Anda di halaman 1dari 48

PRESENTASI KASUS HEMOPTISIS dan DYSPNEU et causa TUBERKULOSIS PARU dan PNEUMONIA

Disusun Oleh: Pradipta Suarsyaf (109103000026) Reani Zulfa (109103000043) Salwa (109103000032)

Pembimbing: dr. Alvin Kosasih, Sp.P

KEPANITERAAN KLINIK SMF PULMONOLOGI RSPG CISARUA BOGOR PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013
1

DAFTAR ISI

Bab I. Ilustrasi Kasus............................................................................................................. 1 Bab II. Tinjauan Pustaka........................................................................................................ 2 Bab III. Pembahasan.............................................................................................................. 12 Bab IV. Kesimpulan...............................................................................................................16 Daftar Pustaka........................................................................................................................ 17

BAB I ILUSTRASI KASUS

I.1 Identitas Pasien No.Rekam Medik Nama Usia Jenis kelamin Agama Alamat Pekerjaan Status pernikahan Suku Bangsa : 200110 : Ny. DK : 17 tahun : Perempuan : Islam : Kp. Citeleum Ilir Bogor : Pelar SMA : Sudah menikah : Sunda : Indonesia

I.2 Anamnesis Keluhan utama : Batuk berdahak bercampur darah sejak 3 hari SMRS Riwayat penyakit sekarang : Pasien datang dengan keluhan batuk berdahak disertai darah sejak 3 hari SMRS. Batuk dirasakan semakin memberat dan mengganggu aktivitas. Batuk disertai darah kira-kira 1 gelas. Darah berwarna merah segar bercampur dengan dahak. Buang air besar tidak bercampur darah / menjadi kehitaman. Nafsu makan menurun diikuti berat badan yang terus menurun. Pasien sebenarnya sudah mendapatkan surat rujukan dari RS Leuwiliang untuk segera konsultasi ke spesialis paru. Namun karena melihat pasien masih dalam kondisi baik, pasien dibawa pulang hingga timbul tanda gejala batuk berdarah disertai kejang. Pasien juga mengeluhkan sesak sejak 3 hari SMRS. Sesak semakin berat ketika beraktivitas. Sesak diikuti nyeri dada. Sesak dan nyeri dada semakin berat. Pasien tidak merasakan nyeri menjalar ke pundak kiri dan tangan kiri. 5 jam sebelum dibawa ke IGD RSPG pasien mengalami kejang selama kurang lebih 2 jam. Kejang pasien menurut keluarga berlangsung 5-10 menit kemudian membaik lalu berulang kembali beberapa menit kemudian. Oleh karena batuk berdarah dan kejang ini pasien segera dibawa ke RSPG. Kondisi pasien cenderung membaik selama perjalanan menuju RSPG. Pasien juga didapati mual dan muntah
3

setidaknya 3 kali sejak 3 hari SMRS. Pasien mengeluh nyeri ulu hati. Pasien juga didapati demam sejak 2 hari SMRS. Demam tidak begitu tinggi. Pasien pernah didiagnosa TB paru di RS Leuwiliang. Pasien sudah mengonsumsi obat paru selama 1 bulan kemudian dirawat, stelah itu pasien pulang, tidak ada riwayat putus minum obat ada pasien. Pasien mengaku sering keluar keringat pada malam hari.Pasien tiba di IGD RSPG pada tanggal 12/03/2013 pada pukul 02.00 wib. Menurut keluarga pasien, pasien langsung ditangani oleh dokter jaga dan perawat yang ada. Pasien diberi infus, diberi obat, dan disuntik. Keluarga dan pasien tidak mengetahui obat apa yang diberikan. Pasien saat ini dirawat di rawat inap Teratai dalam kondisi sakit berat. Masih sesak, batuk disertai darah, nyeri ulu hati dan tidak nafsu makan.

Riwayat penyakit dahulu : Pasien belum pernah mengalami penyakit yang sama sebelumnya. Pasien didiagnosis TB paru di RS Leuwiliang. Pasien mengaku sudah diberi obat untuk penyakitnya tersebut. Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, dan alergi obat atau makanan disangkal. Riwayat trauma kepala disangkal.

Riwayat penyakit keluarga : Di keluarga tidak ada yang pernah mengalami penyakit yang sama dengan pasien. Riwayat hipertensi ada pada ibu pasien, pada bapak disangkal. Riwayat diabetes mellitus dan alergi obat/makanan disangkal.

Riwayat Sosial dan Kebiasaan : Di lingkungan tempat tinggal tidak ada sanak saudara dan tetangga yang menderita penyakit yang sama. Lingkungan pasien bersih, namun sinar matahari sedikit yang masuk ke dalam rumah. Namun menurut pasien udara cukup dan tidak pengap. Pasien mengaku tidak pernah merokok dan konsumsi alkohol.

I.3. Pemeriksaan Fisik A. Status generalis a. Keadaan umum b. Kesadaran B. Tanda vital a. Tekanan darah : 120/90 mmHg
4

: Tampak sakit berat : Compos mentis

b. Frekuensi nadi c. Frekuensi napas d. Suhu C. Kulit a. Warna b. Jaringan parut c. Pigmentasi d. Suhu raba e. Lembab / kering f. Turgor g. Ikterus h. Edema D. Kepala E. Mata F. Hidung

: 110 kali / menit : 26 kali / menit : 37,70 celcius

: Tidak pucat , bewarna kuning : Ada : Ada : Hangat : Lembab : Cukup : Tampak ikterik : Tidak ada : Normochepali, rambut hitam tersebar merata. : Konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik +/+ : Deformitas (-), Deviasi septum (-), mukosa hiperemis (-), Pembesaran konka (-/-)

G. Telinga H. Mulut I. Leher

: Liang telinga luas, serumen (+/+) : Tonsil (T1-T1), mukosa hiperemis (-) : Trakea di tengah, pembesaran KGB (-), pembesaran tiroid (-), JVP 5-2 cmH2O

J. Paru Paru depan Inspeksi : Pergerakan dada kanan sama dengan kiri simetris saat statis dan

dinamis, tidak terdapat benjolan, luka, scar dan nodul Palpasi Perkusi : Vokal fremitus kanan sama dengan kiri : Sonor pada kedua lapang paru

Auskultasi : Suara napas vesikuler, rhonki basah kasar pada lapang paru kanan, dan rhonki basah halus pada lapang paru kiri, wheezing pada paru kiri bawah.

