Maraknya issue mengenai Pulau Komodo pada akhirnya menggelitik rasa
keinginfahaman yang lebih tentang baik tidaknya pengukuhannya sebagai salah satu tujuh keajaiban dunia. Menilik ulang atas beberapa peristiwa sejarah yang pernah terekam dalam ingatan, betapa Borobudur akhirnya di pecat dari statusnya: habis manis sepah dibuang. Kemudian batik dan keris menyusul sebagai pengganti. Dengan semangat kesadaran berbangsa maka munculah hasrat bertanya mengapa hal itu dapat begitu saja terjadi? Apakah tepat jika makna dan fungsi warisan budaya asli negeri ini justru digiring pada pemahaman bahwa jika pengukuhan barat tidak segera diperoleh maka spiritualitas dan kekuatan local genius dan terumbu heritage akan tidak lagi memiliki arti dan makna? Nampaknya ada upaya penggembosan dan pemerosotan definisi mengenai energi budaya. Tak pelak lagi, respon masyarakat Indonesia pada umumnya sejauh ini begitu antusias dengan proyeksi yang sengaja dibangun oleh negara-negara barat dalam urusan mengenai budaya. Sebut saja UNESCO, yang sudah diwenangi sebagai “juru runding” atas kasus-kasus kebudayaan yang sesungguhnya sangat dilematis. Tidak berbeda jauh dengan fungsi sebuah kunci rumah, analogi yang cukup menarik ialah: apakah baik untuk “kesehatan” jika sebuah rumah menjadi dapat dimasuki siapa saja? Karena seperti itulah efek dari kebebasan akses yang akan terjadi jika sebuah artefak budaya diwisuda menjadi warisan dunia. Sebab regulasi tentang hak bagi pemilik budaya sejauh ini hanyalah sekedar ide tertulis. Yang pada akhirnya mungkin akan sekedar menjadi persoalan filosofis yang menyakitkan. Betapa banyak pledoi dan applous yang keblinger telah bergulir mengerumuni satu keputusan prestisius dan “jahat” itu. Tidak ingatkah bangsa ini terhadap pola konspirasi yang sangat deras diluncurkan negara maju demi mewakili kepentingan beberapa golongan yang memang begitu mendambakan hancurnya bangsa yang lain. Perilaku pemusnahan yang disulap menjadi seperti pembangunan radikal dan futuristik. Rentetan janji tentang kemajuan dan modernitas bangsa disuguhkan. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih, mayoritas kesadaran berbangsa dewasa ini seperti terbungkam. Tergagap dalam menyikapi permasalahan.
Free Hot Spot Pulau Komodo? 2
Paradoks Kebudayaan by amadtattoo
Upaya pendalaman mengenai korelasi antara budaya dan kapitalisme sejujurnya
harus dibuatkan meja belajar yang lebih lebar dan lampu yang lebih terang: untuk sebuah kemajuan pikir yang benar. Ikhtiar komprehensif sebagai analisa kritis terhadap masalah kebudayaan seyogyanya harus lebih diakomodir oleh pemerintah dan media. Betapapun, kapitalisme akan membuat kaki dari apa saja sebagai sarana ekspansi hegemoni komoditi. Fakta terjadinya skandal dan kasak-kusuk antara kebudayaan dan kapitaslisme sewajarnya harus segera dicarikan jalan keluar. Menjadi harapan kiranya, Pulau Komodo akan tetap seperti sediakala. Dan biarkan anak bangsa yang mewarisi orisinilitasnya, menjaga dan merawat dengan cara yang selayaknya. Bukan dengan gaya impor yang justru membuat pedih “kesejahteraan” budaya asli. Free Hot Spot Pulau Komodo, jangan sampai terjadi.