Anda di halaman 1dari 51

CASE REPORT STUDY

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER


DI RUMAH SAKIT STROKE NASIONAL BUKITTINGGI
(8 APRIL 28 JUNI 2013)

DEMAM TIFOID, GASTRITIS, DAN TUBERKULOSIS PARU PADA ANAK

OLEH
KELOMPOK 2
1. LAILATURRAHMI, S. Farm

1241012026

2. ANGGRAINI PHAWESTRI SARI, S. Farm 1241012063


3. RAEHOFDI, S. Farm

1241012099

4. TEGUH UTAMA, S. Farm

1241012112

5. MIA AMELIA, S. Farm

1241012149

PROGRAM PROFESI APOTEKER

UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Demam Tifoid


a. Definisi
Demam tifoid merupakan infeksi akut sistemik yang disebabkan oleh bakteri
Salmonella typhi. Penyakit ini mengenai sistem retikuloendotelial, kelenjar limfe
saluran cerna, dan kandung empedu, serta menular melalui jalur fekal-oral(1).
b. Etiologi
Basil penyebab tifoid adalah S. typhi dan paratyphi dari genus Salmonella.
Basil ini merupakan basil gram negatif, bergerak, tidak berkapsul, tidak
membentuk spora, tetapi memiliki fimbria, bersifat aerob dan anaerob fakultatif.
Ukurannya antara (2-4) x 0,6 m. Suhu optimum untuk tumbuh adalah 37C
dengan pH 6-8. Basil ini mempunyai struktur yang dapat diketahui secara
serologis karena memiliki antigen somatik (O), antigen flagel (H), dan antigen
Vi. Sementara itu, berdasarkan antigen somatik yang dimilikinya, Salmonella
dapat dibagi menjadi 65 kelompok serologik yang ditandai dengan huruf A, B, C,
D, dan lain-lain. Masa inkubasi tifoid pada anak berlangsung selama 5 40 hari
dengan perjalanan penyakit yang kadang-kadang tidak teratur(2).

c. Epidemiologi

Pada tahun 2004 S. typhi diperkirakan menginfeksi 21,7 juta orang dan
menyebabkan 217.000 kematian di seluruh dunia. Insidensi tinggi demam tifoid
(>100 kasus/100.000 populasi/tahun) ditemukan di Asia Selatan, Asia Tenggara,
dan Afrika Selatan, sebanyak 80% kasus berasal dari area kumuh di Bangladesh,
Cina, India, Indonesia, Laos, Nepal, Pakistan, dan Vietnam (3). Insidens demam
tifoid di Indonesia pada usia masing-masing adalah 01, 2-4, 5-15, dan rata-rata
adalah 0,0/100.000, 148,7/100.000, 180,3/100.000, dan 81,7/100.000 kasus(4).
d. Patogenesis
Setelah kuman Salmonella typhi tertelan, kuman tersebut dapat bertahan
terhadap asam lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus pada
ileum terminalis. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus, ukut aliran ke
kelenjar limfe mesenterika, bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai
ke jaringan RES di organ hati dan limpa. S. typhi mengalami multiplikasi di
dalam sel fagosit mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika,
hati, dan limpa(1).
Setelah melalui periode inkubasi, maka S. typhi akan keluar dan melalui
duktus torasikus akan masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini,
organism dapat mencapai organ manapun, tetapi tempat yang disukai oleh S.
typhi adalah hati, limpa, susmsum tulang, kandung empedu, dan Peyers patch
dari ileum terminal(1).
e. Manifestasi Klinis
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid adalah 5-40 hari dengan ratarata antara 10 14 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala
klinis ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat
hingga harus dirawat(1).
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit.
Banyak orang tua pasien demam tifoid yang melaporkan bahwa demam lebih
tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat
3

demam sudah tinggi, dapat disertai gejala system saraf pusat seperti delirium atau
penurunan kesadaran mulai dari apati sampai koma(1).
Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri
kepala, malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut, dan radang tenggorokan.
Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid sangat bervariasi. Pada anak,
diare sering dijumpai pada awal gejala yang baru,kemudian dilanjutkan dengan
konstipasi. Pada sebagian pasien, lidah tampak kotor dengan putih di tengah
sedangkan di tepi dan ujungnya kemerahan(1).
f. Komplikasi
Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 0,5 3% kasus,
sedangkan perdarahan usus dilaporkan terjadi pada 1 10% kasus demam tifoid
anak. Komplikasi ini biasanya ditemui pada minggu ke 3, walaupun pernah
dilaporkan terjadi pada minggu pertama. Perforasi usus halus dapat didahului
oleh nyeri abdomen lokal pada kuadran kanan bawah, kemudian muntah, nyeri
pada perabaan abdomen, dan tanda-tanda peritonitis. Perforasi usus halus dan
peritonitis dapat diikuti dengan peningkatan frekuensi nadi secara tiba-tiba,
hipotensi, dan penurunan suhu tubuh(1,5).
Meskipun perubahan fungsi hati ditemukan pada banyak pasien demam
tifoid, hepatitis, jaundice, dan kolesistisis yang signifikan secara klinis relatif
jarang terjadi. Hepatitis tifosa asimtomatik dapat dijumpai pada kasus demam
tifoid dengan ditandai peningkatan kadar transaminase yang tidak mencolok.
Ikterus dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar transaminase maupun
kolesistisis akut juga dapat dijumpai. Miokarditis dapat timbul dengan
manifestasi klinis berupa aritmia, perubahan ST T pada EKG, syok
kardiogenik, infiltrasi lemak, maupun nekrosis pada jantung. Komplikasi
neurologis tidak umum terjadi pada anak-anak, sebagian besar bermanifestasi
dalam bentuk gangguan kesadaran, disorientasi, delirium, obtundasi, stupor,
bahkan koma. Pneumonia sebagai penyulit sering dijumpai pada demam tifoid.

Keadaan ini dapat ditimbulkan oleh S. typhi tetapi seringkali sebagai akibat
infeksi sekunder kuman lain(1,5).

g. Penatalaksanaan
Penderita yang dirawat harus tirah baring untuk mencegah komplikasi,
terutama perdarahan dan perforasi. Bila penyakit membaik, dilakukan mobilisasi
secara bertahap sesuai dengan pulihnya penderita. Kebutuhan cairan penderita
harus terpenuhi dan disesuaikan dengan kebutuhan harian. Penderita harus
mendapatkan diet khusus, berupa makanan lunak yang mengandung kalori dan
protein yang cukup, serta mengandung rendah serat. Bila keadaan penderita baik,
diet dapat dimulai dengan diet padat atau tim. Akan tetapi, penderita dengan
klinis berat sebaiknya dimulai dengan bubur atau diet cair yang selanjutnya
diubah secara bertahap sesuai tingkat kesembuhan penderita(2).
Untuk tujuan eradikasi kuman, antimikroba yang diberikan sebagai terapi
awal

adalah

kloramfenikol,

kelompok

antimikroba

ampisilin/amoksisilin,

lini
serta

pertama

untuk

tifoid,

yaitu

trimetoprim-sulfametoksazol (2).

