Anda di halaman 1dari 5

o

o
o

Fatwa Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani


tentang Nasyid
Posted on Maret 19, 2009 by fearlee

Berkata Syaikh dalam kitabnya “Tahrim Alatuth Tharb (Haramnya Alat-Alat Musik)” :

“Telah jelas pada fasal ketujuh tentang apa-apa saja yang boleh dilagukan (dibaguskan
suara) dari syi’ir dan apa-apa saja yang tidak boleh. Sebagaimana telah jelas pada
(penjelasan) sebelumnya tentang haramnya alat-alat musik, semuanya kecuali duf pada
hari ‘ied dan pengantinan, untuk wanita saja.

Dan pada fasal yang terakhir ini (di jelaskan.–pent.) bahwasanya tidaklah boleh
bertaqarrub kepada Allah kecuali sesuai dengan apa yang Allah syari’atkan. Maka
bagaimana boleh bertaqarrub kepada-Nya dengan apa-apa yang di haramkan ?. Oleh
karena itulah, para ulama mengharamkan ghina` Shufiyyah. Dan pengingkaran mereka
lebih keras lagi terhadap orang-orang yang menghalalkannya. Maka apabila pembaca
menghadirkan dalam benaknya ushul (pokok-pokok/prinsip-prinsip dasar) yang kuat ini
(tidak bertaqarrub kepada Allah kecuali sesuai dengan syari’at Allah,-pent.) maka akan
jelas baginya dengan sejelas-jelasnya bahwasanya tidak ada perbedaan dari segi hukum
antara lagu-lagu (ghina`) Shufiyah dan nasyid-nasyid Ad-Diniyah.

Bahkan boleh jadi pada nasyid-nasyid ini ada bahaya/penyakit lain, yaitu nasyid-nasyid
ini kadang disenandungkan dengan mengikuti senandung lagu-lagu gila dan dibuat
dengan aturan-aturan (gaya-gaya) musik Timur atau Barat, yang mempesona para
pendengar dan menjadikan mereka menari-nari dan mengeluarkan mereka dari kondisi
mereka (yang sebenarnya,–pent.). Maka yang dimaksud (yang diinginkan) adalah lagu-
lagu dan musik itu, bukan nasyid itu sendiri. Dan ini adalah merupakan penyelisihan
yang baru yaitu tasyabbuh (menyerupai) terhadap orang-orang kafir dan orang-orang
kurang malu.

Dan di balik itu boleh jadi akan menghasilkan penyelisihan yang lain, yaitu menyerupai
mereka dalam keberpalingan mereka dari Al-Qur`an dan hijrahnya (tidak
mengacuhkannya) mereka dari Al-Qur`an. Maka mereka masukl ke dalam keumuman
pengaduan Nabi shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dari kaumnya. Sebagaimana
firman Allah :

“Berkatalah Rasul : “Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur`an ini


sebagai suatu yang tidak diacuhkan”.” (QS. Al-Furqan : 30).

Dan saya sungguh ingat dengan baik, bahwa ketika saya di Damaskus, dua tahun sebelum
saya pindah ke sini (Amman) bahwasanya sebahagian pemuda muslim mulai
menyenandungkan sebagian nasyid-nasyid yang memiliki makna yang selamat (dari
khurafat dan kesyirikan, bid’ah maupun kefasikan,-pent.) dengan maksud menyelisihi
gina orang-orang sufiah seperti Qashidah Al-Busiriyyah dan selainnya. Dan hal itu di
rekam dalam kaset. Tidaklah menunggu waktu kecuali sedikit hingga nasyid-nasyid
tersebut telah diiringi dengan pukulan duf (rebana). Pada awalnya mereka gunakannya
pada acara walimatul ‘ursy (pesta pernikahan/pengantin) dengan alasan bahwa (duf)
boleh pada acara tersebut. Kemudian mulailah kaset tersebut diperbanyak dan
menyebarlah penggunaannya di kebanyakan rumah dan mulailah mereka mendengarkan
nasyid-nasyid ini siang dan malam baik dengan adanya sebab-sebab tertentu (seperti
acara walimatul ‘ursy,-red.) atau tanpa sebab tertentu sehingga jadilah yang demikian itu
sebagai hiburan dan adat kebiasaan mereka, dan hal itu adalah dari/disebabkan oleh
kemenangan hawa nafsu dan kejahilan dengan tipu daya syaithan, dimana syaithan telah
memalingkan mereka perhatian terhadap Al-Qur`an dan mendengarkan pembacaannya
lebih-lebih dari mempelajarinya, dan menjadikan Al-Qur`an suatu yang tidak diacuhkan
lagi oleh mereka, sebagaimana dijelaskan oleh ayat yang mulia tersebut.