Paru belakang Inspeksi : Pergerakan dada kanan sama dengan kiri simetris saat statis dan

dinamis, tidak terdapat benjolan, luka, scar dan nodul Palpasi Perkusi : Vokal fremitus kanan sama dengan kiri : Sonor pada kedua lapang paru
5

Auskultasi : Suara napas vesikuler, rhonki basah kasar pada lapang paru kanan bawah, dan rhonki basah halus pada lapang paru kiri. F. Jantung a. Inspeksi b. Palpasi c. Perkusi : Iktus kordis tampak pada ICS 5 kiri : Iktus kordis teraba pada ICS 5 kiri : - Batas jantung kanan: linea sternalis dekstra ICS IV - Batas jantung kiri d. Auskultasi G. Abdomen a. Inspeksi b. Palpasi : scar (-), luka (-), benjolan (-), massa (-) : Hepar teraba 1 jari dibawah arcus costae, lien tidak teraba. : 1 jari lateral linea midclavikula sinistra ICS V : S I dan II reguler, murmur (-), gallop (-)

Shifting dullness (-) ; Nyeri tekan epigastrik (+) c. Perkusi d. Auskultasi H. Ekstremitas Atas : Akral hangat +/+, Edema -/-, clubbing finger -/-, scar (-), luka (-), : timpani pada seluruh regio abdomen : bising usus (+)

benjolan (-), massa (-), deformitas (-), palmar tampak kuning. Bawah : Akral hangat +/+, Edema -/-, clubbing finger -/-, scar (-), luka (-),

benjolan (-), massa (-), deformitas (-), palmar tampak kuning. Palpasi : pitting oedema (-), CRT < 3 detik

I.4 Pemeriksaan Penunjang A. Pemeriksaan laboratorium Pemeriksaan Hb (gr/dL) Ht (%) Leukosit (ribu/uL) Trombosit (ribu/uL) Eritrosit 12/03/2013 00.28 WIB 7,5 24,3 22.200 12/03/2013 23:48 WIB 7,2 22,7 19,350 13/03/2013 13.50 WIB 8,9 27,6 14/03/13 07.20 WIB 8,6 27,7 Nilai normal 13,2 17,3 33 45 5 10.000

14.600

19400

94.000 3,33

99.000 3,33

70.000 3,79

103.000 3,65

150 - 450.000 4,4 5,9

(juta/uL) LED (mm/jam) VER HER KHER Basofil Eosinofil Neutrofil Limfosit Monosit SGOT (U/l) SGPT (U/l) Ureum darah (mg/dL) Creatinin (mg/dL) HBS Ag GDS (mg/dL) AGD pH PCO2 PO2 HCO3 HCO2 BE Sat 1,4 (-) 94 7,592 23,5 110,1 22,8 22,6 2,4 99 82 0,6 1,4 (-) 70 140 85 73 22,5 30,9 44 17 68,2 21,6 31,7 0 10 80 100 26 34 32 36 0,0 1 13 50 70 20 40 28 0 34 0 40 20 40

-2,5-2,5 95-99% 7,37-7,45 35-45 43-108 21-28

Pemeriksaan Hb (gr/dL) Ht (%) Leukosit (ribu/uL) Trombosit (ribu/uL) Eritrosit (juta/uL) LED (mm/jam) VER HER KHER Basofil Eosinofil Neutrofil Limfosit Monosit SGOT (U/l) SGPT (U/l) Ureum darah (mg/dL) Creatinin (mg/dL) HBS Ag GDS (mg/dL) AGD pH PCO2

15/03/13 11.31 WIB -

15/03/13 22.13 WIB 7,3 24,9 21800

17/03/13 06.34 WIB 9,7 29,5

18/03/13 13.20 WIB -

Nilai normal 13,2 17,3 33 45 5 10.000

12820

104.000

101.000

150 - 450.000 4,4 5,9 0 10

3,13

4,16

96 217

80 100 26 34 32 36 0,0 1 13 50 70 20 40 28 0 34 0 40 20 40

57 7,31 16,6

(-) -

0,6 1,4 (-) 70 140

293

7,37-7,45 35-45
8

PO2 HCO3 HCO2 BE Sat Natrium Kalium Klorida

94,8 8,6

43-108 21-28

-15 96,9 135 3,4 94

-2,5-2,5 95-99% 135-147 3,5-5,5 97-108

B. Pemeriksaan sputum BTA Pemeriksaan sputum BTA 3x tanggal 15vmaret 2013 menunjukkan BTA negatif

C. Pemeriksaan Radiologi Pemeriksaan rontgent thorax Postero Anterior.

Interpretasi hasil foto: kekerasan cukup soft tissue dan tulang dalam batas normal, tidak tampak pelebaran sela iga Dinding toraks tidak tampak massa Kedua Sudut costofrenikus tajam, diaghframa dalam batas normal Pulmo: corakan bronkovaskular kasar, terdapat infiltrat pada daerah hemitoraks kanan bawah CTR >50%

Kesan : TB paru dengan kardiomegali + pneumonia


9

Interpretasi hasil foto: kekerasan cukup soft tissue dan tulang dalam batas normal, tidak tampak pelebaran sela iga Dinding toraks tidak tampak massa Kedua Sudut costofrenikus tajam, diaghframa dalam batas normal Pulmo: corakan bronkovaskular kasar, terdapat konsolidasi infiltrat pada paru daerah hemitoraks kanan bawah trakea letak ditengah CTR >50%

Kesan : TB paru + pneumonia dengan kardiomegali

RESUME Pasien datang dengan keluhan batuk berdahak disertai darah sejak 3 hari SMRS. Banyaknya darah sekitar 1 gelas (100cc). Pasien mengaku nafsu makan menurun, BB juga turun, dan keluar n pada malam hari. Pasien 5 jam sebelum dibawa ke RS mengalami kejang. Pasien sedang dalam pengobatan TB paru selama 2 minggu. Pasien dibawa ke IGD lalu diberi penanganan awal. Dahulu belum pernah mengalami penyakit serupa. Ibu pasien ada riwayat hipertensi. Pencahayaan di rumah kurang. Pada pemerikasaan fisik mata didapati adanya sclera ikterik. Pada pemeriksaan toraks didapati adanya ronkhi pada kedua lapang paru depan dan belakang. Pada pemeriksaan
10

abdomen didapati nyeri tekan epigastrik. Pada pemeriksaan ekstrmitas didapati kuning pada telapak tangan. Pada pemeriksaan Laboratorium terjadi peningkatan enzim hati dimana SGOT-SGPT/96217. Hasil pemeriksaan BTA 3x (3bulan SMRS) negatif. Dari pemeriksaan rontgen toraks ditenukan corakan bronkovaskular kasar disertai dengan adanya konsolidasi Infiltrat pada lapang paru kanan bawah dan Kardiomegali kesan TB paru dan pneumonia.

I.6. Diagnosis - TB Paru lesi luas kasus baru BTA (-) dengan hemoptysis dan dyspneu + pneumonia - DIH dd/ Hepatitis - Sepsis I.8. Pemeriksaan Anjuran a. Pemeriksaan BTA sputum ulang (Sewaktu, pagi, sewaktu) b. Pemeriksaan kultur M. Tuberkulosis dan uji resistensi M. Tuberculosis c. Pemeriksaan mo sputum d. Pemeriksaan darah lengkap serial terutama LED e. Pemeriksaan fungsi hati serial f. USG Abdomen

I.9. Penatalaksanaan A. Non medikamentosa a. Tirah baring b. Diet Tinggi Kalori Tinggi Protein c. Edukasi pasien dan keluarga B. Medikamentosa O2 NRM 14 lpm IVFD RL : D5 = 2 : 1 + asam traneksamat gr / kolf = 20 tpm Vit K 3x1 amp Vit C 3x1 amp Ranitidine 2x1 amp Curcuma 3x1 Ambroxol 3x1 Methiosone 3x1
11

OAT tunda sampai SGOT/SGPT kembali normal Ceftriakson 1x2gr iv

I.10. Anjuran terapi OAT tunda dulu sampai fungsi hati membaik

I.11. Prognosis Ad vitam Ad fungtionam Ad sanationam : Dubia ad malam : Dubia ad malam : Dubia ad malam

12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1.1.HEMOPTISIS 1.1.1. Anatomi paru dan pembuluh darah