Kloramfenikol masih menjadi pilihan pertama karena efikasi dan harga meskipun
jangka waktu pemberiannya cukup lama. Dosis kloramfenikol untuk pengobatan
demam tifoid adalah 100 mg/kg BB/hari per oral dibagi dalam 4 dosis dengan
dosis maksimal 1500 mg/hari bila berat badan pasien <30 kg dan 2000 mg/hari
bila berat badan pasien >30 kg. Obat ini diberikan selama 10 14 hari. Namun,
pemberian kloramfenikol dihindari bila jumlah leukosit pasien dibawah
2000/mm3(1). Amoksisilin atau ampisilin dapat diberikan untuk demam tifoid
dengan dosis 200 400 mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari
secara per oral. Kotrimoksazol diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari dibagi
dalam 3 dosis secara per oral. Bila antimikroba lini pertama tidak efektif, dapat

diberikan antimikroba lini kedua yaitu sefalosporin generasi III (seftriakson,


sefiksim), dan kuinolon. Seftriakson dan sefiksim aman diberikan untuk anakanak, tetapi tidak demikian halnya dengan kuinolon yang dapat mengganggu
pertumbuhan tulang sehingga tidak boleh diberikan bagi penderita yang berusia
dibawah 18 tahun. Dosis seftriakson untuk pengobatan demam tifoid adalah 80
mg/kg BB/hari dosis tunggal selama 5 hari, pemberiannya melalui rute intravena.
Sedangkan sefiksim dapat digunakan dengan dosis 10 15 mg/kg BB/hari secara
per oral dibagi dalam 2 dosis selama 10 hari(2).
. Pasien mungkin memerlukan antipiretik bila terjadi demam. Antipiretik
yang diberikan adalah parasetamol dengan dosis 10 15 mg/kg BB/dosis setiap 6
jam. Untuk menunjang pemulihan, vitamin dapat diberikan sesuai kebutuhan
Pada demam tifoid kasus berat seperti delirium, koma, dan/atau syok,
disamping terapi antibiotik, deksametason dengan dosis awal 3 mg/kg BB/hari,
diikuti dengan 1 mg/kg BB setiap 6 jam selama 48 jam dapat menurunkan angka
kematian. Bila terjadi perdarahan usus berat, diperlukan transfusi darah.
Intervensi pembedahan dengan antibiotik spektrum luas dianjurkan untuk
perforasi usus(5).

h. Pemantauan selama terapi


Hal-hal yang menjadi prioritas untuk dipantau adalah(2):
1) Suhu tubuh serta vital sign lain
2) Keseimbangan cairan
3) Deteksi dini terhadap timbulnya komplikasi
4) Adanya koinfeksi dan/atau komorbid dengan penyakit lain
5) Efek samping dan/atau efek toksik obat

6) Resistensi antimikroba
7) Kemajuan pengobatan secara umum

1.2. Gastritis
a. Definisi
Gastritis adalah peradangan pada lambung dan merupakan gangguan
yang sering terjadi dengan karakteristik adanya anoreksia, rasa penuh dan tidak
enak pada epigastrium, mual dan muntah. (6).

b. Klasifikasi
Gastritis dapat diklasifikasikan berdasarkan gambaran endoskopik umum
dan histologiknya sebagai erosif dan hemoragik, nonerosif, nonspesifik atau
spesifik tertentu. Gastritis jauh lebih prevalen pada orang dewasa daripada
anak(6).
1) Gastropati Erosif dan Hemoragik

Gastropati Stres
Gastropati stress terjadi pada anak yang sakit berat karena stress
fisiologik (bukan psikologik), misalnya syok, asidosis, sepsis, luka bakar,
atau cedera kepala yang menyebabkan iskemia mukosa. Lesi awal
terutama terjadi di fundus dan korpus proksimal, kemudian menyebar ke
antrum untuk menimbulkan erosi difus dan pendarahan.

Gastropati Traumatik
Gastropati traumatik terjadi akibat muntah yang kuat yang biasanya
menimbulkan pendarahan sub epitel di fundus dan korpus proksimal
akibat masuknya lambung proksimal ke dalam esophagus distal.

Gastropati Hipertensi Porta


Merupakan suatu gastropati kongestif yang sering terdapat pada anak
dengan hipertensi porta apapun sebabnya.

2) Gastritis Nonerosif, Nonspesifik (Gastritis Kronik Aktif)


Gastritis nonerosif nonspesifik di antrum sejauh ini adalah gastritis yang
tersering pada anak. Pada gastritis nonerosif, biasanya tidak terdapat korelasi
antara gambaran endoskopi dan temuan histologik.

Gastritis Helicobacter pylori


Gastritis Helicobacter pylori adalah sebab tersering gastritis kronis pada
anak. Biasanya yang terkena adalah antrum tetapi kadang juga korpus
lambung. Diagnosis gastritis H. pylori ditegakkan berdasarkan biopsi
lambung yang memperlihatkan kuman batang spiral gram-negatif khas
dipermukaan epitel jaringan bawah lapisan mukus. (1)

c. Patogenesis
Di usia 3 4 tahun, sekresi asam lambung pada anak-anak mendekati
orang dewasa. Asam yang disekresikan oleh sel oxyntic pada lambung memiliki
nilai pH ~0,8, sementara pH isi lambung adalah 1 2. Sekresi asam yang
berlebih dikaitkan dengan massa sel parietal yang besar, hipersekresi, dan
peningkatan tonus vagus, menyebabkan peningkatan sekresi asam saat lambung
terisi makanan atau pada malam hari. Senyawa yang menunjang produksi asam
8

lambung antara lain asetilkolin yang dihasilkan oleh nervus vagus, histamin yang
disekresikan oleh sel enterokromafin, dan gastrin yang dihasilkan oleh sel G pada
antrum. Mediator yang menurunkan sekresi asam lambung dan meningkatkan
produksi musin salah satunya adalah prostaglandin(5).
Suatu lapisan mukus yang berperan sebagai penghalang difusi ion
hydrogen dan senyawa kimia lain menutupi mukosa saluran cerna. Produksi dan
sekresi mukus distimulasi oleh prostaglandin E2. Dibawah lapisan mukosa, selsel epitel membentuk lapisan penghalang kedua. Sel epitel ini mensekresi
chemokines ketika diserang oleh mikroba. Sekresi ion bikarbonat ke dalam
lapisan mukus yang diatur oleh prostaglandin penting dalam netralisasi ion
hidrogen. Bila terjadi kerusakan pada mukosa, terjadi proliferasi dan migrasi sel
mukosa secara cepat yang diatur oleh epithelial growth factor, transforming
growth factor-, insulin-like growth factor, gastrin, dan bombesin, yang akan
menutupi bagian epitel yang rusak(5).

d. Manifestasi klinis
Gejala yang sering timbul adalah anoreksia, mual, mudah kenyang, dan
muntah. Terbangun dari tidur akibat nyeri epigastrium merupakan suatu gejala
yang sangat khas pada ulkus peptikum atau gastritis berat. Anak mungkin tidak
mampu menentukan lokasi nyeri ke epigastrium dan mungkin datang dengan
iritabilitas saat makan dan penurunan nafsu makan. Tanda perdarahan saluran
cerna (hematemesis dan/atau melena) dapat terjadi pada gastritis yang parah
walaupun tanda tersebut lebih sering terjadi pada ulkus.(6)
e. Penatalaksanaan
Prinsip utama pengobatan gastritis adalah netralisasi atau penekanan asam
lambung(7). Netralisasi asam lambung dilakukan dengan pemberian antasida,
sedangkan penekanan asam lambung dapat dilakukan dengan pemberian

antagonis reseptor H2 dan penghambat pompa proton(5). Kedua obat penekan


asam lambung ini merupakan terapi lini pertama untuk mengatasi gastritis pada
anak. Obat pelindung mukosa (sukralfat) dapat digunakan sebagai terapi
tambahan bila terdapat lesi pada mukosa(5).

Tabel 1. Dosis obat-obatan yang digunakan dalam penatalaksanaan gastritis pada


anak(5)
Antagonis reseptor H2
Cimetidine

20-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 4 dosis

Ranitidine

4-10 mg/kg/hari dibagi dalam 2 atau 3 dosis

Famotidine

1-2 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis

Nizatidine

10 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis

Penghambat pompa proton


1.0-3.3 mg/kg/hari
<20 kg: 10 mg/hari
Omeprazole >20 kg: 20 mg/hari
Dosis tunggal
Hanya boleh digunakan untuk anak berusia 2 tahun ke atas
0.8-4 mg/kg/hari
<30 kg: 15 mg/hari
Lansoprazole >30 kg: 30 mg/hari
Dosis tunggal
Hanya boleh digunakan untuk anak berusia 1 tahun ke atas
Obat pelindung mukosa
Sukralfat

40 80 mg/kg/hari setiap 6 jam

Efek samping antagonis reseptor H2 yang sering terjadi adalah diare dan
gangguan gastrointestinal lainnya, perubahan hasil tes fungsi hati, sakit kepala,
pusing, ruam, dan kelelahan. Terdapat laporan bahwa pemberian sukralfat dapat
menyebabkan pembentukan bezoar, karena itu perlu perhatian khusus bagi
penderita yang mengalami penundaan pengosongan lambung atau yang
menerima nutrisi secara enteral. Efek samping sukralfat yang umum terjadi
10

adalah konstipasi. Sementara itu, efek samping yang sering terjadi akibat
penggunaan penghambat pompa proton adalah gangguan gastrointestinal (mual,
muntah, nyeri perut, flatulensi, diare, konstipasi) dan sakit kepala(8).

