosis perawatan suatu penyakit
(udekwu,2004). Penilaian GCS pada penderita dengan cedera kepala disamping untuk melakukan observasi juga untuk mengetahui faktor-faktor penyebab gangguan kesadaranGlasgow Coma Scale meliputi pengkajian reflek. a. Respon membuka mata Skor penilaiannya: 1). Nilai 4 Membuka mata secara spontan, mata membuka tanpa harus diperintah atau disentuh (respon optimal) 2). Nilai 3 Mata membuka sebagai respon terhadap stimulus verbal (biasanya nama paien) tanpa menyentuh pasien. Observasi mulai dari volume suara yang normal dan naikkan volume suara jika diperlukan dengan mengatakan perintah yang jelas. 3). Nilai 2 Mata membuka sebagai responterhadap nyeri sentral, misalnya penekanan trapezium, tekanan suborbital (direkomendasikan),
13
sternal rub (menekan dan memutar diatas sternum. Stimulus nyeri hanya dilakukan jika pasien gagal merespon terhadap perintah yang jelas dan keras. 4). Nilai 1 mata tidak membuka walaupun dengan stimulus verbal dan nyeri sentral. Cara melakukan stimulus nyeri sentral meliputi : a). Cubitan trapezium . Dengan cara menggunakan cubitan ibu jari dan jari telunjuk pada sekitar 5cm otot trapezius (diantara kepala dan bahu dan diputar). b). Tekanan suborbital. Teknik pelaksanaannya letakkan satu jari disepanjang margin supraorbital (pada tepi tulang disepanjang puncak mata) sampai mmenemukan takik atau lekukan. Tekanan pada daerah ini akan menyebabkan nyeri yang menyerupai jenis nyeri kepala. Kadang-kadang hal ini dapat membuat pasien meringis yang menyebabkan c). Sternal rub teknik. Pelaksanaannya tekan dengan kuat sternum
menggunakan kuku-kuku jari. Catatan : dapat dilakukan dengan metode lain karena pada metode ini dapat meninggalkan bekas pada kulit. b. Respon verbal Penilaian respons verbal mencakup evaluasi kewaspadaan, aspek kedua dari kesadaran. Skor penilaiannya adalah sebagai berikut: 1) Nilai 5. Orientasi baik,pasien dapat mengatakan kapeda praktisi siapa mereka,diaman mereka,dan hari,tahun,serta bulan saat
ini(hindari menggunakan hari keberapa dari hari minggu ini atau tanggal) 2) Nilai 4
14
Konfusi(bingung),pasien dapat melakukan percakapan dengan praktisi,namun tidak dapat menjawab secara akurat terhadap pertanyaan yang diberikan. 3) Nilai 3 Kata-kata yang tidak tepat,pasien cenderung menggunakan kata-kata tunggal dari pada suatu kalimat dan tidak terdapat percakapan dua arah. 4) Nilai 2 Suara yang tidak dimengerti,respons pasien diperoleh dalam bentuk suara-suara yang tidak jelas seperti ruangan atau gumaman tanpa kata-kata yang dapat dimengerti.Stimulus verbal dan juga stimulus nyeri mungkin diperlukan untuk mendapatkan respons dari pasien.Jenis pasien ini tidak waspada terhadap lingkungan sekitarnya. 5) Nilai 1 Tidak ada respons,tidak didapatkan respons dari pasien walaupun dengan stimulus verbal maupun fisik. Catatan : cata sebagai D jika pasien mengalami disfasiadan T jika pasien menggunakan selang trakeal atau trakeostomi. c. Respon motorik 1) Nilai 5 Melokalisasi pusat nyeri,jika pasien tidak merespon terhadap stimulus verbal,pasien dengan sengaja menggerakan lengan untuk menghilangkan penyebab nyeri.Tekana rigisupra orbital dianggap merupakan tehnik yang paling dapat dipercaya karena paling kecil kemungkinannya untuk terjadi kesalah interpretasi. 