Anda di halaman 1dari 9

BAB III

DIAM DALAM ABSURDITAS

A. Implementasi Teoritis

Membelah absuditas tak ubahnya bagaikan memahami cermin yang

diletakkan berjajar tepat di depan diri. Pantulan yang sama, dengan citarasa yang

berbeda. Benarkah apa yang dilihat di antara kilau cahaya lampu mampu me-rupa-

kan perwajahan yang asli. Semua harus dibaca ulang dan sendiri-sendiri.

Mengurai metamorfosa. Kefahaman akan telaah intersubjektif yang

cenderung bersifat justifikasi. Dengan sedikit minder, semua harus diselesaikan.

Mereka ulang, kemudian dirajut menjadi tanda. Tafsir yang begitu berat harus

terkatakan. Pemaknaan yang nyaris begitu jujur dalam kegamangan menata

aksara.

Kerinduan pada sebuah “hal baru”, bukan berarti membuang yang lama.

Namur begitulah absurditas mengawali kejujuran. Dimulai dengan gagah berani.

Seraya menangis, dan kemudian luruh menjadi sesuatu yang hilang. Namun

kiranya, semua harus pulang, kembali pada jalan awal, sebuah jalan pertama kali

datang.

Sesungguhnya, tidak ada yang perlu dicari, tak ada sesuatupun yang

hilang. Sublimasi.

Dalam korelasinya dengan karya seni, absurditas banyak dinilai sebagai

pijakan untuk mencapai titik kulminasi, dimana proses intuitif menggelembung,

Diam Dalam Absurditas 43


seperti meniupkan sebuah balon yang besar untuk dibuat mainan, bahkan mampu

menanggung seseorang di atas air. Kepedihan absurditaslah yang membuat semua

menjadi terang. Kesakitan absurditaslah yang menyembuhkan dahaga estética.

Keindahan yang mengalir dari kerumunan sejarah. Sebuah gunung es yang

dicairkan dengan ketiba-tibaan tertentu. Kebekuan abdurditaslah yang banyak

mencairkan ketegangan motorik id.

Ada beberapa pertanyaan yang tersembul pada genangan absurditas ketika

telah menjadi samudra yang penuh dengan air, “kita bisa membuat apa dari

peristiwa ini?”

Salah satu kesalahan absurd adalah menuntut. Alam khyali sering disebut

juga sebagai narasumber atas ide-ide. Namun tidak bisa disangkal lagi, kini

kebenaran intuisi telah dimasukkan dalam kebenaran ilmiah.

Jika karya terlalu banyak bicara mungkin ia hanya akan menjadi

bibir yang berkata, sekedar untuk didengar kemudian selesai. Sesungguhnya

sebuah proses penciptaan adalah bagaimana cara menahan diri dari godaan akan

keberfungian pada akhirnya. Semua tak harus jelas, sebab yang tersembunyi pun

bukan berarti tak mampu berwawansabda. Dalam kediriannya yang terlindungi

oleh prosesi membatasi diri, sebenarnya ia telah mengantar kepada dunia yang

luas, yang terjangkau oleh nalar. Justru karya absurd lah yang tidak

membelenggu. Tidak memenjarakan estetika pada mata, melainkan

mengembalikan semuanya kepada kejujuran, sekaligus kerterbatasan yang

disengaja. Mungkinkah ketersamaran dapat ditembus oleh keterbukaan? Saya rasa

tidaklah mungkin matahari mampu menjelaskan kegelapan malam, justru

Diam Dalam Absurditas 44


keremangan rembulan yang mampu mengurai kegetiran gelap, kegelisahan

malam, mewakili durjana tersembunyi yang bermuram durja. Samar malamlah

yang mampu menunjukkan jalan terang, ke arah matahari.

Dalam kesendirian yang tak terkatakan, yang ‘diam dalam absurditas’

masih tetap peduli untuk sekedar mencari kawan, perbincangan adalah kesunyian,

bergerak dalam ke-diam-an. Savoir-vivre (seni hidup) harus lebih tinggi daripada

savoir-faire (seni melakukan sesuatu), dan dalam kondisi itu yang ‘diam dalam

absurditas’ harus menjadi un grand vivant (manusia yang sungguh mengerti

tentang seni hidup). Dalam hal memaknai, yang ‘diam dalam absurditas’ akan

terus memperjuangkan nilai dalam pengertiannya yang paling transendental.

Sebuah upaya pencerahan jiwa yang tengah mengerjakan kehidupan sebagai

sebuah kejujuran menilai diri.

