Anda di halaman 1dari 12

(Sebuah Syarat Mutlak Menuju Unifikasi Kalender Hijriyah)1

Ahmad Izzuddin2

KESEPAKATAN UNTUK KEBERSAMAAN

A. Catatan Upaya Unifikasi Sampai detik sekarang ini, penentuan awal bulan kamariah di Indonesia belum beranjak dari perbedaan dalam penentuan awal bulan kamariah terutama awal Ramadan, Syawal dan Zulhijjah. Begitu pula yang terjadi di negara-negara yang tergabung dalam MABIMS (Menteri-Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura), walaupun di negara Indonesia lebih mencolok bahkan terkesan lebih nampak seringkali muncul perbedaannya. Bahkan pasca reformasi 1997, di Indonesia nampak makin banyak muncul komunitas muslim yang berbeda dengan penetapan Pemerintah Indonesia.3 Selain di negara Indonesia walau ada komunitas muslim yang berbeda dengan penetapan Pemerintahannya, namun tidak seramai di Indonesia. Walaupun upaya untuk unifikasi atau unifikasi penentuan awal bulan kamariah di Indonesia dan juga di negara MABIMS telah lama dipancangkan. Rekaman sejarah tonggak upaya unifikasi kalender hijriyah di Indonesia memang berkali-kali sudah dilakukan. Sebelum gagasan Wakil Presiden M. Jusuf Kalla pada tahun 2007, Pemerintah dalam hal ini, Ditjen Bimas Islam Direktorat Urusan Agama Islam Kementerian Agama RI pernah membentuk tim kecil yang terdiri dari Prof. Dr. H. Thomas Djamaluddin, MSc (pakar Astronomi), Prof. Dr. H. Susiknan Azhari, M.Ag (pakar wakil dari ormas Muhamadiyah), penulis sendiri (pakar wakil dari ormas Nahdlatul Ulama) dan Drs. H. Muhyiddin, M.Si (pakar wakil dari Pemerintah), namun karena alasan anggaran, berhenti di tahun anggaran itu. Kemudian pada tahun 2007, Wakil Presiden M Jusuf Kalla melakukan pertemuan dengan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi dan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Din Samsuddin untuk melakukan pembicaraan penetapan hari raya Idul Fitri. Kemudian dilanjutkan pertemuan pertama para ahli falak dari ormas NU dan Muhammadiyah yang dilaksanakan di kantor PBNU pada tanggaal 2 Oktober 2007. 4 Dalam pertemuan tersebut menurut wakil Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Susiknan
Disampaikan pada Lokakarya Internasional dan Call for paper oleh Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang di hotel Siliwangi pada tanggal 12-13 Desember 2012. 2 Ketua Umum (ADFI) Asosiasi Dosen Falak Indonesia, Anggota Badan Hisab Rukyat (BHR) Kementerian Agama RI, Anggota (MCW) Moonsighting Committe Worldwide, Dosen Ilmu Falak S1 dan Program Pasca Sarjana IAIN Walisongo Semarang, Sekretaris Prodi Ilmu Falak Fakultas Syariah IAIN Walisongo, Ketua Puskalafalak Fakultas Syariah IAIN Walisongo, Koordinator Diklat Lajnah Falakiyah PBNU dan Pengasuh Pesantren Mahasiswa Daarun Najaah Semarang, HP. 08122828471, email izzuddin_2008@yahoo.com. 3 Sebagaimana kita ketahui bersama dengan publikasi media, kita bisa melihat ada komunitas An-Nadir Gowa Sulawesi Selatan dengan metode rukyat air laut pasang , ada komunitas Thariqah Naksabandi Pasar Baru Padang Sumatera Barat yang juga menggunakan hisab yang berbeda dengan penetapan Pemerintah, dan juga berbeda dengan hisab Muhammadiyah. 4 NU-Muhamaadiyah Bertemu Samakan Penentuan Idul Fitri, data dari NU Online, Jakarta, 1 Oktober 2007
1

Azhari, telah menyepakati tentang pentingnya rumusan Kalender Hijriyah Nasional yang terpisah dengan Kalender Masehi.5 Pertemuan berikutnya pada Kamis, 6 Desember 2007 di gedung Pimpinan Pusat Muhammadiyah Yogyakarta, komentar yang cukup menarik dari wakil Muhammadiyah diutarakan Syamsul Anwar, bahwa sudah saatnya NU dan Muhammadiyah mengalah untuk ummat, sehingga harus ada kesepakatan bersama agar umat tidak lagi bingung akibat keputusan yang dihasilkan, perlu adanya unifikasi kalender hijriyah yang dapat jadi pedoman seluruh umat Islam dunia. PBNU melalui Slamet Hambali, juga mengutarakan bahwa bukan saatnya lagi bagi NU dan Muhammadiyah bertahan pada argumentasinya masing-masing, karena jika masih bertahan pada argumentasi masing-masing maka tidak akan pernah ketemu pada satu jalan.6 Lalu pertemuan selanjutnya direncanakan diadakan di Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, namun sampai sekarang tidak ada kabarnya lagi. Badan Hisab Rukyat (BHR) Kementerian Agama RI juga berkali-kali sudah mengadakan musyawarah nasional atau lokakarya nasional terkait upaya unifikasi kalender hijriyah di Indonesia bahkan pernah membahas perlunya rancangan perundang-undangan hisab rukyat, namun lagi-lagi belum ada tindak lanjutnya sampai sekarang. Di antaranya pada 21 September 2011 juga pernah dibahas mencari kriteria format penentuan awal bulan kamariah di Indonesia, penulis sebagai sekretaris dan Prof. Dr. Susiknan Azhari, M.Ag sebagai ketua tim.7 Namun lagi-lagi juga belum nampak adanya tanda-tanda follow up serius sebagai kelanjutannya dari hasil lokakarya tersebut. Agenda terakhir yang penulis ikuti adalah pada tanggal 18 - 19 Juni 2012, di mana Kementerian Agama RI mengadakan sidang Badan Hisab Rukyat sebagai tindak lanjut Musyawarah Nasional Hisab dan Rukyat yang diselenggarakan oleh Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama RI bertempat di hotel Millenium Jakarta, pada hari Senin - Selasa tanggal 18 - 19 Juni 2012 M / 28 - 29 Rajab 1433 H, yang
5 Komentar Susiknan Azhari saat dihubungi Muhammadiyah.or.id, Selasa, 2 Oktober 2007. Memang benar belum ada kesepakatan untuk penetapan 1 Syawal 1428 H yang sangat mungkin terjadi perbedaan antara Jumat 12 Oktober dan Sabtu, 13 Oktober 2007, waktu penulis juga menjadi salah satu wakil dari ahli Falak PBNU dalam pertemuan di PBNU, 2 Oktober 2007. 6 Data dari Macchendra Setyo Atmaja, Muhammadiyah.or.id, Kamis, 6 Desember 2007. 7 Dengan hasil lokakarya sebagai berikut : Pertama, Penetapan awal bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijah dilakukan dalam sidang isbat yang dipimpin oleh Menteri Agama RI. Kedua, Memantapkan implementasi keputusan USSU 1998 dengan perubahan : a). Kriteria yang digunakan dalam penyusunan Takwim Islam Indonesia adalah posisi hilal menurut hisab hakiki bitahkik memenuhi kriteria imkanurukyat. b), Khusus untuk penetapan awal bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijjah, kriteria yang digunakan hisab posisi hilal yang memenuhi kriteria imkanurukyat yang didukung bukti emperis terlihatnya hilal. c). Kriteria imkanurukyat dimaksud adalah 2 plus 3 atau 2 plus 8 yaitu tinggi hilal minimal 2 derajat, jarak dari matahari minimal 3 derajat atau umur bulan minimal 8 jam. d). Istilah-istilah teknis dalam Takwim Islam Indonesia adalah sebagaimana terlampir. Ketiga, Untuk mewujudkan Takwim Islam Indonesia, perlu langkah-langkah konkrit sebagai berikut : a) membentuk tim kerja unifikasi Takwim Islam Indonesia. b). melakukan kajian berbagai literatur yang berkembang dengan melibatkan para ahli yang terkait. c). melakukan kajian obsevasi hilal secara kontinu. d). membuat naskah akademik dengan pendekatan interdisipliner. e). melaksanakan Muktamar Takwim Islam Indonesia.