Gambar 4.1. anatomi paru dan pembuluh darah 1.1.2. Definisi Hemoptisis adalah istilah yang digunakan untuk menyatakan batuk darah, atau sputum yang berdarah. Sputum dapat bercampur dengan darah atau seluruh cairan yang dikeluarkan paru-paru berupa darah. Setiap proses yang mengakibatkan terganggunya
13

kontinuitas aliran pembuluh darah paru-paru dapat mengakibatkan perdarahan. Batuk darah merupakan suatu gejala yang serius. Batuk darah dapat merupakan manifestasi yang paling dini dari tuberkulosis aktif. Sebab-sebab lain dari hemoptisis adalah karsinoma bronkogenik, infarksi, dan abses paru-paru. Hemoptisis harus dibedakan dengan hematemesis. Hematemesis disebabkan oleh lesi pada saluran cerna, sedangkan hemoptisis disebabkan oleh lesi pada paru atau bronkus/bronkiolus. 1.1.3. Klasifikasi Klasifikasi batu darah didasarkan pada perkiraan jumlah darah yang dibatukkan. 1. Bercak (Streaking) : <15-20 ml/24 jam Yang sering terjadi darah bercampur dengan sutum. Umumnya pada bronkitis. 2. Hemoptisis: 20-600 ml/24 jam Hal ini berarti perdarahan pada pembuluh darh yang lebih besar. Biasanya pada kanker paru, pneumonia, TB, atau emboli paru. 3. Hemoptisis massif : >600 ml/24 jam Dapat pada kanker paru, kavitas pada TB, atau bronkiektasis. 4. Pseudohemoptisis Merupakan batuk darah dari struktur saluran napas bagian atas (di atas laring) atau dari saluran cerna atas atau hal ini dapat berupa perdarahan buatan (factitious). Klasifikasi menurut Pusel : + : batuk dengan perdarahan yang hanya dalam bentuk garis-garis dalam sputum ++ : batuk dengan perdarahan 1 30 ml +++ : batuk dengan perdarahan 30 150 ml ++++ : batuk dengan perdarahan > 150 ml

Positif satu dan dua dikatakan masih ringan, positif tiga hemoptisis sedang, positif empat termasuk di dalam kriteria hemoptisis masif. Perbedaan hemoptoe dengan hematemesis

14

Untuk membedakan antara muntah darah (hematemesis) dan batuk darah (hemoptoe) bila dokter tidak hadir pada waktu pasien batuk darah, maka pada batuk darah (hemoptoe) akan didapatkan tanda-tanda sebagai berikut : Tanda-tanda batuk darah: 1. Didahului batuk keras yang tidak tertahankan. 2. Terdengar adanya gelembung-gelembung udara bercampur darah di dalam saluran napas. 3. Terasa asin / darah dan gatal di tenggorokan. 4. Warna darah yang dibatukkan merah segar bercampur buih, beberapa hari kemudian warna menjadi lebih tua atau kehitaman. 5. pH alkalis. 6. Bisa berlangsung beberapa hari 7. Penyebabnya : kelainan paru

Tanda-tanda muntah darah : 1. Tanpa batuk, tetapi keluar darah waktu muntah. 2. Suara napas tidak ada gangguan. 3. Didahului rasa mual / tidak enak di epigastrium. 4. Darah berwarna merah kehitaman, bergumpal-gumpal bercampur sisa makanan. 5. pH asam. 6. Frekuensi muntah darah tidak sekerap hemoptoe. 7. Penyebabnya : sirosis hati, gastritis.

Differentiating Features of Hemoptysis and Hematemesis Hemoptysis History Absence of nausea and vomiting Lung disease Asphyxia possible Sputum examination Presence of nausea and vomiting Gastric or hepatic disease Asphyxia unusual Hematemesis

15

Hemoptysis Frothy Liquid or clotted appearance Bright red or pink Laboratory Alkaline pH

Hematemesis Rarely frothy Coffee ground appearance Brown to black

Acidic pH

Mixed with macrophages and neutrophils Mixed with food particles

Diagnostic Clues in Hemoptysis: Physical History Clinical clues Anticoagulant use Association with menses Suggested diagnosis* Medication effect, coagulation disorder Catamenial hemoptysis heart failure, left ventricular

Dyspnea on exertion, fatigue, orthopnea, Congestive

paroxysmal nocturnal dyspnea, frothy pink dysfunction, mitral valve stenosis sputum Fever, productive cough Upper respiratory infection, acute sinusitis, acute bronchitis, pneumonia, lung abscess History of breast, colon, or renal cancers Endobronchial metastatic disease of lungs

History of chronic lung disease, recurrent Bronchiectasis, lung abscess lower respiratory track infection, cough with copious purulent sputum HIV, immunosuppression Neoplasia, tuberculosis, Kaposis sarcoma

Nausea, vomiting, melena, alcoholism, Gastritis, gastric or peptic ulcer, esophageal chronic use of nonsteroidal anti- varices

inflammatory drugs

16

Clinical clues Pleuritic chest pain, calf tenderness Tobacco use

Suggested diagnosis* Pulmonary embolism or infarction Acute bronchitis, chronic bronchitis, lung cancer, pneumonia

Travel history

Tuberculosis, parasites (e.g., paragonimiasis, schistosomiasis, amebiasis, leptospirosis),

biologic agents (e.g., plague, tularemia, T2 mycotoxin) Weight loss Emphysema, lung cancer, tuberculosis,

bronchiectasis, lung abscess, HIV

4.1.4. Etiologi Penyebab dari batuk darah (hemoptoe) dapat dibagi atas : 1. Infeksi, terutama tuberkulosis, abses paru, pneumonia, dan kaverne oleh karena jamur dan sebagainya. 2. Kardiovaskuler, stenosis mitralis dan aneurisma aorta. 3. Neoplasma, terutama karsinoma bronkogenik dan poliposis bronkus. 4. Gangguan pada pembekuan darah (sistemik). 5. Benda asing di saluran pernapasan.

Penyebab terpenting dari hemoptisis masif adalah : 1. Tumor : a. Karsinoma. b. Adenoma. c. Metastasis endobronkial dari massa tumor ekstratorakal. 2. Infeksi a. Aspergilloma. b. Bronkhiektasis (terutama pada lobus atas). c. Tuberkulosis paru. 3. Infark Paru 4. Udem paru, terutama disebabkan oleh mitral stenosis
17

5. Perdarahan paru a. Sistemic Lupus Eritematosus b. Goodpastures syndrome. c. Idiopthic pulmonary haemosiderosis. d. Bechets syndrome. 6. Cedera pada dada/trauma a. Kontusio pulmonal. b. Transbronkial biopsi. c. Transtorakal biopsi memakai jarum. 7. Kelainan pembuluh darah a. Malformasi arteriovena. b. Hereditary haemorrhagic teleangiectasis. 8. Bleeding diathesis.

