Anda di halaman 1dari 3

Perkenalkan, nama saya Den Mas Kanjeng Unlimited (sengaja tidak saya tulis

miring, karena itu nama, siapa tahu ada akademisi yang lupa). Saya ini lahir dari

golongan berwawasan intelektual. Dibesarkan dengan mental sarjana asli pribumi.

Visioner. Orientasi futristik dan sedikit mistik. Pendidikan terakhir? Seperti nama saya,

termasuk dalam kategori tak berhingga. Secara exacta makna unlimited berarti bisa

dikatakan sangat panjang, jauh, atau minimal tidak terjangkau. Hal ini bukan semata-

mata othak-athik gathuk, melainkan juga sebuah upaya pembenahan atas involusi

paradigma pendidikan yang tengah menjadi wabah bagi para murid yang kelak menjadi

calon guru, tukang asuh bagi diri pribadinya sendiri, paling tidak.

Perkara ijazah terakhir ini bagi saya penting untuk dikukuhkan dalam

kesamaran. Sebab kok rasanya percuma jika verbalitas yang penuh dengan glamour

metodik dan analitis ternyata pada aplikasi batinnya hanya setara dengan, maaf, “buta

huruf”. Sampai-sampai cara memakai sarung dan telaah kritis atas realitas sosial, politik

juga budaya sama-sama ruwetnya di zaman sekarang ini. Dalam lirik masa lalu hal itu

akan dipertegaskan dengan pertanyaan “salah siapa?”. Namun nampaknya, kok lebih

sreg dan patut sekiranya gejala kemampatan kearifan ini justru dimejahijaukan dalam

ruang batin kita masing-masing.

Ilusi, keluh kesah dan desas desus menjadi gaung abadi rasanya. Tatkala

gambaran pikir yang terbungkus akal budi, kita dudukkan dalam sasana intropeksi yang

telah disterilkan dari polusi kerakusan gila hormat dan memuji diri sendiri (daffodil

syndrom) meski tidak dengan orang lain. Juga kebiasaan terlalu lama di depan kaca

pengilon dan bergumam positif pada apa yang dipantulkan cermin datar berukuran

sedang dalam kamar. Tak lepas juga bujuk rayu sisir dan parfume kekinian, seperti
terumbu kesombongan. Ragam laku itulah setidaknya yang musti perlahan diberangus

dari ladang tingkah polah moral dan sikap sebagai manusia yang kebacut disetujui

sebagai simbol intelektualitas yang tidak terbatas pada ruang segi empat dan setumpuk

buku impor juga karya agung para pendahulu.

Lompatan ini akhirnya tidak nyambung, tapi tidak mengapa, toh tupai itu hanya

akan jatuh jika jarak antar pohon tidak terjangkau juga kenaasan hari apes yang memang

bisa muncul kapan saja. Jadi, ada yang menarik bagi seorang Den Mas Kanjeng

Unlimited seperti saya ini, yaitu: konspirasi. Kata ini angker, bias dan sekaligus vulgar.

Angker, sebab ia digemukkan dengan sebuah tujuan miris dan dengan cara-cara panjang,

merah, mendidih, mendadak –dan sepi. Pun juga bias karena ia berjalan, bersolah bawa

selayaknya hantu sakti yang muncul kapan dan dimana saja (jarang salah masuk

tentunya). Tidak urus dengan mega watt dan kadar gelap. Ia luwes melebihi jari-jemari

seorang ronggeng. Dan dalam cita rasa dan aromanya ia adalah vulgar, bahkan terkadang

eksotis, raut “film-isasi” sempurna.

Sejurus dengan itu, misal taruh kata, konspirasi itu diberi semacam tanda

pengingat bernama teror, tanpa sufik –isme. Mari menebak bersama, idhep-idhep iseng-

iseng berhadiah, berburu tuah pikir yang tak terikat oleh rayuan gombal dan semangat

pinter keblinger. Ok, diawali dari “teror”, tentu jika ia berada dalam fungsi kata benda,

pastilah ada subyek dan obyek.

Kemudian dari kata konspirasi ini, kira-kira adonan pikir apa yang dapat kita

buat? Taruh kata kepedulian berbangsa dan bermanusia itu adalah loyang! Mengacu pada

santernya media dalam mewartakan dengan kapasitas lidahnya masing-masing, kok saya

curiga: kita ini tengah ditali dengan sebuah tali yang lembut, dengan gaya makrame
(rajutan) yang indah. Kemudian digiring ke tengah pengembaraan terka duga yang

hulunya adalah berpihak terhadap sesuatu “hal” yang sama sekali tidak ada sangkut

pautnya dengan kesadaran substansial. Wah-wah…bukan apa-apa, kadang jadi terlena

tatkala issue yang diwacanakan oleh corong-corong masa kini itu kebetulan renyah dan

sengaja digoreng garing, kebetulan merangsang untuk lagi dan lagi. Ketinggalan rasanya

jika tak ikut unjuk setor bicara di warung, rumah, kantor, bahkan temu kilas di halte

maupun wc umum.

Bagi saya, konspirasi itu seperti matahari: hangat dan terang benderang, tetapi

tanpa sun block jangan harap kanker kulit tidak menjalar. Apa lagi jika sering lupa

“mandi”. Hmmm…aneh?

Iya, tapi apa benar kerenyahan baling politik ala pemerintahan ini musti diberi

porsi besar dalam skala waktu sehari-hari? Sementara mBok Jamu yang mungkin juga

tetangga kita bingung dengan harga kencur yang kian melambung. Dan itu beneran lho…

Sukoharjo, Januari 2010.

Anda mungkin juga menyukai