dihadiri oleh Majelis Ulama, anggota Badan Hisab Rukyat, perwakilan pemerintah (Kementerian Agama), Mahkamah Agung, Planetarium, Perguruan Tinggi dan perwakilan ormas Islam. Ketepatan penulis sendiri sebagai ketua tim perumus dan Ismail Fahmi sebagai sekretaris.8 Jika dilihat dari hasil rumusannya cukup nampak ada kejelasan target waktu yakni sebelum 2015, sehingga kiranya ada harapan follow up konkritnya. Secara regional pada tanggal 27-29 Juni 2012 di Denpasar Bali Indonesia, diadakan Musyawarah Penyelarasan Rukyat dan Taqwim Islam MABIMS. Dengan hasil rumusan Musyawarah/ Mesyuarat bersetuju untuk membawa hasil-hasil dibawah ini ke Mesyuarat SOM MABIMS di Singapura pada bulan September 2014 : Pertama, Musyawarah/Mesyuarat bersetuju penyelenggaraan Musyawarah/Mesyuarat Penyelarasan Rukyat dan Taqwim Islam MABIMS tahun 2014 akan diselenggarakan oleh Singapura; Kedua, Musyawarah/Mesyuarat bersetuju untuk melakukan kajian ulang atas kriteria MABIMS dalam penetapan awal bulan dengan mempertimbangkan tidak hanya berdasarkan aspek scientific tet api juga mempertimbangkan aspek syari, sosiologis dan psikologis; Ketiga, Musyawarah/Mesyuarat bersetuju membentuk tim kecil untuk melakukan kajian ulang atas kriteria MABIMS tentang penetapan awal bulan Hijriah dengan melibatkan intansi-instansi yang berwenang/berkuasa di negara masing-masing beserta para ulama; Keempat, Musyawarah/Mesyuarat bersetuju untuk menyelenggarakan suatu seminar yang dihadiri oleh ahli astronomi dan ilmu falak untuk : a). mengkaji ulang kriteria dan model kalender/takwim MABIMS tentang penetapan awal bulan hijriyah yang berlaku secara internasional maupun regional; b) mengkaji hukum syari tentang image hasil cerapan anak bulan /rukyatul hilal yang hanya tampak melalui media computer; c) Seminar akan diselenggarakan oleh Malaysia atau Indonesia pada tahun 2013. Kelima, Musyawarah/Mesyuarat bersetuju untuk memperkuat laman web/website hisab rukyat yang akan di kelola oleh Singapura ; Keenam, Musyawarah/Mesyuarat bersetuju untuk melakukan training dan observasi secara bersama-sama dengan negara anggota MABIMS di Brunei Darussalam.9

menghasilkan rumusan sebagai berikut : Pertama, Sepakat memposisikan Pemerintah cq Menteri Agama RI sebagai ulil amri yang memegang otoritas penetapan awal bulan qamariyah dalam takwim (kalender) standar Indonesia. Kedua, Perlu dilakukan upaya maksimal untuk mewujudkan kriteria penetapan awal bulan qamariyah dalam takwim (kalender) standar Indonesia yang otoritatif secara syari maupun ilmiah. Ketiga, Untuk merumuskan kriteria penetapan awal bulan qamariyah dalam takwim (kalender) standar Indonesia, diperlukan langkah-langkah yang terencana dan berkelanjutan dengan target waktu paling lambat 2015, sebagai berikut : a). Optimalisasi peran Badan Hisab Rukyat dalam melakukan kajian dan penelitian untuk merumuskan kriteria penetapan awal bulan qamariyah dalam takwim (kalender) standar Indonesia yang otoritatif. b). Memfasilitasi komunikasi intensif antar pimpinan ormas Islam dalam menyatukan pandangan tentang posisi Pemerintah cq Menteri Agama RI sebagai ulil amri yang memegang otoritas penetapan awal bulan qamariyah dalam takwim (kalender) standar Indonesia. c). Memfasilitasi pimpinan ormas Islam tingkat pusat untuk membahas kriteria penetapan awal bulan qamariyah dalam takwim (kalender) standar Indonesia yang otoritatif. d). Mengadakan Muktamar Nasional takwim standar Indonesia. Keempat, Sebelum terwujudnya kriteria yang baru, digunakan kriteria yang selama ini berlaku. 9 Ringkasan rumusan hasil Musyawarah Penyelarasan Rukyat dan Taqwim Islam MABIMS, di Bali Indonesia, 27 29 Juni 2012. Ketepatan penulis juga menjadi salah satu delegasi Indonesia.

