A. Implementasi Teoritis
diletakkan berjajar tepat di depan diri. Pantulan yang sama, dengan citarasa yang
berbeda. Benarkah apa yang dilihat di antara kilau cahaya lampu mampu me-rupa-
kan perwajahan yang asli. Semua harus dibaca ulang dan sendiri-sendiri.
Mereka ulang, kemudian dirajut menjadi tanda. Tafsir yang begitu berat harus
aksara.
Kerinduan pada sebuah “hal baru”, bukan berarti membuang yang lama.
Seraya menangis, dan kemudian luruh menjadi sesuatu yang hilang. Namun
kiranya, semua harus pulang, kembali pada jalan awal, sebuah jalan pertama kali
datang.
Sesungguhnya, tidak ada yang perlu dicari, tak ada sesuatupun yang
hilang. Sublimasi.
telah menjadi samudra yang penuh dengan air, “kita bisa membuat apa dari
peristiwa ini?”
Salah satu kesalahan absurd adalah menuntut. Alam khyali sering disebut
juga sebagai narasumber atas ide-ide. Namun tidak bisa disangkal lagi, kini
sebuah proses penciptaan adalah bagaimana cara menahan diri dari godaan akan
keberfungian pada akhirnya. Semua tak harus jelas, sebab yang tersembunyi pun
oleh prosesi membatasi diri, sebenarnya ia telah mengantar kepada dunia yang
luas, yang terjangkau oleh nalar. Justru karya absurd lah yang tidak
masih tetap peduli untuk sekedar mencari kawan, perbincangan adalah kesunyian,
bergerak dalam ke-diam-an. Savoir-vivre (seni hidup) harus lebih tinggi daripada
savoir-faire (seni melakukan sesuatu), dan dalam kondisi itu yang ‘diam dalam
tentang seni hidup). Dalam hal memaknai, yang ‘diam dalam absurditas’ akan
sediakala lengkap dengan nuansa bumi, yang berkelok tajam tetapi tidak
lorong yang semua dindingnya serba gelap, sehingga merah menjadi "warna"
paling lembut. "Ih ngeri amat!!", begitulah refleksi "keawaman" menyatakan diri
pada ‘nyaris yakin’ bahwa ketakutan benar-benar ada pada kancah kediaman.
Garis batas absolut adalah manusia vertikal, yang menghadap langit, dengan
demikian proyeksi yakin akhirnya akan memberi bentuk terhadap bayangan yang
ditembus, dalam kediaman ini tentunya segala kata tetap dibekukan oleh
keyakinan bahwa "takut" tidak lagi samsara, ia luas tetapi masih dalam jangkauan.
Hal itu merupakan pembuktian bahwa asal-usul cahaya merupakan faktor krusial
Jika merunut pada kewajaran, tentunya segala hal harus ditutup dengan
keselesaian. Selesai dalam hal ini sangat dipastikan akan menuntut, berbau
ungkapan itu dikatakan dengan senyum yang tidak jelas, cenderung multitafsir.
Dalam wilayah absurditas, ketakutan merupakan aksen diri yang menjadi realitas.
tepat di dalam diri. Haruskah ‘pembunuhan diri logis’ menjadi jalan keluar?
Pergantian siang dan malam hanya semu belaka, karena matahari tidak pernah
tidak terang terus, mengefeknya akan terasa lebih pada penyerahan, bukan sekedar
Laksana negosiasi do'a, kejatuhan itulah yang dilanda para spiritualis bumi.
Upaya pendalaman yang keliru, arusnya justru akan naik kembali pada hulu
renungan. Bagaimana akan menjadi samudra jika tidak bisa cair? Toh kepastian
itu adalah kembali pada cinta abadi, kematian yang hidup menuju
kemahahidupan.
langit. Wawansabda yang sendiri. Adalah tidak perlu memahami diri untuk
paling mendasar untuk sebuah ciptaan tanpa hari esok. Segala dimensi meluruh,
membumi menjadi satu jarak pandang. Hidup dalam keluasan yang difahami
Perjalanan paling sepi, sepanjang jarak tempuh menuju sesuatu yang bisa
dikatakan dasar tanpa puncak. Istilah ini serasa telah begitu sering dirasakan oleh
indera. Bagaimana bisa menolak dan menghindar jika ternyata atap dari berbagai
Ribuan putaran yang menghasilkan ribuan rute pula. Ribuan rute yang
penilaian pula.
