OLEH
KELOMPOK 2
1. LAILATURRAHMI, S. Farm
1241012026
1241012099
1241012112
1241012149
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2013
BAB I
PENDAHULUAN
c. Epidemiologi
Pada tahun 2004 S. typhi diperkirakan menginfeksi 21,7 juta orang dan
menyebabkan 217.000 kematian di seluruh dunia. Insidensi tinggi demam tifoid
(>100 kasus/100.000 populasi/tahun) ditemukan di Asia Selatan, Asia Tenggara,
dan Afrika Selatan, sebanyak 80% kasus berasal dari area kumuh di Bangladesh,
Cina, India, Indonesia, Laos, Nepal, Pakistan, dan Vietnam (3). Insidens demam
tifoid di Indonesia pada usia masing-masing adalah 01, 2-4, 5-15, dan rata-rata
adalah 0,0/100.000, 148,7/100.000, 180,3/100.000, dan 81,7/100.000 kasus(4).
d. Patogenesis
Setelah kuman Salmonella typhi tertelan, kuman tersebut dapat bertahan
terhadap asam lambung dan masuk ke dalam tubuh melalui mukosa usus pada
ileum terminalis. Bakteri mencapai folikel limfe usus halus, ukut aliran ke
kelenjar limfe mesenterika, bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai
ke jaringan RES di organ hati dan limpa. S. typhi mengalami multiplikasi di
dalam sel fagosit mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika,
hati, dan limpa(1).
Setelah melalui periode inkubasi, maka S. typhi akan keluar dan melalui
duktus torasikus akan masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini,
organism dapat mencapai organ manapun, tetapi tempat yang disukai oleh S.
typhi adalah hati, limpa, susmsum tulang, kandung empedu, dan Peyers patch
dari ileum terminal(1).
e. Manifestasi Klinis
Pada anak, periode inkubasi demam tifoid adalah 5-40 hari dengan ratarata antara 10 14 hari. Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, dari gejala
klinis ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat
hingga harus dirawat(1).
Semua pasien demam tifoid selalu menderita demam pada awal penyakit.
Banyak orang tua pasien demam tifoid yang melaporkan bahwa demam lebih
tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat
3
demam sudah tinggi, dapat disertai gejala system saraf pusat seperti delirium atau
penurunan kesadaran mulai dari apati sampai koma(1).
Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya demam adalah nyeri
kepala, malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri perut, dan radang tenggorokan.
Gejala gastrointestinal pada kasus demam tifoid sangat bervariasi. Pada anak,
diare sering dijumpai pada awal gejala yang baru,kemudian dilanjutkan dengan
konstipasi. Pada sebagian pasien, lidah tampak kotor dengan putih di tengah
sedangkan di tepi dan ujungnya kemerahan(1).
f. Komplikasi
Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 0,5 3% kasus,
sedangkan perdarahan usus dilaporkan terjadi pada 1 10% kasus demam tifoid
anak. Komplikasi ini biasanya ditemui pada minggu ke 3, walaupun pernah
dilaporkan terjadi pada minggu pertama. Perforasi usus halus dapat didahului
oleh nyeri abdomen lokal pada kuadran kanan bawah, kemudian muntah, nyeri
pada perabaan abdomen, dan tanda-tanda peritonitis. Perforasi usus halus dan
peritonitis dapat diikuti dengan peningkatan frekuensi nadi secara tiba-tiba,
hipotensi, dan penurunan suhu tubuh(1,5).
Meskipun perubahan fungsi hati ditemukan pada banyak pasien demam
tifoid, hepatitis, jaundice, dan kolesistisis yang signifikan secara klinis relatif
jarang terjadi. Hepatitis tifosa asimtomatik dapat dijumpai pada kasus demam
tifoid dengan ditandai peningkatan kadar transaminase yang tidak mencolok.
Ikterus dengan atau tanpa disertai kenaikan kadar transaminase maupun
kolesistisis akut juga dapat dijumpai. Miokarditis dapat timbul dengan
manifestasi klinis berupa aritmia, perubahan ST T pada EKG, syok
kardiogenik, infiltrasi lemak, maupun nekrosis pada jantung. Komplikasi
neurologis tidak umum terjadi pada anak-anak, sebagian besar bermanifestasi
dalam bentuk gangguan kesadaran, disorientasi, delirium, obtundasi, stupor,
bahkan koma. Pneumonia sebagai penyulit sering dijumpai pada demam tifoid.