2) Nilai 4 Menarik diri dari nyeri : pasien melakukan fleksi atau melipat lengan menuju sumber nyeri namun gagal melokalisasi sumber nyeri (waterhouse 2005). Tidak ada rotasi pergelangan tangan. 3) Nilai 3 Fleksi terhadap nyeri : pasien memfleksikan atau melipat lengan. Ini ditandai oleh rotasi internal dan aduksi bahu dan
15
fleksi pada siku dan jauh lebih lambat dari pada fleksi normal (fairley 2005) 4) Nilai 2 Ekstensi terhadap nyeri pasien mengekstensiakn lengan dengan meluruskan siku,kadang kadang disertai dengan rotasi internal bahu dan pergelangan tangan,kadang kadang disebut sebagai postur deserebrasi (waterhouse 2005) 5) Nilai 1 Tidak ada respons,tidak ada respons terhadap stimulus nyeri yang internal Pemeriksaan Penunjang - Foto polos : sensifitas dan spesifitasnya rendah. Pemakaiannya saat ini sudah mulai ditinggalkan - CT scan merupakan standard baku untuk mendeteksi perdarahan intracranial. Semua pasien dengan GCS<15 sebaiknya menjalani pemeriksaan CT Scan kepala sedangkan pada pasien dengan GCS 15, CT scan dilakukan hanya dengna indikasi tertentu seperti: - nyeri kepala hebat, adanya tanda-tanda fraktur basis kranii, adanya riwayat cedera berat - muntah lebih dari 1 kali, lansia (usia>65thn) dengna penurunan kesadaran atau amnesia - riwayat gangguan vaskuler atau menggunkan obatobat antikoagulan, gangguan orientasi, berbicara, membaca, dan menulis - rasa baal pada tubuh, gangguan keseimbangan atau berjalan Prosedur Head CT Scan (satyanegara,2010) - Pastikan diruangan ada emergency kit - Identitas pasien secara lengkap
16
-Universal precaut (minimal unsteril glove pada saat memindahkan dan mengatur posisi pasien pada kasus dengan luka terbuka). - Pastikan tidak ada benda-benda yang menyebabkan artefact pada gambar. - Jangan pernah melepas alat fiksasi leher collar bila telah terpasang. - Bila pasien anak-anak sebaiknya ada anggota keluarga mendampingi dengan memperhatian proteksi radiasi (berikan apron). - Lakukan fiksasi kepala pasien dan organ lainnya secara maximal. - Protokol Head CT Scan : Orientasi pasien : Head first, supine Orbita Meatal pararel terhadap scan plane Topogram : lateral dari base skull ke vertex Axial base line diambil dari garis inferoorbital floor ke EAM. Angle disesuaikan Alternatif pilihan irisan (2/10 mm,3/10 mm, 5/10 mm, 5/5 mm, 7/7 mm). (Post Fossa : 2-5mm Ax - // OML) kV: 140-390 mAs ( Brain : 10 mm Ax - // OML kV : 120-360 mAs Lakukan scan ulang pada slice tertentu bila diperlukan ( irisan dapat dirubah ). - MRI Teknik pencitraan yang lebih sensitive dibandingkan dengan CT Scan, kelainan yang tidak tampak pada CT scan dapat dilihat oleh MRI. Namun, dibuthkan waktu pemeriksaan lebih lama dibandingkan scan sehingga tidak sesuai dalam situasi gawat darurat.