Kesendirian, ketika semua berada dalam “diam”, adalah rangkaian rel

menuju sebuah ketakutan. Pemisahan, seperti tercabik. Humanisme yang

sediakala lengkap dengan nuansa bumi, yang berkelok tajam tetapi tidak

melupakan kemesraan, tiba-tiba dengan eskalasi tertentu menjadi labirin bahkan

lorong yang semua dindingnya serba gelap, sehingga merah menjadi "warna"

paling lembut. "Ih ngeri amat!!", begitulah refleksi "keawaman" menyatakan diri

sebagai sebuah apresiasi humanis terhadap kediaman ini.

Langkisau itu mengerucut, seperti piramida, kefahaman akan diam menuju

pada ‘nyaris yakin’ bahwa ketakutan benar-benar ada pada kancah kediaman.

Garis batas absolut adalah manusia vertikal, yang menghadap langit, dengan

demikian proyeksi yakin akhirnya akan memberi bentuk terhadap bayangan yang

Diam Dalam Absurditas 45


wujudnya bergantung dari mana datangnya arah cahaya. Ketersamaran itu

ditembus, dalam kediaman ini tentunya segala kata tetap dibekukan oleh

keyakinan bahwa "takut" tidak lagi samsara, ia luas tetapi masih dalam jangkauan.

Hal itu merupakan pembuktian bahwa asal-usul cahaya merupakan faktor krusial

dalam pembentukan keyakinan dalam proses memahami.

Jika merunut pada kewajaran, tentunya segala hal harus ditutup dengan

keselesaian. Selesai dalam hal ini sangat dipastikan akan menuntut, berbau

menyarankan agar semuanya masih baik adanya. Dalam dimensi ketakutan,

“bersembunyi” berada dibawah pembelaan teori maklum, ‘agar baik adanya’,

ungkapan itu dikatakan dengan senyum yang tidak jelas, cenderung multitafsir.

Dalam wilayah absurditas, ketakutan merupakan aksen diri yang menjadi realitas.

Sebuah mutasi dari cara pandang ataupun pemikiran. Menjumpai keterbalikan

tepat di dalam diri. Haruskah ‘pembunuhan diri logis’ menjadi jalan keluar?

Pergantian siang dan malam hanya semu belaka, karena matahari tidak pernah

tidak terang terus, mengefeknya akan terasa lebih pada penyerahan, bukan sekedar

kepasrahan, tidak lagi menuntut lebih, meskipun hanya sekedar pengurangan.

Laksana negosiasi do'a, kejatuhan itulah yang dilanda para spiritualis bumi.

Upaya pendalaman yang keliru, arusnya justru akan naik kembali pada hulu

renungan. Bagaimana akan menjadi samudra jika tidak bisa cair? Toh kepastian

itu adalah kembali pada cinta abadi, kematian yang hidup menuju

kemahahidupan.

Kediaman absurd adalah kata lain dari terminologi matahari, bahkan

langit. Wawansabda yang sendiri. Adalah tidak perlu memahami diri untuk

Diam Dalam Absurditas 46


memahami yang lain, selayaknya harus dibalik. Ketidakterikatan adalah sketsa

paling mendasar untuk sebuah ciptaan tanpa hari esok. Segala dimensi meluruh,

membumi menjadi satu jarak pandang. Hidup dalam keluasan yang difahami

sebagai keterbatasan, dialami sebagai jembatan, seterusnya. Sejatinya semua pergi

untuk kembali, pulang pada manisfestasi kesementaraan.

Perjalanan paling sepi, sepanjang jarak tempuh menuju sesuatu yang bisa

dikatakan dasar tanpa puncak. Istilah ini serasa telah begitu sering dirasakan oleh

indera. Bagaimana bisa menolak dan menghindar jika ternyata atap dari berbagai

ruang yang dijelajahi tenyata adalah jantung kita sendiri.

Ribuan putaran yang menghasilkan ribuan rute pula. Ribuan rute yang

melewati ribuan cirarasa pula. Ribuan citarasa yang menyuguhkan ribuan

penilaian pula.

Renungan menjadi terasa getir, begitulah pengembaraan akan terus

berbicara membuka ruang-ruangnya sebagai sebuah penyambutan bagi para tamu

yang datang. Kesederhanaan yang mengakibatkan sebuah pertimbangan yang

begitu berat dan menusuk. Benarkah ada keabadian dalam pengembaraan yang

berlalu di atas jalan datar cinta? Diam bukanlah sebuah penghakiman yang harus

dilakukan dengan begitu kejam. Ditinggalkan untuk mencari lagi. Dengan begitu

manis, segala bukti tentang dominasi “aku butuh engkau”, realitas yang

melampaui wujud yang tidak pernah tersentuh oleh bahasa tubuh manapun.

Kediaman yang begitu terpaksa, menebus, menembus kabut yang datang begitu

pagi. Menghindari matahari. Bersembunyi di terang malam ketika rembulan sama

sekali tak ada.