Keadaan ini dapat ditimbulkan oleh S. typhi tetapi seringkali sebagai akibat
infeksi sekunder kuman lain(1,5).
g. Penatalaksanaan
Penderita yang dirawat harus tirah baring untuk mencegah komplikasi,
terutama perdarahan dan perforasi. Bila penyakit membaik, dilakukan mobilisasi
secara bertahap sesuai dengan pulihnya penderita. Kebutuhan cairan penderita
harus terpenuhi dan disesuaikan dengan kebutuhan harian. Penderita harus
mendapatkan diet khusus, berupa makanan lunak yang mengandung kalori dan
protein yang cukup, serta mengandung rendah serat. Bila keadaan penderita baik,
diet dapat dimulai dengan diet padat atau tim. Akan tetapi, penderita dengan
klinis berat sebaiknya dimulai dengan bubur atau diet cair yang selanjutnya
diubah secara bertahap sesuai tingkat kesembuhan penderita(2).
Untuk tujuan eradikasi kuman, antimikroba yang diberikan sebagai terapi
awal
adalah
kloramfenikol,
kelompok
antimikroba
ampisilin/amoksisilin,
lini
serta
pertama
untuk
tifoid,
yaitu
trimetoprim-sulfametoksazol (2).
Kloramfenikol masih menjadi pilihan pertama karena efikasi dan harga meskipun
jangka waktu pemberiannya cukup lama. Dosis kloramfenikol untuk pengobatan
demam tifoid adalah 100 mg/kg BB/hari per oral dibagi dalam 4 dosis dengan
dosis maksimal 1500 mg/hari bila berat badan pasien <30 kg dan 2000 mg/hari
bila berat badan pasien >30 kg. Obat ini diberikan selama 10 14 hari. Namun,
pemberian kloramfenikol dihindari bila jumlah leukosit pasien dibawah
2000/mm3(1). Amoksisilin atau ampisilin dapat diberikan untuk demam tifoid
dengan dosis 200 400 mg/kg BB/hari dibagi dalam 3 dosis selama 10 hari
secara per oral. Kotrimoksazol diberikan dengan dosis 50 mg/kg BB/hari dibagi
dalam 3 dosis secara per oral. Bila antimikroba lini pertama tidak efektif, dapat
6) Resistensi antimikroba
7) Kemajuan pengobatan secara umum
1.2. Gastritis
a. Definisi
Gastritis adalah peradangan pada lambung dan merupakan gangguan
yang sering terjadi dengan karakteristik adanya anoreksia, rasa penuh dan tidak
enak pada epigastrium, mual dan muntah. (6).
b. Klasifikasi
Gastritis dapat diklasifikasikan berdasarkan gambaran endoskopik umum
dan histologiknya sebagai erosif dan hemoragik, nonerosif, nonspesifik atau
spesifik tertentu. Gastritis jauh lebih prevalen pada orang dewasa daripada
anak(6).
1) Gastropati Erosif dan Hemoragik
Gastropati Stres
Gastropati stress terjadi pada anak yang sakit berat karena stress
fisiologik (bukan psikologik), misalnya syok, asidosis, sepsis, luka bakar,
atau cedera kepala yang menyebabkan iskemia mukosa. Lesi awal
terutama terjadi di fundus dan korpus proksimal, kemudian menyebar ke
antrum untuk menimbulkan erosi difus dan pendarahan.
Gastropati Traumatik
Gastropati traumatik terjadi akibat muntah yang kuat yang biasanya
menimbulkan pendarahan sub epitel di fundus dan korpus proksimal
akibat masuknya lambung proksimal ke dalam esophagus distal.
c. Patogenesis
Di usia 3 4 tahun, sekresi asam lambung pada anak-anak mendekati
orang dewasa. Asam yang disekresikan oleh sel oxyntic pada lambung memiliki
nilai pH ~0,8, sementara pH isi lambung adalah 1 2. Sekresi asam yang
berlebih dikaitkan dengan massa sel parietal yang besar, hipersekresi, dan
peningkatan tonus vagus, menyebabkan peningkatan sekresi asam saat lambung
terisi makanan atau pada malam hari. Senyawa yang menunjang produksi asam
8
lambung antara lain asetilkolin yang dihasilkan oleh nervus vagus, histamin yang
disekresikan oleh sel enterokromafin, dan gastrin yang dihasilkan oleh sel G pada
antrum. Mediator yang menurunkan sekresi asam lambung dan meningkatkan
produksi musin salah satunya adalah prostaglandin(5).
