Anda di halaman 1dari 2

OMNIVISIS BUDAYA

Perubahan, ke arah manakah wajah bumi dan kemanusiaan ini akan dihadapkan?
Sementara kebudayaan justru telah menciptakan gerombolan pasukan pemangsa.
Kenyataan ini bukanlah semata-mata sebuah alenia perubahan sejarah, bukan, melainkan
sebuah kaca mata yang dilupakan, sebuah teropong pengawasan terhadap diri, sebuah
manusia, sebuah nilai dalam melihat diri.
Wacana kebangsaan dan berbangsa yang mulai tergopoh-gopoh dalam kekaburan
makna. Jika pengadilan yang berlaku adalah justru ketajaman logika yang semakin
menua dan pikun dalam mengatasi pertanyaan diri sendiri.
Kitab-kitab pedoman yang hanya berisi paragraf-paragraf penghancuran manusia.
Sifat adikuasa itu akhirnya menjadi ilham bagi pelaku kemanusiaan yang senantiasa
mengatasnamakan budaya, yang selalu mengaku berjalan diatas rel akal budi yang bentuk
kepeduliaannya justru terasa asing bagi sebuah nilai manusia itu sendiri.
Perampokan besar-besaran tengah terjadi. Harta warisan diperebutkan dimana-
mana. Semua mengaku paling jago dalam memelihara. Sedangkan, pada sebuah sudut
desa, di pojok sebuah ruangan di antara berjuta-juta kepala manusia yang lugu, justru
dijauhkan dari artefak sejarah yang dianggap lebih aman jika diperdagangkan. Orang-
orang “rumahan” kini dibuat tidak mengenal apa-apa, kecuali informasi dzolim yang
dipersangkakan sebuah kebenaran.
Publik menjadi kehilangan arti dan makna kemanusiaan yang sesungguhnya.
Jika kepalsuan itu dimaknai sebagai kejujuran, otak kita seperti dibalik. Nalar
menjadi semacam tungku tanpa kendali, yang gampang menyala dan tersulut
kebohongan.
Begitu bernafsunya upaya ekploitasi kebudayaan yang dikehendaki para pemuka
adat bangsa ini. Dengan kapasitasnya yang mampu menjual tanda tangan. Segala
rekomendasi seolah menjadi satu-satunya syarat legitimasi.
Perampok yang bernama intelektualita itu, menguras habis dan ludes deret kesetiaan
generasi terhadap kampung halaman yang menjadi tempat mereka mengenali diri dan
manusia.
Aksi tipu yang dibalut dengan pemekaran pola pikir. Doktrin bahwa menerima
perubahan tidak boleh deperlambat jalannya. Dimanakah garis kebangsaan ini akan
diberhentikan?
Manusia-manusia tempat tumbuh kembangnya kebudayaan itu justru menanak nasi
dari kemahiran menyulap bukti sejarah menjadi uang. Gendhing-gendhing dan tarian,
ragam bahasa dan kepribadian, serta bertumpuk-tumpuk mentifak dan sosiofak “lumbung
padi” telah dengan culas dan keji disadap seperti pohon karet. Mereka liar bekerja dengan
dada membusung dan penuh dusta berkoar-koar bahwa budaya harus diselamatkan.
Benarkah itu jika akhir dari semuanya adalah untuk memenuhi kastil-kastil manusia
di luar negeri ini?
Apakah arif jika penghormatan dan kepedulian itu justru adalah satu pengkhianatan
besar-besaran. Mereka telah menutup segala pintu dan akses bangsanya sendiri, dengan
menganggap bahwa anak cucu yang bukan seperti mereka tidak akan mampu menafkahi
peninggalan sejarah yang membutuhkan biaya besar. Sepicik itukah perut mereka yang
telah menjadi hamba bagi peradaban yang jauh lebih dangkal dari kita?
Tanah tempat mereka dilahirkan menjadi tempat kencing dan buang ludah, oh..atas
nama budaya pemerkosaan itu dilakukan.
Tanpa sadar mereka telah menghamili ibu mereka sendiri. Dan dengan mulut
berbusa-busa mereka mengaku telah berkiprah tanpa pamrih. Sedang mata mereka yang
kolot itu, tak pernah berhenti menciumi payudara eropa, dan tangannya yang kotor telah
dijadikan sebagai penggaruk dubur manusia-manusia yang telah dikutuk nilai dan makna.
Dengan sikap haru, dan mata yang berair karena geram, maka biarkanlah risalah
pinggiran ini sekedar dapat sampai pada mata hati orang-orang yang kekar dalam
kebohongan makna, itu.

Indonesia, 4 Maret 2010

Ahmad Junaidi

Anda mungkin juga menyukai