Bahwa kampus layaknya miniatur Negara, saya setuju. Tidaklah berlebihan jika dikatakan kehidupan kampus merupakan cerminan kehidupan Negara. Sebab, kegiatan didalam kampus dan lembaga-lembaganya tak jauh beda dengan kegiatan dan lembaga kepunyaan Negara. Jika Negara punya tiga pilar, yang dikenal dengan trias politica yakni, Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif. Kampus juga punya ketiganya. Tentunya dalam lingkup yang lebih kecil.
Dalam menjalankan roda demokrasi di dalam kampus, mahasiswa senantiasa berusaha mewujudkan sistem pemerintahan mahasiswa yang ideal. Dengan mengadopsi konsep trias politica tersebut dalam student government-nya. Didalam kampus ada badan eksekutif mahasiswa, badan legislatif mahasiswa, dan badan yudikatif mahasiswa. Bahkan Pers yang sering disebut pilar keempat Negara, dikampus juga ada lembaga pers mahasiswa yang jadi media alternatif mahasiswa.
Dalam tulisan ini, penulis hanya focus membahas satu lembaga miliknya mahasiswa yang terkesan tersubordinasi dengan aktivitas lembaga eksekutif kampus, yaitu lembaga legislatif mahasiswa. Kalau diperhatikan, kedua lembaga ini terkesan berkompetisi untuk menjadi yang lebih berkuasa terhadap permsalahan dan isu-isu dikampus. Sayangnya, hal ini justru sering berimbas pada tidak optimalnya peran legislatif itu sendiri.
Mengapa masalah ini kita coba bahas? Karena memang selama ini peran lembaga legislatif mahasiswa hampir diseluruh kampus yang ada di Indonesia tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Sehingga, akibat permasalahan inilah, sehingga proses pemerintahan mahasiswa didalam kampus tidak berjalan seperti yang diharapkan. Benarlah jika dikatakan bahwa wajah legislatif mahasiswa Indonesia saat ini berada di titik nadir.
Judul tulisan ini, terinspirasi dari acara Indonesia Lawyers Club: Catatan Akhir Tahun Pemberantasan Korupsi dengan tema "DPR di Titik Nadir", edisi Selasa 25 Desember 2012. Wajah Legislatif Mahasiswa Indonesia saat ini tidak jauh berbeda, dengan kondisi DPR ini. Lembaga legislatif yang sama-sama berada di titik nadir..
Titik nadir disini menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, artinya batas terakhir dari suatu keadaan yang sangat mencemaskan. Titik nadir yang dimak- sudkan tulisan ini adalah menggambarkan kondisi terkini sistem manajerial, kepemimpinan dan pola sikap penentu kebijakan di lembaga legislatif mahasiswa Indonesia yang cenderung tidak cukup kuat gerakannya untuk tatanan pemerintahan mahasiswa yang sudah di ambang kehancuran.
Fungsi Legislatif Mahasiswa Tersubordinasi
Sejauh ini, badan legislatif mahasiswa cenderung dipandang sebelah mata. Citra negatif sudah terlanjur tersematkan di tubuh legislatif mahasiswa. Badan legislatif ini seringkali dikonotasikan sebagai sebuah badan yang tidak mempunyai fungsi. Tidak jarang ada pameo yang berkembang di khalangan mahasiswa, badan legislatif mahasiswa hanya sebagai pelengkap semata. Fungsi legislatif mahasiswa telah tersubordinasi oleh aktivitas lembaga eksekutif mahasiswa itu sendiri.
Kabar buruknya, kondisi seperti ini membuat rendahnya posisi tawar legislatif mahasiswa dimata universitas, eksekutif mahasiswa dan mahasiswa. Pasalnya, ada kesan posisi sebagai eksekutif mahasiswa lebih tinggi dari legislatif mahasiswa. Dari segi kinerja dilapangan pun, eksekutif mahasiswa dinilai lebih baik daripada legislatif mahasiswa. Hal ini tidak bisa disalahkan karena opini yang berkembang saat ini tentang miskinnya fungsi lembaga legislatif mahasiswa berdasarkan fakta yang ada. Ini menarik untuk dicari apa yang menjadi penyebab tidak berjalannya fungsi legislatif mahasiswa.
Dampak dari citra negatif legislatif mahasiswa tersebut terlihat di kampus penulis sendiri. Badan legislatif mahasiswa di Universitas Negeri Gorontalo tempat penulis menuntut ilmu, bisa dibilang miskin fungsi. Di kampus penulis badan legislatif dikenal dengan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) ini, setelah ditelusuri sudah sekitar tiga tahun belakangan tidak punya kerja, tak ada satupun program yang jalan. Kalaupun ada, kerjanya hanya sebatas rapat, bahkan hanya muncul dan pelengkap saja menjelang pemilihan Presiden Mahasiswa. Hal ini semakin diperparah dengan minimnya minat mahasiswa untuk berkiprah di lembaga legislatif mahasiswa.