1.3. Tuberkulosis
a. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar (80%) menyerang paruparu(8,9).
b. Etiologi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis termasuk basil gram positif, berbentuk batang,
organisme anaerob yang tumbuh lambat, dinding selnya mengandung komplek
lipid-glikolipid serta lilin (wax) yang sulit ditembus zat kimia(9,10).
Umumnya Mycobacterium tuberculosis menyerang paru dan sebagian
kecil organ tubuh lain. Dalam jaringan tubuh, kuman dapat dormant (tertidur
sampai beberapa tahun). Tuberkulosis timbul berdasarkan kemampuannya untuk
memperbanyak diri di dalam sel-sel fagosit(9,10).
Seseorang yang terinfeksi kuman tuberkulosis belum tentu sakit atau tidak
menularkan kuman tuberkulosis. Proses selanjutnya ditentukan oleh berbagai
faktor risiko. Kemungkinan untuk terinfeksi tuberkulosis bergantung pada :
-

Kepadatan droplet nuclei yang infeksius per volume udara

Lamanya kontak dengan droplet nuklei tersebut

Kedekatan dengan penderita TB

Risiko terinfeksi TB sebagian besar adalah faktor risiko eksternal,


terutama adalah faktor lingkungan seperti rumah tak sehat, pemukiman padat dan
11

kumuh. Sedangkan risiko menjadi sakit TB, sebagian besar adalah faktor internal
dalam tubuh penderita sendiri yg disebabkan oleh terganggunya sistem kekebalan
dalam tubuh penderita seperti kurang gizi, infeksi HIV/AIDS, pengobatan
dengan immunosupresan dan lain sebagainya(10).
c. Epidemiologi
Menurut WHO, Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam kasus TB
(0,4 juta kasus baru), setelah India dan Cina. Sebanyak 10 % kasus terjadi pada
anak dibawah 15 tahun (11). Dari laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2007, didapatkan prevalensi 12 bulan TB paru klinis di Indonesia 1%
dengan kisaran 0,3% (Lampung) sampai 2,5% (Papua). Berdasarkan kelompok
umur dijumpai prevalensi TB, kurang dari 1 tahun 0,47%, 14 tahun 0,76% dan
antara 514 tahun 0,53%(12).
Masalah yang dihadapi saat ini adalah meningkatnya kasus TB dengan
pesat selain karena peningkatan kasus penyakit HIV/AIDS juga meningkatnya
kasus multidrug resistence-TB (MDR-TB), hasil penelitian di Jakarta
mendapatkan >4% dari kasus baru. Masalah lain adalah peran vaksinasi BCG
dalam pencegahan infeksi dan penyakit TB yang masih kontroversial.Berbagai
penelitian melaporkan proteksi dari vaksinasi BCG untuk pencegahan penyakit
TB berkisar antara 0%-80%, secara umum diperkirakan daya proteksi BCG
hanya 50%, dan vaksinasi BCG hanya mencegah terjadinya TB berat, seperti
milier dan meningitis TB. Daya proteksi BCG terhadap meningitis TB 64%, dan
miler TB 78% pada anak yang mendapat vaksinasi(13).
d. Manifestasi klinis
Mayoritas anak yang terinfeksi tuberkulosis tidak menampakkan gejala
atau tanda yang khas. Akan tetapi, ada beberapa gejala umum yang dapat
menandai adanya infeksi tuberkulosis pada anak-anak, antara lain penurunan
berat badan dalam dua bulan berturut-turut, demam lama (> 2 minggu) tanpa

12

sebab yang jelas, batuk yang berlangsung lebih dari 3 minggu, dan pembesaran
kelenjar limfe di daerah leher, aksila, ataupun inguinal(11).
e. Kriteria diagnosis
Unit Kerja Koordinasi Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia(IDAI)
telah membuat pedoman nasional tuberkulosis anak dengan menggunakan sistem
skor (scoring system), yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang
dijumpai(11).
Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Pasien dengan
jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 ( >6 ), harus ditatalaksana sebagai
pasien TB dan mendapat OAT (obat antituberkulosis). Bila skor kurang dari 6
tetapi secara klinis kecurigaan ke arah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan
diagnostik lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi,
fungsi lumbal, fungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi dan lain
lainnya(11).
Tabel 2. Sistem skoring gejala dan pemeriksaan penunjang(11)

Catatan:

13

Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.

Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk


kronik lainnya seperti asma, sinusitis, dan lain lain.

Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien


dapat langsung didiagnosistuberkulosis.

Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname) dan


lampirkan tabel badan.

Foto toraks toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak.

Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari
setelah penyuntikan)harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.

Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 13).

Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke rumah sakit


untuk evaluasi lebih lanjut(11).

f. Penatalaksanaan
Beberapa hal penting dalam tatalaksana tuberkulosis anak adalah 1)
pemberian obat dalam bentuk kombinasi; 2) pemberian gizi yang adekuat; 3)
melakukan penatalaksanaan penyakit penyerta (jika ada) secara simultan.
Sementara itu, tatalaksana medikamentosa tuberkulosis anak terdiri dari terapi
(pengobatan) dan pencegahan(11).
Prinsip dasar terapi tuberkulosis adalah menggunakan minimal tiga
macam obat dan diberikan dalam waktu yang relatif lama (6 12 bulan).
Pengobatan tuberkulosis dibagi dalam dua fase yaitu fase intensif (2 bulan
pertama) dan sisanya sebagai fase lanjutan. Pemberian kombinasi obat ini
ditujukan untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan membunuh bakteri
intraseluler dan ekstraseluler. Sementara itu, pemberian obat jangka panjang
bertujuan untuk membunuh bakteri dan mengurangi kemungkinan terjadinya
kekambuhan(11).
Saat ini, kombinasi obat yang baku untuk sebagian besar kasus
tuberkulosis pada anak adalah rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid. Pada fase

14

intensif diberikan rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid, sedangkan pada fase


lanjutan hanya diberikan rifampisin dan isoniazid. Pada keadaan tuberkulosis
berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB,
TB tulang, diberikan minimal empat macam obat pada fase intensif, yaitu
isoniazid, rifampisin, pirazinamid, etambutol atau streptomisin. Pada fase
lanjutan, diberikan INH dan rifampisin selama 10 bulan(11).
Isoniazid bekerja dengan menghambat sintesis asam mikolat, yang
merupakan komponen penting pada dinding sel bakteri M. tuberculosis. Obat ini
aktif terhadap bakteri ekstrasel dan intrasel karena selain membunuh bakteri yang
aktif berkembang, isoniazid juga mampu menembus sel fagosit (14). Isoniazid
diberikan dengan dosis 5 15 mg/kg BB/hari, maksimal 300 mg/hari (11). Dosis
isoniazid tidak melebihi 10 mg/kg BB/hari bila diberikan bersama rifampisin,
Efek samping utama isoniazid adalah hepatotoksisitas dan neuritis perifer, tetapi
jarang terjadi pada anak. Hepatotoksisitas ditandai dengan peningkatan nilai
transaminase darah yang jarang bermakna secara klinis. Pemberian isoniazid
dihentikan bila nilai transaminase hati naik lebih dari 5 kali lipat nilai normal
atau 3 kali lipat disertai ikterus dan/atau manifestasi klinis hepatitis (mual,
muntah, nyeri perut). Neuritis perifer ditandai dengan kesemutan pada tangan
atau kaki, terjadi akibat inhibisi kompetitif karena metabolisme piridoksin.
Manifestasi klinisnya jarang terjadi pada anak, sehingga tidak diperlukan
pemberian piridoksin. Namun, pada remaja dengan diet yang tidak adekuat,
malnutrisi, dan bayi yang hanya minum ASI, diperlukan piridoksin tambahan
dengan dosis 25 50 mg satu kali sehari atau 10 mg piridoksin setiap 100 mg
isoniazid(15).
Rifampisin menghambat RNA polymerase, sehingga sintesis asam
nukleat bakteri akan terganggu(16). Obat ini dapat membunuh bakteri intrasel dan
ekstrasel(15). Rifampisin diberikan dengan dosis 10 20 mg/kg BB/hari, dengan
dosis maksimal 600 mg/hari (11). Pemberian rifampisin bersama isoniazid dapat
meningkatkan risiko hepatotoksisitas, sehingga dosisnya tidak boleh melebihi 15
mg/kg BB/hari(15). Efek samping yang umum terjadi adalah efek gastrointestinal