4.1.5. Patofisiologi Hemoptisis Setiap proses yang terjadi pada paru akan mengakibatkan hipervaskularisasi dari cabang-cabang arteri bronkialis yang berperan untuk memberikan nutrisi pada jaringan paru bila terjadi kegagalan arteri pulmonalis dalam melaksanakan fungsinya untuk pertukaran gas. Terdapatnya aneurisma Rasmussen pada kaverna tuberkulosis yang merupakan asal dari perdarahan pada hemoptoe masih diragukan. Teori terjadinya perdarahan akibat pecahnya aneurisma dari Ramussen ini telah lama dianut, akan tetapi beberapa laporan autopsi membuktikan bahwa terdapatnya hipervaskularisasi bronkus yang merupakan percabangan dari arteri bronkialis lebih banyak merupakan asal dari perdarahan pada hemoptoe. (4) Mekanisma terjadinya batuk darah adalah sebagai berikut : 1. Radang mukosa Pada trakeobronkitis akut atau kronis, mukosa yang kaya pembuluh darah menjadi rapuh, sehingga trauma yang ringan sekalipun sudah cukup untuk menimbulkan batuk darah. 2. Infark paru Biasanya disebabkan oleh emboli paru atau invasi mikroorganisme pada pembuluh darah, seperti infeksi coccus, virus, dan infeksi oleh jamur. 3. Pecahnya pembuluh darah vena atau kapiler Distensi pembuluh darah akibat kenaikan tekanan darah intraluminar seperti pada dekompensasi cordis kiri akut dan mitral stenosis.
18

4. Kelainan membran alveolokapiler Akibat adanya reaksi antibodi terhadap membran, seperti pada Goodpastures syndrome. 5. Perdarahan kavitas tuberkulosa Pecahnya pembuluh darah dinding kavitas tuberkulosis yang dikenal dengan aneurisma Rasmussen; pemekaran pembuluh darah ini berasal dari cabang pembuluh darah bronkial. Perdarahan pada bronkiektasis disebabkan pemekaran pembuluh darah cabang bronkial. Diduga hal ini terjadi disebabkan adanya anastomosis pembuluh darah bronkial dan pulmonal. Pecahnya pembuluh darah pulmonal dapat menimbulkan hemoptisis masif. 6. Invasi tumor ganas 7. Cedera dada Akibat benturan dinding dada, maka jaringan paru akan mengalami transudasi ke dalam alveoli dan keadaan ini akan memacu terjadinya batuk darah.

Bila terjadi hemoptisis, maka harus dilakukan penilaian terhadap: Warna darah untuk membedakannya dengan hematemesis. Lamanya perdarahan. Terjadinya mengi (wheezing) untuk menilai besarnya obstruksi. Keadaan umum pasien, tekanan darah, nadi, respirasi dan tingkat kesadaran.

4.1.6. Diagnosis Untuk menegakkan diagnosis, seperti halnya pada penyakit lain perlu dilakukan urutanurutan dari anamnesis yang teliti hingga pemeriksaan fisik maupun penunjang sehingga penanganannya dapat disesuaikan. 1) Anamnesis Untuk mendapatkan riwayat penyakit yang lengkap sebaiknya diusahakan untuk mendapatkan data-data : - Jumlah dan warna darah - Lamanya perdarahan - Batuknya produktif atau tidak - Batuk terjadi sebelum atau sesudah perdarahan - Sakit dada, substernal atau pleuritik
19

- Hubungannya perdarahan dengan : istirahat, gerakan fisik, posisi badan dan batuk - Wheezing - Riwayat penyakit paru atau jantung terdahulu. - Perdarahan di tempat lain serempak dengan batuk darah - Perokok berat dan telah berlangsung lama - Sakit pada tungkai atau adanya pembengkakan serta sakit dada - Hematuria yang disertai dengan batuk darah. Untuk membedakan antara batuk darah dengan muntah darah dapat digunakan petunjuk sebagai berikut : Keadaan 1. Prodromal Hemoptoe Rasa tidak enak Hematemesis di Mual, stomach distress

tenggorokan, ingin batuk 2. Onset Darah dibatukkan, dapat Darah disertai batuk 3. Penampilan darah 4. Warna 5. Isi Berbuih Merah segar dimuntahkan

dapat disertai batuk Tidak berbuih Merah tua

Lekosit, mikroorganisme, Sisa makanan makrofag, hemosiderin

6. Reaksi

Alkalis (pH tinggi)

Asam (pH rendah) Gangguan kelainan hepar lambung,

7. Riwayat Penyakit Menderita kelainan paru Dahulu 8. Anemi 9. Tinja Kadang-kadang Warna tinja normal Guaiac test (-)

Selalu Tinja bisa berwarna

hitam, Guaiac test (-)

2. Pemeriksaan fisik Pada pemeriksaan fisik dicari gejala/tanda lain di luar paru yang dapat mendasari terjadinya batuk darah, antara lain : jari tabuh, bising sistolik dan opening teleangiektasi. snap, pembesaran kelenjar limfe, ulserasi septum nasalis,

3. Pemeriksaan penunjang

20

Foto toraks dalam posisi AP dan lateral hendaklah dibuat pada setiap penderita hemoptisis masif. Gambaran opasitas dapat menunjukkan tempat perdarahannya.

4. Pemeriksaan bronkoskopi Sebaiknya dilakukan sebelum perdarahan berhenti, karena dengan demikian sumber perdarahan dapat diketahui. Adapun indikasi bronkoskopi pada batuk darah adalah : 1. Bila radiologik tidak didapatkan kelainan 2. Batuk darah yang berulang ulang 3. Batuk darah masif : sebagai tindakan terapeutik Tindakan bronkoskopi merupakan sarana untuk menentukan diagnosis, lokasi perdarahan, maupun persiapan operasi, namun waktu yang tepat untuk melakukannya merupakan pendapat yang masih kontroversial, mengingat bahwa selama masa perdarahan, bronkoskopi akan menimbulkan batuk yang lebih impulsif, sehingga dapat memperhebat perdarahan disamping memperburuk fungsi pernapasan. Lavase dengan bronkoskop fiberoptic dapat menilai bronkoskopi merupakan hal yang mutlak untuk menentukan lokasi perdarahan. Dalam mencari sumber perdarahan pada lobus superior, bronkoskop serat optik jauh lebih unggul, sedangkan bronkoskop metal sangat bermanfaat dalam membersihkan jalan napas dari bekuan darah serta mengambil benda asing, disamping itu dapat melakukan penamponan dengan balon khusus di tempat terjadinya perdarahan.

4.1.7. Penanganan Pada umumnya hemoptisis ringan tidak diperlukan perawatan khusus dan biasanya berhenti sendiri. Yang perlu mendapat perhatian yaitu hemoptisis yang masif. Tujuan pokok terapi ialah : 1. Mencegah tersumbatnya saluran napas oleh darah yang beku 2. Mencegah kemungkinan penyebaran infeksi 3. Menghentikan perdarahan Sasaran-sasaran terapi yang utama adalah memberikan suport kardiopulmaner dan mengendalikan perdarahan sambil mencegah asfiksia yang merupakan penyebab utama kematian pada para pasien dengan hemoptisis masif.

21

Masalah utama dalam hemoptisis adalah terjadinya pembekuan dalam saluran napas yang menyebabkan asfiksi. Bila terjadi afsiksi, tingkat kegawatan hemoptisis paling tinggi dan menyebabkan kegagalan organ yang multipel. Hemoptoe dalam jumlah kecil dengan refleks batuk yang buruk dapat menyebabkan kematian. Dalam jumlah banyak dapat menimbukan renjatan hipovolemik. Pada prinsipnya, terapi yang dapat dilakukan adalah : Terapi konservatif Terapi definitif atau pembedahan.

