Anda di halaman 1dari 15

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Absurditas

Fenomena absurd bukanlah sebuah kebetulan yang terjadi dalam pribadi

seseorang. Paradigma absurd dalam pengertiannya yang baik bisa terlahir atau

dilahirkan dengan sengaja. Meskipun faktor eksternal cukup mempunyai pengaruh

yang signifikan atas terbentuknya absurditas dalam diri. Perbaikan pemahaman

atas diri dengan menggunakan pengalaman yang telah terekam dengan seksama

dapat mencipta sebuah analisa yang pada akhirnya mampu menggugah

keberadaan emosi ketika ia tengah dibangun. Dengan menggunakan tahapan yang

telah dikemukakan oleh Herbert Spiegelberg (1965), meliputi:

1. Mengintuisi (Intuiting)

Pengalaman atau memanggil kembali fenomena; ”mempertahankan”nya

dalam kesadaran Anda, atau hidup di dalamnya, tercakup di dalamnya,

tinggal di dalam atau di atasnya.

2. Menganalisa (Analyzing)

Menguji fenomenon; mencari apa yang menghiasinya, bagaimana ia bisa

berelasi dengan sekelilingnya, bagaimana dinamikanya, dan utamanya

bagaimana esensinya.

3. Menggambarkan (Describing)

Tulis deskripsi Anda; bimbing pembaca Anda melalui intuisi dan analisis

Anda.

Pada dataran yang lebih tinggi lagi, tataran “arupadhatu” Tanpa Bentuk,

6
7

sebagai contoh yang digambarkan dengan teras-teras yang letaknya di bagian

candi paling atas, maka masa lalu, masa kini, dan mas datang, akhirnya lebur

dalam satu konsep Eksistensi yang sepenuhnya abstrak. Waktu dan Ruang

menjadi satu Kehampaan misterius. “Ageless is equally Absoluteness”, “Nir-Usia”

sama dengan “Kemutlakan”. Bersama dengan bentuk dan relativitas, konsep

seperti waktu dan ruang ditinggalkan. Dengan demikian Borobudur sendiri

menampilkan diri sebagai ”Sang Nir-Usia”, terutama pada tataran semantik yang

sangat subtil (P.Swantoro, 2002: 104).

Berbicara menganai rasio, sejurus dengan itu, Paul Cobley dan Liza Jansz

dalam buku Media dan Kebudayaan (1998) mengatakan bahwa ”rasio bukan

hanya kesadaran murni, melainkan juga kehendak untuk menjadi rasional.

Hubungan paradigmatik selalu sesuai dengan aturan sintagmatiknya sebagaimana

sebuah garis x dan y dalam sebuah sistim koordinat”

Menurut Marx, ”kondisi eksistensi manusia yang independen dari segala

bentuk masyarakat suatu keniscayaan yang abadi dari alam untuk memperantarai

pertukaran material antara manusia dan alam, dengan kata lain kehidupan

manusiawi”. Berbeda dengan hewan yang masih ”tenggelam” di dalam alam,

manusia telah ”mengatasi” alam (Paul Cobley, 1998).

Termodinamika non-keseimbangan atau jauh-dari keseimbangan (far-

from-equilibrium) berlawanan dengan sisi yang lebih umum dari Termodinamika

keseimbangan dalam tiga hal: Pertama, dan mungkin yang paling mencolok

adalah jika dalam Termodinamika keseimbangan sebuah sistem reaksi harus

berlangsung tanpa menampakkan perubahan mikroskopi yang teramati; sedangkan

menurut Termodinamika non-keseimbangan – sesusai dengan namanya – sebuah


8

reaksi justru harus menampakkan keseimbangan sebuah sistem yang telah

ditentukan (dibatasi) terisolasi dari sistem-sistem yang juga telah ditentukan;

sementara dalam kondisi non-keseimbangan sistem-sistem yang telah ditentukan

akan dapat saling bertukar massa-energi. Dan ketiga, skenario non-keseimbangan

bekerja di bawah mekanisme kontrol yang secara internal mampu melakukan self

refferential, yang dikenal dengan “pemusnahan umpan balik” (feedback

inhibition) dimana hal ini tidak akan dijumpai pada kondisi yang seimbang

(Leibelman, 1992: 216).