Diam Dalam Absurditas 47


B. Implementasi Visual

Penulis mengangkat tema diam dalam absurditas karena merasa yakin

tema tersebut bagi penulis merupakan sebuah fenomena paling pribadi, yang

karenanya segala sesuatu yang muncul menjadi sumber ide adalah satu gejala

yang jujur, dalam hal ini adalah sebuah fenomena psikologi yang jika dituangkan

dalam karya seni rupa akan menjadi satu hal yang tidak saja menarik bagi sisi

artistik dan estetika, melainkan diharapkan menjadi satu terobosan untuk sebuah

visual shock therapy, sebagai sarana berbincang terhdap diri tatkala apresiator

berhadapan langsung dengan karya-karya dari penulis.

Dalam karya ini penulis memberikan suasana yang menuju dalam ruang

tanpa batas, karena ketika berdiam dalam absurditas sesungguhnya kediaman itu

adalah batasan itu sendiri. Tidak ada warna, tidak ada lagi ruang, yang mewujud

hanyalah waktu yang menjadi kata lain dari “ada”.

Hal ini dibuktikan dengan pemilihan warna dan bentuk yang dengan sadar

dilakukan oleh penulis, telah dipilih dan diyakini sebagai translit konsespsi diam

dalam absurditas yang di cermati oleh penulis.

1. Teknik Visualisasi

a. Bentuk

Dalam mewujudkan ide, maka dalam tema diam dalam absurditas ini

penulis sesungguhnya hanyalah menterjemahkan sebuah diam dalam absurditas ke

dalam sebuah visualisasi bentuk ‘tanpa rupa’, satu sikap ekspresif. Dengan

Diam Dalam Absurditas 48


bentuk-bentuk tanpa rupa inilah tema absurd bisa dimungkinkan dapat dibaca

dengan benar. Hal ini berarti penulis dengan sengaja dan sadar telah membuang

kaidah kesenirupaan yang bagi penulis justru mematikan konsep diam dalam

absurditas.

b. Medium

Medium yang digunakan adalah kanvas yang mempunyai ukuran

bervariasi sebagai media visual untuk mengusung tema diam dalam absurditas.

Penulis menggunakan cat minyak dari berbagai merk diantaranya Marries,

Amsterdam, juga dalam beberapa karya juga menggunkan akrapon, satu jenis

medium untuk sablon kaos, dengan master colour pigmen dan binder sebagai

perekatnya. Penulis menggunakan bahan pencampur paint oil dan bensin

bergantung pada hasil yang diinginkan penulis dalam karya. Sedangkan alat yang

digunakan penulis terdiri dari kuas, kayu, tangan, lipatan kertas, hal ini juga

bergantung pada hasil yang dikehendaki penulis.

c. Teknik Penggarapan

Dalam penggarapan karya, penulis menggunakan teknik yang didapat

selama menempuh studi studio, juga beberapa hasil improvisasi dari

pengembangan pengalaman yang didapat penulis dari berbagai media.

Sesuai dengan tema diam dalam absurditas, proses melukis yang dilakukan

penulis dalam penggarapan karya ini adalah tidak dengan seperti cara

konvensional seperti yang banyak dilakukan pelukis kebanyakan, melainkan

Diam Dalam Absurditas 49


dengan meletakkan bidang kanvas di lantai. Hal ini bertujuan untuk mencapai

kualitas tematik, juga spirit pergerakan kuas yang akan menghasilkan satu visual

gerak yang tidak konsisten namun stabil. Artinya, penulis mengutamakan proses

yang ‘tidak wajar’ untuk mengejar satu bentuk yang mampu mewakili konsep

diam dalam absurditas. Satu wacana dimana gerak bukan lagi tidak diam, dan

diam bukan lagi tidak bergerak.

Dalam perihal warna, penulis sengaja memilih warna yang mampu

mewakili konsep diam dalam absurditas, dimana warna bukan lagi sebuah definisi

visual dalam kesenirupaan, melainkan sebuah konsepsi tentang citra mandiri yang

subyektif dan ultim, yang mampu memerankan diam dalam absuditas dalam

kancah dunia rupa.

Adapun pola bentuk dalam lukisan yang digarap penulis secara global

dapat diartikan sebagai sebuah penghindaran terhadap bentuk bentuk baku.

Mengingat konsepsi diam dalam absurditas menurut penulis adalah sebuah

simpulan tentang sebuah dunia dimana ruang akan difahami sebagai bukan ruang,

dan warna sebagai sesuatu tak berwarna. Akhirnya, sebuah visualisasi tidak harus

terbebani oleh prinsip ruang dan warna dalam seni rupa. Sebagaimana telah

dikatakan penulis, bahwa jika penulis menerapkan kaidah kesenirupaan justru hal

itu akan mematikan esensi diam dalam absurditas yang telah difahami dan

diyakini penulis.

Diam Dalam Absurditas 50


C. Analisa Karya

Diam Dalam Absurditas 51

Anda mungkin juga menyukai