Suatu lapisan mukus yang berperan sebagai penghalang difusi ion
hydrogen dan senyawa kimia lain menutupi mukosa saluran cerna. Produksi dan
sekresi mukus distimulasi oleh prostaglandin E2. Dibawah lapisan mukosa, selsel epitel membentuk lapisan penghalang kedua. Sel epitel ini mensekresi
chemokines ketika diserang oleh mikroba. Sekresi ion bikarbonat ke dalam
lapisan mukus yang diatur oleh prostaglandin penting dalam netralisasi ion
hidrogen. Bila terjadi kerusakan pada mukosa, terjadi proliferasi dan migrasi sel
mukosa secara cepat yang diatur oleh epithelial growth factor, transforming
growth factor-, insulin-like growth factor, gastrin, dan bombesin, yang akan
menutupi bagian epitel yang rusak(5).
d. Manifestasi klinis
Gejala yang sering timbul adalah anoreksia, mual, mudah kenyang, dan
muntah. Terbangun dari tidur akibat nyeri epigastrium merupakan suatu gejala
yang sangat khas pada ulkus peptikum atau gastritis berat. Anak mungkin tidak
mampu menentukan lokasi nyeri ke epigastrium dan mungkin datang dengan
iritabilitas saat makan dan penurunan nafsu makan. Tanda perdarahan saluran
cerna (hematemesis dan/atau melena) dapat terjadi pada gastritis yang parah
walaupun tanda tersebut lebih sering terjadi pada ulkus.(6)
e. Penatalaksanaan
Prinsip utama pengobatan gastritis adalah netralisasi atau penekanan asam
lambung(7). Netralisasi asam lambung dilakukan dengan pemberian antasida,
sedangkan penekanan asam lambung dapat dilakukan dengan pemberian
Ranitidine
Famotidine
Nizatidine
Efek samping antagonis reseptor H2 yang sering terjadi adalah diare dan
gangguan gastrointestinal lainnya, perubahan hasil tes fungsi hati, sakit kepala,
pusing, ruam, dan kelelahan. Terdapat laporan bahwa pemberian sukralfat dapat
menyebabkan pembentukan bezoar, karena itu perlu perhatian khusus bagi
penderita yang mengalami penundaan pengosongan lambung atau yang
menerima nutrisi secara enteral. Efek samping sukralfat yang umum terjadi
10
adalah konstipasi. Sementara itu, efek samping yang sering terjadi akibat
penggunaan penghambat pompa proton adalah gangguan gastrointestinal (mual,
muntah, nyeri perut, flatulensi, diare, konstipasi) dan sakit kepala(8).
1.3. Tuberkulosis
a. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar (80%) menyerang paruparu(8,9).
b. Etiologi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis termasuk basil gram positif, berbentuk batang,
organisme anaerob yang tumbuh lambat, dinding selnya mengandung komplek
lipid-glikolipid serta lilin (wax) yang sulit ditembus zat kimia(9,10).
Umumnya Mycobacterium tuberculosis menyerang paru dan sebagian
kecil organ tubuh lain. Dalam jaringan tubuh, kuman dapat dormant (tertidur
sampai beberapa tahun). Tuberkulosis timbul berdasarkan kemampuannya untuk
memperbanyak diri di dalam sel-sel fagosit(9,10).
Seseorang yang terinfeksi kuman tuberkulosis belum tentu sakit atau tidak
menularkan kuman tuberkulosis. Proses selanjutnya ditentukan oleh berbagai
faktor risiko. Kemungkinan untuk terinfeksi tuberkulosis bergantung pada :
-
kumuh. Sedangkan risiko menjadi sakit TB, sebagian besar adalah faktor internal
dalam tubuh penderita sendiri yg disebabkan oleh terganggunya sistem kekebalan
dalam tubuh penderita seperti kurang gizi, infeksi HIV/AIDS, pengobatan
dengan immunosupresan dan lain sebagainya(10).
c. Epidemiologi
Menurut WHO, Indonesia menduduki peringkat ketiga dalam kasus TB
(0,4 juta kasus baru), setelah India dan Cina. Sebanyak 10 % kasus terjadi pada
anak dibawah 15 tahun (11). Dari laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
tahun 2007, didapatkan prevalensi 12 bulan TB paru klinis di Indonesia 1%
dengan kisaran 0,3% (Lampung) sampai 2,5% (Papua). Berdasarkan kelompok
umur dijumpai prevalensi TB, kurang dari 1 tahun 0,47%, 14 tahun 0,76% dan
antara 514 tahun 0,53%(12).
Masalah yang dihadapi saat ini adalah meningkatnya kasus TB dengan
pesat selain karena peningkatan kasus penyakit HIV/AIDS juga meningkatnya
kasus multidrug resistence-TB (MDR-TB), hasil penelitian di Jakarta
mendapatkan >4% dari kasus baru. Masalah lain adalah peran vaksinasi BCG
dalam pencegahan infeksi dan penyakit TB yang masih kontroversial.Berbagai
penelitian melaporkan proteksi dari vaksinasi BCG untuk pencegahan penyakit
TB berkisar antara 0%-80%, secara umum diperkirakan daya proteksi BCG
hanya 50%, dan vaksinasi BCG hanya mencegah terjadinya TB berat, seperti
milier dan meningitis TB. Daya proteksi BCG terhadap meningitis TB 64%, dan
miler TB 78% pada anak yang mendapat vaksinasi(13).