Inilah yang penulis lihat sendiri, sekitar seminggu yang lalu sebelum tulisan ini dibuat, kampus penulis mengadakan pesta demokrasi pemilihan Presiden Mahasiswa. Saat ditanya alasannya cukup klasik, karena Presiden Mahasiswa tidak bisa ditetapkan kalau tidak ada legislatif mahasiswa katanya. Parahnya dalam penulusuran penulis, legislatif mahasiswa seperti ini sudah tidak lagi independent. Seringkali anggota legislatif mahasiswa yang ada justru merupakan orang-orang titipan dari si calon Presiden Mahasiswa itu sendiri. Tidak jarang, ditubuh legislatif terdapat banyak orang yang punya kepentingan masing- masing, mereka telah terkotak-kotak. Seringkali ini menjadi pemicu konflik.
Dari sini dapat dilihat fungsi legislatif mahasiswa hanya dijadikan wadah untuk melegalkan kepentingan segelintir mahasiswa itu sendiri. Diakui atau tidak praktik fungsi legislasi pada lembaga legislatif mahasiswa saat ini bagai macan tanpa taring. Miskin fungsi. Legislatif mahasiswa yang seharusnya menjadi pengontrol kerja badan eksektif mahasiswa. Yang terjadi saat ini fungsi legislatif mahasiswa justru tenggelam oleh aktivitas eksekutif mahasiswa.
Kondisi seperti ini, justru memperburuk citra legislatif mahasiswa di mata mahasiswa. Legislatif mahasiswa tampak seperti kehilangan pijakan, sehingga muda terombang-ambing oleh kepentingan. Bisa dibilang legislatif mahasiswa diposisi ini telah kehilangan kedaulatannya.
Wajah legislatif mahasiswa seperti ini ternyata tidak hanya terjadi di kampus penulis. Melainkan menjadi kendala Nasional kebanyakan kampus di Indonesia. Saya coba cari data terkait kendala legislatif mahasiswa di Indonesia via internet. Hasilnya mencengangkan. Banyak kampus yang badan legislatifnya tidak jalan, perannya justru sudah dirangkap oleh eksektuif mahasiswa. Bahkan dibeberapa kampus, lembaga legislatifnya harus divakumkan oleh pihak universitas karena tidak punya kinerja dan fungsi apa-apa. Tidak hanya itu, Forum Lembaga Legislatif Mahasiswa Se-Indonesia pun bernasib demikian.
Ada berita yang penulis lansir dari www.balairungpress.com berjudul Sebuah Babak Baru Forum Lembaga Legislatif Mahasiswa Se-Indonesia. Diberita tersebut berisi informasi seputar Kongres ke-5 FL2MI (Forum Lembaga Legislatif Mahasiswa Indonesia) yang berlansung bulan November 2012 lalu, dimana Universitas Sriwijaya sebagai tuan rumahnya. Kongres itu dihadiri perwakilan dari 53 Universitas se-Indonesia dan dilansungkan selama tiga hari di Wisma Atlet. Hal yang menarik yang diinformasikan dalam berita tersebut secara umum tergambarkan bahwa kurangnya pemahaman akan mekanisme kerja legislatif menjadi faktor utama munculnya oknum-oknum yang tak bertanggungjawab. Disatu sisi para anggota kongres juga masih banyak berbeda pendapat. Bahkan salah satu peserta kongkres memberikan komentar bahwa kepemimpinan FL2MI periode sebelumnya hanya sibuk berkutat di ranah internal saja. Kalau saya amati selama ini FL2MI hanyalah forum ngobrol-ngobrol gak cetho tanpa hasil konkret, tuturnya.