Ibnu Kastir berkata dalam tafsirnya : “Allah telah berfirman dalam rangka mengabarkan
tentang Rasul dan Nabi-Nya Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau
berkata : “Ya Rabbku, sesungguhnya kaumku menjadikan Al-Qur`an ini sebagai suatu
yang tidak diacuhkan”.”. Yang demikian karena orang-orang musyrikin dahulu tidak mau
mendengar Al-Qur`an dan tidak mau memperhatikannya, sebagaimana firman (Allah)
Ta’ala :

“Dan orang-orang yang kafir berkata: “Janganlah kamu mendengar dengan sungguh-
sungguh akan Al Qur`an ini dan buatlah hiruk-pikuk terhadapnya”.” (QS. Al-Fushilat :
26).
Maka mereka (orang kafir), jika dibacakan Al Qur`an pada mereka, mereka
memperbanyak hiruk pikuk dan pembicaran yang lain supaya mereka tidak
mendengarkan (Al Qur`an). Maka ini termasuk hijrahnya (tidak acuhnya) terhadap Al
Qur`an dan tidak mau beriman dengannya.

Tidak membenarkannya adalah termasuk sikap meninggalkan/tak acuh terhadapnya.

Tidak mentadabburi dan tidak mempelajarinya adalah termasuk sikap tak acuh.

Meninggalkan pengamalan terhadapnya, pelaksanaan perintah-perintahnya, penjauhan


terhadap larangannya adalah termasuk sikap tak acuh terhadapnya.

Berpaling darinya (Al Qur`an) kepada selainnya baik berupa sya’ir atau ucapan, lagu,
permainan, perkataan atau cara-cara yang diambil dari selainnya adalah termasuk sikap
tak acuh terhadapnya.

Maka kita meminta pada Allah Yang Maha Mulia, Sang Pemberi Karunia dan Yang Maha
Kuasa atas apa-apa yang dikehendaki-Nya, agar melepaskan kita dari apa-apa yang
dimurkai-Nya dan menjadikan kita beramal pada apa-apa yang diridhoi-Nya, seperti
menghafal kitab-Nya dan memahaminya serta mengamalkan segala konsekwensinya
(tuntutannya) sepanjang malam dan siang, sesuai dengan apa yang dicintai-Nya dan
diridhoi-Nya sesungguhnya Dialah yang Maha Mulia dan Maha Pemberi”. (Tafsir Ibnu
Kastir 3/217). Amman 28/6/1415 H.

Dan sebelum ini pada (tulisan) berjudul “Al-Ghina` Ash-shufiy dan Anasyid Islamiyah”,
Syaikh telah menyebutkan muqaddimah yang bagus bahwasanya tidak ada yang
diibadahi kecuali Allah saja dan tidaklah Allah diibadahi (disembah) kecuali dengan apa-
apa yang disyariatkan-Nya dan ini adalah konsekwensi dari kecintaan yang dengannya
seorang hamba akan mandapatkan (merasakan) manisnya Iman.

Kemudian beliau berkata : “Jika sudah diketahui ini maka saya menganggap wajib bagi
saya, bertolak dari sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam :

“Agama adalah nasihat”.

Untuk mengingatkan orang-orang yang terfitnah dari kalangan saudara-saudara kami


kaum muslimin, siapa dan bagaimanapun mereka, (yang terfitnah,-pent.) dengan
nyanyian sufi atau apa yang mereka namakan dengan nasyid-nasyid Islamiyah, agar
mereka dapat mendengarkan dan menyimak yang berikut ini :

Bahwasanya nasyid (ghina`) tersebut adalah suatu yang diada-adakan tidak pernah di
kenal pada masa-masa yang disaksikan (diakui) kebaikannya.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah : “Bid’ah lebih disukai oleh iblis daripada
maksiat, oleh karena itu orang-orang yang menghadiri permainan atau sesuatu yang
melalaikan dia (sendiri) tidak menganggapnya (perbuatannya tersebut) sebagai amalan
salehnya dan tidak mengharapnya pahala dengannya. Akan tetapi barang siapa yang
melakukannya dengan dasar (keyakinan,-red.) bahwasanya itu adalah suatu jalan (untuk
bertaqarrub,-pent.) kepada Allah, maka dia akan menjadikannya sebagai agama. Jika
dilarang darinya, maka dia akan seperti orang yang dilarang dari agamanya dan
memandang bahwa sungguh dia telah terputus (hubungannya,-pent) dari Allah, dan telah
diharamkan bagiannya (pahala) dari Allah Ta’ala jika dia tinggalkan.

Maka mereka-mereka ini adalah orang-orang yang sesat dengan kesepakatan ulama kaum
muslimin. Dan tidak ada seorangpun dari para A`immah (Imam-Imam) kaum muslimin
yang mengatakan bahwa menjadikan hal ini (nasyid-nasyid Islam atau nasyid sufiah)
sebagai agama, jalan bertaqarrub kepada Allah adalah suatu mubah (boleh). Bahkan
(yang sebenarnya adalah bahwa,-red.) barang siapa yang menjadikan hal ini sebagai
agama dan jalan menuju kepada Allah Ta’ala maka dia adalah orang yang sesat dan
menyesatkan, orang yang menyelisihi kesepakatan (ijma’) kaum muslimin.