8Dengan

B. Menelisik Persoalan Hisab Rukyat Secara fungsional praktis10, eksistensi ilmu falak memang sangat berperan membantu pada kajian ruang dan waktu untuk pelaksanaan ibadah umat Islam. Di mana dalam ajaran agama Islam memang ada ibadah yang dibatasi ruang dan waktu (al-ibadah al-muwaqqat)11 dan ada juga ibadah yang tidak dibatasi ruang dan waktu (alibadat ghair al-muwaqqat).12 Ibadah yang dibatasi ruang dan waktu (al-ibadat almuwaqqat) inilah yang secara fungsional praktis memang membutuhkan ilmu falak bahkan sampai pada ranah keabsahan pelaksanaan ibadah tersebut. Sebut saja, pelaksanaan ibadah shalat, tidaklah bisa dikatakan absah jika belum masuk waktu shalat, tapi kita telah melaksanakan ibadah shalat tersebut. Begitu pula ibadah puasa Ramadan, tidak juga bisa katakan absah puasa Ramadan jika belum masuk tanggal 1 Ramadan, tapi kita telah melaksanakan ibadah puasa. Begitu pula tentang ibadah wukuf di Arafah, juga tidak absah jika dilaksanakan tidak pada mulai pukul 12 siang waktu setempat Arafah dan atau tidak di daerah padang Arafah walaupun hanya 1 meter di luar padang Arafah, dan lain sebagainya dari ibadah-ibadah muwaqqat. Oleh karena itu menurut penulis, keberadaan ibadah-ibadah yang dibatasi ruang dan waktu (al-ibadah al-muwaqqat) mestinya perlu kajian fiqh ibadah yang berdimensi scientific.13 Artinya ibadah-ibadah tersebut dalam kajian fiqhnya perlu mempertimbangkan kebenaran scientific. Di mana kebenaran scientific yang diperoleh dengan aplikasi ilmu falak akan lebih memantapkan pelaksanaan ibadah.14 Sehingga menurut penulis, eksistensi ilmu falak dalam kategorisasi al-muktabarat dan ghair almuktabarat-nya, tentunya yang pertimbangan bukan merujuk pada kitab atau buku yang tua (al-qadim), tapi merujuk pada buku atau kitab yang kontemporer (al-jadid). Oleh karena itu kitab atau buku yang kontemporer (al-jadid) lebih muktabarah dibanding dengan kitab atau buku yang tua/lama (al-qadim), hal ini karena ilmu falak adalah kajian ilmu kealaman, sebagaimana pengakuan Muhammad Manshur al-Batawy dalam peringatannya bahwa data-data dalam kitabnya dalam waktu yang lama maka akan mengalami perubahan sebagaimana al-alam mutaghayyir wa kullu mutaghayyir hadis.15 Dalam ibadah yang butuh penentuan waktu dan ruang (dalam arti arah) dapat didekati dengan dua pendekatan yakni pendekatan teoritis (hisab) dan
Dalam kajian fungsional praktis, ilmu falak dalam kajiannya memang berkisar pada kajian posisi bumi bulan dan matahari. Walaupun sebagaimana dalam al-Khulasat al-Wafiyah karya Zubaer Umar Al-Jaelany, tidak hanya sebatas pada kajian bumi bulan dan matahari, namun juga kajian benda langit lainnya, begitu pula dalam kitab ilm al-falak karya Yahya Syami. 11 Kalau ditelusuri al-ibadat al- muwaqqat hampir semua dalam kajian ilmu falak, sebut saja hisab awal waktu shalat, hisab awal bulan kamariah, hisab awal bulan syamsiah, hisab gerhana, hisab arah kiblat dan waktu pelaksanaan wukuf di padang Arafah. 12 Al-ibadat ghair al-muwaqqat seperti ibadah shadakah, infak, shalat muthlak dan lain sebagainya. 13 Hal ini dalam pemahaman penulis bahwa fiqh ibadah dapat dikatagorikan pada ibadah yang ansich sufistic dan ibadah yang berdemensi scientific. 14 Hal ini kiranya dapat difahami dari aplikasi al-qaidah al-fiqhiyah : al-Ijtihad la yanqudu bi alijtihad yang mencontohkan diperbolehkan ibadah shalat menghadap arah kiblat berpindah arah setelah mengetahui arah kiblat sebenarnya. Baca Abdul Hamid Hakim, Mabadi Awwaliyyah, Jakarta : Maktabah Saadiyah Putra, t.th, h. 37. 15 Baca kitab Sullam al-Nayyirain karya Muhammad Manshur al-Batawy.
10

pendekatan observasi (rukyat).16 Walaupun dengan pendekatan yang berbeda, seharusnya mendapatkan hasil yang sama, karena yang dihisab (pendekatan teoritis) dan yang diobservasi (pendekatan observasi) adalah sama. Seperti penentuan awal bulan kamariyah yang dasarnya adalah eksistensi hilal, maka seharusnya antara hisab dan rukyat menemukan hasil yang sama. Namun realitanya seringkali yang dihasilkan dari pendekatan hisab dan pendekatan obervasi adalah berbeda.17 Mengapa demikian, karena persoalan adanya perbedaan kriteria yang tetapkan, belum adanya kesepakatan pendefinisian hilal18 dan belum adanya kesepakatan posisi atau bagian hilal yang dihisab.19 Di samping dalam pendekatan hisab sendiri juga masih banyak persoalanpersoalan yang sebenarnya harus disepakati bersama. Bagaimana tidak, jika dalam data perhitungan dari berbagai kitab dan dari berbagai sistem ternyata didapatkan hasil data hisab yang berbeda. Sehingga inilah yang menunjukkan bahwa keberadaan kebenaran hisab masih sebatas hepositis verifikatif. Artinya kebenaran hisab masih diperlukan adanya pembuktian melalui verifikasi yakni melalui obervasi (rukyat). Hal ini wajar mengingat bahwa dalam ilmu falak yang dihisab adalah benda yang tidak statis (diam) tapi benda yang bergerak (dinamis) secara astronomis. Oleh karena itu, dengan merujuk pada asumsi keberadaan benda yang dihisab yakni matahari bulan dalam pertimbangan posisi dari bumi, penulis memilah sistem hisab, dalam katagori sistem hisab aritmatic dan sistem hisab astronomis.20 Di namakan sistem hisab aritmatic, karena memperhitungkan matahari bulan bumi dalam posisi pergerakan statis (tetap) atau waktu rata-rata. Hal ini sebagaimana yang ada dalam perhitungan (hisab) sistem jawa aboge21, sistem jawa asapon22, sistem yang
Dari persoalan praktis yang dalam kajian ilmu falak, persoalan penentuan awal bulan kamariah adalah persoalan yang masih selalu bermasalah menimbulkan perbedaan antara pendekatan hisab dan pendekatan rukyat di masyarakat. Sehingga dikenal persoalan klasik namun nan aktual. 17 Hal ini yang membuat penulis menjadi gerang dengan selalu berbedanya antara pendekatan hisab dan pendekatan rukyat, yang kemudian penulis terilhami menulis sebuah artikel di media cetak, dengan judul Andai Hilal Bisa Ngomong, baca Republika, 17 September 2009. 18 Dalam bahasa Agus Mustofa dalam Khazanah Ramadan Jawa Pos, 23 Juli 2012, mengatakan bahwa ujung pangkal perbedaan penentuan awal Ramadan, Syawal dan Zulhijjah adalah perbedaan pendefenisian hilal yakni ada hilal secara tradisi dan hilal secara subtansi. Catatan kritis Agus Mustopa memang tidak semuanya benar, namun untuk masalah pendefinisian hilal ini kiranya layak untuk menjadi catatan besar bagi pakar ilmu falak maupun astronomi. Di antara catatan kritis Agus Mustopa yang perlu ditanggapi adalah mengenai konsep Waktu Shalat, lihat Jam saja, baca Jawa Pos, 29 Juli 2012 19 Yang dihitung adalah piringan atas hilal atau piringan bawah hilal, juga belum ada kesepakatan. 20 Dalam istilah yang selama ini dikenal dengan sistem hisab urfi dan sistem hisab hakiki. Istilah hisab hakiki dan pengelompokannya dalam hisab hakiki taqribi, hakiki tahkiki dan hakiki kontemporer adalah merujuk pada hasil seminar sehari Hisab Rukyat pada tanggal 27 April 1992 di Tugu Bogor. Baca Ahmad Izzuddin, Fiqh Hisab Rukyat, Jakarta : Erlangga, 2007, h. 57 bandingkan dengan Muhammad Nur, Pedoman Perhitungan awal Bulan Qamariyah, Jakarta : Depag RI, 1983, hal. 7. 21 Jumlah hari dari bulan puasa menurut sistem jawa Aboge selalu genap 30 hari, tidak pernah 29 hari seperti pada cara perhitungan astronomis. Adapun istilah Aboge dapat dirinci bahwa a berasal dari alip, salah satu dari delapan tahun siklus windu; bo mengacu pada rebo (hari rabu); dan ge berasal dari wage, salah satu dari hari pasaran yang lima. Ini berarti bahwa tahun alip selalu dimulai
16