d. Manifestasi klinis
Mayoritas anak yang terinfeksi tuberkulosis tidak menampakkan gejala
atau tanda yang khas. Akan tetapi, ada beberapa gejala umum yang dapat
menandai adanya infeksi tuberkulosis pada anak-anak, antara lain penurunan
berat badan dalam dua bulan berturut-turut, demam lama (> 2 minggu) tanpa
12
sebab yang jelas, batuk yang berlangsung lebih dari 3 minggu, dan pembesaran
kelenjar limfe di daerah leher, aksila, ataupun inguinal(11).
e. Kriteria diagnosis
Unit Kerja Koordinasi Respirologi Ikatan Dokter Anak Indonesia(IDAI)
telah membuat pedoman nasional tuberkulosis anak dengan menggunakan sistem
skor (scoring system), yaitu pembobotan terhadap gejala atau tanda klinis yang
dijumpai(11).
Setelah dokter melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang, maka dilakukan pembobotan dengan sistem skor. Pasien dengan
jumlah skor yang lebih atau sama dengan 6 ( >6 ), harus ditatalaksana sebagai
pasien TB dan mendapat OAT (obat antituberkulosis). Bila skor kurang dari 6
tetapi secara klinis kecurigaan ke arah TB kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan
diagnostik lainnya sesuai indikasi, seperti bilasan lambung, patologi anatomi,
fungsi lumbal, fungsi pleura, foto tulang dan sendi, funduskopi dan lain
lainnya(11).
Tabel 2. Sistem skoring gejala dan pemeriksaan penunjang(11)
Catatan:
13
Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari
setelah penyuntikan)harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
f. Penatalaksanaan
Beberapa hal penting dalam tatalaksana tuberkulosis anak adalah 1)
pemberian obat dalam bentuk kombinasi; 2) pemberian gizi yang adekuat; 3)
melakukan penatalaksanaan penyakit penyerta (jika ada) secara simultan.
Sementara itu, tatalaksana medikamentosa tuberkulosis anak terdiri dari terapi
(pengobatan) dan pencegahan(11).
Prinsip dasar terapi tuberkulosis adalah menggunakan minimal tiga
macam obat dan diberikan dalam waktu yang relatif lama (6 12 bulan).
Pengobatan tuberkulosis dibagi dalam dua fase yaitu fase intensif (2 bulan
pertama) dan sisanya sebagai fase lanjutan. Pemberian kombinasi obat ini
ditujukan untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan membunuh bakteri
intraseluler dan ekstraseluler. Sementara itu, pemberian obat jangka panjang
bertujuan untuk membunuh bakteri dan mengurangi kemungkinan terjadinya
kekambuhan(11).
Saat ini, kombinasi obat yang baku untuk sebagian besar kasus
tuberkulosis pada anak adalah rifampisin, isoniazid, dan pirazinamid. Pada fase
14
15
BAB II
16
TINJAUAN KASUS
: 8 April 2013
: 048813
Nama pasien
:F
Jenis kelamin
: Perempuan
Umur
: 3,5 tahun
Alamat
Status
: Pasien umum
Agama
: Islam
17
Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan dengan keluarga pasien, tidak ada
penyakit yang pernah diderita pasien sebelumnya.
: sakit sedang
b. Kesadaran
: compos mentis
c. Nadi
: 100 kali/menit
d. Pernafasan
: 28 kali/menit
e. Suhu
: 36,8 C
f. Berat badan
: 11,5 kg
g. Nyeri epigastrium
: (+)
h. Coated tongue
i. Status gizi
: (+)
: gizi kurang
Pemeriksaan penunjang:
1. Hematologi
o WBC
: 15,39 x 103/L
o RBC
: 4,37 x 106/L
o PLT
: 579 x 103/L
18
o Hb
: 11,2 g/dL
o Hematokrit
: 35,5%
o LED
: 110mm/jam
2. Serologi/Imunologi
a. Widal test:
o Salmonella typhii H
: (+) 1/160
o Salmonella paratyphii AH
: (+) 1/320
o Salmonella paratyphii BH
: (+) 1/320
o Salmonella paratyphii CH
: (+) 1/160
o Salmonella typhii O
: (+) 1/320
o Salmonella paratyphii AO
: (+) 1/80
o Salmonella paratyphii BO
: (+) 1/320
o Salmonella paratyphii CO
: (+) 1/80
o Vistrum 3 x 1 cth
BAB III
FOLLOW UP
3.1. Follow-up
a. Hari ke-1 (8 April 2013)
Pasien mengalami demam (naik-turun), batuk, bibir kering, nyeri epigastrik.