Dan barang siapa yang melihat kepada yang nampak dari suatu amalan lalu
membicarakannya (mengomentarinya) dan tidak melihat pada perbuatan pelaku serta
niatnya, maka dia adalah orang jahil ……..agama tanpa ilmu”. (Majmu’ Al-Fatawa :
11/621-623).

Tidak boleh bertaqarrub kepada Allah dengan apa-apa yang tidak disyariatkan-Nya
walaupun asal amalan tersebut disyariatkan, seperti adzan untuk shalat Idul Fitri dan Idul
Adha.

Ini adalah pada yang asal amalannya disyari’atkan, maka bagaimana pula dengan apa-apa
yang diharamkan serta apa-apa yang ada padanya ada penyerupaan terhadap orang-orang
Nashara yang Allah berfirman tentang mereka :

“Orang-orang yang menjadikan agama mereka sebagai main-main dan senda gurauan”.
(QS. Al-A’raf : 51).

Dan tentang orang-orang musyrikin Allah berfirman :

“Dan tidaklah sembahan mereka di sekitar Baitullah itu kecuali hanyalah siulan dan tepuk
tangan”. (QS. Al-Anfal : 35)

Al-Muka’ adalah (berarti) siulan, adapun Tashdiyah berarti tepuk tangan.

Al-Imam Asy-Syafi’iy berkata : “Saya telah tinggalkan di Iraq, sesuatu yang disebut
dengan “at-taghbir” yang dibuat-buat oleh Az-Zanadiqah (orang-orang munafik), yang
dengannya mereka menghalangi manusia dari Al-Qur`an”.

Imam Ahmad ditanya tentangnya (at-taghbir), maka beliau menjawab : “(Itu adalah)
bid’ah”. Dalam satu riwayat beliau (Imam Ahmad) mengingkarinya dan melarang
penggunaannya dan beliau berkata : “Jika engkau melihat seseorang dari mereka pada
suatu jalan, maka ambilah jalan yang lain”. Diriwayatkan juga oleh Al-Khallal. Adapun
tambahan (riwayat terakhir) dari (kitab) Mas`alatus Sama’ karya Ibnul Qoyyim hal. 124.

At-Taghbir : syair yang mengajak untuk zuhud terhadap dunia, dilagukan oleh seorang
penyanyi, maka sebahagian yang hadir dan memukul hamparan dari kulit dan bantal
mengikuti irama lagunya; hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ibnul Qoyyim dan
selainnya.

Berkata Ibnu Taimiyah dalam Al-Majmu’ (11/570) :

“Apa yang disebutkan oleh Asy-Syafi’iy bahwa “At-taghbir” tersebut merupakan buatan
orang-orang az-zanadiqah (munafiq) maka itu merupakan perkataan seorang Imam yang
khabir (ahli lagi berpengalaman) terhadap pokok-pokok agama. Maka sesungguhnya as-
sama’ ini pada dasarnya tidak pernah dianjurkan dan didakwahkan kecuali oleh orang
yang tertuding (dicurigai) sebagai orang-orang zindiq (munafiq) seperti Ibnu Ar-
Rawandy, Al-Faraby, Ibnu Sina dan semisalnya, sebagaimana yang disebutkan oleh Abu
Abdirahman As-Sulamy dalam “Mas`alatis Sama”.”

Dan Syaikhul Islam juga berkata :

“Dan telah diketahui dengan pasti dan jelas dalam agama Islam bahwasanya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mensyariatkan bagi umatnya yang shaleh dan ahli
ibadah dan orang-orang yang zuhud untuk berkumpul guna mendengarkan bait-bait yang
dilagukan dan diiringi tepuk tangan atau tabuhan gendang atau duf, sebagaimana halnya
Rasulullah tidak membolehkan pada seorangpun untuk keluar dari mutaba’ah
(pengikutan) kepada beliau dan mengikuti apa-apa yang ada dalam Al-Qur`an dan
hikmah (Hadits Rasulullah,-pent.), baik itu perkara yang bathin (yang tidak nampak)
maupun yang nampak, baik bagi orang yang awam maupun orang khusus (tidak boleh
sama sekali untuk keluar dari mengikuti Rasulullah,-pent.)”.

Kemudian (Syaikhul Islam) berkata :

“Dan barang siapa yang memiliki khibrah (pengetahuan yang dalam) terhadap hakekat-
hakekat agama dan keadaan-keadaan hati, pengenalan-pengenalan, perasaan-perasaan
dan kecintannya, maka dia akan tahu bahwa mendengarkan siulan dan tepuk tangan tidak
akan memberikan manfaat maupun kebaikan bagi hati melainkan bahwa di balik itu
terkandung mudharat/bahaya dan kerusakan yang lebih besar…..”. (Majmu’ Al-Fatawa
11/537-576).”

Dinukil dari kitab Al-Qaul Al-Mufid fii Hukmil Anasyid karya ‘Ishom ‘Abdul Mun’im
Al-Murry.

Anda mungkin juga menyukai