Absurditas dalam wilayah diri merupakan dimensi hasil bentukan daripada

Id, Ego dan Superego. Lebih spesifiknya adalah friksi dari ketiga hal tersebut,

yang telah muncul ke permukaan gunung es. Artinya, ketika seseorang telah

menyadari adanya alam tersembunyi yang tidak dapat ia tolak, di sanalah

absurditas dalam diri itu hadir.

Diam dalam absurditas berarti merupakan sebuah jembatan menuju pada

dataran yang lebih tinggi. Melampaui ‘kedirian’ yang selama ini dibawa oleh diri

(Self). Sebuah awal menuju dunia yang sebenarnya ada namun tak tersentuh. Ia

akan melewati “Aku” dan serentetan “Kediaman” yang sekian lama terlupakan.

Dimana keseimbangan akan diraih justru bukan karena kesamaan-kesamaan

melainkan dengan membuat sebuah simulasi ruang dan waktu yang khas.

Melepaskan diri dari definisi-definisi yang mengungkung. Masuk melalui pintu

“hyper reality”, yang akan membawanya ke sebuah tempat yang lebih tinggi.

Dalam hal ini, ketika seseorang telah masuk dalam dunia ‘di atas realitas’ maka ia

tidak boleh berhenti atau ia akan mengalami kejatuhan dan bahkan kehilangan diri

B. Aku Dan Diam


9

Aku dilahirkan dari rasa catatan-catatan yang hidup. Aku adalah yang

memadukan catatan-catatan, tetapi aku demikian adalah juga budak catatan-

catatan. Aku hidup dalam berbagai ukuran. Dalam ukuran kesatu, aku hidup

reseptif seperti tumbuhan atau bayi. Dalam ukuran kedua aku hidup afektif seperti

hewan atau anak-anak. Dalam ukuran ketiga aku hidup individual seperti remaja

menjadikan dirinya pusat perhatian. Dalam ukuran ke empat, aku hidup

mentransenden yang sering disebut sebagai transendental self, atau oleh Junk

disebut pula sebagai un-discovered self. Dengan demikian rasa aku pun

berkembang dari aku yang hanya bisa bergerak acak menjadi aku yang bergerak

menurut rasa. Sesuai dengan kenyataan lingkungan akhirnya menembus menjadi

aku tanpa ciri. Egoisme serta egosentris dalam perkembangan aku ini mengalami

perubahan fungsi dan struktur, bermanfaat untuk menunjang tumbuhnya aku tanpa

ciri. Namun demikian egosentrisme bisa tetap saja hidup laten sebagai atavisme

(penjelmaan binatang anonim). Pemilihan antara aku subyek dengan aku obyek

tidaklah bersifat ontologis, tetapi fungsional sebagaimana nampak dalam konsep

tentang rasa. Aku merasa subyek karena ia selalu melakukan hubungan dengan

obyek intensionalitasnya (Darmanto Jatman, 2000, hal 21-23).

Dimensi manusia meliputi jasmani dan rohani. Dalam bahasa khasnya

manusia sering disebut (aku) sebagai antropina, maksudnya itu merupakan aku

yang memiliki ciri-ciri jasmani dan rohani. Yang mau dikatakan di sini bahwa aku

itu berevolusi serentak secara fisiologik (jasmani dan sosiogenetik [evolusi

rohani]). Dengan kata lain, manusia yang lahir secara fisiologik prematur, artinya

masih dengan kelemahan-kelemahannya itu justru karena kelemahan-


10

kelemahannya itu manusia melakukan kompensasi-kompensasi yang menjadi

kelebihan-kelebihannya, yaitu mempunyai posisi tegak, berkemampuan bahasa,

berpikir, dan bertindak secara intelektual.