Berat badan 11,5 kg, denyut nadi 100 kali/menit, frekuensi pernafasan 28
kali/menit, suhu tubuh 36,8C.
Terapi yang diberikan:
20
Ottopan 4 x 1 cth
Cefixime 2 x 75 mg
Vistrum 3 x 1 cth
Rifampicin
: 1 x 180 mg
Isoniazid
: 1 x 120 mg
21
Pirazinamid : 1 x 300 mg
Cefixime 2 x 75 mg
Rifampicin
: 1 x 180 mg
Isoniazid
: 1 x 120 mg
Pirazinamid : 1 x 300 mg
22
Perhitungan dosis
Dosis mencukupi
b. Ottopan (Paracetamol)
Perhitungan dosis:
23
Dosis yang diterima pasien : 4 x 1 cth (120 mg/5 mL) = 480 mg/hari
Tepat dosis
c. Acitral
Tepat dosis
Dosis : 1 x 1 cth
e. Rifampisin
Perhitungan dosis :
24
Tepat dosis
f. Isoniazid
Perhitungan dosis :
Tepat dosis
g. Pirazinamid
Perhitungan dosis :
o 15 mg/kg BB/hari x 12 kg = 180 mg/hari
o 30 mg/kg BB/hari x 12 kg = 360 mg/hari
Tepat dosis
BAB IV
DISKUSI
Pasien F umur 3,5 tahun masuk ke Ruang Anak Rumah Sakit Stroke Nasional
Bukittinggi dari Poliklinik Anak pada tanggal 8 April 2013 pukul 12.30 WIB dengan
keluhan panas berulang selama kurang lebih 1 minggu, perut terasa sakit, bibir
kering, dan batuk. Pasien didiagnosis demam tifoid, gastritis, dan TB paru.
Terapi lini pertama pada demam tifoid adalah kloramfenikol, tetapi pada
pasien ini tidak diberikan karena angka leukosit pasien tinggi (leukositosis). Pada
demam tifoid, umumnya terjadi leukopenia, meskipun tidak selalu, dan leukositosis
pada pasien ini diduga terjadi akibat infeksi lain. Karena itu, diberikan sefiksim yang
merupakan sefalosporin generasi ketiga dengan aktivitas spektrum luas.
Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mempelajari efektivitas sefiksim
untuk pengobatan tifoid. Studi yang dilakukan oleh Hadinegoro, et al. membuktikan
bahwa pemberian sefiksim per oral dengan dosis 10 15 mg/kg BB/hari dibagi dalam
2 dosis selama 10 hari memperlihatkan efikasi yang baik untuk pengobatan demam
tifoid dan angka penyembuhannya sebesar 84%. Penurunan suhu terjadi setelah
6,03,1 hari pengobatan. Sementara itu, efek samping yang dialami pasien relatif
ringan, yaitu diare ringan, muntah, dan urtikaria (16). Dari studi komparatif yang
dilakukan oleh Memon, et al. di Pakistan, diperoleh kesimpulan bahwa pemberian
sefiksim dengan dosis 10 - 12 mg/kg BB/hari dibagi dalam 2 dosis selama 2 minggu
26
27
28
(11,14)
. Meskipun
tidak ada keluhan pasien terkait efek samping ini selama dirawat, perlu dilakukan
pemantauan misalnya dengan melakukan pemeriksaan fungsi hati secara berkala
untuk mendeteksi tanda-tanda hepatotoksisitas.
Ditemukan masalah interaksi obat dimana OAT dan antasida (Acitral) yang
mengandung aluminium hidroksida, magnesium hidroksida, dan simetikon diberikan
1 jam sebelum makan. Antasida diketahui dapat menurunkan absorpsi berbagai jenis
obat, termasuk OAT. Namun, setelah dilakukan penelusuran literatur, interaksi ini
ternyata tidak signifikan secara klinis. Studi yang dilakukan oleh Peloquin, et al.
menunjukkan bahwa tidak ada interaksi antara isoniazid dan antasida yang
mengandung aluminium hidroksida dan magnesium hidroksida (Mylanta) (18).
Penelitian lain yang dilakukan oleh Peloquin, et al. membuktikan bahwa tidak ada
perubahan farmakokinetika yang terjadi setelah pemberian Mylanta 9 jam sebelum,
bersama, dan setelah pemberian rifampisin ataupun pirazinamid (19,20). Namun, untuk
mengantisipasi kemungkinan terjadinya interaksi, OAT dapat diberikan 1 jam
sebelum makan dan Acitral diberikan 2 jam sesudah makan.
