TERSEDIA DI SUMATERA DAN ARAHAN PENGGUNAANNYA UNTUK PERTANIAN D. Subardja dan Rudi Eko S. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian ABSTRAK Lahan potensial tersedia untuk pertanian merupakan lahan-lahan yang sesuai untuk pengembangan pertanian, namun belum dimanfaatkan dan kondisinya sekarang masih berupa hutan, semak belukar dan padang alang- alang. Di Sumatera, luas lahan potensial tersedia tercatat sekitar 5,5 juta hektar, dimana > 3,8 juta hektar berada di wilayah Provinsi Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Jambi dan Riau yang terdiri dari lahan kering 2,54 juta ha dan lahan basah/rawa 1,28 juta ha. Untuk dapat memanfaatkan lahan tersebut secara optimal dan berkelanjutan maka perlu dilakukan identifikasi dan karakterisasi jenis tanah utama serta lingkungan pembentukannya. Informasi yang rinci mengenai sebaran, karakteristik, potensi dan kendala penggunaan tanah dari Jenis-jenis tanah utama yang terdapat pada lahan potensial tersedia tersebut sangat diperlukan dalam menentukan arahan pengembangan komoditas dan alternatif inovasi teknologi pengelolaannya yang tepat. Penelitian dilakukan di lapang dan di laboratorium yang meliputi pengamatan sifat morfologi tanah dan lingkungan pembentukannya, pengambilan contoh tanah dan analisis mineralogi, sifat fisika dan kimia tanah di laboratorium. Faktor bahan induk tanah yang berinteraksi dengan iklim mempunyai pengaruh yang sangat dominan terhadap pembentukan tanah dengan memberikan keragaman sifat dan karakteristik tanah yang terbentuk serta potensinya untuk pertanian. Bahan induk tanah di daerah penelitian didominasi oleh batuan sedimen, bahan volkanik masam dan bahan organik membentuk tanah-tanah Oxisols, Ultisols, Inceptisols dan Histosols. Pada tingkat greatgrup berturut-turut adalah: Hapludox, Kandiudox, Hapludults, Haplohumults, Dystrudepts, Endoaquepts, dan Haplohemists. Iklim umumnya basah dan suhu udara cukup tinggi mendorong proses pelapukan tanah sangat intensif sehingga pada lahan kering terbentuk tanah-tanah terlapuk lanjut berwarna coklat kemerahan, umumnya dalam, struktur gumpal, gembur, pori aerasi sedang sampai tinggi, air tersedia rendah sampai sedang, dan permeabilitas tanah sedang sampai cepat. Dalam kondisi ini, akar tanaman dapat berkembang dengan baik, namun karena porus maka tanah mudah kekeringan kalau tidak ada hujan dalam beberapa hari saja. Kesuburan tanah umumnya tergolong rendah sampai sangat rendah, dicirikan oleh cadangan mineral sangat rendah (didominasi kuarsa), pH tanah sangat masam sampai masam, kadar C- organik tanah sangat rendah, hara N, P, K dan kation basa (Ca, Mg, K) sangat rendah, kemampuan tanah mempertukarkan kation dan memegang hara dan air sangat rendah. Komplek pertukaran kation didominasi oleh alumunium sehingga D. Subardja dan Rudi Eko S. 64 tanaman berpotensi mengalami defisiensi hara dan keracunan aluminium. Perbaikan produktivitas tanah dan peningkatan produksi sangat ditentukan oleh faktor input produksi yang diberikan, yaitu pemberian kapur (dolomit), bahan organik/pupuk kandang, pupuk anorganik (N, P, K) secara berimbang sesuai kebutuhan tanaman dan status hara tanah. Sedangkan tanah-tanah pada lahan basah/rawa, selain faktor kesuburan tanah rendah, juga masalah kedalaman dan kematangan gambut, genangan air dan keracunan pirit (sulfat). Pengelolaan tanah rawa/gambut perlu berhati-hati, selain memperbaiki kesuburan tanahnya juga perlu melakukan penataan lahan dan air. Overdrainage pada tanah gambut dapat menyebabkan penurunan dan rusak tidak dapat balik. Berdasarkan pada kondisi iklim dan karakteristik tanahnya, pada lahan kering dapat dikembangkan berbagai komoditas pertanian tanaman pangan dan hortikultura serta tanaman perkebunan, sedangkan tanah mineral pada lahan basah/rawa lebih sesuai untuk padi sawah. Tanah gambut pada lahan rawa sebaiknya dikonservasi dan tidak digunakan untuk pertanian. PENDAHULUAN Lahan potensial tersedia untuk pertanian adalah lahan-lahan yang sesuai untuk pengembangan berbagai komoditas pertanian dan kondisinya sekarang belum digunakan untuk pertanian, tetapi masih berupa hutan, semak belukar dan padang alang-alang. Di Indonesia, luas lahan tersebut mencapai 30 juta ha, tersebar di beberapa pulau besar di luar J awa, terutama di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, termasuk di dalamnya lahan terlantar atau lahan tidur (Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, 2008). Di Sumatera, luas lahan potensial tersedia tercatat sekitar 5,5 juta hektar yang tersebar di 10 provinsi, terdiri dari lahan kering (4,22 juta ha) dan lahan basah/rawa (1,28 juta ha). Untuk dapat memanfaatkan lahan tersebut secara maksimal, maka perlu dilakukan identifikasi dan diketahui sebaran serta karakteristik tanah dan lingkungannya terlebih dahulu. Informasi yang rinci mengenai sebaran, karakteristik, potensi dan kendala penggunaan tanah dari J enis-jenis tanah tersebut untuk pertanian belum banyak diketahui. Dalam proses pembentukan tanah, faktor-faktor pembentuk tanah yang berpengaruh terhadap sifat dan ciri tanah telah diidentifikasi oleh J enny (1941), yaitu iklim, bahan induk, organisme, relief/bentuk wilayah, dan waktu. Dari kelima faktor tersebut, bahan induk tanah merupakan faktor yang sangat dominan pengaruhnya di Indonesia. Sebaran dan keragaman jenis bahan induk tanah memberikan keragaman sifat dan karakteristik tanah yang terbentuk dan potensinya untuk pertanian di suatu wilayah (Buol et al., 1980). Di pulau Sumatera, bahan induk didominasi oleh batuan sedimen (34,89% dari total area) diikuti dengan batuan volkanik tua (28,74%) dan bahan organik sekitar 8,19%. Karakteristik Tanah pada Lahan Potensial Tersedia
65
Selain dari faktor bahan induk, yang penting juga adalah faktor iklim. Sumatera tergolong iklim tropika basah, dengan suhu rata-rata umumnya tinggi (>22C) dan curah hujan >2000 mm/th, dengan musim hujan >6 bulan. Kondisi iklim demikian mengakibatkan proses pelapukan kimia berjalan sangat intensif. Proses pelapukan tersebut sangat cepat melapukkan mineral-mineral primer dan batuan induk tanah. Curah hujan yang tinggi mengakibatkan kation-kation basa tidak tertinggal lama di dalam tanah, dan segera tercuci keluar. Sehingga tanah menjadi bereaksi masam dengan kejenuhan basa yang rendah, dan kejenuhan Al yang tinggi. Tanah-tanah yang terbentuk umumnya berpenampang dalam, bereaksi masam, dan kesuburan alaminya rendah. Faktor pembentuk tanah lainnya adalah relief yang sangat mempengaruhi proses pembentukan tanah dan penggunaannya untuk pertanian. Lahan potensial tersedia untuk pertanian di Sumatera cukup luas, dengan relief datar (28,6% dari total area), dan relief berombak-bergelombang 21,69% (Puslittanak, 2000). Wilayah dengan relief datar bisa dikembangkan untuk perluasan areal sawah, sedang daerah dengan relief berombak-bergelombang bisa dikembangkan untuk pertanian lahan kering yang dikombinasi dengan tanaman tahunan disertai tindakan-tindakan konservasi yang sesuai (Subagyo et al., 2004). Keragaman sifat dan jenis tanah menuntut pengelolaan yang berbeda agar tanah tetap produktif dan lestari. Berdasarkan pada karakteristik dari masing- masing jenis tanah pada lahan potensial tersedia, maka dapat ditetapkan jenis- jenis komoditas yang sesuai dikembangkan dan teknologi pengelolaan tanah spesifik lokasi, sehingga pemanfaatan tanah dapat dikelola secara optimal dan tidak merusak lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sebaran, karakteristik, potensi dan kendala dari J enis-jenis tanah pada Lahan Potensial Tersedia untuk Pertanian di Sumatera, khususnya di Provinsi Sumatera Selatan, Bangka Belitung, J ambi dan Riau, serta memberikan rekomendasi komoditas dan teknologi pengelolaan tanah dan air yang sesuai agar dapat dimanfaatkan secara optimal, produktif dan lestari tanpa merusak lingkungan. METODE PENELITIAN Kegiatan penelitian di Sumatera diprioritaskan di 4 provinsi, yaitu: Sumatera Selatan, Bangka Belitung, J ambi dan Riau. Lingkup kegiatan penelitian meliputi (1) deskwork, (2) penelitian lapang, dan (3) penelitian laboratorium. Kegiatan deskwork terdiri dari studi pustaka, pengumpulan dan kompilasi data, identifikasi lokasi, sebaran dan jenis tanah pada lahan potensial D. Subardja dan Rudi Eko S. 66 tersedia untuk pertanian, dengan sistem overlay Peta satuan lahan dan tanah dari daerah penelitian di P. Sumatera skala 1:250.000 (LREP-I, 1990) dan Peta ketersediaan lahan untuk pertanian di Indonesia skala 1:750.000 (Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, 2008). Penggunaan lahan saat ini diidentifikasi dari data citra satelit (Landsat ETM7+, 2007). Penelitian lapangan meliputi karakterisasi setiap J enis tanah yang dominan penyebarannya di daerah yang diteliti dibedakan berdasarkan bahan induk, relief/landform, dan