Aku (manusia) sebagai eksistensi adalah aku yang dilihat manusia sejauh

dilihat sebagai yang berada di dunia bersama dengan manusia lain. Bagaimana

manusia berada? Ia bereksistensi sebagai aku dalam hubungannya dengan orang

lain, dalam sebuah komunikasi intersubyektivitas. Dalam komunikasi itu manusia

menghayati hidupnya dan mengolah dunia bersama-sama yang lain hingga

menjadi “lebenswelt” (dunia yang bisa, pantas didiami). Ternyata ia tidak

sendirian, tetapi berada bersama dengan aku-aku yang lain. Inilah ”mitwelt” atau

”ada bersama” dari manusia-manusia (Darmanto Jatman, 2000, hal: 37-41).

Menurut Descartes, manusia adalah aku atau substansi yang berpikir. Ciri ini

disebut ciri ontologis yaitu kemampuan manusia untuk mengambil jarak dari alam

dan diri sendiri sehingga mampu menyadari diri sendiri (substansi). Ini

konsekuensi logis dari ”Cogito ergo Sum” (saya berpikir maka saya ada). Disini

titik beratnya pada segi berpikir, rohani dan kesadaran dari si aku (manusia).

Maka, aku dipahami sebagai sustansi kesadaran atau pemikiran (Mudji Sutrisno:

2006).

Dalam ranah psikologisnya manusia dikenal memiliki dua alam, yakni alam

sadar (conscious mind) dan alam bawah sadar (unconscious mind). Alam sadar

adalah apa yang Anda sadari pada saat-saat tertentu, penginderaan langsung,

ingatan, pemikiran, fantasi, dan perasaan yang Anda miliki. Terkait dengan alam

sadar ini adalah apa yang dinamakan Freud dengan alam pra-sadar, yaitu apa

yang kita sebut saat ini dengan ”kenangan yang tersedia” (available memory),
11

yaitu segala sesuatu yang dengan mudah dipanggil ke alam sadar (George Boeree:

2000). Sedang bagian terbesarnya adalah alam bawah sadar (unconscious mind).

Bagian ini mencakup segala sesuatu yang sangat sulit dibawa ke alam sadar,

termasuk segala sesuatu yang memang asalnya alam bawah sadar, seperti nafsu

dan insting kita serta segala sesuatu yang masuk ke sana karena kita tidak mampu

menjangkaunya, seperti kenangan atau emosi-emosi yang terkait dengan trauma

(Darmanto Jatman, 2000).

Dari sinilah problematika absurd itu mulai menga-ada dalam kedirian

manusia, sehingga ada sebagian manusia yang sengaja berdiam dalam absurditas

untuk mencapai suatu hal, yang kulminasi akhir yang diharapkan adalah

kenyamanan hidup yang jauh dari kekacauan dinamika zaman dengan segala

persoalannya.

Teori Freud yang paling masyur tentang hal ini adalah tentang Id, Ego, dan

Superego.

1. Id

Ketika manusia lahir, sistem sarafnya hanya sedikit lebih baik dari

binatang, itulah yang dinamakan Id, bertugas menerjemahkan kebudayaan

satu organisme menjadi daya-daya motivasional yang disebut dalam

bahasa Jerman sebagai Triebe, yang dapat diterjemahkan sebagai insting,

atau nafsu. Freud juga menyebutnya dengan kebutuhan. Penerjemahan dari

kebutuhan menjadi keinginan ini disebut proses primer.

2. Ego
12

Ego menghubungkan organisme dengan realitas dunia melalui alam sadar

yang dia tempati, dan dia mencari obyek-obyek untuk memuaskan

keinginan dan nafsu yang dimunculkan Id untuk mepresentasikan apa yang

dibutuhkan organisme. Proses penyelesaian ini disebut proses sekunder.

Ego berfungsi berdasarkan prinsip relitas, artinya dia memnuhi kebutuhan

organisme berdasarkan obyek-obyek yang sesuai dan dapat ditemukan

dalam kenyataan. Ego mempresentasikan kenyataan, dan sampai tingkat

tertentu juga mempresentasikan akal.