dipakai thariqah naksabandi Pasar Baru Padang Sumatera Barat.23 Sedangkan sistem hisab astronomis atau sistem hisab hakiki adalah sistem hisab yang didasarkan pada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya. Sistem hisab inilah yang oleh para ulama disepakati yang dapat digunakan untuk pelaksanaan penentuan waktu ibadah secara syari, walaupun secara kenyataan, masih terdapat perbedaan hasil hisabnya. Tabel 1 Contoh rekap data hisab dari berbagai sistem hisab
BULAN Ramadan 1434 SISTEM Sullamun Nayyirain Sullamun Nayyirain Fath R Manan Qawaid Falakiyah Manahijul Hamidiyah Badiatul Mitsal Jean Meeus Jean Meeus Al-Falakiyah Ittifaqu Dzatil Bain Ittifaqu Dzatil Bain Matla as-Sad Ephemeris Ephemeris New Comb New Comb Nurul Anwar Khulashatul Wafiah Almanak Nautika Ahilla RHI Irsyadul Murid Lunar P. ProV1.77 IJTIMA TANGGAL 8/7/2013 8/7/2013 8/7/2013 8/7/2013 8/7/2013 8/7/2013 8/7/2013 8/7/2013 8/7/2013 8/7/2013 8/7/2013 8/7/2013 8/7/2013 8/7/2013 8/7/2013 8/7/2013 8/7/2013 8/7/2013 8/7/2013 8/7/2013 8/7/2013 8/7/2013 8/7/2013 TINGGI HILAL 02 07 01 01 00 00 00 00 00 00 01 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 00 54' 20' 30' 06' 05' 43' 50' 23' 35' 40' 19' 57' 39' 19' 44' 53' 48' 13' 42' 38' 38' 38' 41' 30.00'' 00.00'' 00.00'' 00.00'' 00.00'' 56.09'' 25.00'' 29.00'' 19.00'' 19.02'' 43.70'' 33.00'' 00.00'' 27.43'' 30.00'' 11.89'' 00.00'' 45.00'' 29.39'' 58.00'' 00.00'' 40.21'' 10.00'' AWAL BULAN HARI TANGGAL Selasa Selasa Rabu Rabu Rabu Rabu Rabu Rabu Rabu Rabu Rabu Rabu Rabu Rabu Rabu Rabu Rabu Rabu Rabu Rabu Rabu Rabu Rabu 9/7/2013 9/7/2013 10/7/2013 10/7/2013 10/7/2013 10/7/2013 10/7/2013 10/7/2013 10/7/2013 10/7/2013 10/7/2013 10/7/2013 10/7/2013 10/7/2013 10/7/2013 10/7/2013 10/7/2013 10/7/2013 10/7/2013 10/7/2013 10/7/2013 10/7/2013 10/7/2013

HARI Senin Senin Senin Senin Senin Senin Senin Senin Senin Senin Senin Senin Senin Senin Senin Senin Senin Senin Senin Senin Senin Senin Senin

JAM 12:11:00.00 14:15:00.00 14:59:00.00 14:43:00.00 14:08:00.00 14:16:06.61 14:16:06.00 14:14:00.00 14:16:07.00 14:09:45.00 14:10:00.00 14:16:07.00 14:15:00.00 14:15:54.88 14:14:31.00 14:27:27.54 14:09:00.00 14:15:30.00 14:15:00.00 14:16:06.00 14:16:00.00 14:16:00.00 14:15:00.00

pada hari rabu wage, dengan mengetahui ini maka akan dapat menghitung hari jatuh riyaya (hari lebaran) setiap tahun. Cara yang lebih singkat adalah mengambil hari permulaan tahun (1 sura) dan menggunakan rumus waljiro. wal adalah bulan syawal, ji berarti tanggal siji (satu), dan ro adalah berarti loro (dua), yaitu hari pasarannya. Ini berarti bahwa hari lebaran jatuh pada tanggal 1 syawal dihitung dengan menghitung satu dari hari mingguan dan dua dari hari pasaran pada permulaan tahun. Misalnya, kalau permulaan tahun itu ehe, dan tanggal 1 sura pada hari ngahad pon, maka hari lebaran akan jatuh pada hari ngahad wage. Baca makalah Ahmad Izzuddin, Aneka Ragam Hisab Rukyat di Indonesia, disampaikan pada Orientasi Hisab Rukyat PTAI se-Indonesia pada tanggal 12 April 2011 di Bogor Jawa Barat. 22 Sistem Jawa Asapon (tahun alip mulai pada hari Selasa Pon) yang sampai sekarang dipegangi mayoritas umat Islam Jawa (Kejawen) terutama di kalangan lingkungan kraton Yogyakarta. Baca Tjokorda Rai Sudharta, I Gusti Oka Hermawan, W. Winda Winaban, Kalender 301 Tahun, Jakarta : Balai Pustaka, 1984, h.22. 23 Thariqah Naksabandi Pasar Baru Padang Sumatera Barat mendasarkan perhitungan yang mereka gunakan yaitu umur bulan Ramadhan adalah 30 hari tetap setiap tahun, umur bulan dalam setahun dimulai : Ramadhan (30hari), Syawal (29hari), Zulkadah (30hari), Dzulhij ah (29hari), Muharam (30hari), Safar (29hari), Rabiul Awal (30hari), Rabiul Akhir (29hari), Jumadil Awal (30hari), Jumadil Akhir (29hari), Rajab (30hari), Syaban (29hari). Baca Ahmad Izzuddin, Loc. cit.