15

(kram, mual, muntah, anoreksia, diare), reaksi kulit, hepatitis, trombositopenia,


peningkatan enzim hati. Sementara itu, efek yang kurang menyenangkan bagi
pasien adalah cairan tubuh berwarna oranye kemerahan(11,15).
Pirazinamid merupakan prodrug, yang diubah oleh pirazinamidase, suatu
enzim yang dihasilkan oleh bakteri tuberkulosis, menjadi asam pirazinoat. Asam
pirazinoat yang terbentuk dalam makrofag akan terperangkap sehingga
menurunkan pH intrasel menjadi toksik bagi bakteri tuberkulosis (14). Pirazinamid
diberikan dengan dosis 15 30 mg/kg BB/hari, maksimal 2000 mg/hari (11). Efek
samping yang umum terjadi adalah hepatotoksisitas, efek gastrointestinal, dan
hiperurisemia. Namun, manifestasi klinis hiperurisemia jarang terjadi pada
anak(11,15).
Etambutol bekerja dengan menghambat arabinosil transferase, yang
terlibat dalam reaksi polimerisasi arabinoglikan, suatu komponen penting dalam
dinding sel bakteri(14). Etambutol diberikan dengan dosis 15 20 mg/kg BB/hari,
dengan dosis maksimal 1250 mg/hari(11). Efek samping utama yang terjadi akibat
pemberian etambutol adalah neuritis optik dan buta warna merah-hijau. Karena
itu, obat ini tidak digunakan secara luas karena pada anak kecil sulit dilakukan
pemeriksaan ketajaman penglihatan dan kemampuan untuk membedakan
warna(5,15).
Streptomisin berikatan dengan subunit 30 S ribosom bakteri (16), sehingga
sintesis protein terhambat dan terjadi kesalahan transkripsi kode genetik. Obat ini
efektif pada bakteri ekstrasel(15). Streptomisin diberikan dengan dosis 15 40
mg/kg BB/hari, maksimal 1000 mg/hari(11). Toksisitas utama streptomisin terjadi
pada nervus cranial VIII yang mengganggu keseimbangan dan pendengaran
dengan manifestasi berupa tinnitus dan pusing(15).

BAB II

16

TINJAUAN KASUS

2.1. Identitas pasien


Tanggal kunjungan

: 8 April 2013

No. rekam medik

: 048813

Nama pasien

:F

Jenis kelamin

: Perempuan

Umur

: 3,5 tahun

Alamat

: Jl. Datuak Mangkuto Ameh No. 5, Garegeh

Status

: Pasien umum

Agama

: Islam

2.2. Ilustrasi kasus


Pasien F umur 3,5 tahun masuk ke Ruang Anak Rumah Sakit Stroke Nasional
Bukittinggi dari Poliklinik Anak pada tanggal 8 April 2013 pukul 12.30 WIB
dengan keluhan utama panas berulang selama kurang lebih 1 minggu.
Riwayat penyakit sekarang:
Pasien F mengalami demam berulang sejak 1 minggu yang lalu, terutama pada
malam hari. Perut terasa sakit, disertai mual, tetapi tidak muntah. Pasien juga
mengalami batuk tanpa disertai pilek.
Riwayat penyakit terdahulu:

17

Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan dengan keluarga pasien, tidak ada
penyakit yang pernah diderita pasien sebelumnya.

Riwayat penyakit keluarga:


Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan dengan keluarga pasien, tidak ada
penyakit yang pernah diderita oleh keluarga pasien.
Pemeriksaan fisik:
a. Keadaan umum

: sakit sedang

b. Kesadaran

: compos mentis

c. Nadi

: 100 kali/menit

d. Pernafasan

: 28 kali/menit

e. Suhu

: 36,8 C

f. Berat badan

: 11,5 kg

g. Nyeri epigastrium

: (+)

h. Coated tongue
i. Status gizi

: (+)
: gizi kurang

Pemeriksaan penunjang:
1. Hematologi
o WBC

: 15,39 x 103/L

o RBC

: 4,37 x 106/L

o PLT

: 579 x 103/L

18

o Hb

: 11,2 g/dL

o Hematokrit

: 35,5%

o LED

: 110mm/jam

2. Serologi/Imunologi
a. Widal test:
o Salmonella typhii H

: (+) 1/160

o Salmonella paratyphii AH

: (+) 1/320

o Salmonella paratyphii BH

: (+) 1/320

o Salmonella paratyphii CH

: (+) 1/160

o Salmonella typhii O

: (+) 1/320

o Salmonella paratyphii AO

: (+) 1/80

o Salmonella paratyphii BO

: (+) 1/320

o Salmonella paratyphii CO

: (+) 1/80

Diagnosis awal: Demam tifoid, Gastritis, Suspect TB


Terapi yang diberikan:
o IVFD Ka-en 1B + KCl 11 gtt/menit
o Ottopan 4 x 1 cth
o Cefixime 2 x 75 mg
o Acitral 3 x 1/3 tab
19

o Vistrum 3 x 1 cth

BAB III
FOLLOW UP

3.1. Follow-up
a. Hari ke-1 (8 April 2013)
Pasien mengalami demam (naik-turun), batuk, bibir kering, nyeri epigastrik.
Berat badan 11,5 kg, denyut nadi 100 kali/menit, frekuensi pernafasan 28
kali/menit, suhu tubuh 36,8C.
Terapi yang diberikan:

20

IVFD Ka-en 1B + KCl 11 gtt/menit

Ottopan 4 x 1 cth

Cefixime 2 x 75 mg

Acitral 3 x 1/3 tab

Vistrum 3 x 1 cth

b. Hari ke-2 (9 April 2013)


Suhu tubuh pasien masih naik turun. Perut tidak terasa sakit, mual dan
muntah tidak ada. Pasien masih mengalami batuk. Berat badan 12 kg, denyut
nadi 76 kali/menit, frekuensi pernafasan 26 kali/menit, suhu tubuh 36,7C.
Pasien diminta untuk melakukan foto rontgen toraks.
Terapi dilanjutkan.

c. Hari ke-3 (10 April 2013)


Pasien tidak mengalami demam lagi, perut tidak terasa sakit. Pasien masih
mengalami batuk. Berat badan 12 kg, denyut nadi 83 kali/menit, frekuensi
pernafasan 28 kali/menit, suhu tubuh 37C.
Pasien dinyatakan positif TB paru.
Terapi dilanjutkan dengan tambahan OAT.

Rifampicin

: 1 x 180 mg

Isoniazid

: 1 x 120 mg

21

Pirazinamid : 1 x 300 mg

d. Hari ke-4 (11 April 2013)


Pasien tidak mengalami mual dan muntah, perut tidak terasa sakit. Berat
badan 12 kg, denyut nadi 97 kali/menit, frekuensi pernafasan 22 kali/menit,
suhu tubuh 36,7C.
Terapi dilanjutkan.

e. Hari ke-5 (12 April 2013)


Pasien tidak mengalami mual dan muntah, perut tidak terasa sakit, serta
sudah tidak batuk. Berat badan 12 kg, denyut nadi 104 kali/menit, frekuensi
pernafasan 20 kali/menit, suhu tubuh 36,5C.
Kondisi pasien sudah membaik.diperbolehkan pulang dengan catatan harus
kontrol secara teratur untuk pengobatan TB, tidak boleh banyak bergerak,
dan melanjutkan pengobatan demam tifoid selama 5 hari ke depan. Obat yang
dibawa pulang adalah sebagai berikut:

Cefixime 2 x 75 mg

Acitral 3 x 1/3 tab

Rifampicin

: 1 x 180 mg

Isoniazid

: 1 x 120 mg

Pirazinamid : 1 x 300 mg

22

3.2. Perhitungan dosis


a. Cefixime

Dosis untuk pasien tifoid anak : 10 15 mg/kg BB/hari, dibagi dalam


2 dosis.