3. Superego

Ketika ego berusaha membuat Id (atau organisme) tetap senang, di sisi lain

dia juga mengalami hambatan yang ada di dunia nyata. Catatan tentang

segala obyek dunia yang menghalangi dan mendukungnya inilah yang

yang kemudian disebut superego. Prosesnya tidak akan pernah berakhir.

Ada dua aspek supergo yaitu:

a. Nurani (conscience)

Merupakan internalisasi dari hukuman dan peringatan

b. Ego ideal

Ego ideal berasal dari pujian dan contoh-contoh positif yang diberikan

kepada anak-anak (George Boeree: 2000).

Berpijak dari berbagai kenyataan psikologis di atas, maka fenomena

absurd nampaknya adalah menjadi sebuah keniscayaan yang sangat dapat

diterima. Diam dalam absurditas bukanlah sebuah mimpi ataupun fantasi,

melainkan sebuah proses ekstraksi spirit yang begitu pribadi.

Aku sebagai inti eksistensi telah mengada sebagai pra-sel sebelum


13

kemudian mentransendensikan diri menjadi ’receptiveself’ ’avective self’

individual self’ serta akhirnya ’trancedental self’, yang menjadi pengawas dari

eksistensi manusia secara keutuhan. Keterpilahan antara aku yang diteliti dengan

aku yang meneliti sering menggoda kita untuk mengakui adanya satu aku, yakni

aku subyek; padahal dalam relasi hubungan aku subyek dan aku obyek inilah

kesadaran akan aku tumbuh. Sehingga hubungan fungsional aku subyek dan aku

obyek ini justru merupakan peluang bagi dinamika perkembangan manusia dari

potensi menjadi aktualisasi. Kenyataan eksistensi bahwa ada sesuatu, baik

eksistesi dalam dunia sekitarnya maupun eksistensi dirinya sendiri dalam satu

suku tertentu, merupakan suatu kekuatan pokok yang mempesonakan pikiran dan

perbutannya. Manusia mencari asal mula eksistensinya peristiwa kehidupan

(Peursen, 1998).

Esensi Individualisme adalah subyek transendental, atau dalam kerangka

yang lebih teologis, dalam hubungan yang langsung individu dengan Tuhan

(Bryan Turner, 2008). Menurut George H Mead, Self (Diri) bagi Mead,

kemampuan untuk memberi jawaban kepada diri sendiri sebagaimana ia memberi

jawaban terhadap orang lain, merupakan kondisi-kondisi penting dalam rangka

perkembangan akal budi itu sendiri. Dalam arti ini, Self sebagaimana juga Mind

bukanlah suatu obyek melainkan suatu proses sadar yang mempunyai beberapa

kemampuan (Bernard Raho, 2007).

Mahzab Scolastik pada abad pertengahan di Eropa telah menandaskan,

bahwa segala sesuatu itu ada, sejauh itu ada, bersifat tunggal, benar, baik dan

indah (omne ens unum, verum, bonum, pulchrum), artinya:

Tunggal: Menampakkan diri sebagai suatu kesatuan, ada kebulatan,


14

dalam diri sendiri; akal budi kita ada kecenderungan, untuk

memandang segala sesuatu serba berkaitan.

Benar: Dapat diraih oleh akal budi, ada nilai bagi akal budi untuk

dikejar.

Baik: Menghimbau pada kemampuan kita untuk dilaksanakan, ada nilai

untuk dilakukan dan dilaksanakan

Ingatan adalah sebuah ruang yang mampu mencatat kenangan-kenangan.

Bila ingatan merupakan tabularasa atau kertas putih yang ditulisi oleh kenangan

pahit maupun kenangan bahagia , maka ia merupakan salah satu sumber sejarah

seseorang yang menghubungkan masa lalu dan masa depan sebagai prospek saat

perjalanan hidup dalam waktu dan ruang yang dihayati sesadar-sadarnya, (Mudji

Sutrisno, 2006: 132).