Pasien diperbolehkan pulang tanggal 12 April 2013 karena kondisi pasien
yang sudah membaik, dapat dilihat dari parameter suhu dan tanda-tanda klinis lainnya
yang tidak menunjukkan adanya gejala demam tifoid. Adapun keberhasilan
pengobatan tuberkulosis tidak dapat diketahui pada akhir masa rawatan mengingat
pengobatan dilakukan dalam jangka waktu yang panjang . Untuk mencegah masalahmasalah yang mungkin terjadi selama pengobatan di rumah, perlu diberikan
konseling kepada orangtua pasien sebelum pulang dengan fokus pada pengobatan
demam tifoid dan TB agar pasien dapat sembuh sempurna.
29
BAB V
KESIMPULAN
1.
Demam tifoid
Tidak ada reaksi obat yang tidak diinginkan (ROTD) yang ditemukan
pada pasien.
2. Gastritis
3. Tuberkulosis
Terdapat masalah interaksi obat antara OAT dan antasida, tetapi tidak
signifikan secara klinis.
30
BAB VI
EDUKASI PASIEN
1.
Sefiksim diminum 2 kali sehari (setiap 12 jam) setelah makan dan harus
diminum sampai habis.
2.
3.
4.
31
5.
Jika air seni, air liur, atau air mata berwarna oranye kemerahan, jangan panik
karena hal itu merupakan efek samping yang biasa terjadi setelah menggunakan
OAT (Rifampisin).
6.
7.
8.
9.
DAFTAR PUSTAKA
32
1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak: Infeksi
dan Penyakit Tropis Edisi Pertama. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak
FKUI
2. Menkes RI. 2006. Kepmenkes RI No 364/Menkes/SK/V/2006 Tentang
Pedoman Pengendalian Demam Tifoid. Jakarta: Depkes RI
3. Crump JA, Luby SP, Mintz ED. 2004. The global burden of typhoid fever.
Bull WHO;82:346-53
4. Riset Kesehatan Dasar. 2009. Data demam tifoid. Kementerian Kesehatan RI
5. Kliegman, RM, Stanton, BF, Behrman, RE. 2011. Nelsons Textbook of
Pediatrics 19th Edition.Philadelpia: Elsevier
6. Rudolf, A.M, dkk. 2002. Buku Ajar Pediatri Rudolf. Volume 2, Edisi 20.
Jakarta: EGC
7. Hay, WW, Levin, MJ, Sondheimer, JM, Deterding, RR. 2008. Current
Diagnosis and Treatment: Pediatrics (19th Edition). New York: McGrawHill
Medical
8. The Paediatric Formulary Committee. 2009. British National Formulary For
Children. London: RPS Publishing
9. Behrman, R.E & Kliegman, R.M., 2003. Nelson Esensi Pediatri. Jakarta:
EGC.
10. Depkes RI. 2005. Pharmaceutical Care Untuk Penyakit Tuberkulosis. Depkes
RI.
11. Kelompok Kerja TB Anak Depkes IDAI. 2008. Diagnosis dan Tatalaksana
Tuberkulosis Anak. Depkes RI
12. Kartasasmita CB. 2001. Childhood tuberculosis in the community.
Disampaikan pada International Paediatric. Respiratory and Allergy Congress;
Prague, Czech Republic
13. Rikesdas Indonesia tahun 2007. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Jakarta
14. Unit Kerja Koordinasi Pulmonologi IDAI. 2008. Pedoman Nasional
Tuberkulosis Anak. Jakarta: UKK Pulmonologi IDAI
15. Katzung, B,G. 2004. Basic and Clinical Pharmacology. New York: McGraw
Hill
16. Sweetman, S.C. 2010. Martindale 36th Edition. London: Pharmaceutical Press
17. Hadinegoro, SRS. Tumbelaka, AR, Satari, HI. 2001. Pengobatan Cefixime
pada Demam Tifoid Anak. Sari Pediatri Vol 2 (4): 182 - 187
33
18. Memon IA, Billoo AG, Memon HI. 1998. Cefixime: An oral option for the
treatment of multidrug-resistant enteric fever in children. South Med J;
90:1204-7.
19. Peloquin CA, Namdar S, Dodge AA, Nix DE. 1999. Pharmacokinetics of
isoniazid under fasting conditions, with food, and with antacids. Int J Tuberc
Lung Dis 3, 703710.
20. Peloquin CA, Namdar R, Singleton MD, Nix DE. 1999. Pharmacokinetics of
rifampin under fasting conditions, with food, and with antacids. Chest 115,
1218.
21. Peloquin CA, Bulpitt AE, Jaresko GS, Jelliffe RW, James GT, Nix DE. 1998.
Pharmacokinetics of pyrazinamide under fasting conditions, with food, and
with antacids. Pharmacotherapy 18, 120511.