Astroinfo Mawaaqit Falakiyah Najmi Tsamratul Fikr E.W. Brown

Senin Senin Senin Senin

8/7/2013 8/7/2013 8/7/2013 8/7/2013 8/7/2013

14:16:00.00 14:14:36.00 14:15:32.00 14:16:00.00 14:14:05.00

00 00 00 00 00

45' 25' 42' 42' 16'

00.00'' 48.00'' 58.00'' 51.52'' 01.00''

Rabu Rabu Rabu Rabu

10/7/2013 10/7/2013 10/7/2013 10/7/2013

Sebagaiamana dalam hisab, dalam observasi (rukyat) juga banyak persoalan pelik, di antaranya konsistensi visibilitas hilal, masih terdapat kontroversi observasi hilal antara yang berhasil dan tidak berhasil dalam suatu lokasi yang sama atau lokasi pengamat yang berbeda. Hasil observasi hilal dari berbagai lokasi di bumi diharapkan konsisten. Belum ada cara efektif untuk memastikan hasil observasi hilal yang tidak mengandung kekeliruan. Walaupun upaya teknologi dengan menggunakan rekaman observasi hilal telah dilakukan namun upaya teknologi belum memperlihatkan tandatanda keberhasilannya, karena tingkat kesulitan di lapangan dan ekonomisasi peralatan yang diperlukan. Walaupun ada juga yang berhasil melakukan rekaman, sebagaimana penulis sendiri lakukan pada rukyatul hilal pada penentuan 1 Syawal 1430 (2009) yang dilaksanakan di Menara Al-Husna Masjid Agung Jawa Tengah pada hari Sabtu, 19 September 2009 bersama Hendro Setyanto dan Dani Hardi Wijaya, peneliti Boscha Bandung.24 Penolakan hasil observasi hilal yang berhasil namun kontradiksi dengan teori dan pengalaman rukyatul hilal lainnya adalah sesuatu persoalan lagi yang tidak mudah diselesaikan. Observasi hilal tetap harus mengindahkan aspek lokal, posisi suatu tempat di permukaan bumi. Berpijak pada persoalan ini, penulis merokemendasikan dari badan terkait (baca : Badan Hisab Rukyat (BHR) untuk di Indonesia) sebaiknya memberikan sertifikasi kelayakan tempat rukyat, yang berdasarkan pada kajian yang komprehensip dan ilmiah kontemporer.25 Sehingga jika ada persoalan, di suatu tempat rukyat ada seseorang ada yang menyatakan melihat hilal namun secara ilmiah tidak mungkin bisa dilihat, dapat ditolak dengan dasar kajian ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.26 Pelatihan secara astronomi tentang pengamatan hilal melalui mata bugil memerlukan partisipasi banyak pihak agar kekeliruan demi kekeliruan bisa dikurangi dan ditiadakan. Observasi hilal yang tidak berkaitan dengan penentuan awal bulan Ramadan, Syawal dan Zulhijjah sebaiknya secara konsisten dilakukan selain untuk pengetahuan juga untuk konsistensi kalender hijriyah.27

Merupakan salah satu keberhasilan melihat hilal yang dipakai dasar keputusan Menteri Agama RI dalam penetapan tanggal 1 Syawal 1430 H. 25 Perlu adanya sertifikasi tempat rukyat dengan kajian ilmiah dalam perspektif multidisipliner. Dengan sertifikasi tempat rukyat, akan ada data kajian kemungkinan bisa dilihat atau tidaknya hilal di suatu tempat rukyat dengan pertimbangan posisi titik koordinat tempat rukyat, cuaca dan posisi hilalnya pada saat akhir bulan tersebut.. 26 Sehingga terkait seperti kasus tempat rukyat Cakung Jakarta Timur, apakah layak menjadi tempat rukyat ataukah tidak, sudah bisa diatasi secara ilmiah. 27 Hal sebagaimana yang dilakukan oleh Lajnah Falakiyah PBNU dengan mengisntruksikan kepada para perukyat NU di seluruh Indonesia, setelah pelatihan rukyat berkwalitas Masjid Agung Jawa Tengah tahun 2006.
24

Oleh karena itu, selain ahli rukyat harus mengupayakan hasil rukyat yang tidak mengandung kekeliruan, karena hal ini akan berdampak pada kehidupan dalam masyarakat luas, maka tantangan para fuqaha untuk dapat menyepakati penggunaan kriteria imkanurrukyat visibilitas hilal sebagai acuan pergantian awal bulan hijriyah.28 Data pengamatan atau empiris tentang hilal yang keliru atau tidak lengkap dapat merambat pada kekeliruan hasil analisis yang disandarkan oleh data empiris tersebut. Kehati-hatian (ihtiyath) dalam menilai hasil pengamatan empirik dengan mata bugil tanpa rekaman memang tidak mudah dan pada akhirnya apabila dipaksakan dalam menggunakan data empirik tersebut hanya menyandarkan pada kepercayaan dan reputasi profesionalisme seseorang pengamat hilal. Schaefer, Ahmad dan Dogget mengkaji ulang beberapa hasil pengamatan hilal abad 19 dan 20 melalui data tanggal pencatatan keberhasilan pengamatan hilal termuda dan kondisi cuaca dan lokasi pengamat.29 Pengkajian tersebut berkesimpulan bahwa beberapa catatan data pengamatan tersebut tidak dapat dipercaya karena kontradiksi secara teoritis dan tidak konsisten dengan hasil empirik pengamatan hilal lainnya. Pengamatan ulang hilal yang bersifat independen, tanpa melibatkan hasil pengamatan hilal yang terdahulu juga sangat diperlukan. Cara ini menempati peran untuk menguji konsistensi melalui pendekatan secara terpisah. Agar pengambilan kriteria visibilitas hilal dapat dilakukan dengan baik. Unifikasi kalender hijriyah sedang berjalan, sosok kalender hijriyah bergantung pada kesepakatan fuqaha dalam menggunakan hilal sebagai pergantian bulan hijriyah. Ahli rukyat dapat saling melengkapi pengetahuan tentang visibilitas hilal dengan ahli hisab maupun astronom