1. Terapi konservatif Pasien harus dalam keadaan posisi istirahat, yakni posisi miring (lateral decubitus). Kepala lebih rendah dan miring ke sisi yang sakit untuk mencegah aspirasi darah ke paru yang sehat. Melakukan suction dengan kateter setiap terjadi perdarahan. Batuk secara perlahan lahan untuk mengeluarkan darah di dalam saluran saluran napas untuk mencegah bahaya sufokasi. Dada dikompres dengan es kap, hal ini biasanya menenangkan penderita. Pemberian obat obat penghenti perdarahan (obat obat hemostasis), misalnya vit. K, ion kalsium, trombin dan karbazokrom. Antibiotika untuk mencegah infeksi sekunder. Pemberian cairan atau darah sesuai dengan banyaknya perdarahan yang terjadi. Pemberian oksigen

Tindakan selanjutnya bila mungkin : Menentukan asal perdarahan dengan bronkoskopi Menentukan penye bab dan mengobatinya, misal aspirasi darah dengan bronkoskopi dan pemberian adrenalin pada sumber perdarahan. 2. Terapi pembedahan Reseksi bedah segera pada tempat perdarahan merupakan pilihan. Tindakan operasi ini dilakukan atas pertimbangan : a. Terjadinya hemoptisis masif yang mengancam kehidupan pasien. b. Pengalaman berbagai penyelidik menunjukkan bahwa angka kematian pada perdarahan yang masif menurun dari 70% menjadi 18% dengan tindakan operasi.
22

c. Etiologi dapat dihilangkan sehingga faktor penyebab terjadinya hemoptoe yang berulang dapat dicegah.

Busron (1978) menggunakan pula indikasi pembedahan sebagai berikut : 1. Apabila pasien mengalami batuk darah lebih dari 600 cc / 24 jam dan dalam pengamatannya perdarahan tidak berhenti. 2. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dan tetapi lebih dari 250 cc / 24 jam jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, sedangkan batuk darahnya masih terus berlangsung. 3. Apabila pasien mengalami batuk darah kurang dari 600 cc / 24 jam dantetapi lebih dari 250 cc / 24 jam dengan kadar Hb kurang dari 10 g%, tetapi selama pengamatan 48 jam yang disertai dengan perawatan konservatif batuk darah tersebut tidak berhenti. Sebelum pembedahan dilakukan, sedapat mungkin diperiksa faal paru dan dipastikan asal perdarahannya, sedang jenis pembedahan berkisar dari segmentektomi, lobektomi dan pneumonektomi dengan atau tanpa torakoplasti. Penting juga dilakukan usaha-usaha untuk menghentikan perdarahan. Metode yang mungkin digunakan adalah : Dengan memberikan cairan es garam yang dilakukan dengan bronkoskopi serat lentur dengan posisi pada lokasi bronkus yang berdarah. Masukkan larutan NaCl fisiologis pada suhu 4C sebanyak 50 cc, diberikan selama 30-60 detik. Cairan ini kemudian dihisap dengan suction. Dengan menggunakan kateter balon yang panjangnya 20 cm penampang 8,5 mm.

4.1.8. Komplikasi Komplikasi yang terjadi merupakan kegawatan dari hemoptisis, yaitu ditentukan oleh tiga faktor : 1. Terjadinya asfiksia oleh karena terdapatnya bekuan darah dalam saluran pernapasan. 2. Jumlah darah yang dikeluarkan selama terjadinya hemoptisis dapat menimbulkan renjatan hipovolemik. 3. Aspirasi, yaitu keadaan masuknya bekuan darah maupun sisa makanan ke dalam jaringan paru yang sehat bersama inspirasi. 4.1.9. Prognosis Pada hemoptoe idiopatik prognosisnya baik kecuali bila penderita mengalami hemoptoe yang rekuren.
23

Sedangkan pada hemoptoe sekunder ada beberapa faktor yang menentukan prognosis : 1) Tingkatan hemoptoe : hemoptoe yang terjadi pertama kali mempunyai prognosis yang lebih baik. 2) Macam penyakit dasar yang menyebabkan hemoptoe. 3) Cepatnya kita bertindak, misalnya bronkoskopi yang segera dilakukan untuk menghisap darah yang beku di bronkus dapat menyelamatkan penderita.(1,14)

24

4.2. TB PARU DEFINISI Tuberkulosis Paru adalah penyakit infeksi bakteri menahun yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Kuman tersebut biasanya masuk kedalam tubuh manusia melalui udara pernapasan kedalam paru. Kemudian kuman tersebut menyebar dari paru kebagian tubuh lainnya, melalui sistem peredaran darah, sistem saluran limfe, melalui saluran napas (bronchus) atau penyebaran langsung ke bagian-bagian tubuh lainnya. TB dapat terjadi pada semua kelompok umur, baik di paru maupun di luar paru. ETIOLOGI Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini berbentuk batang, mempunyai sifat khusus yaitu tahan terhadap asam pada pewarnaan (Basil Tahan Asam). Kuman TB cepat mati dengan sinar matahari langsung tetapi dapat bertahan hidup beberapa jam di tempat yang gelap dan lembek. Dalam jaringan tubuh, kuman ini dapat dorman selama beberapa tahun. Kuman dapat disebarkan dari penderita TB BTA positif kepada orang yang berada disekitarnya, terutama yang kontak erat. PATOFISIOLOGI Tempat masuk kuman M. tuberculosis adalah saluran pernapasan, saluran pencernaan dan luka terbuka pada kulit. Kebanyakan infeksi tuberculosis terjadi melalui udara (airborne), yaitu melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel, kuman ini tidak menghasilkan toksin yang di kenal. Dalam tetesan droplet yang terhirup dan mencapai alveoli. Penyakit timbul akibat menetapnya dan berproliferasinya kuman tersebut dan adanya interaksi dari tuan rumah, misalnya basil tidak virulen yang di suntikan contoh BCG hanya dapat hidup selama beberapa bulan atau tahun pada tuan rumah normal. Resistensi dan hipersensitivitas tuan rumah sangat mempengaruhi perkembangan penyakit. Penyakit ini dikendalikan oleh respon imunitas perantara sel, sel efektornya adalah makrofag, sedangkan limfosit biasanya sel T adalah sel imunoresponsinya. Tipe imuniitas seperti ini biasanya lokal, melibatkan makrofag yang di aktifkan ditempat infeksi oleh limfosit dan limfokinnya.Respon ini disebut sebagai reaksi hipersensitivitas atau reaksi lambat.
25

Pembentukan dan perkembangan lesi-lesi dan penyembuhannya atau progresifnya terutama ditentukan oleh: 1. Jumlah kuman yang masuk dan perkembangbiakan selanjutnya. 2. Resistensi dan hipersensivitas dari hospes. Saat masuk ke tubuh manusia kuman mycobacterium tuberculosis akan membentuk dua tipe lesi utama: 1. Tipe eksudatif, ini terdiri dari reaksi peradangan akut, lekosit polimorfonuklir dan kemudian, monosit sekitar basil tuberkel. Tipe ini terlihat pada jaringan paru-paru, dimana lesi ini mirip dengan pnemonia bakterie, tipe ini dapat sembuh dengan resolusi sehingga seluruh eksudat di absorpsi sehingga mengakibatkan nekrosis massif dari jaringan atau dapat berkembang menjadi tipe produktif, selama fase ini tes tuberculin positif. 2. Tipe produktif, bila berkembang maksimal lesi ini akan menjadi suatu granuloma menahun yang terdiri dari 3 daerah: Daerah sentral yang luas, yang mempunyai sel sel inti banyak yang mengandung basil tuberkel. Daerah tengah terdiri dari sel-sel epiteloid pucat. Derah perifer yang terdiri dari fibroblas, limfosit dan monosit kemudian terbentuk jaringan fibrosa perifer dan daerah sentral mengalami nekrosis dan membentuk kaverne, selanjutnya lesi ini sembuh dengan fibrosis atau kalsifikasi. Basil juga menyebar melalui getah bening menuju kelenjar getah bening regional, basil dapat menyebar lebih lanjut dan mencapai aliran darah yang selanjutnya menyebar ke seluruh organ, tetapi kuman ini mutlak hidup ditempat yang memiliki kandungan oksigen yang tinggi oleh karena itu lokasi utama penyakit ini adalah di paru. Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid yang di kelilingi oleh limfosit, reaksi ini membutuhkan waktu 10 sampai 20 hari. Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif padat dan seperti keju, lesi seperti ini disebut dengan nekrosis kaseosa.

