Anda di halaman 1dari 8

Legislatif Mahasiswa Indonesia di Titik Nadir

Oleh: Donald Qomaidiansyah Tungkagi



Bahwa kampus layaknya miniatur Negara, saya setuju. Tidaklah
berlebihan jika dikatakan kehidupan kampus merupakan cerminan kehidupan
Negara. Sebab, kegiatan didalam kampus dan lembaga-lembaganya tak jauh beda
dengan kegiatan dan lembaga kepunyaan Negara. Jika Negara punya tiga pilar,
yang dikenal dengan trias politica yakni, Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif.
Kampus juga punya ketiganya. Tentunya dalam lingkup yang lebih kecil.

Dalam menjalankan roda demokrasi di dalam kampus, mahasiswa
senantiasa berusaha mewujudkan sistem pemerintahan mahasiswa yang ideal.
Dengan mengadopsi konsep trias politica tersebut dalam student government-nya.
Didalam kampus ada badan eksekutif mahasiswa, badan legislatif mahasiswa, dan
badan yudikatif mahasiswa. Bahkan Pers yang sering disebut pilar keempat
Negara, dikampus juga ada lembaga pers mahasiswa yang jadi media alternatif
mahasiswa.

Dalam tulisan ini, penulis hanya focus membahas satu lembaga miliknya
mahasiswa yang terkesan tersubordinasi dengan aktivitas lembaga eksekutif
kampus, yaitu lembaga legislatif mahasiswa. Kalau diperhatikan, kedua lembaga
ini terkesan berkompetisi untuk menjadi yang lebih berkuasa terhadap
permsalahan dan isu-isu dikampus. Sayangnya, hal ini justru sering berimbas pada
tidak optimalnya peran legislatif itu sendiri.

Mengapa masalah ini kita coba bahas? Karena memang selama ini peran
lembaga legislatif mahasiswa hampir diseluruh kampus yang ada di Indonesia
tidak menunjukkan hasil yang signifikan. Sehingga, akibat permasalahan inilah,
sehingga proses pemerintahan mahasiswa didalam kampus tidak berjalan seperti
yang diharapkan. Benarlah jika dikatakan bahwa wajah legislatif mahasiswa
Indonesia saat ini berada di titik nadir.

Judul tulisan ini, terinspirasi dari acara Indonesia Lawyers Club: Catatan
Akhir Tahun Pemberantasan Korupsi dengan tema "DPR di Titik Nadir", edisi
Selasa 25 Desember 2012. Wajah Legislatif Mahasiswa Indonesia saat ini tidak
jauh berbeda, dengan kondisi DPR ini. Lembaga legislatif yang sama-sama berada
di titik nadir..

Titik nadir disini menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, artinya batas
terakhir dari suatu keadaan yang sangat mencemaskan. Titik nadir yang dimak-
sudkan tulisan ini adalah menggambarkan kondisi terkini sistem manajerial,
kepemimpinan dan pola sikap penentu kebijakan di lembaga legislatif mahasiswa
Indonesia yang cenderung tidak cukup kuat gerakannya untuk tatanan
pemerintahan mahasiswa yang sudah di ambang kehancuran.

Fungsi Legislatif Mahasiswa Tersubordinasi

Sejauh ini, badan legislatif mahasiswa cenderung dipandang sebelah mata.
Citra negatif sudah terlanjur tersematkan di tubuh legislatif mahasiswa. Badan
legislatif ini seringkali dikonotasikan sebagai sebuah badan yang tidak
mempunyai fungsi. Tidak jarang ada pameo yang berkembang di khalangan
mahasiswa, badan legislatif mahasiswa hanya sebagai pelengkap semata. Fungsi
legislatif mahasiswa telah tersubordinasi oleh aktivitas lembaga eksekutif
mahasiswa itu sendiri.