15

C. Ruang Dan Waktu

Berbicara mengenai ruang dalam wilayah absurditas sesungguhnya adalah

mengulas tentang sebuah proses ultim yang tidak dapat ditempuh oleh kesadaran

manapun. Karena ruang adalah sebuah syarat mutlak yang harus ada untuk

mengantar kita pada pengandaian-pengandaian yang bersifat sakral dan

menyeluruh.

Ruang dalam dimensi absurd bukan lagi ”space” yang memiliki volume

matematis, ia telah lepas dari kaidah fisika. Lebur dengan begitu senyap.

Kontruksinya ruang dalam absurditas jika ditilik dari ranah kontekstual justru

tidak dapat diraba. Eksistensinya dihilangkan, sebaliknya esensinya akan terlihat

seperti ledakan. Keberadaanya akan difahami sebagai proses perbaikan emosi.

Ruang, dimana equilibrium tidak lagi diartikan sebagai batasan emosional

sewajarnya, melainkan proses penciptaan ’hal’ baru, seterusnya. Berubah dari

energi satu ke energi yang lain. Ruang adalah keselarasan yang tercipta dari friksi

ketiadaan bentuk yang sesungguhnya ada. Ruang dalam absurditas inilah yang

tidak dapat ditembus, karena ia harus dijalani. Tidak ada penghindaraan yang

layak atasnya, kecuali ”bunuh diri logis”.

Dalam uraiannya mengenai metafisika integral Frithjof Schuon

menyatakan:

Sebagai permulaan, tampaknya kita mulai dari konsep bahwa Realitas


Suprim bersifat Absolut dan tetap absolut; Ia tak berhingga. Keabsolutan-Nya
ini tidak mengalami penambahan maupun pengurangan., tidak mengalami
kelipatan maupun pembagian; Ia, dengan demikian adalah yang sejak semula
diri-Nya sendiri, dan secara total adalah diri-Nya sendiri. Sedangkan, dalam
Ketidakberhinggan-Nya, Ia sama sekali tidak dibatasi oleh faktor-faktor apapun
16

dan tidak memiliki batas akhir dalam hal apapun; Ia adalah potensialitas atau
kemungkinan semata-mata; dan ipso facto adalah kemungkinan dari segala
sesuatu, dengan demikian Ia adalah Hakikat. Tanpa adanya kemungkinan dari
segala sesuatu ini, tidak ada pencipta maupun yang dicipta, tidak Maya ataupun
Samsara.
Yang Tak Berhingga, dapat dikatakan merupakan dimensi intrinsik dari

pemenuhan yang sesuai bagi Yang Absolut; membicarakan Yang Absolut berarti

juga membicarakan Yang Tak Berhingga, yang satu tidak mungkin ada tanpa

yang lain. Secara simbolis kita dapat menggambarkan hubungan antara kedua

Realitas Suprim tersebut dengan contoh-contoh sebagai berikut. Dalam dimensi

ruang, Yang Absolut adalah titik, sedang Yang tak Berhingga adalah perluasan;

dalam dimensi waktu, Yang Absolut adalah saat, sedang Yang Tak Berhingga

adalah durasi; dalam tataran materi, Yang Basolut adalah ether –substansi

primordial, dasar yang ada dimana-mana.- dan Yang Tak Berhingga adalah

kemungkinan rangkaian substansi-substansi yang tak terhingga jumlahnya; dalam

tataran bentuk, Yang Absolut adalah sphere –bentuk yang simpel dan primordial-

dan Yang Tak Berhingga adalah kemungkinan bentuk-bentuk; akhirnya dalam

tataran angka, Yang Absolut adalah kemungkinan rangkaian angka-angka,

kuantitas-kuantitas atau totalitas (Fritjhof Schuon: 1995).

Perbedaan antara Yang Absolut dan Yang Tak Berhingga di atas

mengekspresikan dua aspek fundamental Realitas, yaitu esensi dan potensi;

keduanya juga merupakan prefigurasi tertinggi dari kutub maskulin-feminim;

dimana dari aspek yang kedualah – Yang Tak Berhingga – , yang merupakan

bentuk lain dari kemungkinan dari segala sesuatu, munculnya pancaran Universal,

baik yang Illahi maupun Maya Kosmik (Schuon, 1986: 111).