Imkanurrukyat dengan kriteria irtifa` minimal 2 derajat. Kriteria ini dipilih/dapat diterima oleh Nahdaltul Ulama (NU menggunakan hisab sebagai alat bantu). Kriteria ini juga dipakai pemerintah Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) dengan tambahan kriteria : (1) umur Hilal minimal 8 jam, dan (2) sudut elongasi minimal 3 derajat. Imkanurrukyat dengan kriteria (1) irtifa` minimal 5 derajat, (2) sudut elongasi minimal 8 derajat. Kriteria ini ditetapkan sebagai kesepakatan Istambul oleh beberapa ahli hisab pada saat terjadinya konferensi kalender Islam di Turki pada tahun 1978. Imkanurrukyat dengan kriteria sudut elongasi minimal 5 derajat, kriteria ini diusulkan oleh Derek McNally pada tahun 1983. Imkanurrukyat dengan kriteria sudut elongasi minimal 6.4 derajat ditambah kriteria irtifa` minimal 4 derajat. Kriteria ini diusulkan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Bandung, kriteria sudut elongasi minimal 6.4 derajat merupakan kriteria yang lebih dahulu diusulkan Odeh/Muhammad Syaukat Audah. Ada juga imkanurrukyat dengan kriteria sudut elongasi minimal 7 derajat dan umur Hilal minimal 12 jam. Kriteria ini diusulkan oleh Andre Danjon, direktur Observatorium Starsbourg dari Prancis, pada tahun 1936, kriteria ini dikenal pula dengan istilah Limit Danjon, kriteria ini juga diterima oleh Bradley E. Schaefer dari USA pada tahun 1991. Dan juga imkanurrukyat dengan kriteria sudut elongasi minimal 7.5 derajat. Kriteria ini diusulkan oleh Louay F. Fatoohi, F. Richard Stephenson & Shetha S. AlDargazelli pada tahun 1998, kriteria ini dikenal kriteria Fatoohi. Dan masih ada beberapa macam kriteria yang dipakai pada metode hisab imkanurrukyat. Dalam prakteknya, kriteria-kriteria imkanurrukyat tersebut dapat dipadukan dengan kriteria lain dalam menentukan hilal bulan Qamariyah atau dalam membuat kalender Hijriyah, misalnya ditambah kriteria pembagian dunia menjadi beberapa zona dengan menerapkan garis tanggal Hijriyah atau garis tanggal Qamariyah atau Khat at-Tarikh al-Qamari atau Lunar Date atau International Lunar Date Lines (ILDL) 29 Republika,7 Juni 2000, Unifikasi Kalender Islam Tantangan Dunia Astronomi, Fuqaha dan Ahli Rukyat, Moedji Raharto, Staf Akademik UPT Observatorium Bosscha Institut Teknologi Bandung.
28

mengingat bahwa hasil visibilitas hilal menentukan masalah halal dan haram serta persatuan umat, perlu ada ikhtiar yang lebih serius mengenai rukyat. Penetapan awal bulan kamariyah juga terkait dengan masalah mathla. mathla artinya tempat terbit, dalam hal ini adalah tempat sebagai perhitungan menculnya hilal untuk menetapkan awal bulan-bulan hijriyah terutama Ramadan, Syawal dan Zulihijjah. Beberapa pendapat yang muncul menyatakan bahwa awal bulan ditetapkan berdasarkan mathla lokal atau mathla Internasional. Beberapa pendapat menyebutkan bahwa awal bulan kamariyah seharusnya ditetapkan dengan mathla Internasional, di mana hasil rukyat di suatu tempat berlaku untuk seluruh dunia. 30 Dengan kata lain, ketika suatu negara di dunia ini telah melihat hilal, maka seluruh dunia harus melaksanakan puasa atau berhari raya. pendapat ini muncul karena teknologi yang sudah sangat maju, sehingga dunia bagaikan daun kelor di mana informasi dari negara dapat diketahui di negara lain dalam waktu sekejap. Pendapat ini didasarkan pada argumentasi bahwa khitab dari hadis-hadis hisab rukyat ditujukan pada seluruh umat Islam di dunia, tidak dibedakan oleh perbedaan geografis dan batas-batas daerah kekuasaan. Pendapat ini dikenal dengan rukyat Internasional yang dipedomani oleh Komisi Unifikasi Kalender Hijriyah Internasional, di Indonesia diwakili oleh kelompok hizbut tahrir.31 Namun demikian, ada yang berpendapat bahwa penetapan awal bulan kamariyah harus ditetapkan dengan mathla lokal, yakni hasil rukyat di suatu tempat hanya berlaku bagi suatu daerah tertentu. Seperti dalam lokal wilayah kekuasaan hakim yang mengitsbatkan hasil rukyat tersebut. Pendapat ini terkenal dengan ruyat fi wilyatil hukmi, sedangkan mathlanya disebut dengan mathla fi wilayatil hukmi. Pemerintah Indonesia termasuk dalam kategori yang kedua ini, juga Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Baik Nahdlatul Ulama32 maupun Muhammadiyah33, mathla ini dibuat dasar perhitungan kemunculan hilal di daerah negara Indonesia. Sehingga penetapan awal bulan kamariyah baru dapat ditetapkan apabila salah satu daerah di Indonesia telah dapat melihat hilal atau menurut perhitungan sudah di atas ufuk, sehingga dapat berlaku bagi seluruh Indonesia. C. Kebersamaan dan Kemaslahatan Konsep mathla' wilayatil hukmi yang selama ini diterapkan oleh Pemerintah, Nahdatul Ulama, Muhamadiyah34 dan ormas lainnya di Indonesia dalam perspektif maslahah kiranya sangatlah bermaslahah, apalagi juga mempertimbangkan wilayatil hukmi negara tetangga (wilayah Nusantara) yakni negara-negara Brunei Darussalam Malaysia Singapura. Pertimbangan bagaimana keputusan negara tetangga (dalam hal
Ahmad Izzuddin, Fiqih Hisab Rukyat, Jakarta: Erlangga, 2007, h. 86. Hizbut Tahrir adalah Jamaatul Muslimin Hizbullah yang mengampanyekan daulat Islamiyyat. Wali al-Fatah, Khilafah Ala Minhaj al-Nubuwwah, Jakarta: al-Jamaah, 1990, hal. 83. 32 Rukyatul hilal fi wilayatil hukmi. 33 Wujudul hilal fi wilayatil hukmi. 34 Selama ini semuanya merujuk pada konsep wilayatul hukmi, walaupun konsep wilayatul hukminya masih perlu ada kejelasan batas wilayahnya. Karena menurut penulis jika konsisten dengan konsep wilayatul hukmi, kiranya harus jelas dengan batas wilayah secara kenegaraan di mana menurut konsep Bakosurtanal, wilayah negara Indonesia mencakup darat, laut dan udara.
30 31