Perhitungan dosis

o 10 mg/kg BB/hari x 11,5 kg = 115 mg


o 15 mg/kg BB/hari x 11,5 kg = 172,5 mg

Dosis yang diterima pasien : 2 x 75 mg/hari = 150 mg/hari

Dosis mencukupi

b. Ottopan (Paracetamol)

Dosis pada bayi dan anak-anak : 10 15 mg/kgBB/dosis setiap 6 jam,


maksimal 4 g

Perhitungan dosis:

23

o 10 mg/kg BB/dosis x 11,5 kg = 115 mg/dosis (460 mg/hari)


o 15 mg/kg BB/dosis x 11,5 kg = 172,5 mg/dosis (690 mg/hari)

Dosis yang diterima pasien : 4 x 1 cth (120 mg/5 mL) = 480 mg/hari

Tepat dosis

c. Acitral

Dosis pada anak-anak: 5 15 mL/hari (setara dengan 1 3


tablet/hari)

Dosis yang diterima pasien : 3 x 1/3 tablet = 1 tablet/hari

Tepat dosis

d. Vistrum (Colostrum bovin, Frukto oligosakarida)

Dosis : 1 x 1 cth

Dosis yang diterima pasien : 3 x 1 cth

e. Rifampisin

Dosis pada bayi dan anak-anak : 10 20 mg/kg BB/hari, maksimal 15


mg/kg BB/hari bila dikombinasikan dengan isoniazid

Perhitungan dosis :

24

o 10 mg/kg BB/hari x 12 kg = 120 mg/hari


o 15 mg/kg BB/hari x 12 kg = 180 mg/hari

Dosis yang diterima : 180 mg

Tepat dosis

f. Isoniazid

Dosis pada anak-anak : 5 15 mg/kg BB/hari; maksimal 10 mg/kg


BB/hari bila dikombinasikan dengan rifampisin

Perhitungan dosis :

5 mg/kg BB/hari x 12 kg = 60 mg/hari

10 mg/kg BB/hari x 12 kg = 120 mg/hari

Dosis yang diterima : 120 mg

Tepat dosis

g. Pirazinamid

Dosis pada anak-anak : 15 30 mg/kg BB/hari

Perhitungan dosis :
o 15 mg/kg BB/hari x 12 kg = 180 mg/hari
o 30 mg/kg BB/hari x 12 kg = 360 mg/hari

Dosis yang diterima : 300 mg


25

Tepat dosis

BAB IV
DISKUSI

Pasien F umur 3,5 tahun masuk ke Ruang Anak Rumah Sakit Stroke Nasional
Bukittinggi dari Poliklinik Anak pada tanggal 8 April 2013 pukul 12.30 WIB dengan
keluhan panas berulang selama kurang lebih 1 minggu, perut terasa sakit, bibir
kering, dan batuk. Pasien didiagnosis demam tifoid, gastritis, dan TB paru.
Terapi lini pertama pada demam tifoid adalah kloramfenikol, tetapi pada
pasien ini tidak diberikan karena angka leukosit pasien tinggi (leukositosis). Pada
demam tifoid, umumnya terjadi leukopenia, meskipun tidak selalu, dan leukositosis
pada pasien ini diduga terjadi akibat infeksi lain. Karena itu, diberikan sefiksim yang
merupakan sefalosporin generasi ketiga dengan aktivitas spektrum luas.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mempelajari efektivitas sefiksim
untuk pengobatan tifoid. Studi yang dilakukan oleh Hadinegoro, et al. membuktikan
bahwa pemberian sefiksim per oral dengan dosis 10 15 mg/kg BB/hari dibagi dalam
2 dosis selama 10 hari memperlihatkan efikasi yang baik untuk pengobatan demam
tifoid dan angka penyembuhannya sebesar 84%. Penurunan suhu terjadi setelah
6,03,1 hari pengobatan. Sementara itu, efek samping yang dialami pasien relatif
ringan, yaitu diare ringan, muntah, dan urtikaria (16). Dari studi komparatif yang
dilakukan oleh Memon, et al. di Pakistan, diperoleh kesimpulan bahwa pemberian
sefiksim dengan dosis 10 - 12 mg/kg BB/hari dibagi dalam 2 dosis selama 2 minggu

26

memperlihatkan angka penyembuhan yang lebih tinggi, yaitu sebesar 95%.


Penurunan suhu terjadi setelah 5,6 hari dan efek samping terjadi pada 2% dari 41
orang pasien yang berpartisipasi. Pada studi ini, sefiksim memperlihatkan hasil
pengobatan yang lebih baik daripada kloramfenikol dengan dosis 100 mg/kg BB/hari
dibagi dalam 4 dosis selama 2 minggu (17). Hasil ini membuktikan bahwa sefiksim
merupakan pilihan obat yang efektif dan aman digunakan pada pasien demam tifoid
anak.
Dari literatur, diperoleh data bahwa untuk pengobatan demam tifoid, sefiksim
diberikan dengan dosis 10 15 mg/kg BB/hari dibagi dalam 2 dosis selama 10 hari.
Dosis sefiksim sebesar 150 mg/hari yang diberikan pada pasien dinilai sudah
mencukupi, dimana rentang dosis yang dibutuhkan pasien F dengan berat badan 11,5
kg adalah 115 172,5 mg/hari. Lama pemberian sefiksim juga sudah tepat, yaitu 10
hari.
Pengobatan demam tifoid yang dijalani oleh pasien memberikan respons yang
baik. Hal ini terlihat dari hasil follow-up pasien pada hari ketiga pengobatan dimana
suhu tubuh pasien telah stabil. Dari ketiga efek samping sefiksim yang ditemukan
pada hasil studi yang dilakukan oleh Hadinegoro, et al., tidak ada satupun yang
dialami oleh pasien(16).
Untuk mengatasi keluhan demam, pasien diberikan Parasetamol (Ottopan)
dengan dosis 4 x 1 cth bila panas. Dari literatur, diperoleh dosis parasetamol sebesar
10 15 mg/kg BB/dosis diberikan setiap 6 jam. Dosis yang diberikan sudah
mencukupi, dimana pasien menerima 480 mg/hari dengan rentang dosis parasetamol
460 690 mg/hari. Penggunaan Ottopan juga dilakukan dengan tepat, yakni bila
pasien mengalami demam saja, karena itu Ottopan tidak diberikan lagi pada tanggal
10 April 2014.
Pasien didiagnosis gastritis sehingga diberikan Acitral yang mengandung
aluminium hidroksida, magnesium hidroksida, dan simetikon dengan efek antasida
dan antiflatulen. Dari hasil perhitungan dosis, diketahui bahwa pasien telah menerima
obat dengan dosis yang tepat.

27

Untuk meningkatkan daya tahan tubuh, pasien juga mendapatkan Vistrum


yang mengandung kolostrum sapi dan frukto oligosakarida. Tidak ditemukan dosis
pasti mengenai obat ini, karena itu patokan yang diambil adalah informasi produk
yang menyatakan bahwa Vistrum diberikan dengan dosis 1 x 1 cth per hari.
Meskipun dosis yang diterima pasien berlebih, hal ini dinilai tidak berbahaya karena
produk yang dimaksud merupakan suplemen makanan.
Pada tanggal 10 April 2013, pasien dinyatakan positif TB paru dan menerima
regimen 2RHZ. Hal ini sesuai dengan regimen terapi yang disarankan oleh IDAI,
dimana regimen ini digunakan dalam fase intensif terapi selama 2 bulan. Menurut
literatur, dosis rifampisin yang digunakan dalam regimen ini adalah 10 15 mg/kg
BB/hari, dosis isoniazid adalah 5 10 mg/kg BB/hari,sedangkan dosis pirazinamid
adalah 15 30 mg/kg BB/hari(11,15). Dosis masing-masing obat yang diberikan adalah
180 mg (rifampisin), 120 mg (isoniazid), dan 300 mg (pirazinamid). Dari hasil
perhitungan dosis, diketahui bahwa ketiga obat ini diberikan kepada pasien dengan
dosis yang tepat, dimana rentang dosis yang dibutuhkan pasien F dengan berat badan
12 kg adalah 120 180 mg/hari (rifampisin), 60 - 120 mg/hari (isoniazid), dan 180
360 mg/hari (pirazinamid).
Pada tanggal 11 April 2013, pasien gagal mendapatkan dosis rifampisin secara
penuh karena sebagian obat tumpah. Hal ini mungkin terjadi karena rasa obat yang
tidak enak sehingga pasien menolak untuk menghabiskan satu dosis obat. Untuk
mengatasi hal ini, apoteker seharusnya dapat menyiasatinya dengan menambahkan
perasa manis ke dalam obat, sehingga diharapkan obat ini dapat diterima dengan lebih
baik oleh pasien anak.
Isoniazid memiliki beberapa efek samping antara lain hepatitis, neuritis
perifer, dan hipersensitivitas, sedangkan efek samping rifampisin adalah gangguan
gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis, trombositopenia, peningkatan enzim hati, dan
cairan tubuh berwarna oranye kemerahan. Sementara itu, efek samping pirazinamid
adalah gangguan gastrointestinal, hiperurisemia, dan hepatotoksisitas