begitu berat dan menusuk. Benarkah ada keabadian dalam pengembaraan yang
berlalu di atas jalan datar cinta? Diam bukanlah sebuah penghakiman yang harus
dilakukan dengan begitu kejam. Ditinggalkan untuk mencari lagi. Dengan begitu
manis, segala bukti tentang dominasi “aku butuh engkau”, realitas yang
melampaui wujud yang tidak pernah tersentuh oleh bahasa tubuh manapun.
Kediaman yang begitu terpaksa, menebus, menembus kabut yang datang begitu
tema tersebut bagi penulis merupakan sebuah fenomena paling pribadi, yang
karenanya segala sesuatu yang muncul menjadi sumber ide adalah satu gejala
yang jujur, dalam hal ini adalah sebuah fenomena psikologi yang jika dituangkan
dalam karya seni rupa akan menjadi satu hal yang tidak saja menarik bagi sisi
artistik dan estetika, melainkan diharapkan menjadi satu terobosan untuk sebuah
visual shock therapy, sebagai sarana berbincang terhdap diri tatkala apresiator
Dalam karya ini penulis memberikan suasana yang menuju dalam ruang
tanpa batas, karena ketika berdiam dalam absurditas sesungguhnya kediaman itu
adalah batasan itu sendiri. Tidak ada warna, tidak ada lagi ruang, yang mewujud
Hal ini dibuktikan dengan pemilihan warna dan bentuk yang dengan sadar
dilakukan oleh penulis, telah dipilih dan diyakini sebagai translit konsespsi diam
1. Teknik Visualisasi
a. Bentuk
Dalam mewujudkan ide, maka dalam tema diam dalam absurditas ini
dalam sebuah visualisasi bentuk ‘tanpa rupa’, satu sikap ekspresif. Dengan
dengan benar. Hal ini berarti penulis dengan sengaja dan sadar telah membuang
kaidah kesenirupaan yang bagi penulis justru mematikan konsep diam dalam
absurditas.
b. Medium
bervariasi sebagai media visual untuk mengusung tema diam dalam absurditas.
Amsterdam, juga dalam beberapa karya juga menggunkan akrapon, satu jenis
medium untuk sablon kaos, dengan master colour pigmen dan binder sebagai
bergantung pada hasil yang diinginkan penulis dalam karya. Sedangkan alat yang
digunakan penulis terdiri dari kuas, kayu, tangan, lipatan kertas, hal ini juga
c. Teknik Penggarapan
Sesuai dengan tema diam dalam absurditas, proses melukis yang dilakukan
penulis dalam penggarapan karya ini adalah tidak dengan seperti cara
kualitas tematik, juga spirit pergerakan kuas yang akan menghasilkan satu visual
gerak yang tidak konsisten namun stabil. Artinya, penulis mengutamakan proses
yang ‘tidak wajar’ untuk mengejar satu bentuk yang mampu mewakili konsep
diam dalam absurditas. Satu wacana dimana gerak bukan lagi tidak diam, dan
mewakili konsep diam dalam absurditas, dimana warna bukan lagi sebuah definisi
visual dalam kesenirupaan, melainkan sebuah konsepsi tentang citra mandiri yang
subyektif dan ultim, yang mampu memerankan diam dalam absuditas dalam
Adapun pola bentuk dalam lukisan yang digarap penulis secara global
simpulan tentang sebuah dunia dimana ruang akan difahami sebagai bukan ruang,
dan warna sebagai sesuatu tak berwarna. Akhirnya, sebuah visualisasi tidak harus
terbebani oleh prinsip ruang dan warna dalam seni rupa. Sebagaimana telah
dikatakan penulis, bahwa jika penulis menerapkan kaidah kesenirupaan justru hal
itu akan mematikan esensi diam dalam absurditas yang telah difahami dan
diyakini penulis.