ini negara Indonesia), juga dilakukan oleh Badan Hisab Rukyat (BHR) negara-negara seperti negara Brunei Darussalam dan Singapura 35 dalam setiap akan menyampaikan pertimbangan keputusan kepada lembaga otoritas mereka. Saling mempertimbangkan semacam itu, kiranya perlu dilakukan untuk membangun kesepakatan untuk kebersamaan dalam kerangka teori saintific yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Karena secara ruang dan waktu (baca : geografis) dalam satu wilayah Nusantara, penetapan satu waktu ibadah dalam hal ini penetapan dalam 1 hijriyah dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Oleh karena itu, dalam wilayah Nusantara ini, kiranya sangat mungkin dilakukan kesepakatan upaya unifikasi kalender hijriyah Nusantara yakni negara-negara MABIMS36 secara ilmiah. Apalagi dalam ranah kalender hijriyah termasuk penentuan awal Ramadan, Syawal dan Zulhijjah, demensi sosial nya sangat kental. Dengan demikian mengedepankan yang lebih maslahah dengan upaya unifikasi kalender hijriyah yang berbasis pada keilmuan kiranya menjadi sangat penting. Prof. Dr. Thomas Jamaluddin, dalam Astronomi Memberi Solusi Unifikasi Umat, menyatakan unifikasi kalender hijriyah bukanlah sesuatu yang sulit, konsepnya mudah yakni ada kesepakatan. Unifikasi kalender hijriyah dibutuhkan tiga syarat kesepakatan : (1) ada otoritas tunggal yang menjaga sistem kalender yang disepakati37, (2) ada kriteria yang disepakati38, dan (3) ada batas wilayah yang jelas yang disepakati. Namun demikian, yang perlu dibangun terlebih dahulu adalah kesepakatan untuk kebersamaan39, karena tanpa dimulai dengan kesepakatan untuk kebersamaan,
Hal ini sebagaimana disampaikan Dr. Firdaus Yahya, delegasi Singapura, dan Dr. Haji Julaihi bin Haji Lamat, delegasi Brunei Darussalam, pada Musyawarah Penyelarasan Rukyah dan Raqwim Islam MABIMS di Bali, 28 Juni 2012 36 MABIMS adalah komite ini lahir berawal dari pertemuan tahunan tidak resmi MenteriMenteri Agama negara Brunei, Indonesia, Malaysia dan Singapura sejak 1991. 37 Hampir dalam lokakarya atau munas atau rapat badan hisab rukyat, sebenarnya selalu disepakati dengan tertulis dalam rumusan lokakarya dan lain sebagainya : "sepakat memposisikan Pemerintah cq Menteri Agama RI sebagai ulil amri yang memegang otoritas penetapan awal bulan qamariyah dalam takwim (kalender) standar Indonesia", baca lengkap di rumusan hasil sidang badan hisab rukyat Kementerian Agama RI, 19 Juni 2012 38 Hasil musyawarah ulama, ahli hisab dan rukyat dan ormas Islam tentang kriteria imkanurRukyat yang dilaksanakan pada tanggal 24-26 Maret 1998 / 25-27 Dulqadah 1418 di hotel USSU, Cisarua Bogor Jawa Barat : 1). Penentuan awal bulan kamariah didasarkan pada sistem hisab hakiki tahkiki dan atau rukyat .2). Penentuan awal bulan kamariah yang terkait dengan pelaksanaan ibadah mahdhah yaitu awal Ramadan, Syawal dan awal Zulhijjah ditetapkan dengan memperhitungkan hisab hakiki tahkiki dan rukyat. 3). Kesaksian Rukyat dapat diterima apabila ketinggian hilal 2 derajat dan jarak ijtima ke ghurub matahari minimal 8 jam. 4). Kesaksian Rukyat hilal dapat diterima apabila ketinggian hilal kurang dari dua derajat maka awal bulan ditetapkan berdasarkan istikmal. 5). Apabila ketinggian hilal 2 derajat atau lebih, awal bulan dapat ditetapkan. 6). Kriteria Imkanurrukyat tersebut di atas akan dilakukan penelitian lebih lanjut. 7). Menghimbau kepada seluruh pimpinan organisasi kemasyarakatan Islam mensosialisasikan keputusan ini. 8) Dalam melaksanakan isbat, pemerintah mendengarkan pendapat-pendapat dari organisasi kemasyarakatan Islam dan para ahli. 39 Menurut penulis, upaya membangun kesepakatan kebersamaan bulat penuh kiranya bukan pekerjaan mudah, namun jikalau ada mayoritas aliran atau golongan yang sepakat, lalu dibangun kesepakatan untuk membangun kesepakatan tehnis upaya unifikasi kiranya tidaklah salah. Dengan catatan tetap membangun toleransi terhadap golongan atau aliran di luar mayoritas. Namun demikian demi membangun suasana ukhuwwah islamiyah, kiranya belajar pada konsep fiqh bahwa jikalau pendapat minoritas berbeda dengan pendapat mayoritas, maka pendapat tidak perlu ifta atau publikasi
35