penggunaan tanah yang diamati secara transek (topo-litosekuen), pencatatan sifat morfologi tanah dan lingkungannya (relief, bahan induk, iklim, penggunaan tanah) serta pengambilan contoh tanah profil pewakil. Penelitian laboratorium meliputi analisis sifat-sifat kimia tanah, fisika tanah, dan komposisi mineral pasir dan liat. Pengolahan data meliputi interpretasi karakteristik tanah, penetapan klasifikasi tanah, evaluasi status kesuburan tanah, dan evaluasi lahan untuk tanaman pertanian sebagai dasar dalam memberikan arahan pengembangan komoditas dan teknologi pengelolaan tanah yang diperlukan dari setiap jenis tanah. Semua data hasil penelitian disimpan dalam basis data, dalam rangka pengembangan teknologi pengelolaan tanah spesifik lokasi dan pengembangan sistem klasifikasi tanah nasional. Wilayah observasi lapang pada lahan potensial tersedia di 4 provinsi Sumatera ditetapkan secara sample area berdasarkan pertimbangan sebaran dan luas lahan potensial tersedia serta keragaman penutupan/penggunaan lahan, landform/bentuk wilayah, bahan induk dan jenis tanah terluas. Pengamatan tanah dilakukan secara transek (lito-toposekuen). Peta rupabumi dari Bakosurtanal skala 1:50.000-100.000 digunakan sebagai peta kerja di lapang untuk plotting lokasi pengamatan. Posisi lokasi pengamatan tanah di lapang ditetapkan dengan alat GPS. Pengamatan tanah dilakukan pada profil tanah pewakil dari setiap J enis tanah yang dominan penyebarannya di suatu wilayah. Metode pengamatan tanah mengacu pada Soil Survey Manual (Soil Survey Division Staff, 1993) dan Petunjuk Teknis Pengamatan Tanah (Balai Penelitian Tanah, 2004). Sifat-sifat morfologi tanah yang diamati meliputi kedalaman tanah, drainasse, ketebalan lapisan tanah, warna, struktur, tekstur, keadaan pori tanah, perakaran, kemasaman tanah (pH). Faktor lingkungan yang diamati adalah iklim, bentuk wilayah dan lereng, keadaan batuan di permukaan, vegetasi dan penggunaan tanah. Contoh tanah diambil dari semua lapisan tanah dalam profil pewakil untuk keperluan analisis sifat kimia dan mineralogi tanah di laboratorium Balai Penelitian Tanah. Contoh ring tanah diambil pada kedalaman 0-20 cm dan 30-50 cm untuk keperluan analisis sifat fisika tanah. Karakteristik Tanah pada Lahan Potensial Tersedia
67
Analisis sifat fisika tanah terdiri dari BD, pori tanah, air tersedia, dan permeabilitas. J enis analisis sifat kimia tanah meliputi: tekstur, pH, C-organik, N- total, P dan K total, P-tersedia, nilai tukar kation (kation basa, KTK dan KB) dan Al-dapat tukar, serta analisis kimia khusus untuk J enis tanah tertentu (Oxisols). Analisis mineral pasir dilakukan secara mikroskopis dengan metode penghitungan garis (line counting). Metode analisis tanah mengacu pada Soil Survey Laboratory Methods Manual (Soil Survey Laboratory Staff, 1991). Semua data baik tabular maupun spasial disimpan dalam basisdata tanah. Genesis tanah-tanah tersebut dipelajari dan tanah diklasifikasikan menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2010). Evaluasi status kesuburan tanah ditetapkan dengan Kriteria Penilaian Kesuburan Tanah menurut Pusat Penelitian Tanah (1983). Evaluasi lahan dilakukan secara komputerisasi untuk menetapkan komoditas pertanian yang sesuai dikembangkan dan kendala penggunaannya dengan program ALES (Rossiter & Van Wambeke, 1997). Kriteria kesesuaian lahan untuk tanaman pertanian mengacu pada Djaenuddin et al, (2003). Rekomendasi komoditas dan teknologi pengelolaan tanah dan air spesifik lokasi disusun berdasarkan sifat dan karakteristik dari setiap jenis tanah yang terdapat pada lahan potensial tersedia untuk pertanian di 4 provinsi Sumatera. HASIL DAN PEMBAHASAN Informasi sebaran lahan potensial tersedia di empat provinsi di Bangka Belitung, Sumatera Selatan, J ambi dan Riau disajikan pada Tabel 1 (Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, 2008). Berdasarkan informasi tersebut, maka penetapan prioritas pengembangan komoditas pertanian di masing-masing provinsi cukup bervariasi. Di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, penelitian diarahkan di P. Bangka pada tanah-tanah lahan kering untuk pengembangan komoditas perkebunan (lada, karet, kelapa sawit). Di Sumatera Selatan, J ambi dan Riau ditekankan pada pengembangan lahan basah semusim (padi sawah), lahan kering semusim (tanaman pangan dan hortikultura) dan perkebunan/tahunan (karet, kelapa sawit, kakao).