Kabar buruknya, kondisi seperti ini membuat rendahnya posisi tawar
legislatif mahasiswa dimata universitas, eksekutif mahasiswa dan mahasiswa.
Pasalnya, ada kesan posisi sebagai eksekutif mahasiswa lebih tinggi dari legislatif
mahasiswa. Dari segi kinerja dilapangan pun, eksekutif mahasiswa dinilai lebih
baik daripada legislatif mahasiswa. Hal ini tidak bisa disalahkan karena opini
yang berkembang saat ini tentang miskinnya fungsi lembaga legislatif mahasiswa
berdasarkan fakta yang ada. Ini menarik untuk dicari apa yang menjadi penyebab
tidak berjalannya fungsi legislatif mahasiswa.

Dampak dari citra negatif legislatif mahasiswa tersebut terlihat di kampus
penulis sendiri. Badan legislatif mahasiswa di Universitas Negeri Gorontalo
tempat penulis menuntut ilmu, bisa dibilang miskin fungsi. Di kampus penulis
badan legislatif dikenal dengan Majelis Permusyawaratan Mahasiswa (MPM) ini,
setelah ditelusuri sudah sekitar tiga tahun belakangan tidak punya kerja, tak ada
satupun program yang jalan. Kalaupun ada, kerjanya hanya sebatas rapat, bahkan
hanya muncul dan pelengkap saja menjelang pemilihan Presiden Mahasiswa. Hal
ini semakin diperparah dengan minimnya minat mahasiswa untuk berkiprah di
lembaga legislatif mahasiswa.

Inilah yang penulis lihat sendiri, sekitar seminggu yang lalu sebelum
tulisan ini dibuat, kampus penulis mengadakan pesta demokrasi pemilihan
Presiden Mahasiswa. Saat ditanya alasannya cukup klasik, karena Presiden
Mahasiswa tidak bisa ditetapkan kalau tidak ada legislatif mahasiswa katanya.
Parahnya dalam penulusuran penulis, legislatif mahasiswa seperti ini sudah tidak
lagi independent. Seringkali anggota legislatif mahasiswa yang ada justru
merupakan orang-orang titipan dari si calon Presiden Mahasiswa itu sendiri. Tidak
jarang, ditubuh legislatif terdapat banyak orang yang punya kepentingan masing-
masing, mereka telah terkotak-kotak. Seringkali ini menjadi pemicu konflik.

Dari sini dapat dilihat fungsi legislatif mahasiswa hanya dijadikan wadah
untuk melegalkan kepentingan segelintir mahasiswa itu sendiri. Diakui atau tidak
praktik fungsi legislasi pada lembaga legislatif mahasiswa saat ini bagai macan
tanpa taring. Miskin fungsi. Legislatif mahasiswa yang seharusnya menjadi
pengontrol kerja badan eksektif mahasiswa. Yang terjadi saat ini fungsi legislatif
mahasiswa justru tenggelam oleh aktivitas eksekutif mahasiswa.

Kondisi seperti ini, justru memperburuk citra legislatif mahasiswa di mata
mahasiswa. Legislatif mahasiswa tampak seperti kehilangan pijakan, sehingga
muda terombang-ambing oleh kepentingan. Bisa dibilang legislatif mahasiswa
diposisi ini telah kehilangan kedaulatannya.

Wajah legislatif mahasiswa seperti ini ternyata tidak hanya terjadi di
kampus penulis. Melainkan menjadi kendala Nasional kebanyakan kampus di
Indonesia. Saya coba cari data terkait kendala legislatif mahasiswa di Indonesia
via internet. Hasilnya mencengangkan. Banyak kampus yang badan legislatifnya
tidak jalan, perannya justru sudah dirangkap oleh eksektuif mahasiswa. Bahkan
dibeberapa kampus, lembaga legislatifnya harus divakumkan oleh pihak
universitas karena tidak punya kinerja dan fungsi apa-apa. Tidak hanya itu, Forum
Lembaga Legislatif Mahasiswa Se-Indonesia pun bernasib demikian.