17
- PET dan SPECT : PET (Positron Emission Tomografi) dan SPECT ( Single Photon Emission Computer Tomografi) mungkin dapat memperlihatkan abnormalitas pada fase akut dan kronis walaupun CT scan dan MRI tidak memperlihatkan kerusakan. Namun spesifitas penemuan tersebut masih dipertanyakan dan pemeriksaan ini tidak direkomendasikan untuk CKR. (Dewanto.2007) - Eeg Untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis. EEG (elektroensefalogram) mengukur aktifitas listrik lapisan superfisial korteks serebri melalui elekroda yang dipasang di luar tengkorak pasien - ENG (Elektronistagmogram) Merupakan pemeriksaan elekro fisiologis vestibularis yang dapat digunakan untuk mendiagnosis gangguan system saraf pusat. - Sinar X Mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur). Pergeseran struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema) adanya fragmen tulang. - BAEK (Brain Auditon Euoked Tomografi) : Menentukan fungsi korteks dan batang otak. - Fungsi lumbal, CSS: Dapat menduga kemungkinan adanya perubahan subaraknoid. - Kimia / elekrolit darah: Mengetahui ketidakseimbangan yang berperan dalam
peningkatan TIK / perubahan mental. - Pemeriksaan toksilogi: Mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab terhadap penurunan kesadaran. Kadar anti konvulsan darah: Dapat dilakukan untuk mengetahui tingkat terapi yang cukup efektif untuk mengatasi kejang. (Doenges 2000; Price & Wilson 2006)
18
- Foto rontgen Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur) perubahan struktur garis (perdarahan/edema ) fragmen tulang. - Pemeriksaan CSF,lumbal pungsi,dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahansubaraknoid -Kadar elektrolit Untuk mengoreksi keseimbangan elektrolit sebagai peningkatan tekanan intracranial -Skrining toksikologi Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran -Analisis Gas Drah (AGD) Adalah salah satu tes diagnostik untuk menentukan status respirasi. Status respirasi yang dapat digambarkan melalui pemerikasaan AGD ini adalah status oksigenasi dan status asam basa. - Menurut Grabber A. Mark tahun 2006,Pemeriksaan fisik termasuk pemeriksaan neurologik lengkap dan inspeksi untuk mencari faktor dasar tengkorak (rinoria,CSF,tanda battle,rakun eyes). Angiografi Serebral Menunjukkan kelainan sirkulasi cerebral seperti pergeseran cairan otak akibat oedema, perdarahan, trauma. Proses pemeriksaan dengan menggunakan sinar x terhadap sirkulasi serebral setelah menyuntikkan zat kontras ke dalam arteri yang dipilih. Kebanyakan angiografi serebral dilakukan dengan measukkan kateter melalui arteri femoralis diantara sela paha dan masuk menuju pembuluh darah bagian atas. Prosedur ini juga dilakukan dengan tusukan langsung pada ateri karotis atau arteri vetrebaral atau dengan suntikan mundur ke dalam arteri brakhialis. Pemeriksaan ini sering dilakukan sebelum pasien menjalani kraniotomi sehingga arteri dan vena serebral terlihat, dan untuk menentukan letak, ukuran dan proses patologis. Dan juga digunakan untuk mengkaji keadaan dan keadekuatan sirkulasi serebral. ( Bare&Smeltzer, 2001)
19
Angiografi Substraksi Digital Suatu tipe angiografi yang menggabungkan radiografi dengan teknik komputerisasi untuk mempelihatkan pembuluh darah tanpa gangguan dari tulang dan jaringan lunak di sekitarnya. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark / iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri
9. Penatalaksanaan Medis Pertolongan pertama ditepi jalan diberikan oleh paramedis/tim medis pada tempat kejadian. Bertujan untuk memepertahankan hidup selama pengangkatan adan evakuasi asien. -Survey Primer Airway Circulation / penatalaksanaan jalan napas Breathing/ pernapasan Circulation / sirkulasi Disfungsi ssp => nilai GCS/reaksi pupil/fungsi motorik dan sensorik ekstremitas jika mungkin Exposure of extremities/ pajanan ekstremitas => nilai ekstremitas untuk trauma mayor tulang panjang dan pada lokasi kehilangan draah hebat. (Pavey patrick,2003) Pada semua pasien dengan cedera kepala/leher, dilakukan foto tulang belakang servikal. Pada semua pasien dengan cedera kepala sedang atau berat, dilakukan prosedur berikut: pasang infus dengan larutan normal salin (NaCl 0,9%)/larutan RL dan larutan ini tidak menambah edema cerebri. Pada pasien dengan cedera kepala ringan, sedang, dan berat harus di evaluasi adanya: - hematoma epidural - darah dalam subaraknoid dan infra ventrikel - kontusio dan perdarahan jaringan otak - edema cerebri
20
Pada pasien yang koma - elevasi kepala 30 - pasang kateter - konsul bedah syaraf bila terdapat indikasi operasi (Yayasan Pendidikan Setih Setio) Pembedahan - Kraniotomy :
Membuka tengkorak untuk mengangkat bekuan dan atau tumor, menghentikan perdarahan intracranial, memperbaiki jaringan otak, atau pembuluh darah yang rusak. - Kraniaektomy : Mengangkat bagian tulang tengkorak. - Kranioplasty :
Memperbaiki tulang tengkorak dengan logam, lempeng plastik untuk menutup area yang terbuka dan memperkuat area kerusakan tulang. (Karin, 2011) . Obat-obatan : - Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai dengan berat ringanya trauma. -Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat), untuk mengurnagi vasodilatasi. - Pengobatan anti edema dnegan larutan hipertonis yaitu manitol 20 % atau glukosa 40 % atau gliserol 10 %. - Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin) atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol. - Makanan atau cairan, Pada trauma ringan bila muntah-muntah tidak dapat diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5 %, amnifusin, aminofel (18 jam pertama dari terjadinya kecelakaan), 2 - 3 hari kemudian diberikan makanan lunak. - Pada trauma berat. Karena hari-hari pertama didapat penderita mengalami penurunan kesadaran dan cenderung terjadi retensi natrium dan elektrolit maka hari-hari pertama (2-3 hari) tidak terlalu banyak cairan.