Ada sebuah ungkapan, Sesuatu yang biasa diperbuat hari ini, menjadi cerminan perbuatan dimasa depan,. Saya menduga adanya citra negatif legislatif milik Negara dimata masyarakat, justru bermula dari mereka-mereka yang dulunya pernah menduduki legislatif mahasiswa, namun punya citra negatif dimata mahasiswa. Pernyataan ini bukan tanpa landasan, harus diakui pemimpin- pemimpin kita saat ini sebenarnya output dari para aktifis kampus. Tidak sedikit yang justru pernah menduduki jabatan didalam pemerintah mahasiswa. Hal itulah yang tidak boleh disikapi dengan kejemuan, melainkan harus dibenahi. Persoalan yang dihadapi legislatif mahasiswa pun demikian tidak jauh berbeda dengan yang di hadapi lembaga legislative milik Negara (baca: DPR), legislatif mahasiswa sudah tidak bisa mengontrol eksekutif mahasiswa, yang melakukan penyimpangan anggaran. Hal ini biasa terjadi disaat penerimaan mahaiswa baru. Telah menjadi rahasia umum jika ada anggota eksekutif mahasiswa usai penerimaan mahasiswa baru, ada bisa membeli kendaraan bermotor, laptop baru, dan handphone baru. Parahnya tidak jarang ada anggota legislatif mahasiswa yang terjerumus kedalamnya. Disisi lain, ada calon mahasiswa baru banyak yang tidak jadi kuliah karena biaya masuk perguruan tinggi sangat mahal. Sedangkan legislatif mahasiswa mahasiswa yang seharusnya menjadi wadah penyampai aspirasi tidak lagi bisa berkutik. Dar sinilah yang penulis maksud, wajah Legislatif Mahasiswa Indonesia saat ini benar-benar berada di titik nadir.
Legislatif Mahasiswa Harus Berdaulat
Hemat penulis, kondisi legislatif mahasiswa seperti ini, karena terdapat kekeliruan dalam memaknai substansi sebuah badan legislatif mahasiswa itu sendiri. Fungsi legislatif hanya tercantum dalam lembaran kertas Anggaran Dasar dan anggaran Rumah Tangga saja, tidak benar-benar mampu dimaknai dan dipahami serta diwujudkan dalam tataran nyata.
Padahal, dilihat dari konteks fungsinya, badan legislatif mahasiswa seharusnya menduduki fungsi penting dalam kehidupan mahasiswa. Alasan yang mendasarinya ialah; Pertama, badan legislatif merupakan badan yang bertugas untuk mendengarkan amanat dan aspirasi mahasiswa lalu menuangkannya ke dalam suatu kebijakan. Kebijakan yang disusun oleh badan legislatif adalah sebagai cerminan bahwa aturan-aturan yang akan diberlakukan nantinya itu berasal dari amanat dan aspirasi mahasiswa. Kedua, badan legislatif merupakan suatu badan yang mengemban amanat mahasiswa dalam menjalankan fungsi check and balances serta pengontrol terhadap badan eksekutif. Artinya, sebuah badan legislatif haruslah sensitif terhadap dampak dan gejolak yang berasal dari mahasiswa yang timbul akibat penerapan kebijakan-kebijakan oleh eksekuti, bahkan tidak menutup kemungkinan kebijakan legislatif mahasiswa bisa ikut memberi masukan penentu kebijakan rektorat kampus.
Legislatif mahasiswa memiliki tanggung jawab besar, yakni mengemban amanat untuk menampung dan menyalurkan aspirasi mahasiswa dan menjadikannya sebagai suatu kebijakan. Maka dari itu, legislatif mahasiswa dituntut untuk dapat sensitif dalam mendengarkan keluhan mahasiswa serta aktif dalam menuangkan pemikiran untuk menyusun suatu kebijakan yang akan diberlakukan dalam lingkungan mahasiswa. Dalam praktik sehari-hari, legislatif mahasiswa dituntut untuk mampu turun kebawah, menampung aspirasi mahasiswa sebesarbesarnya dan menuangkannya dalam suatu forum kerja dan tidak hanya dihabiskan dan dibahas dalam rapatrapat serta sidang umum, melainkan harus punya wujud nyata. Sayangnya kenyataannya justru sering berlawanan dari harapan.
Melihat kondisi ini, selayaknya sebagai agent of change atau agen perubahan, tidak bisa didiamkan kondisi seperti ini berlansung terus menerus tanpa ada perubahan yang berarti. Pemberdayaan badan legislatif bisa jadi salah satu solusi. Pemberdayaan ini bisa dimulai dengan mengembalikan kedaulatan legislatif mahasiswa. Legislatif mahasiswa haruslah menjadi suatu simbol kedaulatan mahasiswa. Kedaulatan mahasiswa dapat ditegakkan apabila badan legislatifnya telah berdaulat dan kedaulatan ini demi menegaskan dan mengukuhkan kembali fungsi kontrol legislatif mahasiswa
Fungsi kontrol legislatif tersebut akan benar-benar terwujud jika legislatif mahasiswa benar-benar berdaulat. Fungsi legislatif sebagai wadah penyalur aspirasi mahasiswa tidak akan dipandang sebelah mata jika bisa independent dan bertindak sesuai dengan yang telah menjadi aturan. Untuk mewujudkan tujuan tersebut, maka rumah legislatif haruslah menjadi rumahnya kedaulatan mahasiswa.