John McTaggart Ellis (1866-1925) berpendapat bahwa kehadiran bukanlah


17

sebuah dimensi yang bergerak, sepanjang rentetan kejadian, dari masa lalu

menuju masa depan. Pendek kata fenomena yang terhampar—menurut

McTaggart---didasarkan pada peristiwa-peristiwa masa depan yang menjadi hadir

dan selanjutnya surut menjadi masa lalu. Karenanya semua peristiwa secara

serentak dapat dianggap sebagai masa lalu, masa kini dan masa depan (Broad,

1933).

Jika menjadi nihilisme itu dibenarkan, dalam batas sistem hegemoni yang

tak bisa dipertahankan lagi, tindakan cemoohan dan kekerasan yang radikal ini,

tantangan dimana sistim terpanggil untuk merespon menuju kematiannya sendiri,

maka saya adalah seorang teroris dan nihilis dalam teori sebagaimana orang lain

dengan senjatanya (Baudrillard, 1984:39).

Menurut Meyrowitz situasi sosial tidak terikat dengan lokasi fisik, dan

sebagai akibatnya kategori sosial dan wujud normatif serta tempat interaksi kita

menjadi kabur (Lull, 1998). Sebagaimana dikatakan Deleuze dan Guattari, ”..kami

tidak puas lagi dengan gagasan imanensi sebagai imanen terhadap transenden

kami ingin memikirkan transendensi di dalam imanen, dan hanya dari imanensi

percabangan dapat ditemukan. Imanensi yang dibebaskan dari relasi oposisi

binernya dengan transensden dan di dalam otonominya menyerap yang transenden

ke dalam ruangnya-inilah yang disebut Deleuze dan Guattari bidang imanensi

(plan of imanence), yaitu kesatuan utuh dari berbagai mesin konkrit maupun

abstrak,- manusia, obyek, alam, skema, aransemen, citra- yang secara bersama-

sama membentuk MESIN BESAR konsep bidang imenensi ini dapat menjelaskan

fenomena cyber space (Mudji Sutrisno dan Hendar Putranto, 2005).

D. Absurditas Dan Artistika


18

Ada sebuah dialog absurd dalam sebuah buku Umar Kayam:

Dan sebagai lembu peteng cum priyayi, aku membayangkan seandainya

Pak Ageng masih sugeng beliau tentu akan menatapku tajam-tajam dan

bertanya ”Faham?”

(Jogya, 2002)

Albert Camus dalam bukunya yang berjudul Mite Sisifus dengan begitu

cemerlang mengetengahkan wacana absurditas. Berikut ini adalah saduran asli

dari buku tersebut .

Semua kehidupan yang dijalani dalam suasana absurd yang kikir


tidak akan mampu bertahan tanpa suatu pikiran yang dalam dan tetap,
yang menghidupinya dengan kekuatannya. Bahkan itu pun hanya
dapat berupa suatu rasa kesetiaan yang aneh. Kita telah melihat orang-
orang yang dengan sadar melakukan tugas di dalam berbagai perang
yang paling konyol tanpa merasakan suatu pertentangan batin. Itu
karena masalahnya adalah tidak menghindar terhadap apapun. Dengan
demikian terdapat kebahagiaan metafisik untuk menanggung
absurditas dunia. Penaklukan atau permainan, cinta tak terhitung
pemberontakan absurd, semua itu adalah penghormatan yang diberikan
manusia kepada martabatnya dalam suatu pertempuran dimana ia
sudah kalah sebelum mulai.
Masalahnya hanyalah tetap setia kepada aturan pertempuran.
Pemikiran ini tentunya cukup untuk memberi kekuatan kepada suatu
jiwa, karena telah dan masih terus menjadi penopang banyak
peradaban. Kita tidak menyangkal perang. Kita harus hidup dalam
perang atau mati karena perang. Demikian pula yang absurd: kita
harus bernafas dengan yang absurd, mengenali hikmah-hikmahnya dan
menemukan wadagnya. Dalam hal itu, kebagiaan absurd yang
terutama adalah penciptaan. “Seni, dan seni saja”, kata Nietzche, “kita
memiliki seni agar tidak mati dalam menerima kebenaran”.
Pada saat yang sama jangkauannya hanyalah penciptaan yang
berkelanjutan dan tak ternilai yang setiap hari dalam hidupnya dijalani
olah pemain drama, penakluk dan semua manusia absurd. Semua
berusaha meniru, mengulangi dan menciptakan kembali realitas milik
masing-masing. Akhirnya kita selalu menemukan wajah dari
kebenaran-kebenaran kita. Seluruh eksistensi, bagi seorang manusia
yang berpaling dari keabadian, hanyalah suatu peniruan yang
melampaui ukuran, di balik topeng absurditas. Penciptaan adalah
peniruan besar (Camus: 122).
19