34
LAMPIRAN
Sefiksim
a. Mekanisme kerja
Bersifat bakterisidal dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri.
b. Indikasi
Infeksi Salmonella, gonorrohea, otitis media, faringitis, infeksi saluran
pernapasan bagian bawah, infeksi saluran kemih.
c. Efek samping
Gangguan GI, khususnya diare.
d. Perhatian
Pasien yang menerima antikoagulan.
e. Interaksi obat
Pemberian sefiksim pada pasien yang menerima antikoagulan dapat
meningkatkan waktu protrombin.
35
f. Farnakokinetika
Absorpsi:
Hanya 40 50% dosis oral sefiksim yang diabsorpsi dari saluran
gastrointestinal, baik diminum sebelum atau sesudah makan, walaupun laju
absorpsi dapat menurun dengan adanya makanan. Sefiksim diabsorpsi lebih
baik dalam bentuk suspense oral dibandingkan dengan tablet. Absorpsi cukup
lambat, konsentrasi plasma puncak 2 3 g/mL dan 3,7 4,6 g/mL telah
dilaporkan antara 2 6 jam setelah dosis tunggal 200 dan 400 mg, masingmasingnya.
Distribusi:
Sekitar 65% sefiksim terikat pada protein plasma. Sefiksim menembus
plasenta.
Eliminasi:
Waktu paruh plasma biasanya sekitar 3 4 jam dan mungkin lebih panjang
pada gangguan ginjal. Sefiksim dalam konsentrasi yang cukup tinggi
ditemukan pada cairan empedu dan urin. Sekitar 20% dari dosis oral (atau
50% dari dosis yang terabsorpsi) diekskresikan dalam bentuk tetap melalui
urin dalam waktu 24 jam. Sekitar 60% dosis mungkin dieliminasi melalui
mekanisme nonrenal.
g.
.Dosis
b. Indikasi
Tukak peptik, hiperasiditas GI, gastritis, gangguan pencernaan, kembung,
dispepsia, dan hiatus hernia.
c. Efek samping
Gangguan GI, konstipasi.
d. Perhatian
Gangguan fungsi ginjal, diet rendah fosfat.
e. Interaksi obat
Mengganggu absorbsi tetrasiklin, Fe, penghambat H2, warfarin, kuinidin, dan
isoniazid.
f. Farnakokinetika
Absorbsi
37
Al-karbonat basa : suspensi berisi 5 % Al2O3 dan 2,4 % CO2, dosis : 8 ml.
Magnesium hidroksida
ml.
3.
Magnesium trisilikat
Isoniazid (INH)
a. Indikasi.
Obat
ini
diindikasikan
untuk
terapi
semua
bentuk
tuberkulosis
aktif,disebabkan kuman yang peka dan untuk profilaksis orang berisiko tinggi
mendapatkan infeksi. Dapat digunakan tunggal atau bersama-sama dengan
antituberkulosis lain.
b. Kontraindikasi.
Kontra indikasinya adalah riwayat hipersensistifitas atau reaksiadversus,
termasuk demam, artritis, cedera hati, kerusakan hati akut, tiap etiologi :
kehamilan(kecuali risiko terjamin).
c. Kerja Obat.
38
d. Farmakokinetika.
Pada saat dipakai Isoniazida akan mencapai kadarplasma puncak dalam 1 2
jam sesudah pemberian peroral dan lebih cepat sesudah suntikan im; kadar
berkurang menjadi 50 % atau kurang dalam 6 jam. Mudah difusi kedalam
jaringan tubuh, organ, atau cairan tubuh; juga terdapat dalam liur, sekresi
bronkus dan cairan pleura, serobrosfina, dan cairan asitik.Metabolisme dihati,
terutama oleh karena asetilasi dan dehidrazinasi (kecepatan asetilasi
umumnya lebih dominan ). Waktu paro plasma 2-4 jam diperlama pada
insufiensi hati, dan pada inaktivator lambat. Lebih kurang 75-95 % dosis
diekskresikan di kemih dalam 24 jam sebagai metabolit, sebagian kecil
diekskresikan di liur dan tinja. Melintasi plasenta dan masuk kedalam ASI.
e. Interaksi
Isoniazid adalah inhibitor kuat untuk cytochrome P-450 isoenzymes,tetapi
mempunyai efek minimal pada CYP3A.Pemakaian Isoniazide bersamaan
dengan obat-obat tertentu, mengakibatkan meningkatnya konsentrasi obat
tersebut dan dapat menimbulkan risiko toksis.Antikonvulsan seperti fenitoin
39
f. Efek Samping
Hepatotoksisitas, neuritis perifer.
g. Peringatan/Perhatian
Penderita yang mengalami penyakit hati kronis aktif dan gagal ginjal.
4.
Rifampisin
a. Mekanisme kerja:
Bersifat bakterisid,dapat membunuh kuman semi dormant. Menghambat
sintesa asam nukleat mycobacterium TBC.