21
Dextosa 5 % 8 jam pertama, ringer dextrosa 8 jam kedua dan dextrosa 5 % 8 jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah makanan diberikan melalui nasogastric tube (2500 - 3000 TKTP). Pemberian protein tergantung nilai ure nitrogennya.
10. Asuhan Keperawatan Pengkajian A. Identitas Klien - Nama: Sdr. M - Usia: 18 thn. - Jenis Kelamin: Laki-laki - Alamat: (tanyakan pasien) - Status: (tanyakan pasien) B. Status Kesehatan Saat Ini - Keluhan utama: pasien mengeluh kepalanya pusing dan perutnya mual - Lama keluhan: (tanyakan pasien) - Kualitas keluhan: (tanyakan pasien) - Faktor pencetus: terjatuh dari sepeda motor dan tidak menggunakan helm - Faktor pemberat: (tanyakan pasien) C. Riwayat Kesehatan Saat Ini Sdr. M (18 thn) dirawat di IRD sebuah RS karena terjatuh dari sepeda motor dan tidak menggunakan helm, pasien mengeluh kepalanya pusing dan perutnya mual D. Riwayat Kesehatan Terdahulu (tanyakan pasien) Riwayat hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, DM, penyakit jantung, anemia, penggunaan obat-obat antikoagulan, aspirin,
vasodilator, obat-obat adiktif, konsumsi alcohol berlebihan E. Riwayat keluarga (tanyakan apakah keluarga ada yang Hipertensi atau DM) F. Pemeriksaan Fisik (dilakukan per sistem B1-B6 dengan fokusnya B3 (otak) dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan pasien) 1. Keadaan Umum: kesadaran: composmentis
22
TTV: (kaji pasien) TB dan BB: (ukur pasien) 2. Kepala dan Leher: - Kepala: adanya cephal hematoma pada parietalis kanan dengan diameter 9 cm, retrograde amanesia (+), mengeluh pusing - Mata: adanya hematoma periorbita D, reaksi pupil terhadap cahaya (+), isokor G. pemeriksaan penunjang: head CT-Scan H. Terapi: - memasang IV Line NaCl 0,9 % life line - Oksigen via nasal canule 3 ltr/menit I. Kesimpulan: Sdr. M mengalami cedera kepala Diagnosis keperawatan 1. Analisa Data Do -cephal hematome pada perietalis kanan dengan diameter cm - muntah aliran darah ke otak menurun 9 gangguan autoregulasi kerusakan sel otak Ds -pusing -mual Cedera otak sekunder Etiologi Peningkatan tekanan intracranial Masalah Resiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak
Oksigen turun
Oedema otak
23
-muntah
-pusing -mual
Mual
stress
Peningkatan katekolamin
Peningkatan lambung
sekresi
asam
Mual
-cephal hematome pada perietalis kanan dengan diameter cm -retrograde amnesia (+) 9
Tekanan intrakranial
Kerusakan memori
Kerusakan jaringan
Kerusakan neurologis
Gangguan memori
24
2. Rencana Asuhan Keperawatan NO 1 Tujuan+KH Intervensi Bedrest dengan Rasional posisi -perubahan tekanan CSS
kepala terlentang atau posisi mungkin merupakan resiko tindakan memerlukan segera -mempertahankan darah serebral meningkatkan aliran medis yang tindakan
KH: tidak ada -Hindari batuk, mengedan -akan keluhan pusing dan muntah dan mual
fluktuasi
-Ciptakan lingkungan yang -meningkatkan istirahat dan nyaman dan tenang mengurangi berlebih -kolaborasi oksigen pemberian -membantu oksigenasi ke otak perubahan stimulasi
1. Agar
klien
dapat
25
pemandangan
dan
mual.