26

Lesi primer paruparu dinamakan fokus Ghon dan gabungan terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi primer dinamakan kompleks Ghon. Ini dapat dilihat pada orang sehat yang selalu menjalani pemeriksaan radiologi. Cara penularan kuman mycobacterium tuberculosis: 1. Kuman dibatukkan atau dibersinkan oleh penderita TB menjadi droplet nuclei (partikel kecil yang merupakan gabungan antara sel tubuh dan sel yang sudah terinfeksi. Setiap kali penderita TB batuk akan dikeluarkan 3000 droplet yang infektif (memiliki kemampuan menginfeksi), partikel infeksi ini dapat hidup pada udara bebas selama 1-2 jam, tergantung ada tidaknya sinar ultra violet, ventilasi yang baik dan kelembaban. Dalam suasana lembab kuman dapat hidup berhari-hari. 2. Kuman yang terhirup dapat menghindari pertahanan mekanik saluran napas bagian atas dan akan menuju alveoli dimana infeksi awal terjadi, kuman ini akan membentuk sarang primer dan di ikuti pembesaran kelenjar getah bening yang disebut komplek primer. 3. Komplek primer selanjutnya mengalami perjalanan penyakit tergantung virulensi, jumlah kuman, dan ketahanan tubuh penderita. Ini dapat sembuh sama sekali tanpa cacat, sembuh dengan meninggalkan sedikit jaringan paru atau berkomplikasi dan menyebar baik secara hematogen atau limfatogen. Tidak semua orang yang menghirup kuman TBC akan tertular penyakit tersebut. Pada orang yang sehat, biasanya kuman tersebut menjadi tidak aktif dan orang itu tetap sehat tetapi kuman tersebut akan jadi aktif bila: Kekurangan gizi Kondisi fisik yang lemah Terkena penyakit tertentu sepeti HIVdan Diabetes melitus Pecandu obat-obat terlarang Menggunakan hormon steroid Perokok berat

27

Kuman-kuman akan mulai berkembang-biak dan menimbulkan penyakit TBC. Timbulnya penyakit bisa langsung terjadi setelah terinfeksi atau butuh waktu tahunan untuk berkembang.

Gambar1. Penyebaran bakteri tuberkulosis

Gambar2. Mycobacterium tuberculosis MANIFESTASI KLINIS Penderita TB paru akan mengalami berbagai gangguan kesehatan, seperti batuk berdahak kronis, demam subfebril, berkeringat tanpa sebab di malam hari, sesak napas, nyeri dada, dan penurunan nafsu makan. Semuanya itu dapat menurunkan produktivitas penderita bahkan kematian.

28

Gejala klinik TB paru dapat dibagi menjadi 2 golongan: 1. Gejala Respiratorik Batuk lebih dari 3 minggu Dahak (sputum) Batuk darah Sesak nafas Nyeri dada Wheezing

2.

Gejala Sistemik Demam dan menggigil Penurunan berat badan Rasa lelah dan lemah (Malaise) Berkeringat banyak terutama di malam hari Tidak ada nafsu makan (Anoreksia) Sakit-sakit pada otot (Mialgia)

KLASIFIKASI TUBERKULOSIS PARU Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien tuberkulosis memerlukan suatu definisi kasus yang meliputi empat hal, yaitu : 1) Lokasi atau organ tubuh yang sakit : paru atau ekstra paru 2) Bakteriologi ; hasil pemeriksaan mikroskopis : BTA positif dan BTA negatif 3) Tingkat keparahan penyakit : ringan atau berat 4) Riwayat pengobatan TB sebelumnya : baru atau sudah pernah diobat

Manfaat dan tujuan menentukan klasifikasi dan tipe adalah 1. Menentukan paduan pengobatan yang sesuai 2. Registrasi kasus secara benar
29

3. Menentukan prioritas pengobatan TB BTA positif 4. Analisis kohort hasil pengobatan

Beberapa istilah dalam definisi kasus: 1. Kasus TB : Pasien TB yang telah dibuktikan secara mikroskopis atau didiagnosis oleh dokter. 2. Kasus TB pasti (definitif) : pasien dengan biakan positif untuk Mycobacterium tuberculosis atau tidak ada fasilitas biakan, sekurang kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif.

Kesesuaian paduan dan dosis pengobatan dengan kategori diagnostik sangat diperlukan untuk: 1. Menghindari terapi yang tidak adekuat (undertreatment) sehingga 2. Mencegah timbulnya resistensi, 3. Menghindari pengobatan yang tidak perlu (overtreatment) sehingga 4. Meningkatkan pemakaian sumber-daya lebih biaya efektif (cost-effective) 5. Mengurangi efek samping.

a. Klasifikasi berdasarkan organ tubuh yang terkena: 1) Tuberkulosis paru. Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan (parenkim) paru. Tidak termasuk pleura (selaput paru) dan kelenjar pada hilus. 2) Tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis yang menyerang organ tubuh lain selain paru, misalnya pleura, selaput otak, selaput jantung (pericardium), kelenjar lymfe, tulang, persendian, kulit, usus, ginjal, saluran kencing, alat kelamin, dan lain-lain.

a. Klasifikasi berdasarkan hasil pemeriksaan BTA sputum a. Tuberkulosis paru BTA ( + ) adalah : i. Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif ii. Hasil pemeriksaan satu specimen dahak menunjukkan hasil BTA positif dan kelainan radiologi menunjukkan aktif ganbaran tuberculosis

30

iii. Hasil pemeriksaan satu specimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif b. Tuberkulosis paru BTA (-) i. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinis dan radiologis menunjukkan tuberkulosis aktif ii. Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan Myccobacterium tuberculosis positif

d. Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya Klasifikasi berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya dibagi menjadi beberapa tipe pasien, yaitu: 1) Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (4 minggu). 2) Kasus kambuh (Relaps) Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur). 3) Kasus setelah putus berobat (Default ) Adalah pasien yang telah menjalani pengobatan minimal 1 bulan dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA positif atau BTA negatif. 4) Kasus setelah gagal (Failure) Adalah pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan 5) Kasus Pindahan (Transfer In) Adalah pasien yang dipindahkan dari UPK yang memiliki register TB lain untuk melanjutkan pengobatannya. 6) Kasus lain: Adalah semua kasus yang tidak memenuhi ketentuan diatas. Dalam kelompok ini termasuk Kasus Kronik, yaitu pasien dengan hasil pemeriksaan masih BTA positif setelah selesai pengobatan ulangan. Catatan:

31

TB paru BTA negatif dan TB ekstra paru, dapat juga mengalami kambuh, gagal, default maupun menjadi kasus kronik. Meskipun sangat jarang, harus dibuktikan secara patologik, bakteriologik (biakan), radiologik, dan pertimbangan medis spesialistik.

TB paru juga dapat diklasifikasikan sebagai berikut : 1) TB Paru BTA (+) yaitu: Dengan atau tanpa gejala. Gambaran radiology sesuai dengan TB paru.

2) TB paru BTA (-) Gejala klinik dan gambaran radiologi sesuai dengan TB paru. BTA (-).

