Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Eksistensi adalah kebohongan, dan eksistensi adalah abadi. Pengembaraan

yang membawa manusia kepada status. Menjadikan diri sebagai “kelana”,

meskipun pada akhirnya akan kembali lagi pada “cinta” semula. Demikian

panggung di bumi ini telah dimaknai sebagai mobilisasi yang benar-benar hidup.

Sebagaimana generasi daun-daun, begitulah generasi manusia: suatu

ketika angin mengguncang dedaunan hingga rontok ke tanah, tapi kemudian hutan

yang rimbun melahirkan, dan musim semi hadir. Begitulah generasi manusia,

yang berganti-ganti datang dan pergi.

Dalam gerak ada kediaman tak berujung. Ia selalu singgah dalam keriuhan

apa saja. Begitulah, manusia tidak akan pernah sanggup untuk berdiri sendiri,

menjadi sesuatu yang tunggal. Sebuah hipotesapun, tidak lebih dari sebuah

sesuatu tentang kekonyolan misterius. Analisa dalam analisa.

Manusia dalam kekhusyukan alam fikir, seperti tangga berjalan yang tak

berujung dan bertujuan. Keselesaian akan segera menjadi sesuatu yang mengawali

bagi yang lain. Percakapanpun juga mempercakapkan diri mereka sendiri.

Keabstrakan ini menjadi terlihat nyata terurai ketika “saat” yang bertepatan,

mampu tegap berdiri di depan keheningan. Senyap, sunyi. Kecemasan yang

mencekik.

Diam Dalam Absurditas 1


Ada banyak hal yang menenggelamkan tengah dipacu oleh peradaban yang

menyandarkan segenap kejadiannya pada sebuah kata “demi”. Menyodorkan

manusia yang pada titik tertentu akan berada pada kondisi bias. Anomali

penjiwaaan dan penghayatan terhadap sesuatu harus dirasakan. Fluktuasi psikis

dan akumulasi fenomena jiwani dalam kurun waktu tertentu akan menyublim

menjadi sebuah gerak, bahkan melahirkan pikiran ambigu; terkurung dalam

ketidakjelasan dan membusuk. Wawansabda yang sendiri, penjelasan yang

mengarah pada penghindaran terhadap pembicaraan.

Gejala “diam” dalam wilayah absurditas merupakan penghayatan yang pasti

terlampaui. Kehidupan adalah proses siklus yang tidak berhenti, kadangkala

memaksa manusia untuk diam dalam konteksnya masing-masing. Pergerakan

yang berpangkal pada rasa luruh menyebabkan kematian sementara.

Ketidakbergerakan yang memancarkan energi tanpa batas, mencipta sebuah

kehendak.

Dunia adalah miliknya dalam pengembaraan imanensi yang hampir

kehilangan makna. ‘Diam dalam absurditas’, sebuah embrio dari spirit yang tak

terhingga yang dipaksa menjadi tua. Intimidasi eksistensi manusiawi yang

menuntut untuk tetap hidup, di tengah hingar bingar fenomena zaman yang

melafalkan makna kehidupan dengan begitu beragam. Absurditas tetap saja

berfihak pada sikap “diam”. Mobilitas tersembunyi, menangkap cahaya,

menyimpan kemudian dirajut bagaikan rahasia malam. Begitulah yang ‘diam

dalam absurditas’ itu mencipta rembulan bagi malamnya, mencipta matahari bagi

siangnya.

Diam Dalam Absurditas 2


Dalam perkara ini nampaknya menggeser ke-diam-an kepada absurditas

total merupakan salah satu jalan keluar. Sebab, sebuah keberuntungan karena

absurditas tidaklah membutuhkan definisi, dan bisa difahami sebagai khasanah

pembebasan, dengan catatan nuansa cahaya itu masih khidmat menghadap langit.

Absurditas, selayak pencitraan hujan yang tidak selalu menggunakan gumpalan

mendung yang mencekam, bahkan dalam terik yang panas justru terkadang ada air

yang berlimpah siap mengguyur, menjadikan basah apa dan siapa saja yang tidak

berteduh, bernaung di bawah sesuatu yang melindungi.

Maka jika ‘diam dalam absurditas’ berdaya cahaya, tentunya tidak ada

kegelapan yang tidak dapat dilalui. Karena ketakutan adalah cahaya itu sendiri,

dan tidakkah hal ini absurd?

Dalam penulisan pengantar karya Tugas Akhir ini, penulis berupaya

mentransfer berbagai energi dari akumulasi fenomena ‘diam dalam absurditas’

yang telah menjadi “roh” dalam prosesi artistika, ke dalam bentuk karya seni

lukis.

Sebuah tanda (karya) adalah metamorfosa pikir dan rasa dalam bentuknya

yang paling jernih, ‘diam dalam absurditas’ seperti mata air, mencipta atau tidak

mencipta tidak mengubah apapun. Kreator absurd tidak terikat pada karyanya. Ia

dapat meninggalkan karyanya, bahkan kadang-kadang ia memang meninggalkan

dirinya. Cukuplah suatu tempat untuk bermimpi, dan tidak harus selamanya dalam

mimpi.

Diam Dalam Absurditas 3


B. Batasan

Dalam konsepsi pengantar karya ini dibutuhkan suatu batasan agar

pembahasan ini tidak melebar dan tetap fokus maka batasan pengantar karya

Tugas Akhir ini bersandar pada definisi ‘diam dalam absurditas’ dalam

artikulasinya ‘diam adalah gerak’ sebagai kulminasi dari berbagai kehendak, yaitu

tercapainya pada eksatase ‘gerak adalah diam’. Adapun batasan absurd dalam

proses artistik ini adalah sesuatu yang memiliki sifat senantiasa kontradiktif.

Ketidakseimbangannya adalah ketidakberpihakan. Definisi absurd dalam kasus ini

adalah kontekstual.

C. Rumusan

Untuk lebih mempertajam pembahasan penulisan konsep ini maka

diperlukan suatu perumusan masalah dengan mengidentifikasi masalah sebagai

kekuatan yaitu :

1. Bagaimana yang dimaksud dengan “diam dalam absurditas”?

2. Bagaimana visualisasi dari ‘diam dalam absurditas’ itu di dalam karya

seni lukis?

Diam Dalam Absurditas 4


D. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan tentang ‘Diam dalam absurditas’ dalam konsep karya ini

adalah untuk :

1. Mengetahui secara terperinci fenomena absurditas yang pada

kenyataannya mampu menginfiltrasi pemikiran bahkan perilaku

manusia, serta memetakan makna diam dalam konteks kontemplasi

eksistensial.

2. Memvisualisasikan konsepsi ’diam dalam absurditas’ dalam karya

seni lukis.

D. Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan tentang ‘Diam dalam absurditas’ ini adalah :

1. Mengetahui secara terperinci fenomena

absurditas yang pada kenyataannya mampu menginfiltrasi pemikiran

bahkan perilaku manusia, dan memetakan makna diam dalam konteks

kontemplasi eksistensial.

2. Visualisasi konsepsi ‘diam dalam

absurditas’ dalam karya seni lukis.

3. Menambah khazanah ilmu

pengetahuan bagi diri penulis dan pembaca pada umumnya.

Diam Dalam Absurditas 5


Diam Dalam Absurditas 6

Anda mungkin juga menyukai