D. Subardja dan Rudi Eko S. 68 Tabel 1. Sebaran lahan potensial tersedia di daerah penelitian
Provinsi Arahan pengembangan Lahan basah/rawa Lahan kering semusim Lahan kering tahunan Luas total ha Bangka Belitung 51.614 0 225.470 277.084 Sumatera Selatan 470.785 307.225 424.846 1.202.856 J ambi 394.100 177.341 258.997 830.438 Riau 372.100 252.980 896.245 1.521.325 J umlah 1.288.599 737.546 1.805.558 3.831.703 Keadaan Iklim Kondisi curah hujan di P. Bangka diwakili oleh empat stasiun, yaitu Sungailiat, Pangkalpinang, Rias dan Payung (Gambar 1). Curah hujan tahunan berkisar dari 1.727 mm (Sungailiat) sampai 3.090 mm (Payung). Di sekitar Pangkalpinang 2.449 mm dan di sekitar Rias 2.870 mm dengan bulan basah (>200 mm) berkisar dari 6-10 bulan dan bulan kering (<100 mm) 1-3 bulan, termasuk zona agroklimat A dan B1. Zona agroklimat Sungailiat termasuk D2 (terkering) dan Payung zona A, terbasah (Oldeman et. al., 1978). Musim kemarau terjadi pada bulan Agustus-September. Suhu udara rata-rata berkisar antara 26 oC hingga 28 o C. Kelembaban udara berkisar antara 76% hingga 88%. Iklim di Provinsi Sumatera Selatan diwakili oleh 3 stasiun iklim di Palembang, Sekayu dan Sungsang. Curah hujan tahunan berkisar dari 2.345 mm sampai 2.942 mm, bulan basah 6-7 bulan dan tanpa bulan kering nyata. Suhu udara rata-rata 26 oC, lama penyinaran 65%, kelembaban udara 83%. Daerah ini termasuk zona agroklimat B1 dan B2 relatif lebih basah dari Pulau Bangka. Iklim di J ambi termasuk zona agroklimat A sampai B2. Curah hujan tahunan berkisar dari 1.900 mm sampai 3.200 mm, bulan basah 8-10 bulan dan bulan kering 2-3 bulan. Suhu udara 24-31 oC, penyinaran matahari 36% dan kelembaban udara >75%. Iklim di Provinsi Riau diwakili oleh stasiun iklim Pekanbaru dan Pelalawan. Curah hujan tahunan berkisar dari 2.782 mm sampai 3.216 mm. Bulan basah 7-9 bulan dan bulan kering <2 bulan, termasuk zona agroklimat A sampai B1. Suhu udara rata-rata 27 oC dan kelembaban udara 79- 81%.
Karakteristik Tanah pada Lahan Potensial Tersedia
69
Penggunaan Lahan Hasil pengamatan di lapangan dan interpretasi citra, penggunaan lahan di daerah penelitian dibedakan ke dalam penggunaan pertanian dan non-pertanian. Penggunaan pertanian terdiri dari kebun campuran dan perkebunan rakyat (lada, karet, kelapa, kelapa sawit, kebun buah-buahan: rambutan, durian, langsat, manggis) serta tanaman pangan (padi, jagung, kacang-kacangan dan umbi- umbian). Penggunaan lahan non-pertanian terdiri atas: hutan sekunder, belukar, semak, galian/pertambangan dan kolong (khusus di Bangka) dan pemukiman. Pada sebagian wilayah hutan produksi umumnya telah berubah menjadi belukar, semak, bahkan di beberapa daerah penelitian banyak dijumpai kebun karet, kebun kelapa sawit, kebun lada dan belukar-karet. Vegetasi yang dijumpai pada belukar (lahan kering) adalah seru, simpur, betor, samak, pelawan, pelempang, libut, medang, sungkai, dan jenis perdu seperti melastoma, pakis-pakisan, resam, dan alang-alang. Sedangkan pada lahan rawa didominasi gelam dan vegetasi perdu seperti karamunting, rumput pedangan, rumput purun, dan mendongan. Kondisi penggunaan lahan pada lahan potensial tersedia saat ini telah banyak berubah penggunaannya (40-70%) kearah pertanian dan non-pertanian (pemukiman). Lahan potensial tersedia dalam bentuk hutan, belukar, semak, dan padang alang-alang sebagian besar telah menjadi lahan-lahan pertanian yang produktif, terutama berupa kebun karet dan kelapa sawit. Oleh karenanya, Peta ketersediaan lahan yang dihasilkan oleh Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (2008) perlu segera direvisi, disesuaikan dengan perkembangan penggunaan lahan pada saat ini. Karakteristik Jenis Tanah Tanah-tanah dominan di daerah penelitian lahan kering berkembang dari batuan sedimen masam (batuliat, batupasir) dan bahan volkanik (tuf volkan masam) membentuk tanah-tanah Inceptisols, Ultisols dan Oxisols, sedangkan pada lahan basah/rawa tanah berkembang dari bahan tanah mineral (aluvium) dan bahan organik membentuk tanah Inceptisols dan Histosols. Komposisi mineral pasir didominasi oleh kuarsa dan sangat sedikit sekali mineral dapat lapuk sebagai cadangan mineral atau hara bagi tanaman. Oleh karenanya, produktivitas tanah dan keberhasilan peningkatan produksi sangat tergantung dari status hara tanah saat ini dan upaya pemberian input produksi, berupa pupuk (organik dan anorganik) dan kapur pertanian (kaptan/dolomit). D. Subardja dan Rudi Eko S. 70 Tanah-tanah di daerah penelitian Bangka Tanah yang dominan pada lahan potensial tersedia di P. Bangka terbentuk dari batuan volkanik dan sedimen masam berumur tua (Tersier) yang tersusun terutama atas granit, batupasir dan