3) Bekas TB paru BTA (-). Gejala klinik tidak ada, ada gejala sisa akibat kelainan paru yang di tinggalkan. Radiolgi menunjukkan gambaran lesi TB inaktif, terlebih gambaran serial menunjukan foto yang sama Riwayat pengobatan TB (+)

Sedangkan WHO membagi penderita TB atas 2 kategori: 1. Kategori I: kasus baru dengan dahak (+) dan penderita dengan keadaan berat seperti meningitis, TB milier, perikarditis, peritonitis, spondilitis dengan gangguan neurologik dan lain-lain. 2. Kategori II: kasus kambuh atau gagal dengan dahak yang tetap (+).

KRITERIA DIAGNOSIS Diagnosis penyakit tuberculosis didasarkan pada: 1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

32

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan tanda-tanda: a. b. c. d. Tanda-tanda infiltrat (redup, bronchial, ronkhi basah). Tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan mediastinum. Secret di saluran nafas dan ronkhi. Suara nafas amforik karena adanya kavitas yang berhubungan langsung dengan bronchus. 2. Laboratorium a. Kultur sputum.

b. Mantoux Test/Tuberkulin Test. c. Biopsi jarum pada jaringan paru.

3. Radiologis Foto Thoraks PA dan lateral. Gambaran foto toraks yang menunjang diagnosis TB yaitu: a. b. c. d. e. f. g. Bayangan lesi terletak dilapangan atas paru atau segmen apical lobus bawah. Bayangan berawan (patchy) atau berbercak (nodular). Adanya kavitas, tunggal, atau ganda. Kelainan bilateral, terutama di lapangan atas paru. Adanya kalsifikasi. Bayangan menetap pada foto ulang beberapa minggu kemudian. Bayangan milier.

33

Gambar3: Uji Tuberkuli PENATALAKSANAAN MEDIS Tujuan Pengobatan Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.

Prinsip pengobatan Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai berikut: OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal (monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan. Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment) oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO). Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan lanjutan.

34

Tahap awal (intensif) Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat. Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu. Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan. Tahap Lanjutan Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namun dalam jangka waktu yang lebih lama. Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister sehingga mencegah terjadinya kekambuhan

Paduan OAT yang digunakan di Indonesia Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan Tuberkulosis di Indonesia: Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3. Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3. Disamping kedua kategori ini, disediakan paduan obat sisipan (HRZE)

Kategori Anak: 2HRZ/4HR Paduan OAT kategori-1 dan kategori-2 disediakan dalam bentuk paket berupa obat kombinasi dosis tetap (OAT-KDT), sedangkan kategori anak sementara ini disediakan dalam bentuk OAT kombipak. Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien.

Paket Kombipak. Adalah paket obat lepas yang terdiri dari Isoniasid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas dalam bentuk blister. Paduan OAT ini disediakan program untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

35

Paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) disediakan dalam bentuk paket, dengan tujuan untuk memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan (kontinuitas) pengobatan sampai selesai. Satu (1) paket untuk satu (1) pasien dalam satu (1) masa pengobatan. KDT mempunyai beberapa keuntungan dalam pengobatan TB: 1) Dosis obat dapat disesuaikan dengan berat badan sehingga menjamin efektifitas obat dan mengurangi efek samping. 2) Mencegah penggunaan obat tunggal sehinga menurunkan resiko terjadinya resistensi obat ganda dan mengurangi kesalahan penulisan. 3) Jumlah tablet yang ditelan jauh lebih sedikit sehingga pemberian obat menjadi sederhana dan meningkatkan kepatuhan pasien

Paduan OAT dan peruntukannya. a. Kategori-1 (2HRZE/ 4H3R3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru: Pasien baru TB paru BTA positif. Pasien TB paru BTA negatif foto toraks positif Pasien TB ekstra paru

b. Kategori -2 (2HRZES/ HRZE/ 5H3R3E3) Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya:
36

Pasien kambuh Pasien gagal Pasien dengan pengobatan setelah putus berobat (default)

c. OAT Sisipan (HRZE) Paket sisipan KDT adalah sama seperti paduan paket untuk tahap intensif kategori 1 yang diberikan selama sebulan (28 hari).

37

Penggunaan OAT lapis kedua misalnya golongan aminoglikosida (misalnya kanamisin) dan golongan kuinolon tidak dianjurkan diberikan kepada pasien, baru tanpa indikasi yang jelas karena potensi obat tersebut jauh lebih rendah daripada OAT lapis pertama. Disamping itu dapat juga meningkatkan terjadinya risiko resistensi pada OAT lapis kedua.

Pemantauan Hasil Kemajuan Pengobatan TB Pemantauan kemajuan hasil pengobatan pada orang dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau kemajuan pengobatan. Laju Endap Darah (LED) tidak digunakan untuk memantau kemajuan pengobatan karena tidak spesifik untuk TB. Untuk memantau kemajuan pengobatan dilakukan pemeriksaan spesimen sebanyak dua kali (sewaktu dan pagi). Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke 2 spesimen tersebut negatif. Bila salah satu spesimen positif atau keduanya positif, hasil pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.

38

39

b. Hasil Pengobatan Pasien TB BTA positif Sembuh Pasien telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap dan pemeriksaan ulang dahak (follow-up) hasilnya negatif pada AP dan pada satu pemeriksaan follow-up sebelumnya

Pengobatan Lengkap Adalah pasien yang telah menyelesaikan pengobatannya secara lengkap tetapi tidak memenuhi persyaratan sembuh atau gagal.

40

Meninggal Adalah pasien yang meninggal dalam masa pengobatan karena sebab apapun.

Pindah Adalah pasien yang pindah berobat ke unit dengan register TB 03 yang lain dan hasil pengobatannya tidak diketahui.

Default (Putus berobat) Adalah pasien yang tidak berobat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai.

Gagal Pasien yang hasil pemeriksaan dahaknya tetap positif atau kembali menjadi positif pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan.

PENGOBATAN TB PADA KEADAAN KHUSUS a. Kehamilan Pada prinsipnya pengobatan TB pada kehamilan tidak berbeda dengan pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua OAT aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini dapat mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB.

b. Ibu menyusui dan bayinya Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya. c. Pasien TB pengguna kontrasepsi
41

Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB), sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang pasien TB sebaiknya mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis tinggi (50 mg).

d. Pasien TB dengan infeksi HIV/AIDS Tatalaksanan pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama seperti pasien TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS sama efektifnya dengan pasien TB yang tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan ARV(antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis HIV sesuai dengan standar WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin harus memperhatikan Prinsip-prinsip Universal Precaution (Kewaspadaan Keamanan Universal) Pengobatan pasien TB-HIV sebaiknya diberikan secara terintegrasi dalam satu UPK untuk menjaga kepatuhan pengobatan secara teratur. Pasien TB yang berisiko tinggi terhadap infeksi HIV perlu dirujuk ke pelayanan VCT (Voluntary Counceling and Testing = Konsul sukarela dengan test HIV).

e. Pasien TB dengan hepatitis akut Pemberian OAT pada pasien TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan Tb sangat diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6 bulan.

f. Pasien TB dengan kelainan hati kronik Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan bila telah dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan ketat. Pasien dengan kelainan hati, Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah 2RHES/6RH atau 2HES/10HE. g. Pasien TB dengan gagal ginjal Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui empedu dan dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat diberikan
42

dengan dosis standar pada pasien-pasien dengan gangguan ginjal.Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu hindari penggunaannya pada pasien dengan gangguan ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal tersedia, Etambutol dan Streptomisin tetap paling aman untuk pasien dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR.

h. Pasien TB dengan Diabetes Melitus Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi efektifitas obat oral anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti diabetes oral. Pada pasien Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi retinopathy diabetika, oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat memperberat kelainan tersebut.

i. Pasien TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa pasien seperti: Meningitis TB TB milier dengan atau tanpa meningitis TB dengan Pleuritis eksudativa TB dengan Perikarditis konstriktiva.

Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari, kemudian diturunkan secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan dengan jenis penyakit dan kemajuan pengobatan.

j. Indikasi operasi Pasien-pasien yang perlu mendapat tindakan operasi (reseksi paru), adalah: 1) Untuk TB paru: Pasien batuk darah berat yang tidak dapat diatasi dengan cara konservatif. Pasien dengan fistula bronkopleura dan empiema yang tidak dapat diatasi secara konservatif. Pasien MDR TB dengan kelainan paru yang terlokalisir.

2) Untuk TB ekstra paru: Pasien TB ekstra paru dengan komplikasi, misalnya pasien TB tulang yang disertai kelainan neurologik.
43

EFEK SAMPING OAT DAN PENATALAKSANAANNYA Tabel berikut, menjelaskan efek samping ringan maupun berat dengan pendekatan gejala.

Penatalaksanaan pasien dengan efek samping gatal dan kemerahan kulit: Jika seorang pasien dalam pengobatan OAT mulai mengeluh gatal-gatal singkirkan dulu kemungkinan penyebab lain. Berikan dulu anti-histamin, sambil meneruskan OAT dengan pengawasan ketat. Gatal-gatal tersebut pada sebagian pasien hilang, namun pada sebagian pasien malahan terjadi suatu kemerahan kulit. Bila keadaan seperti ini, hentikan semua OAT. Tunggu sampai kemerahan kulit tersebut hilang. Jika gejala efek samping ini bertambah berat, pasien perlu dirujuk

Pada UPK Rujukan penanganan kasus-kasus efek samping obat dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: Bila jenis obat penyebab efek samping itu belum diketahui, maka pemberian kembali OAT harus dengan cara drug challenging

44

dengan menggunakan obat lepas. Hal ini dimaksudkan untuk menentukan obat mana yang merupakan penyebab dari efek samping tersebut. Efek samping hepatotoksisitas bisa terjadi karena reaksi hipersensitivitas atau karena kelebihan dosis. Untuk membedakannya, semua OAT dihentikan dulu kemudian diberi kembali sesuai dengan prinsip dechallenge-rechalenge. Bila dalam proses rechallenge yang dimulai dengan dosis rendah sudah timbul reaksi, berarti hepatotoksisitas karena reakasi hipersensitivitas. Bila jenis obat penyebab dari reaksi efek samping itu telah diketahui, misalnya pirasinamid atau etambutol atau streptomisin, maka pengobatan TB dapat diberikan lagi dengan tanpa obat tersebut. Bila mungkin, ganti obat tersebut dengan obat lain. Lamanya pengobatan mungkin perlu diperpanjang, tapi hal ini akan menurunkan risiko terjadinya kambuh. Kadang-kadang, pada pasien timbul reaksi hipersensitivitas (kepekaan) terhadap Isoniasid atau Rifampisin. Kedua obat ini merupakan jenis OAT yang paling ampuh sehingga merupakan obat utama (paling penting) dalam pengobatan jangka pendek. Bila pasien dengan reaksi hipersensitivitas terhadap Isoniasid atau Rifampisin tersebut HIV negatif, mungkin dapat dilakukan desensitisasi. Namun, jangan lakukan desensitisasi pada pasien TB dengan HIV positif sebab mempunyai risiko besar terjadi keracunan yang berat.

PROGNOSIS 1. 2. Jika berobat teratur sembuh total (95%). Jika dalam 2 tahun penyakit tidak aktif, hanya sekitar 1 % yang mungkin relaps.

KOMPLIKASI Menurut Depkes RI (2002), merupakan komplikasi yang dapat terjadi pada penderita tuberculosis paru stadium lanjut yaitu : 1. Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan kematian karena syok hipovolemik atau karena tersumbatnya jalan napas.

45

2.

Atelektasis (paru mengembang kurang sempurna) atau kolaps dari lobus akibat retraksi bronchial.

3.

Bronkiektasis (pelebaran broncus setempat) dan fibrosis (pembentukan jaringan ikat pada proses pemulihan atau reaktif) pada paru

4.

Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, dan ginjal.

46

BAB III ANALISIS KASUS 1. Dispneu dan haemoptisis ec TB Paru lesi luas kasus baru BTA (-), dan pneumonia hal yang mendukung adalah : Pada anamnesis ditemukan keluhan batuk berdahak disertai darah sejak 3 hari SMRS. Batuk disertai darah kira-kira 1 gelas. Batuk tidak bercampur dengan makanan dan tidak ada riwayat BAB bercampur darah atau berwarna hitam. Selain itu juga ditemukan gejala khas TB lainnya seperti batuk produktif > 1 bulan, sesak, demam yang tidak terlalu tinggi, keringat malam, nafsu makan turun dan BB turun. Sebelumnya pasien sudah pernah didiagnosis sebagai TB paru oleh RS leuwiliang dan sedang mendapat terapi OAT 1 bulan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan konjungtiva anemis, ronki basah kasar di lapang paru kanan dan pembesaran jantung. Pada pemeriksaan penunjang, pada foto rontgen torax PA ditemukan konsolidasi infiltrate di hemitoraks kanan dan corakan bronkovaskular yang kasar, tidak tampak cavitas. Sedangkan pemeriksaan bakteriologik sputum BTA 3x hasilnya negative, sehingga untuk menunjang diagnosis TB perlu dilakukan pemeriksaan sputum BTA 3x dan pemeriksaan kultur BTA dan spemeriksaan sputum untuk menilai adanya bakteri atau jamur. 3. Sepsis

4. Drug Induced Hepatitis Hal yang mendukung adalah : Pada anamnesis ditemukan mual semenjak pemberian obat. Terdapat nyeri ulu hati dan mual. Saat ini pasien sedang menjalani terapi OAT. Pada pemeriksaan fisik ditemukan pasien tampak ikterik, sclera ikterik dan terdapat nyeri tekan epigastrium.. pada pemeriksaan lab. didapatkan peningkatan SGOT > 5 kali, dan SGPT >4 kali.

DAFTAR PUSTAKA
47

1. Sudoyo, Aru W Dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi V. Hal 2329 2336. Jakarta: Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2009. 2. Isbaniyah, Fattiyah. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan Di Indonesia. Sandoz : Jakarta . 2011 3. Kasper, Braunwald, Et Al. Harrisons Principles Of Internal Medicine Vol II. 16th Ed. Mcgraw-Hill: New York. 2005. 4. Steven A. Sahn. The Pathophysiology of Pleural Effusions. Department of Medicine, Division of Pulmonary and Critical Care Medicine, Medical University of South Carolina, Charleston, South Carolina 29425. 5. Yunus, Faisal. Pulmonologi Klinik. FKUI: Jakarta, 1992. 6. Mansjoer, arif. Kapita selekta kedokteran. Edisi 3. Jilid 1. FKUI: Jakarta. 2001. 7. PDPI. Tuberkulosis : Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan di Indonesia 2011. PDPI: Jakarta. 2011. 8. Depkes RI. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis. Jakarta. Departemen Kesehatan RI. 2006-2007. 9. Price, Sylvia A. Patofisiologi, volume 2. Edisi 6. Jakarta : EGC.2006.

48

Anda mungkin juga menyukai