jam mual dan muntah berkurang. KH: -Klien menyatakan mual muntahnya berkurang -Tidak terjadi dan
peningkatan saliva
3.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam klien memori dapat
1.
merangsang memori klien 2. Perubahan sikap dan perilaku yang baik menandakan perbaikan memori 3. Keluarga dapat kondisi pada
sebelum terjadi nya kecelakaan 2. Monitoring perubahan sikap dan perilaku selama terapi berlangsung. 3. Diskusikan klien keluarganya kondisi dengan
memahami
26
27
RINGKASAN
Cedera kepala adalah trauma pada kulit kepala, tengkorak dan otak yang terjadi baik secara langsung ataupun tidak langsung pada kepala yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan kesadaran bahkan dapat menyebabkan kematian. Penyebabnya adalah Deformasi, Trombosis, emboli, pecah pembuluh darah karena aneurisma dan hipertensi berat, trauma lahir, pukulan langsung, rotasi/deselerasi, tabrakan, peluru Jatuh. Cedera kepala dapat dibagi menjadi Cedera vaskuler, cedera tulang, primer, sekunder, CKR (Cedera kepal ringan), CKS (cedera kepala sedang), CKB (Cedra kepala berat), Cedera kepala terbuka, Cedera kepala tertutup, Cedera kepala tumpul, Cedera tembus, Hemoragi subarachnoid, Hematom intracranial, Hematom Intraserebral, dan epidural hematom. Dengan tanda dan gejala pada Trauma kepala ringan yaitu tidak kehilangan kesadaran/ tidak pingsan, sadar/ dapat berinteraksi, mungkin muntah namun hanya sekali, bisa terdapat luka lecet atau robek di kepala. Trauma kepala sedang yaitu tdak sadar < 30 detik, sadar dan berespon terhadap suara, muntah dua kali atau lebih, sakit kepala, kejang singkat satu kali dapat terjadi langsung setelah trauma, bisa mengalami lecet, benjol atau luka robek yang esar di kepala. Dan pada trauma kepala yaitu berat tidak sadar > 30 detik. Cedera kepalapun dapat menyebabkan komplikasi seperti Edema serebral dan herniasi, defisit neurologik dan psikologik, serta infeksi. Sehingga diperlukan diagnosa dan penatalaksanaan yang tepat agar keadaan klien tidak semakin memburuk
28
DAFTAR PUSTAKA Bare, Smeltzer. 2001. Keperawatan medikal bedah. Ed. 8 Vol.3. Jakarta : EGC Berhman dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Jakarta : EGC Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC. Jakarta Dewanto dkk. 2007. Panduan Praktis Diagnosis & Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta : EGC Dewanto, George.,dkk. 2009. Panduan Praktis Diagnosis & Tata Laksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC Elizabeth J, Corwin. 2008. Buku saku patofisiologi. Jakarta : EGC Grace & Borley. 2007. At a Glance Ilmu Bedah. Jakarta : Erlangga Grace, Pierce A., Borley, Neil R. 2006. At a Glance Ilmu Bedah. Edisi Ketiga. Jakarta:Erlangga Kudou, Karin. 2011. Cedera Kepala. http://id.scribd.com/doc/46540780/CEDERA-KEPALA (Diakses pada tanggal 5 November 2012) Muscari, Mary E. 2001. Panduan Belajar keperawatan Pediatrik Ed:3. Jakarta: EGC Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika Muttaqin, Arif. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika Smeltzer, suzanne C. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC. Jakarta Veda. 2008. Trauma Kepala. keluargasehat.com/category/tata-laksana-penyakit/. Diakses tanggal 5 November 2012 Yayasan Pendidikan Setih Setio. Asuhan Keperawatan tentang Cidera Kepala. Akademi Keperawatan Setih Setio Muara Bungo
29
30