batuliat pada dataran tektonik datar sampai bergelombang, menghasilkan tanah-tanah terlapuk lanjut yang diklasifikasikan menurut Taksonomi Tanah (Soil Survey Staf, 2010) sebagai Plinthic dan Xanthic Hapludox serta Humic, Xanthic dan Typic Kandiudox. Ke dua greatgrup tanah ini sangat luas penyebarannya di daerah penelitian P. Bangka. Tanah-tanah dari Bangka umumnya mempunyai kedalaman efektif dalam (>100 cm), kecuali pada Plinthic Hapludox terdapat lapisan krokos/plintit yang keras dan memadat pada kedalaman lebih 60 cm. Tanah berwarna coklat kekuningan sampai coklat kemerahan (10YR-5YR), gumpal, sangat gembur, tekstur lempung liat berpasir sampai liat berpasir, drainase baik, pori aerasi sedang sampai tinggi, permeabilitas cepat. Air sangat mudah hilang meresap ke bawah, sehingga tanah dan tanaman pangan rentan kekeringan bila tidak turun hujan dalam beberapa hari saja. Tanah dicirikan oleh epipedon ochric dan atau umbrik (warna gelap, tebal) dan horison bawah oxic dan kandic (kenaikan liat), dengan rejim kelembaban udic. Kesuburan tanah sangat rendah, reaksi tanah masam sampai sangat masam, kandungan bahan organik bervariasi rendah sampai tinggi, kadar hara (N,P,K) total dan tersedia sangat rendah, demikian juga dengan kation-kation basa (Ca, Mg, K, Na), KB, dan KTK liat sangat rendah. Kejenuhan aluminium tergolong tinggi sampai sangat tinggi. Tanaman pertanian, terutama tanaman pangan berpotensi mengalami keracunan aluminium dan defisiensi hara makro. Tanah-tanah di daerah penelitian Sumatera Selatan Tanah-tanah dominan pada lahan potensial tersedia di Sumatera Selatan berkembang dari bahan tuf volkan masam dan pada lahan basah/rawa dari bahan aluvial membentuk tanah Sulfic dan Aeric Endoaquepts. Pada lahan kering terbentuk tanah-tanah Oxic Dystrudepts, Typic Hapludults, dan Typic Hapludox. Tanah pada lahan basah dicirikan epipedon ochric dan horison bawah cambic, umumnya dalam, memiliki drainase terhambat, jenuh air dan sebagian tergenang air, warna tanah kekelabuan, tekstur liat, sangat masam, bahan organik rendah dan sebagian sangat tinggi, kadar hara total dan tersedia (N,P,K) sangat rendah, demikian juga dengan kation-kation basa (Ca, Mg, K, Na) sangat rendah. KTK sedang, KB rendah, dan kejenuhan Al sangat tinggi. Tanah pada Karakteristik Tanah pada Lahan Potensial Tersedia
71
lahan kering dicirikan oleh epipedon ochric dan horison argilik (kenaikan liat) dan atau oxic. Umumnya tanah dalam, gumpal, gembur, pori aerasi tinggi, air tersedia sedang, permeabilitas agak cepat, tekstur lempung berliat sampai liat, sangat masam, bahan organik sangat rendah, kadar hara makro total dan tersedia serta kation-kation basa sangat rendah, KTK dan kejenuhan basa sangat rendah, sedangkan kejenuhan Al sangat tinggi. Tanah mudah kekeringan dan tanaman pangan berpotensi mengalami defisiensi hara makro dan keracunan aluminium. Tanah-tanah di daerah penelitian Jambi Tanah-tanah dominan pada lahan potensial tersedia di Provinsi J ambi terdapat pada lahan lahan kering dan sedikit pada lahan basah/rawa. Pada lahan kering tanah berkembang dari bahan sedimen masam dan tuf volkan masam membentuk tanah Oxic dan Typic Dystrudepts, Typic Hapludults, Xanthic dan Typic Hapludox. Pada lahan basah/rawa yang tidak begitu luas, tanah berkembang dari bahan organik membentuk tanah Sapric Haplohemists. Tanah organik (Sapric Haplohemists) tergenang air, drainase terhambat, tebal gambut >200 cm, gambut matang (saprik) setebal 35 cm di lapisan atas dan agak matang (hemik) di bawahnya, sangat masam, kandungan hara (P, K) dan kation-kation basa (Ca, Mg, K, Na) sangat rendah. Tanah pada lahan kering didominasi oleh Dystrudepts, Hapludults dan Hapludox. Dystrudepts dicirikan oleh epipedon ochric dan horison cambic, dalam, gumpal, gembur, permeabilitas sedang, tekstur lempung liat berpasir sampai lempung berliat, masam sampai sangat masam, bahan organik sedang sampai rendah, kadar hara makro (N, P, K) dan kation-kation basa rendah, KTK dan KB rendah, kejenuhan Al sangat tinggi. KTK liat lebih baik dari tanah-tanah lainnya. Hapludults dicirikan oleh epipedon ochric dan horison argillic (kenaikan liat), dalam, gumpal bersudut, agak gembur, pori aerasi tinggi, air tersedia rendah dan permeabilitas sedang, tekstur liat, sangat masam, kandungan bahan organik, hara makro dan kation basa sangat rendah, KTK dan KB rendah , kejenuhan Al sangat tinggi. Hapludox dicirikan oleh epipedon ochric dan horison oxic, KTK liat <16 me dan KTK Efektif liat <12 me, mineral dapat lapuk sangat rendah, tanah dalam, sangat gembur, pori aerasi tinggi, air tersedia rendah, permeabilitas sedang sampai agak cepat, tekstur lempung liat berpasir sampai