28

(11,14)

. Meskipun

tidak ada keluhan pasien terkait efek samping ini selama dirawat, perlu dilakukan
pemantauan misalnya dengan melakukan pemeriksaan fungsi hati secara berkala
untuk mendeteksi tanda-tanda hepatotoksisitas.
Ditemukan masalah interaksi obat dimana OAT dan antasida (Acitral) yang
mengandung aluminium hidroksida, magnesium hidroksida, dan simetikon diberikan
1 jam sebelum makan. Antasida diketahui dapat menurunkan absorpsi berbagai jenis
obat, termasuk OAT. Namun, setelah dilakukan penelusuran literatur, interaksi ini
ternyata tidak signifikan secara klinis. Studi yang dilakukan oleh Peloquin, et al.
menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara isoniazid dan antasida yang
mengandung aluminium hidroksida dan magnesium hidroksida (Mylanta) (18).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Peloquin, et al. membuktikan bahwa tidak ada
perubahan farmakokinetika yang terjadi setelah pemberian Mylanta 9 jam sebelum,
bersama, dan setelah pemberian rifampisin ataupun pirazinamid (19,20). Namun, untuk
mengantisipasi kemungkinan terjadinya interaksi, OAT dapat diberikan 1 jam
sebelum makan dan Acitral diberikan 2 jam sesudah makan.
Pasien diperbolehkan pulang tanggal 12 April 2013 karena kondisi pasien
yang sudah membaik, dapat dilihat dari parameter suhu dan tanda-tanda klinis lainnya
yang tidak menunjukkan adanya gejala demam tifoid. Adapun keberhasilan
pengobatan tuberkulosis tidak dapat diketahui pada akhir masa rawatan mengingat
pengobatan dilakukan dalam jangka waktu yang panjang . Untuk mencegah masalahmasalah yang mungkin terjadi selama pengobatan di rumah, perlu diberikan
konseling kepada orangtua pasien sebelum pulang dengan fokus pada pengobatan
demam tifoid dan TB agar pasien dapat sembuh sempurna.

29

BAB V
KESIMPULAN

1.

Demam tifoid

Pemilihan obat, dosis, dan lama pemberian dinilai sudah tepat.

Tidak ada reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD) yang ditemukan
pada pasien.

2. Gastritis

Pemilihan obat, dosis, dan lama pemberian dinilai sudah tepat.

Tidak ada ROTD yang ditemukan pada pasien

3. Tuberkulosis

Pemilihan obat, dosis, dan lama pemberian dinilai sudah tepat.

Tidak ada ROTD yang ditemukan pada pasien

Pasien gagal mendapatkan obat pada hari kedua pengobatan.

Terdapat masalah interaksi obat antara OAT dan antasida, tetapi tidak
signifikan secara klinis.

30

BAB VI
EDUKASI PASIEN

1.

Sefiksim diminum 2 kali sehari (setiap 12 jam) setelah makan dan harus
diminum sampai habis.

2.

Ottopan diminum 4 kali sehari satu sendok takar bila panas.

3.

Acitral diminum 3 kali sehari 2 jam sesudah makan.

4.

Rifampisin diminum 1 jam sebelum makan, INH dan Pirazinamid diminum


setelah makan pada pagi hari

31

5.

Jika air seni, air liur, atau air mata berwarna oranye kemerahan, jangan panik
karena hal itu merupakan efek samping yang biasa terjadi setelah menggunakan
OAT (Rifampisin).

6.

Vistrum diminum 3 kali sehari satu sendok takar setelah makan.

7.

Kurangi aktivitas berat dan perbanyak istirahat

8.

Selama 2 minggu, jangan makan makanan yang keras, pedas,


berempah,ataupun berserat.

9.

Perbanyak minum air putih.

10. Makan secara teratur, jangan melewatkan waktu makan.


11. Pasien perlu kontrol secara teratur ke dokter untuk follow-up pengobatan
tuberkulosis.
12. Bila pasien mengalami muntah yang mengganggu/tidak bisa dikendalikan, kulit
atau bagian putih mata berwarna kuning, segera konsultasikan ke dokter.

DAFTAR PUSTAKA

32

1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak: Infeksi
dan Penyakit Tropis Edisi Pertama. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI
2. Menkes RI. 2006. Kepmenkes RI No 364/Menkes/SK/V/2006 Tentang
Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Jakarta: Depkes RI
3. Crump JA, Luby SP, Mintz ED. 2004. The global burden of typhoid fever.
Bull WHO;82:346-53
4. Riset Kesehatan Dasar. 2009. Data demam tifoid. Kementerian Kesehatan RI
5. Kliegman, RM, Stanton, BF, Behrman, RE. 2011. Nelsons Textbook of
Pediatrics 19th Edition.Philadelpia: Elsevier
6. Rudolf, A.M, dkk. 2002. Buku Ajar Pediatri Rudolf. Volume 2, Edisi 20.
Jakarta: EGC
7. Hay, WW, Levin, MJ, Sondheimer, JM, Deterding, RR. 2008. Current
Diagnosis and Treatment: Pediatrics (19th Edition). New York: McGrawHill
Medical
8. The Paediatric Formulary Committee. 2009. British National Formulary For
Children. London: RPS Publishing
9. Behrman, R.E & Kliegman, R.M., 2003. Nelson Esensi Pediatri. Jakarta:
EGC.
10. Depkes RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Tuberkulosis. Depkes
RI.
11. Kelompok Kerja TB Anak Depkes IDAI. 2008. Diagnosis dan Tatalaksana
Tuberkulosis Anak. Depkes RI
12. Kartasasmita CB. 2001. Childhood tuberculosis in the community.
Disampaikan pada International Paediatric. Respiratory and Allergy Congress;
Prague, Czech Republic
13. Rikesdas Indonesia tahun 2007. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta
14. Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi IDAI. 2008. Pedoman Nasional
Tuberkulosis Anak. Jakarta: UKK Pulmonologi IDAI
15. Katzung, B,G. 2004. Basic and Clinical Pharmacology. New York: McGraw
Hill
16. Sweetman, S.C. 2010. Martindale 36th Edition. London: Pharmaceutical Press
17. Hadinegoro, SRS. Tumbelaka, AR, Satari, HI. 2001. Pengobatan Cefixime
pada Demam Tifoid Anak. Sari Pediatri Vol 2 (4): 182 - 187

33

18. Memon IA, Billoo AG, Memon HI. 1998. Cefixime: An oral option for the
treatment of multidrug-resistant enteric fever in children. South Med J;
90:1204-7.
19. Peloquin CA, Namdar S, Dodge AA, Nix DE. 1999. Pharmacokinetics of
isoniazid under fasting conditions, with food, and with antacids. Int J Tuberc
Lung Dis 3, 703710.
20. Peloquin CA, Namdar R, Singleton MD, Nix DE. 1999. Pharmacokinetics of
rifampin under fasting conditions, with food, and with antacids. Chest 115,
1218.
21. Peloquin CA, Bulpitt AE, Jaresko GS, Jelliffe RW, James GT, Nix DE. 1998.
Pharmacokinetics of pyrazinamide under fasting conditions, with food, and
with antacids. Pharmacotherapy 18, 120511.

34

LAMPIRAN

Lampiran 1 : Data Obat


1.

Sefiksim
a. Mekanisme kerja
Bersifat bakterisidal dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri.

b. Indikasi
Infeksi Salmonella, gonorrohea, otitis media, faringitis, infeksi saluran
pernapasan bagian bawah, infeksi saluran kemih.

c. Efek samping
Gangguan GI, khususnya diare.

d. Perhatian
Pasien yang menerima antikoagulan.

e. Interaksi obat
Pemberian sefiksim pada pasien yang menerima antikoagulan dapat
meningkatkan waktu protrombin.