Memerikan, itulah ambisi terakhir pemikiran absurd. Ilmu


pengetahuanpun bila tiba pada segala akhir paradoksnya, tidak
mengajukan saran lagi dan berhenti untuk merenungkan dan melukis
pemandangan yang bersih dari gejala-gejala. Begitulah hati kita
mengetahui bahwa perasaan yang membawa kita ke hadapan wajah-
wajah dunia tidak berasal dari kedalamannya melainkan dari
keragamannya. Penjelasan tidak ada gunanya, namun perasaan tetap
tinggal, dan bersamanya terdapat panggilan yang tak henti-hentinya
dari suatu dunia yang tidak dapat ditimba habis dengan hitungan. Di
sinilah kita ketahui tempat karya seni.
Karya seni sekaligus menandai kematian suatu pengalaman dan
penggandaannya. Karya seni adalah seperti pengulangan monoton dan
bergelora dari tema-tema yang sudah digubah oleh dunia: tubuh,
gambar yang kekayaannya tidak pernah kering di bagian depan kuil,
bentuk-bentuk atau warna-warna, bilangan atau kenestapaan. Jadi
tidaklah tanpa arti untuk berhenti menemukan tema-tema utama esei
dalam alam sang pencipta yang luar biasa indahya dan kekanak-
kanakan. Kita keliru jika melihat seni sebagai lambang dan
beranggapan bahwa karya seni akhirnya dapat dianggap sebagai
tempat berlindung terhadap yang absurd. Karya seni itu sendiri adalah
gejala absurd dan yang diperbincangkan adalah deskripsinya saja.
Karya seni tidak menawarkan jalan keluar untuk penyakit pikiran.
Sebaliknya, adalah suatu tanda atas penyakit itu yang memantulkannya
pada seluruh pikiran manusia. Tetapi untuk pertama kalinya karya seni
membuat pikiran keluar dari dirinya sendiri dan menempatkannya di
hadapan pikiran lain, bukan agar lenyap, melainkan untuk
menunjukkan dengan jari yang tepat jalan buntu yang harus dijalani
oleh semua orang. Dalam kerangka waktu pemikiran absurd,
penciptaan mengiringi ketidakberpihakan dan penemuan. Penciptaan
menandai titik saat nafsu-nafsu absurd membumbung, dan saat
penalaran berhenti (Camus: 124).
Gagasan mengenai sebuah seni yang dilepaskan dari penciptanya
tidak hanya kuno, tetapi juga keliru. Berbeda dengan seniman,
dikatakan bahwa tidak ada seorang filsuf pun yang menciptakan
beberapa sistem. Tetapi hal itu benar sejauh tidak seorang seniman pun
mengungkapkan lebih dari satu hal dalam berbagai wajah.
Kesempurnaan seketika dalam seni, kebutuhannya akan pembaharuan,
hanya benar karena diduga demikian saja. Sebab, karya seni juga
merupakan suatu bentukan dan setiap orang tahu betapa para pencipta
besar dapat membosankan. Seniman, seperti halnya pemikir
melibatkan diri dan menjadi dirinya sendiri dalam karyanya. Peleburan
itu menimbulkan masalah estetika yang paling penting. Lebih-lebih
lagi tiada yang suatupun yang sia-sia daripada pembedaan-pembedaan
berdasarkan metode dan obyek bagi seorang yang yakin akan kesatuan
antara tujuan pikiran. Hal itu perlu dikatakan, sebagai permulaan. Agar
suatu karya absurd dapat tercipta, harus dicampurkan didalamnya
pikiran dalam bentuknya yang paling jernih. Tetapi pada waktu yang
sama pikiran tersebut tidak boleh sama sekali muncul selain sebagai
20