liat, masam sampai sangat masam, bahan organik rendah, hara makro dan kation basa sangat rendah, KTK dan KTKE sangat rendah, kejenuhan Al tinggi-sangat tinggi. Tanah ini memiliki sifat fisik baik, namun mudah kekeringan dan kesuburan alaminya rendah, tanaman berpotensi akan mengalami defisiensi hara makro dan keracunan Al. D. Subardja dan Rudi Eko S. 72 Plinthic Hapludox Lapisan krokos/plintit Xanthic Hapludox Humic Kandiudox Xanthic Hapludox Typic Kandiudox Xanthic Kandiudox Sulfic Endoaquepts Gambar 2. Profil-Profil J enis Tanah Utama di Daerah Penelitian Tanah-tanah dari daerah penelitian Riau Tanah-tanah dominan pada lahan kering potensial tersedia di Provinsi Riau berkembang dari batuan sedimen dan tufa masam membentuk tanah Fluvaquentic, Fluventic Humic dan Fluventic Dystrudepts, serta Xanthic Karakteristik Tanah pada Lahan Potensial Tersedia
73
Hapludox. Sedangkan tanah pada lahan basah/rawa berkembang dari bahan organik membentuk Sapric Haplohemists. Sapric Haplohemists mempunyai ketebalan gambut 2 m, matang (saprik) di lapisan atas dan agak matang (hemik) di bawahnya, drainase terhambat, jenuh air, reaksi tanah sangat masam (pH-H2O 3,7 3,9), C-organik dan hara N total sangat tinggi, kadar hara P sedang dan K sangat rendah, KTK dan KB rendah, kejenuha Al masih tergolong tinggi. Dystrudepts (Fluventic, Fluvaquentic) dicirikan oleh epipedon ochric dan horison cambic, regim kelembaban udic, kadar C-organik tidak teratur di dalam penampang tanah (fluventic). Drainase sedang sampai agak terhambat (aquic subgrup), tanah dalam, gumpal lemah, agak gembur, pori aerasi sedang-agak tinggi, air tersedia sedang-sangat tinggi, permeabilitas agak cepat. Tanah selalu lembab dan tidah mudah kekeringan. Reaksi tanah sangat masam-masam, bahan organik rendah-tinggi, reaksi tanah masam-sangat masam, kadar hara makro (N,P,K) sangat rendah-sedang, kation-kation basa (Ca, mG, K, Na) sangat rendah. KTK tanah dan liat lebih baik dari tanah lainnya , tergolong sedang-tinggi. KB sangat rendah, sedangkan kejenuhan Al sangat tinggi. Kesuburan tanah tergolong rendah. Sedangkan Xanthic Hapludox dicirikan oleh epipedon ochric dan horison oxic, warna coklat kekuningan (7,5YR, 10YR), gumpal halus, gembur, drainase baik, pori aerasi sangat tinggi (porus), air tersedia rendah dan permeabilitas sedang, tekstur lempung liat berpasir, masam-sangat masam, hara makro dan kation basa sangat rendah, KTK dan KB sangat rendah, sedangkan kejenuhan Al sangat tinggi. Tanah ini rentan kekeringan dan berpotensi mengalami defisiensi hara makro dan keracunan Al. Potensi Penggunaan dan Teknologi Pengelolaan Tanah untuk Pertanian Iklim di daerah penelitian umumnya tergolong basah, curah hujan tahunan >2.000 mm, dan suhu udara >25 oC. Bentuk wilayah datar sampai bergelombang, lereng <15%. Tanah pada lahan potensial tersedia di daerah penelitian terbentuk dari batuan sedimen, tuf volkan masam, bahan aluvial dan bahan organik. Berdasarkan karakteristik dari jenis-jenis tanah dominan dapat diinterpretasikan mengenai potensi dan kendala penggunaan tanah untuk pertanian, serta teknologi pengelolaannya, baik untuk tanaman pangan (padi, jagung, kacang tanah) dan sayuran daun maupun tanaman perkebunan (karet, kelapa sawit, lada). Kesesuaian komoditas untuk masing-masing jenis tanah disajikan pada Tabel 2. D. Subardja dan Rudi Eko S. 74 Tabel 2. Kesesuaian komoditas untuk J enis-jenis tanah di daerah yang diteliti
No
J enis Tanah Kelas kesesuaian Padi sawah Tanam. pangan dan sayuran Tanaman perkebunan 1 Haplohemists N-f,n N-f,n N-f,n 2 Endoaquepts S2-n S2-f,n S3-f,n 3 Dystrudepts S2-w,n S2-n S2-n 4 Hapludults S3-w,n S3-n S2-n 5 Haplohumults S3-w,n S3-n S2-n 6 Hapludox S3-w,n S3-n S2-n 7 Kandiudox S3-w,n S3-n S2-n Keterangan: S2: cukup sesuai, S3: sesuai marjinal, N: tidak sesuai, f: genangan, drainase buruk, w: ketersediaan air, n: kesuburan tanah (retensi hara, hara tersedia) Pada lahan rawa, tanah Haplohemists dengan ketebalan gambut >2 m sebaiknya tidak dibuka untuk keperluan pertanian karena tidak sesuai dimanfaatkan untuk perkebunan kelapa sawit atau sawah, terutama disebabkan karena faktor genangan, kedalaman dan kematangan gambut, sifat gambut yang mudah rusak tidak balik dan mempertimbangkan dampak kerusakan lingkungan. Tanah Endoaquepts lebih sesuai untuk padi sawah dengan memperbaiki kesuburan tanah dan mengatur tata air tanah untuk mencegah oksidasi pirit atau bahaya keracunan sulfat (pada Sulfic Endoaquepts). Kandungan C-organik tanah rendah dan hara makro N, P , K yang sangat rendah dapat diatasi dengan pemberian bahan organik (jerami) 2-5 ton jerami/ha/musim tanam dan pemupukan berimbang. Dosis pupuk anjuran berdasarkan