Kadaulatan ini sangat penting. Apalagi kalau sudah berhadapan dengan lembaga Universitas. Legislatif mahasiswa harus memliki bargaining position atau daya tawar. Sebagai wadah penyalur aspirasi mahasiswa, legislatif mahasiswa pastinya akan mendapati beberapa keluahan yang terkait dengan kebijakan kampus. Misalnya kebijakan kampus yang berhubungan dengan biaya kampus yang memberatkan mahasiswa atau terkait dengan adanya kesulitan pengurusan kartu rencana studi, kesulitan pengurusan beasiswa, pemilihan umum dikampus yang tidak transparan, adanya dosen yang sering tidak masuk kuliah dan lain sebagainya. Jika menemui masalah seperti ini, untuk bisa mempengaruhi atau turut merubah kebijakan tersebut, legislatif mahasiswa harus memiliki bargaining position, dimana secara tidak lansung memiliki daya tawar yang tinggi. Posisi tawar yang dimaksud adalah posisi yang dapat memungkinkan legislatif mahasiswa dapat mengungkapkan aspirasi mahasiswa, tidak hanya itu aspirasi tersebut harus didengar oleh pihak kampus. Dengan demikian aspirasi mahasiswa tidak hanya berahir dengan keluhan semata, melainkan dapat dicarikan solusinya.
Disamping itu, tidak bisa dinafikkan, adakalanya Presiden Mahasiswa beserta jajaran pemerintahannya dalam menjalankan roda pemerintahan menikung, membelok, atau menyimpang dari apa yang telah ditetapkan. Disinilah Badan Legislatif Mahasiswa mulai berperan, sebagai badan pengontrol yang merupakan penjelmaan dari seluruh suara mahasiswa, legislatif mahasiswa berhak dan wajib mengawasi jalannya roda pemerintahan karena sesungguhnya kampus ini adalah kampus mahasiswa.
Sebagai lembaga perumus konstitusi didalam kampus, legislatif mahasiswa berperan penuh sebagai perancang hukum yang bisa mempersatukan seluruh komponen pemerintahan mahasiswa. Sehingga seluruh jajaran pemerintahan mahasiswa dapat bersatu di bawah payung konstitusi bersama. Ibarat sebuah negara, pemerintahan mahasiswa adalah pemerintahan merdeka yang tak masuk dalam struktur birokrasi kampus. Sehingga reaksi pembekuan dari birokrasi kampus pun tidak akan berpengaruh jika student governance-nya kuat.
Akhirnya, lembaga legislatif mahasiswa yang sejatinya memiliki fungsi legislasi, pengawasan, anggaran, dan advokasi. Diharapkan dapat berperan aktif dalam menampung aspirasi mahasiswa sebagai konstituennya dan menyampaikannya kepada pihak lembaga universitas dan merumuskan kebijakan sebagai solusi dari aspirasi yang disampaikan konstituennya.
Lebih dari itu, legislatif mahasiswa diharapkan pula dapat menjaga ritme pergerakan mahasiswa, terlebih disaat sekarang ini ditengah terpuruk dan lesuhnya gerakan mahasiswa intra kampus. Lembaga legislatif mahasiswa memegang kunci regulasi tatanan kemahasiswaan, sehingga dinamisasi mahasiswa yang nantinya direpresentasikan dalam gerakan mahasiswa tetap terjaga. (**)
Referensi:
Anik Sukaifah. 2012. Legislatif dan Politik Pencitraan. Asizuka.blogspot.com. http://asizuka.blogspot.com/2012/01/legislatif-dan-pencitraan.html diakses tanggal 27 Desember 2012.
Anonim. 2012. Menanti Sebuah Perubahan (Studi Kritis Sistem Perwakilan Dewan Legislatif Mahasiswa Universitas Siliwangi). Blmfisipunsil.blogspot.com. http://blmfisipunsil.blogspot.com/2012/11/menanti-sebuah-perubahan-studi- kritis.html diakses tanggal 27 Desember 2012.
Dewiyana. 2012. Bagaimana Seharusnya Badan Legislatif Mahasiswa Berperan?. Dewiyananina.blogspot.com. http://dewiyananina.blogspot.com/2012/12/bagaimana-seharusnya-badan- legislatif.html diakses tanggal 27 Desember 2012. Balairungpress.com. Sebuah Babak Baru Forum Lembaga Legislatif Mahasiswa Se-Indonesia. http://www.balairungpress.com/2012/11/babak-baru-forum- lembaga-legislatif-mahasiswa-se-indonesia/ diakses tanggal 28 Desember 2012.