nalar yang mengatur. Paradoks itu dapat dijelaskan berdasarkan


absurditas. Karya seni lahir dari penolakan akal budi untuk bernalar
tentang yang konkret. Ia menandai kemenangan aspek jasmani. Pikiran
jernihlah yang menimbulkan karya seni itu, tetapi dalam tindakan itu
sendiri pikiran menyangkal dirinya sendiri. Ia tidak akan menyerah
kepada godaan untuk menambahkan secara berlebihan satu arti yang
lebih dalam pada apa yang dideskripsikannya, yang sepengatahuannya
tidak sah (Camus: 126).
Karya seni menjelmakan suatu drama akal budi, tetapi ia hanya
memberikan bukti tak langsung tentang drama itu. Karya absurd
menuntut seorang seniman yang sadar akan batas-batas ini, dan suatu
seni yang dimana yang konkret tidak mengungkapkan lebih dari
dirinya sendiri. Ia tidak dapat menjadi tujuan, makna, ataupun
penghiburan suatu kehidupan. Mancipta atau tidak mencipta tidak
mengubah apapun. Pencipta absurd tidak terikat pada karyanya. Ia
dapat meninggalkan karyanya, bahkan kadang-kadang ia memang
meninggalkannya. Cukuplah suatu tempat untuk bermimpi (Camus:
126).
Masalah yang dihadapi seniman absurd adalah memperoleh
savoir-vivre (seni hidup) yang melebihi savoir-faire (seni melakukan
sesuatu). Sebagai penutup, sang seniman besar dalam suasana tersebut
pertama-tama adalah un grand vivant (seorang yang sungguh
mengetahui seni hidup); tentu saja di sini pengertian hidup adalah baik
mengalami maupun berpikir. Jadi, karya merupakan penjelmaan dari
suatu drama intelektual. Karya absurd menggambarkan penolakan
pikiran terhadap gengsinya dan penyangkalannya untuk tidak menjadi
lebih dari akal budi yang mendayagunakan penampilan lahiriah dan
menutupi hal yang tak bernalar dengan gambaran-gambaran.
Seandainya dunia jelas, seni tidak mungkin ada (Camus: 127).
Berpikir adalah pertama-tama ingin menciptakan suatu dunia
(atau membatasi dunianya sendiri, yang jatuhnya sama saja). Berpikir
adalah berangkat dari ketidaksesuaian mendasar yang memisahkan
manusia dari penglamannya untuk menemukan suatu wilayah
persetujuan seusai dengan kerinduannya, suatu dunia yang terbingkai
nalar atau diterangi berbagai analogi yang memungkinkan
menguraikan perceraian yang tak tertanggungkan itu. Filsuf, Kant
sekalipun, adalah pencipta. Ia mempunyai tokoh-tokoh, lambang-
lambang, dan tindakan-tindakan rahasianya sendiri. Ia mempunyai
penyelesaian-penyelesaian juga.
Suatu sikap absurd, agar tetap absurd, harus sadar akan
ketidakterikatannya. Demikian pula karya seni. Jika perintah-perintah
dari yang absurd tidak dipatuhi, jika karya seni tidak menggambarkan
penceraian dan pemberontakan, jika ia mengabdikan diri kepada ilusi
dan menghidupkan harapan, ia kehilangan ketidakterikatannya
(Camus: 128).

Anda mungkin juga menyukai