status hara tanahnya untuk varietas padi unggul baru per-ha adalah 250-300 Urea, 100-150 kg SP-36 dan 100 kg KCl atau 50 kg KCl +5 ton jerami (Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, 2007). Pemberian bahan organik 2 ton/ha akan membantu peningkatan bahan organik tanah dan perbaikan sifat fisik dan kimia tanah sawah dan pada akhirnya akan diikuti oleh peningkatan produksi secara nyata. Tanah Dystrudepts pada lahan kering mempunyai sifat kimia relatif lebih baik dari tanah lainnya (Hapludults, Hapludox) terutama dari kapasitas tukar kation liatnya lebih tinggi. Artinya kemampuan menyangga kation dan hara pupuk yang diberikan lebih kuat. Namun demikian Dystrudepts di daerah yang diteliti memiliki kesuburan tanah yang rendah dan kejenuhan Al sangat tinggi, berpotensi mengalami defisiensi hara makro dan keracunan alumunium. Tanah ini cukup sesuai untuk pengembangan berbagai komoditas pertanian, baik tanaman pangan (padi, jagung, kacang-kacangan, umbi-umbian dan sayuran hijau) maupun tanaman perkebunan (karet, kelapa sawit, kakao, lada, dll). Untuk padi sawah dapat dilakukan pencetakan pada lahan datar dengan menyediakan Karakteristik Tanah pada Lahan Potensial Tersedia
75
jaringan irigasi. Dosis pupuk anjuran untuk padi gogo dan jagung adalah 250 kg Urea, 100-150 kg SP-36 dan 100 kg KCl. Pemberian bahan organik 2-5 ton/ha dan pengapuran dengan dolomit 0,5-1,0 ton/ha akan meningkatkan produksi pangan pada lahan kering secara nyata (Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, 2007). Tanah Hapludults, Haplohumults memiliki lapisan bawah yang agak memadat (argilik) dan permeabilitas lambat sehingga peka erosi dan perkembangan akar tanaman menjadi terhambat, mudah kekeringan pada musim kemarau. Tanaman pangan selain rentan kekeringan juga berpotensi mengalami defisiensi hara makro dan keracunan alumunium. Tanah ini lebih sesuai untuk tanaman tahunan berakar dalam dan toleran kemasaman tanah, misalnya karet dan atau kelapa sawit. Pemanfaatan untuk tanaman pangan memerlukan input relatif tinggi, yaitu pemberian bahan organik minimal 5 ton/ha untuk menjaga kelembaban tanah dan memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah, pengapuran (dolomit) 1-2 ton/ha, pemupukan anorganik misalnya untuk jagung diperlukan 250 kg Urea, 100-150 kg SP-36 dan 100 kg KCl untuk menghasilkan biji jagung kering 5-6 ton/ha (Sutaatmadja, 2005). Demikian juga halnya dengan tanah Hapludox dan Kandiudox lebih sesuai dimanfaatkan untuk tanaman perkebunan/tahunan, seperti karet, kelapa sawit atau buah-buahan: durian, rambutan, dll. Tanah porus, C-organik rendah, permeabilitas sedang sampai cepat, pori air tersedia rendah sehingga tanaman pangan rentan terhadap kekeringan. KTK liat yang sangat rendah menjadikan kemampuan tanah menyangga kation/hara rendah menyebabkan pemberian hara (pupuk) dan atau kation basa dalam tanah mudah hilang tercuci, akibatnya tanaman pangan sering menunjukkan gejala defisiensi hara serta penggunaan pupuk anorganik pada tanah ini sering efisiensinya menjadi sangat rendah. KTK liat rendah berhubungan dengan komposisi mineral liatnya yang didominasi oleh mineral liat tipe 1:1 seperti kaolinit serta mineral liat oksida besi (goetit) dan alumunium (gibsit). Pemanfaatan tanah ini untuk tanaman pangan akan memerlukan input tinggi. Pemberian bahan organik 5-10 ton/ha akan membantu menjaga kelembaban tanah, memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah serta meningkatkan daya sangga tanah (KTK) terhadap pupuk yang diberikan sehingga menjadi lebih efisien dan mampu meningkatkan produksi secara nyata. Dosis pupuk anjuran untuk tanaman pangan (padi ladang, jagung) sesuai status hara tanah dan kebutuhan tanamannya adalah 250-300 kg Urea, 100-150 kg SP-36 dan 100 kg KCl. Pemberian dolomit untuk menetralisir kemasaman tanah dan memperkaya basa-basa tanah (Ca, Mg) diberikan sebanyak 1-2 ton/ha (Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian, 2007). Untuk efisiensi pemupukan, D. Subardja dan Rudi Eko S. 76 sebaiknya pupuk diberikan 2-3 kali dari dosis anjuran selama masa pertanaman tanaman pangan untuk mencegah kehilangan pupuk karena pencucian. KESIMPULAN 1. Sebagian besar lahan potensial tersedia (40-70%) telah berubah cepat menjadi lahan-lahan pertanian yang produktif, baik berupa pertanian tanaman pangan maupun perkebunan (karet, kelapa sawit dan lada). Oleh karenanya status lahan potensial tersedia untuk pertanian di Sumatera (BBSDLP, 2008) perlu segera direvisi pada skala lebih besar untuk memberikan informasi sumberdaya lahan yang akurat dalam rangka mendukung pengembangan pertanian secara berkelanjutan. 