40
b. Indikasi
Diindikasikan untuk obat antituberkulosis yang dikombinasikan dengan
antituberkulosis lain untuk terapi awal maupun ulang.
c. Kontraindikasi
Hipersensitifitas, ikterus, gangguan fungsi hati, porfiria, bayi prematur,
neonatus.
d. Efek Samping
Gangguan
gastrointestinal,
reaksi
kulit,
hepatitis,
trombositopenia,
Rifampicin
and
deacetylrifampicin
25-Oakan
diekskresikan di empedu.
Pirazinamid
a. Mekanisme kerja:
Bakteriostatis dan bakterisid terhadap Mycobacterium tuberculosa tergantung
dosis pemberian.
b. Indikasi:
Sebagai OAT yang digabung dengan obat anti TB yang lain.
c. Kontraindikasi:
Hipersensitivitas, gangguan fungsi hati, dan gangguan fungsi ginjal.
d. Efek Samping:
Kerusakan hati, mual, muntah, malaise, demam.
e. Perhatian:
Hati-hati pada penderita hiperurisemia dan encok akut, harus dilakukan uji
fungsi hati dan ginjal.
42
f. Interaksi Obat
Dapat berinteraksi dengan probenesid dan ziduvudine
g. Farmakokinetika
Pirazinamid mudah diserap di usus dan tersebar luas ke seluruh tubuh. Dosis
1 gram menghasilkan kadar plasma 45g/mL pada 2 jam setelah pemberian
obat. Eksresinya terutama melalui filtrasi glomerulus.Asam pirazinoat yang
aktiv kemudian mengalami hidroksilasi menjadi asam hidropirazinoat yang
merupakan metabolit utama.Masa paruh eliminasi obat ini adalah 10-16 jam.
h. Dosis dan bentuk sediaan
Dosis anak :15-30 mg/kg BB per oral dosis tunggal.
Bentuk sediaan: Tablet 500 mg.
43
No.
Tanggal
Suhu
Pagi
Siang
Malam
1.
8/4/2013
36,8C
36,7C
2.
9/4/2013
36,7C
36,8C
37C
3.
10/4/2013
37C
36,2C
36,6C
4.
11/4/2013
36,7C
36,5C
36,7C
5.
12/4/2013
36,5C
36,8C
44
45
Tujuan
Farmakoterapi
Pilihan
obat/Terapi
Parameter
Monitoring
Frekuensi
Monitor
Nilai Yang
diinginkan
Antagonis H2,
Antasid
Rasa mual,
bising usus
Tiap hari
Gastritis
Menghilangkan atau
mengurangi rasa
tidak nyaman pada
GI
Tidak mual, BU
(-)
Isoniazid,
rimfampicin,
pirazinamid
Rontgen toraks,
BTA
Tiap 3
bulan
Tuberkulosis
Menyembuhkan,
mencegah kematian,
mencegah
kekambuhan,
memutuskan rantai
penularan, dan
mencegah terjadinya
resistensi kuman
terhadap obat
antituberkulosis
Antibiotik
(cefiksim)
Coated tongue,
suhu tubuh,
widal test
Tiap hari
Demam tifoid
Menurunkan suhu
tubuh, membunuh
dan menghambat
pertumbuhan bakteri
Salmonella typhi
46
No
Nama obat
Indikasi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
12.00
Cefixime
Antibiotik
Paracetamol Antipiretik
Acitral
Antasida
Vistrum
Vitamin
Isoniazid
OAT
Rifampisin OAT
Pirazinamid OAT
No
Nama obat
Indikasi
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Cefixime
Paracetamol
Acitral
Vistrum
Isoniazid
Rifampisin
Pirazinamid
Antibiotik
Antipiretik
Antasida
Vitamin
OAT
OAT
OAT
8/4/2013
18.00 22.00
06.00
9/4/2013
12.00 18.00
12/4/2013
06.00 12.00 18.00
Pasien pulang
11/4/2013
06.00 12.00 18.00
47
22.00
10/4/2013
06.00 12.00 18.00
NO.
MASALAH
YANG TERKAIT
OBAT
PERMASALAHAN YANG
TERKAIT OBAT
ANALISA MASALAH
KOMENTAR/
REKOMENDASI
1.
Korelasi antara
penyakit obatdengan penyakit
Tidak ada
permasalahan
2.
Pemilihan obat
yang sesuai
Tidak ada
permasalahan
48
3.
Regimen Dosis
4.
Duplikasi terapi
5.
Tidak ada
permasalahan
Tidak ada
permasalahan
Tidak ada
permasalahan
49
6.
Efek merugikan
obat
7.
Interaksi dan
kontraindikasi
Apakah ada
gejala/permasalahan medis
yang diinduksi obat
50
Tidak ada
permasalahan
Tidak ada
permasalahan
51