35

f. Farnakokinetika
Absorpsi:
Hanya 40 50% dosis oral sefiksim yang diabsorpsi dari saluran
gastrointestinal, baik diminum sebelum atau sesudah makan, walaupun laju
absorpsi dapat menurun dengan adanya makanan. Sefiksim diabsorpsi lebih
baik dalam bentuk suspense oral dibandingkan dengan tablet. Absorpsi cukup
lambat, konsentrasi plasma puncak 2 3 g/mL dan 3,7 4,6 g/mL telah
dilaporkan antara 2 6 jam setelah dosis tunggal 200 dan 400 mg, masingmasingnya.
Distribusi:
Sekitar 65% sefiksim terikat pada protein plasma. Sefiksim menembus
plasenta.
Eliminasi:
Waktu paruh plasma biasanya sekitar 3 4 jam dan mungkin lebih panjang
pada gangguan ginjal. Sefiksim dalam konsentrasi yang cukup tinggi
ditemukan pada cairan empedu dan urin. Sekitar 20% dari dosis oral (atau
50% dari dosis yang terabsorpsi) diekskresikan dalam bentuk tetap melalui
urin dalam waktu 24 jam. Sekitar 60% dosis mungkin dieliminasi melalui
mekanisme nonrenal.

g.

.Dosis

dan bentuk sediaan

Untuk infeksi Salmonella: 10 15 mg/kg BB/hari per oral dibagi dalam 2


dosis selama 10 hari.
Bentuk sediaan: Tablet 50 mg, 100 mg, 200 mg; Suspensi 200 mg/5 mL
2. Antasid
a. Mekanisme kerja
36

Menetralkan asam lambung sehingga berguna untuk menghilangkan nyeri


tukak peptik. Antasid tidak mengurangi volume HCl yang dikeluarkan
lambung, tetapi peninggian pH akan menurunkan aktivitas pepsin.

b. Indikasi
Tukak peptik, hiperasiditas GI, gastritis, gangguan pencernaan, kembung,
dispepsia, dan hiatus hernia.

c. Efek samping
Gangguan GI, konstipasi.
d. Perhatian
Gangguan fungsi ginjal, diet rendah fosfat.

e. Interaksi obat
Mengganggu absorbsi tetrasiklin, Fe, penghambat H2, warfarin, kuinidin, dan
isoniazid.

f. Farnakokinetika
Absorbsi

: antasid dibagi dalam dua golongan yaitu antasid sistemik dan

antasid nonsistemik. Antasid sistemik diabsorbsi dalam usus halus sehingga


menyebabkan urin bersifat alkalis.Antasid nonsistemik hampir tidak
diabsorbsi dalam usus sehingga tidak menimbulkan alkalosis metabolik.

37

g. Dosis dan bentuk sediaan

Natrium bikarbonat: tablet 500 mg, dosis : 1-4 g/hari

Aluminium hidroksida: tablet suspensi 4 %, dosis tunggal 0,6 g

Aluminium fosfat : suspensi 4-5 %, dosis : 15-45 ml

Al-karbonat basa : suspensi berisi 5 % Al2O3 dan 2,4 % CO2, dosis : 8 ml.

Al-natrium dihidroksi karbonat : Tablet 300 mg, dosis : 300-600 mg.

Kalsium karbonat : dosis 2-3 g/hari

Magnesium hidroksida

: suspensi susu magnesium 7-8 %, dosis : 5-30

ml.

3.

Magnesium trisilikat

: tablet 500 mg, dosis : 1-4 g/hari.

Isoniazid (INH)
a. Indikasi.
Obat

ini

diindikasikan

untuk

terapi

semua

bentuk

tuberkulosis

aktif,disebabkan kuman yang peka dan untuk profilaksis orang berisiko tinggi
mendapatkan infeksi. Dapat digunakan tunggal atau bersama-sama dengan
antituberkulosis lain.

b. Kontraindikasi.
Kontra indikasinya adalah riwayat hipersensistifitas atau reaksiadversus,
termasuk demam, artritis, cedera hati, kerusakan hati akut, tiap etiologi :
kehamilan(kecuali risiko terjamin).

c. Kerja Obat.

38

Bersifat bakterisid, dapat membunuh 90% populasi kuman dalam beberapa


hari pertama pengobatan.Efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik
aktif, yaitu kuman yang sedang berkembang. Mekanisme kerja berdasarkan
terganggunya sintesa asam mikolat, yang diperlukan untuk membangun
dinding bakteri.

d. Farmakokinetika.
Pada saat dipakai Isoniazida akan mencapai kadarplasma puncak dalam 1 2
jam sesudah pemberian peroral dan lebih cepat sesudah suntikan im; kadar
berkurang menjadi 50 % atau kurang dalam 6 jam. Mudah difusi kedalam
jaringan tubuh, organ, atau cairan tubuh; juga terdapat dalam liur, sekresi
bronkus dan cairan pleura, serobrosfina, dan cairan asitik.Metabolisme dihati,
terutama oleh karena asetilasi dan dehidrazinasi (kecepatan asetilasi
umumnya lebih dominan ). Waktu paro plasma 2-4 jam diperlama pada
insufiensi hati, dan pada inaktivator lambat. Lebih kurang 75-95 % dosis
diekskresikan di kemih dalam 24 jam sebagai metabolit, sebagian kecil
diekskresikan di liur dan tinja. Melintasi plasenta dan masuk kedalam ASI.

e. Interaksi
Isoniazid adalah inhibitor kuat untuk cytochrome P-450 isoenzymes,tetapi
mempunyai efek minimal pada CYP3A.Pemakaian Isoniazide bersamaan
dengan obat-obat tertentu, mengakibatkan meningkatnya konsentrasi obat
tersebut dan dapat menimbulkan risiko toksis.Antikonvulsan seperti fenitoin
39

dan karbamazepin adalah yang sangat terpengaruh oleh isoniazid. Isofluran,


parasetamol dan karbamazepin, menyebabkan hepatotoksisitas, antasida dan
adsorben menurunkan absopsi, sikloserin meningkatkan toksisitas pada SSP,
menghambat metabolisme karbamazepin, etosuksimid, diazepam, menaikkan
kadar plasma teofilin.

f. Efek Samping
Hepatotoksisitas, neuritis perifer.

g. Peringatan/Perhatian
Penderita yang mengalami penyakit hati kronis aktif dan gagal ginjal.

h. Dosis dan bentuk sediaan


Dosis anak: 5 15 mg/kg/ hari dosis tunggal.
Bentuk sediaan: Tablet 300 mg, 400 mg

4.

Rifampisin
a. Mekanisme kerja:
Bersifat bakterisid,dapat membunuh kuman semi dormant. Menghambat
sintesa asam nukleat mycobacterium TBC.

40

b. Indikasi
Diindikasikan untuk obat antituberkulosis yang dikombinasikan dengan
antituberkulosis lain untuk terapi awal maupun ulang.
c. Kontraindikasi
Hipersensitifitas, ikterus, gangguan fungsi hati, porfiria, bayi prematur,
neonatus.
d. Efek Samping
Gangguan

gastrointestinal,

reaksi

kulit,

hepatitis,

trombositopenia,

peningkatan enzim hati, cairan tubuh berwarna orange kemerahan.


e. Perhatian
Gangguan fungsi hati, gangguan fungsi ginjal, alkoholisme, hamil trimester 1
f. Interaksi Obat
Interaksi obat ini adalah mempercepat metabolisme metadon, absorpsi
dikurangi oleh antasida, mempercepat metabolisme, menurunkan kadar
plasma dari dizopiramid, meksiletin, propanon dan kinidin, mempercepat
metabolisme kloramfenikol, nikumalon, warfarin, estrogen,teofilin, tiroksin,
anti depresan trisiklik, antidiabetik (mengurangi khasiat klorpropamid,
tolbutamid, sulfonil urea), fenitoin, dapson, flokonazol, itrakonazol,
ketokonazol, terbinafin.
g. Farmakokinetika:

Absorpsi:diabsorpsi dengan cepat dari traktus GI dengan kadar plasma


puncak 7-9 Ul/ml setelah 2-4 jam pemberian dosis 600mg.

Distribusi : ikatan protein 80%, didistribusikan secara luas ke jaringan


tubuh dan cairan dan difusinya ke CFS meningkatkan pada kondisi
41

inflamasi dan meningitis. Didistribusikan ke ASI serta dapat melewati


plasenta.