Ada berita yang penulis lansir dari www.balairungpress.com berjudul
Sebuah Babak Baru Forum Lembaga Legislatif Mahasiswa Se-Indonesia.
Diberita tersebut berisi informasi seputar Kongres ke-5 FL2MI (Forum Lembaga
Legislatif Mahasiswa Indonesia) yang berlansung bulan November 2012 lalu,
dimana Universitas Sriwijaya sebagai tuan rumahnya. Kongres itu dihadiri
perwakilan dari 53 Universitas se-Indonesia dan dilansungkan selama tiga hari di
Wisma Atlet. Hal yang menarik yang diinformasikan dalam berita tersebut secara
umum tergambarkan bahwa kurangnya pemahaman akan mekanisme kerja
legislatif menjadi faktor utama munculnya oknum-oknum yang tak
bertanggungjawab. Disatu sisi para anggota kongres juga masih banyak berbeda
pendapat. Bahkan salah satu peserta kongkres memberikan komentar bahwa
kepemimpinan FL2MI periode sebelumnya hanya sibuk berkutat di ranah internal
saja. Kalau saya amati selama ini FL2MI hanyalah forum ngobrol-ngobrol gak
cetho tanpa hasil konkret, tuturnya.

Ada sebuah ungkapan, Sesuatu yang biasa diperbuat hari ini, menjadi
cerminan perbuatan dimasa depan,. Saya menduga adanya citra negatif legislatif
milik Negara dimata masyarakat, justru bermula dari mereka-mereka yang
dulunya pernah menduduki legislatif mahasiswa, namun punya citra negatif
dimata mahasiswa. Pernyataan ini bukan tanpa landasan, harus diakui pemimpin-
pemimpin kita saat ini sebenarnya output dari para aktifis kampus. Tidak sedikit
yang justru pernah menduduki jabatan didalam pemerintah mahasiswa. Hal itulah
yang tidak boleh disikapi dengan kejemuan, melainkan harus dibenahi.
Persoalan yang dihadapi legislatif mahasiswa pun demikian tidak jauh
berbeda dengan yang di hadapi lembaga legislative milik Negara (baca: DPR),
legislatif mahasiswa sudah tidak bisa mengontrol eksekutif mahasiswa, yang
melakukan penyimpangan anggaran. Hal ini biasa terjadi disaat penerimaan
mahaiswa baru. Telah menjadi rahasia umum jika ada anggota eksekutif
mahasiswa usai penerimaan mahasiswa baru, ada bisa membeli kendaraan
bermotor, laptop baru, dan handphone baru. Parahnya tidak jarang ada anggota
legislatif mahasiswa yang terjerumus kedalamnya. Disisi lain, ada calon
mahasiswa baru banyak yang tidak jadi kuliah karena biaya masuk perguruan
tinggi sangat mahal. Sedangkan legislatif mahasiswa mahasiswa yang seharusnya
menjadi wadah penyampai aspirasi tidak lagi bisa berkutik. Dar sinilah yang
penulis maksud, wajah Legislatif Mahasiswa Indonesia saat ini benar-benar
berada di titik nadir.

Legislatif Mahasiswa Harus Berdaulat

Hemat penulis, kondisi legislatif mahasiswa seperti ini, karena terdapat
kekeliruan dalam memaknai substansi sebuah badan legislatif mahasiswa itu
sendiri. Fungsi legislatif hanya tercantum dalam lembaran kertas Anggaran Dasar
dan anggaran Rumah Tangga saja, tidak benar-benar mampu dimaknai dan
dipahami serta diwujudkan dalam tataran nyata.