10

kesepakatan-kesepakatan selanjutnya yang bersifat tehnis ilmiah tiada gunanya. Kesepakatan tehnis unifikasi kalender hijriyah baik secara nasioanal maupun regional (Nusantara baca MABIMS) kiranya perlu bangun kriteria yang berpijak pada kajian ilmiah yang kontekstual secara nasional maupun regional. Oleh karena secara regional, eksistensi MABIMS kiranya perlu mengajak pada lembaga-lembaga riset maupun profesi40 terkait di masing-masing negara-negara MABIMS untuk dapat melakukan penelitian berjejaring secara kontinyu, sehingga dihasilkan kesepakatan kriteria yang dapat disepakati berdasarkan riset tersebut. Oleh karena itu dengan timing yang selaras target secara Nasional (Indonesia) dari Sidang Badan Hisab Rukyat sebagai tindak lanjut Musyawarah Nasional Hisab dan Rukyat yang diselenggarakan oleh Ditjen Bimas Islam Kementerian Agama RI bertempat di hotel Millenium Jakarta, pada hari Senin Selasa tanggal 18-19 Juni 2012 M / 28-29 Rajab 1433 H yakni target paling lambat 2015 41, dan target regional pada saat pertemuan MABIMS di Singapura 2014, kiranya upaya unifikasi kalender hijriyah skala regional Nusantara sangat mungkin terlaksanakan. Dengan catatan, secara nasional (Indonesia), ormas-ormas dan lembaga-lembaga riset dan profesi terkait benar-benar sinergi melakukan kajian ilmiah yang sinergi dan berkelanjutan, dan Pemerintah dalam hal ini Kementerian Agama benar-benar mengfasilitasi baik melalui Badan Hisab Rukyat 42 atau secara
secara terbuka, kiranya suasana suasana ukhuwwah islamiyah menjadi sejuk. Begitu sebaliknya, pendapat mayoritas tidak perlu intervensi pada pendapat minoritas. Memang ibadahnya bersifat pribadi, namun nuansa ibadah sosialnya perlu dibangun suasana yang menyejukkan. 40 Seperti di Indonesia ada akhir tahun 2009, sebuah komunitas ahli falak muncul dengan diawali adanya lokakarya Nasional pengembangan ilmu falak di PTAI dan temu Dosen se Indonesia yang diselenggarakan oleh Prodi Konsentrasi Ilmu Falak jurusan Al-Ahwal Al-Syaksiyah Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang yang bernama ADFI (Asosiasi Dosen Falak Indonesia) pada tanggal 2 Desember 2009 yang mana penulis ditunjuk sebagai ketua umum ADFI untuk periode pertama 2009-2013. Tidak lama setelah itu, muncul satu komunitas ahli falak perempuan (KFPI Komunitas Falak Perempuan Indonesia) yang dipelopori oleh mahasiswi Konsentrasi Ilmu Falak Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang angkatan pertama (2007). Komunitas ini dideklarasikan pada hari Jumat tanggal 18 Desember 2009 dengan periodisasi 2009 -2013 untuk memberdayakan kader-kader falak perempuan40 di Indonesia yang selama ini didominasi oleh laki-laki. Ada juga KPPI (Komunitas Penyatuan Penanggalan Islam) yang digagas oleh komunitas masjid Salman ITB Bandung, di samping ada RHI (Rukyatul Hilal Indonesia) di Yogyakarta, berkembangnya Lajnah Falakiyah di tingkat kota Kabupaten se Indonesia, Muhammadiyah yang ditangani oleh Majlis Tarjih dan Tajdid, Pusat Studi Falak Muhammadiyah bekerjasama dengan Universitas Muhammadiyah dan PP Muhamamdiyah (Majlis Tarjih dan Tajdid), Pusat Studi Astronomi (PSA) Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta, Forum kajian falak Zenith ITB Bandung, HIMASTRON (Himpunan Mahasiswa Astronomi ITB Bandung), komunitas ahli falak amatir Yogyakarta, Jogja Astro Club (JAC) Komunitas astronom amatir dari Yogyakarta, CASA Club Astronomi Santri Assalam PP. Assalam Surakarta, Lembaga Hisab Rukyat Independent Al-MIIQAAT Semarang, Himpunan Astronomi Amatir Jakarta (HAAJ), Lembaga Hisab Rukyat Independen (LHRI) Semarang, Yayasan Al Falakiyah Surabaya, Forum Kajian Falak di Perguruan Tinggi Agama Islam, seperti Puskalafalak Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang, dan masih banyak lagi. 41 Dibatasi paling lambat 2015 dengan catatan, sebelum tahun 2015 masing-masing ormas terutama Nahdaltul Ulama dan Muhamadiyah sudah membawa pokok bahasan ini dalam forum tertinggi dimasing-masing ormas tersebut. 42 Pada tanggal 12 Oktober 1971 (menjelang Ramadhan 1391 H) diadakan musyawarah para ulama untuk mengantisipasi kemungkinan perbedaan tanggal 1 Ramadhan 1391 H. Di samping itu, musyawarah mendesak kepada Menteri Agama untuk mengadakan Lembaga Hisab Rukyat (LHR).

11

langsung kepada ormas dan lembaga terkait. Secara regional Nusantara (MABIMS) juga kajian terkait kriteria benar-benar dilakukan kajian ilmiah secara kontekstual secara jejaring antar lembaga terkait antar negara. Jikalau agenda ini semua berjalan dengan baik, kiranya menanti Muktamar Nasional dengan agenda terwujudnya takwim (kalender) standar Indonesia akan menjadi harapan yang realistis. Begitu pula jika dapat disepakati dalam ranah yang lebih luas lagi regional Nusantara (MABIMS). Namun demikian sebagai kata akhir penulis, bahwa adanya kesepakatan untuk kebersamaan menjadi sebuah syarat mutlak upaya unifikasi kalender hijriyah. Wallahu a'lam bishshowab.

Kemudian tanggal 20 Januari 1972 (menjelang Dzulhijjah 1391 H) diadakan musyawarah yang dihadiri ormas-ormas Islam, Pusroh ABRI, Lembaga Meteorologi dan Geofisika, Planetarium, IAIN, dan unsur Kemenag untuk mengantisipasi kemungkinan perbedaan tanggal 10 Dzulihijjah 1391 H. Di samping itu musyawarah mendesak lagi kepada Menteri Agama untuk mengadakan Lembaga Hisab Rukyat. Walaupun penetapan hari libur telah diserahkan pada Kementerian Agama namun dalam wilayah etis praktis saat ini masih (terkadang) belum seragam, sebagai dampak adanya perbedaan pemahaman antara beberapa pemahaman yang ada dalam wacana hisab rukyat. Memperhatikan fenomena tersebut, nampak bahwa Kementerian Agama berinisiatif untuk mempertemukan perbedaan-perbedaan tersebut. Sehingga dibentuklah Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama dengan tim perumus : Unsur Kementerian Agama: A Wasit Aulawi, H Zaini Ahmad Noeh dan Saaduddin Jambek, dari Lembaga Metereologi dan Geofisika: Susanto, Planetarium dan Santosa Nitisastro (Ichtujanto, 1981 : 23). Berdasarkan Keputusan Menteri Agama no. 77/1972 pada tanggal 16 Agustus 1972, maka terbentuklah Badan Hisab Rukyat Kementerian Agama dengan susunan sebagai ketua Saaduddin Djambek, wakil ketua A. Wasit Aulawi, Sekretaris Djabir Mansur, anggota : Z A Noeh, Susanto, Santoso, Radli Saleh, Junaidi, Muhadji, Penuh Dali dan Syarifudin. Pada tanggal 23 September 1972 personalia BHR dilantik Menteri Agama. Kemudian SK Dirjen Bimas Islam nomor D.I/96/P/1973 pada tanggal 28 Juni 1973 tentang anggota BHR : KH Muchtar (Jakarta), KH Turaichan Adjhuri (Kudus), KRB. Tang Soban (Sukabumi), KH Ali Yafi (Ujung pandang), KH Abdul Jalil (Kudus), KH Wardan (Yogyakarta), Drs. Abdurrahim (Yogyakarta), Ir Basith Wachid (Yogyakarta), Ir Muchlas Hamidi (Yogyakarta), H Azlam M (Yogyakarta), H. Bidran Hadi (Yogyakarta), Drs. Bambang Hidayat (ITB Bandung), Ir Hamran Wachid (ITB Bandung), KH Abdul Aziz (Jakarta), Ali Ghazali (Cianjur), K Banadji Aqil (Jakarta), dan K Zuhdi Usman (Nganjuk).Sampai sekarang, badan tersebut masih ada yang secara ex officio ketua dijabat Direktur Urusan Agama Islam Kemenag Pusat setelah Badan Peradilan Agama bernaung dalam satu atap dengan Mahkamah Agung . Pada dasarnya kehadiran Badan Hisab Rukyat untuk menjaga persatuan dan ukhuwah Islamiyyah khususnya dalam beribadah. Hanya saja dalam dataran realistis praktis dan etika praktis, masih belum terwujud. Hal ini dapat dilihat dengan seringkali terjadinya perbedaan berpuasa Ramadan maupun berhari raya Idul Fitri.

12

Anda mungkin juga menyukai