Metabolisme: rifampisin dapat menginduksi metabolismenya sendiri.


dimetabolisme dengan cepat di hati menjadi bentuk aktif
deacetylrifampicin.

Rifampicin

and

deacetylrifampicin

25-Oakan

diekskresikan di empedu.

Ekskresi: t1/2 2-5 jam. Eliminasinya berkurang 40% pada 2 minggu


pemberian pertama dan t1/2nya menjadi 1-3 jam.

h. Dosis dan Rute:


Anak: 10-20 mg/ kg BB per oral dosis tunggal. Maksimal: 600 mg/ hari.
Bentuk sediaan: Kaplet 150 mg, 300 mg, 450 mg, 600 mg.
5.

Pirazinamid
a. Mekanisme kerja:
Bakteriostatis dan bakterisid terhadap Mycobacterium tuberculosa tergantung
dosis pemberian.
b. Indikasi:
Sebagai OAT yang digabung dengan obat anti TB yang lain.
c. Kontraindikasi:
Hipersensitivitas, gangguan fungsi hati, dan gangguan fungsi ginjal.
d. Efek Samping:
Kerusakan hati, mual, muntah, malaise, demam.
e. Perhatian:
Hati-hati pada penderita hiperurisemia dan encok akut, harus dilakukan uji
fungsi hati dan ginjal.

42

f. Interaksi Obat
Dapat berinteraksi dengan probenesid dan ziduvudine
g. Farmakokinetika
Pirazinamid mudah diserap di usus dan tersebar luas ke seluruh tubuh. Dosis
1 gram menghasilkan kadar plasma 45g/mL pada 2 jam setelah pemberian
obat. Eksresinya terutama melalui filtrasi glomerulus.Asam pirazinoat yang
aktiv kemudian mengalami hidroksilasi menjadi asam hidropirazinoat yang
merupakan metabolit utama.Masa paruh eliminasi obat ini adalah 10-16 jam.
h. Dosis dan bentuk sediaan
Dosis anak :15-30 mg/kg BB per oral dosis tunggal.
Bentuk sediaan: Tablet 500 mg.

43

Lampiran 2. Data follow-up suhu tubuh pasien

No.

Tanggal

Suhu
Pagi

Siang

Malam

1.

8/4/2013

36,8C

36,7C

2.

9/4/2013

36,7C

36,8C

37C

3.

10/4/2013

37C

36,2C

36,6C

4.

11/4/2013

36,7C

36,5C

36,7C

5.

12/4/2013

36,5C

36,8C

Grafik follow-up suhu pasien

44

Lampiran 3. Rencana asuhan kefarmasian

45

Lampiran 4. Tabel penggunaan obat bersama


Kebutuhan
pelayanan
kesehatan

Tujuan
Farmakoterapi

Pilihan
obat/Terapi

Parameter
Monitoring

Frekuensi
Monitor

Nilai Yang
diinginkan

Antagonis H2,
Antasid

Rasa mual,
bising usus

Tiap hari

Gastritis

Menghilangkan atau
mengurangi rasa
tidak nyaman pada
GI

Tidak mual, BU
(-)

Isoniazid,
rimfampicin,
pirazinamid

Rontgen toraks,
BTA

Tiap 3
bulan

Tuberkulosis

Menyembuhkan,
mencegah kematian,
mencegah
kekambuhan,
memutuskan rantai
penularan, dan
mencegah terjadinya
resistensi kuman
terhadap obat
antituberkulosis

Antibiotik
(cefiksim)

Coated tongue,
suhu tubuh,
widal test

Tiap hari

Demam tifoid

Menurunkan suhu
tubuh, membunuh
dan menghambat
pertumbuhan bakteri
Salmonella typhi

46

Rontgen Toraks (-)


BTA (-)

Tidak ada lagi


coated tongue,
suhu tubuh 36
370C

No

Nama obat

Indikasi

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

12.00
Cefixime
Antibiotik
Paracetamol Antipiretik
Acitral
Antasida

Vistrum
Vitamin

Isoniazid
OAT
Rifampisin OAT
Pirazinamid OAT

No

Nama obat

Indikasi

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Cefixime
Paracetamol
Acitral
Vistrum
Isoniazid
Rifampisin
Pirazinamid

Antibiotik
Antipiretik
Antasida
Vitamin
OAT
OAT
OAT

8/4/2013
18.00 22.00

06.00

9/4/2013
12.00 18.00

12/4/2013
06.00 12.00 18.00

Pasien pulang

11/4/2013
06.00 12.00 18.00

Lampiran 5. Kertas Kerja Farmasi


KERTAS KERJA FARMASI

47

22.00

10/4/2013
06.00 12.00 18.00

MASALAH YANG TERKAIT DENGAN OBAT

NO.

MASALAH
YANG TERKAIT
OBAT

PERMASALAHAN YANG
TERKAIT OBAT

ANALISA MASALAH

KOMENTAR/
REKOMENDASI

1.

Korelasi antara
penyakit obatdengan penyakit

1. Adakah obat tanpa indikasi


medis?
2. Adakah pengobatan yang tidak
dikenal?
3. Adakah kondisi klinis yang
tidak diterapi? dan adakah
kondisi tersebut yang
membutuhkan terpai obat?

Tidak ada
permasalahan

1. Sefiksim diindikasikan untuk


infeksi tifoid
2. Acitral untuk gastritis pasien
3. Ottopan untuk menurunkan
demam pasien
4. Isoniazid untuk tuberkulosis
aktif pasien
5. Rifampisin untuk tuberkulosis
aktif pasien
6. Pirazinamid untuk
tuberkulosis aktif pasien

2.

Pemilihan obat
yang sesuai

1. Bagaimanakah pemilihan obat?


Apakah sudah efektif dan
merupakan obat terpilih pada
kasus ini?
2. Apakah pemilihan obat tersebut
relatif aman?
3. Apakah terapi obat dapat
ditoleransi oleh pasien?

Tidak ada
permasalahan

Pilihan terapi sudah sesuai


dengan keadaan pasien dan
merupakan obat terpilih untuk
terapi pasien

48

3.

Regimen Dosis

4.

Duplikasi terapi

5.

Alergi obat atau


intoleran

1. Apakah dosis frekuensi dan cara


pemberian sudah
mempertimbangkan efektivitas
keamanan dan kenyamanan
serta sesuai dengan kondisi
pasien?
2. Apakah jadwal pemberian dosis
bisa memaksimalkan efek
terapi, kepatuhan,
meminimalkan efek samping,
interaksi obat, dan regimen
yang kompleks?
3. Apakah lama terapi sesuai
dengan indikasi?

Tidak ada
permasalahan

Dosis, frekuensi dan jadwal


pemberian sudah sesuai dengan
kondisi pasien

Apakah ada duplikasi terapi?

Tidak ada
permasalahan

Tidak ada duplikasi terapi

1. Apakah pasien alergi atau


intoleran terhadap salah satu
obat (atau bahan kimia yang
berhubungan dengan
pengobatannya)?
2. Apakah pasien telah tahu yang
harus dilakukan jika terjadi
alergi serius?

Tidak ada
permasalahan

Pasien tidak alergi terhadap obat


yang diberikan, dan pasien telah
diberikanedukasi jika terjadi
alergi yaitu segera
menghentikan penggunaan obat
dan segera memberitahu tenaga
medik

49

6.

Efek merugikan
obat

7.

Interaksi dan
kontraindikasi

Apakah ada
gejala/permasalahan medis
yang diinduksi obat

1. Apakah ada interaksi obat


dengan obat? Apakah
signifikan secara klinis?
2. Apakah ada interaksi obat
dengan makanan? Apakah
bermakna secara klinis?
3. Apakah ada interaksi obat
dengan data laboratorium?
Apakah bermakna secara
klinis?
4. Apakah ada pemberian obat
yang kontraindikasi dengan
keadaan pasien?

50

Tidak ada
permasalahan

Berdasarkan pengamatan kepada


pasien tidak ditemui gejala yang
merupakan efek merugikan obat

Tidak ada
permasalahan

Penggunaan Acitral dengan


OAT dapat menurunkan
absorbsi OAT (tidak signifikan
secara klinis)

51

Anda mungkin juga menyukai