2. Bahan induk pembentuk tanah di daerah penelitian umumnya lahan kering terutama terdiri dari batuan sedimen dan tuf volkan masam dan sedikit lahan basah/rawa dari bahan aluvial dan bahan organik. Batuan sedimen dan tuf masam membentuk tanah-tanah Dystrudepts, Hapludults, Haplohumults, Hapludox dan Kandiudox, sedangkan tanah-tanah dari bahan aluvial dan bahan organik membentuk tanah Endoaquepts dan Haplohemists. 3. Komposisi mineral pasir pada tanah-tanah yang diteliti didominasi oleh mineral kuarsa dan sangat sedikit sekali jumlah mineral dapat lapuk serta mineral liat didominasi oleh tipe liat 1:1 kaolinit, mengindikasikan bahwa tanah telah terlapuk lanjut dan miskin cadangan mineral (sumber hara tanah). Oleh karenanya, peningkatan produksi pertanian sangat tergantung dari input (pupuk) yang diberikan. 4. Pengaruh iklim yang sangat basah dan suhu udara yang tinggi mendorong meningkatkan proses pelapukan tanah dan pencucian hara dan kation basa- basa tanah, sehingga tanah yang terbentuk umumnya dalam, berwarna coklat sampai coklat kemerahan, tekstur cenderung halus, gembur, cadangan mineral sangat rendah, tanah sangat masam, hara makro (N, P, K) dan kation-kation basa sangat rendah, KTK dan KB sangat rendah, sedangkan kejenuhan Al sangat tinggi. 5. Pada lahan basah/rawa, tanah Endoaquepts lebih sesuai dimanfaatkan untuk lahan sawah dengan memperbaiki tata air (drainase) dan kesuburan tanahnya, sedangkan tanah gambut (Haplohemists) sebaiknya tidak dibuka untuk pertanian karena pertimbangan factor genangan, sifat gambut mudah rusak tidak balik dan dampak kerusakan lingkungan. Karakteristik Tanah pada Lahan Potensial Tersedia
77
6. Tanah-tanah pada lahan kering dapat dimanfaatkan untuk berbagai komoditas pertanian, baik tanaman pangan dan hortikultura maupun tanaman perkebunan. Tanah-tanah Hapludult, Halohumults, Hapludox dan Kandiudox sebaiknya di manfaatkan untuk tanaman perkebunan yang toleran terhadap kemasaman tanah, seperti karet dan kelapa sawit. Sedangkan pada Dystrudepts yang memiliki sifat fisik, kimia dan mineralogik lebih baik dari tanah lainnya sebaiknya untuk tanaman pangan dan hortikultura. 7. Teknologi pengelolaan tanah yang dianjurkan yaitu: pemberian bahan organik, pengapuran dan pemupukan berimbang secara tepat dosis, waktu dan cara pemberian dapat memperbaiki dan meningkatkan kelembaban tanah, sifat fisik, kimia, dan biologi tanah yang berdampak pada kenaikan produksi pertanian secara nyata. DAFTAR PUSTAKA Balai Penelitian Tanah. 2004. Petunjuk Teknis Pedoman Pengamatan Tanah . Dok. Balai Penelitian Tanah, Bogor. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP). 2008. Peta Ketersediaan Lahan untuk Pertanian di Indonesia Skala 1:750.000. Dok. BBSDLP, Bogor. Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian (BBSDLP). 2007. Panduan Umum Teknologi Pengelolaan Sumberdaya Lahan Pertanian Mendukung PRIMA TANI. Publ. BBSDLP, Bogor. Buol, S.W., F.D. Hole and R.J . McCraken. 1980. Soil Genesis and Classification. The Iowa State University Press. Djaenuddin, D., Marwan H., H. Subagyo, A. Mulyani dan N. Suharta. 2003. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Komoditas Pertanian. Versi 3. Balai Penelitian Tanah. Bogor. J enny. H. 1941. Factors of Soil Formation. Mc Graw Hill, New York USA Oldeman L.R., S.N. Darwis dan Irsal Las. 1978. Agro-Climatic of Sumatera. Central Research Institute of Agriculture, Bogor. Pusat Penelitian Tanah. 1983. Kriteria penilaian kesuburan tanah, dalam Laporan Teknis No.7, Kesesuaian Lahan untuk Tanaman Pertanian dan Tanaman Kehutanan. Dok. LREP-II. Puslitbang Tanah dan Agroklimat. 1994. Bogor. Puslittanak. 2000. Atlas Sumberdaya Tanah Eksplorasi Indonesia. Skala 1:1.000.000. Dok. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Rossiter, D., and van Wambeke, A., 1997. Automated Land Evaluation System (ALES). User Manual ver.4.65d. Cornell University. Ithaca. New York. D. Subardja dan Rudi Eko S. 78 Soil Survey Division Staff. 1993. Soil Survey Manual. Agric. Handbook No. 18. SCS-USDA, Washington DC. Soil Survey Staff. 2010. Keys to Soil Taxonomy. 11 th edition. Natural Resources Conservation Service. USDA. Soil Survey Laboratory Staff. 1991. Soil Survey Laboratory Methods Manual. SCS-USDA. Subagyo, N.Suharta dan A.B.Siswanto, 2004. Tanah-tanah pertanian di Indonesia. Dalam: Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor. Sutaatmadja, D.S. 2005. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis J agung dan Kacang Tanah di Daerah Bogor. Disertasi Program Doktor. SPS-IPB, Bogor. Sutaatmadja, D.S. 2005. Kriteria Kesesuaian Lahan untuk Tipe Penggunaan Lahan Berbasis J agung dan Kacang Tanah di Daerah Bogor. Disertasi Program Doktor. SPS-IPB, Bogor.