Padahal, dilihat dari konteks fungsinya, badan legislatif mahasiswa
seharusnya menduduki fungsi penting dalam kehidupan mahasiswa. Alasan yang
mendasarinya ialah; Pertama, badan legislatif merupakan badan yang bertugas
untuk mendengarkan amanat dan aspirasi mahasiswa lalu menuangkannya ke
dalam suatu kebijakan. Kebijakan yang disusun oleh badan legislatif adalah
sebagai cerminan bahwa aturan-aturan yang akan diberlakukan nantinya itu
berasal dari amanat dan aspirasi mahasiswa. Kedua, badan legislatif merupakan
suatu badan yang mengemban amanat mahasiswa dalam menjalankan fungsi
check and balances serta pengontrol terhadap badan eksekutif. Artinya, sebuah
badan legislatif haruslah sensitif terhadap dampak dan gejolak yang berasal dari
mahasiswa yang timbul akibat penerapan kebijakan-kebijakan oleh eksekuti,
bahkan tidak menutup kemungkinan kebijakan legislatif mahasiswa bisa ikut
memberi masukan penentu kebijakan rektorat kampus.

Legislatif mahasiswa memiliki tanggung jawab besar, yakni mengemban
amanat untuk menampung dan menyalurkan aspirasi mahasiswa dan
menjadikannya sebagai suatu kebijakan. Maka dari itu, legislatif mahasiswa
dituntut untuk dapat sensitif dalam mendengarkan keluhan mahasiswa serta aktif
dalam menuangkan pemikiran untuk menyusun suatu kebijakan yang akan
diberlakukan dalam lingkungan mahasiswa. Dalam praktik sehari-hari, legislatif
mahasiswa dituntut untuk mampu turun kebawah, menampung aspirasi
mahasiswa sebesarbesarnya dan menuangkannya dalam suatu forum kerja dan
tidak hanya dihabiskan dan dibahas dalam rapatrapat serta sidang umum,
melainkan harus punya wujud nyata. Sayangnya kenyataannya justru sering
berlawanan dari harapan.

Melihat kondisi ini, selayaknya sebagai agent of change atau agen
perubahan, tidak bisa didiamkan kondisi seperti ini berlansung terus menerus
tanpa ada perubahan yang berarti. Pemberdayaan badan legislatif bisa jadi salah
satu solusi. Pemberdayaan ini bisa dimulai dengan mengembalikan kedaulatan
legislatif mahasiswa. Legislatif mahasiswa haruslah menjadi suatu simbol
kedaulatan mahasiswa. Kedaulatan mahasiswa dapat ditegakkan apabila badan
legislatifnya telah berdaulat dan kedaulatan ini demi menegaskan dan
mengukuhkan kembali fungsi kontrol legislatif mahasiswa

Fungsi kontrol legislatif tersebut akan benar-benar terwujud jika legislatif
mahasiswa benar-benar berdaulat. Fungsi legislatif sebagai wadah penyalur
aspirasi mahasiswa tidak akan dipandang sebelah mata jika bisa independent dan
bertindak sesuai dengan yang telah menjadi aturan. Untuk mewujudkan tujuan
tersebut, maka rumah legislatif haruslah menjadi rumahnya kedaulatan
mahasiswa.

Kadaulatan ini sangat penting. Apalagi kalau sudah berhadapan dengan
lembaga Universitas. Legislatif mahasiswa harus memliki bargaining position
atau daya tawar. Sebagai wadah penyalur aspirasi mahasiswa, legislatif
mahasiswa pastinya akan mendapati beberapa keluahan yang terkait dengan
kebijakan kampus. Misalnya kebijakan kampus yang berhubungan dengan biaya
kampus yang memberatkan mahasiswa atau terkait dengan adanya kesulitan
pengurusan kartu rencana studi, kesulitan pengurusan beasiswa, pemilihan umum
dikampus yang tidak transparan, adanya dosen yang sering tidak masuk kuliah
dan lain sebagainya. Jika menemui masalah seperti ini, untuk bisa mempengaruhi
atau turut merubah kebijakan tersebut, legislatif mahasiswa harus memiliki
bargaining position, dimana secara tidak lansung memiliki daya tawar yang
tinggi. Posisi tawar yang dimaksud adalah posisi yang dapat memungkinkan
legislatif mahasiswa dapat mengungkapkan aspirasi mahasiswa, tidak hanya itu
aspirasi tersebut harus didengar oleh pihak kampus. Dengan demikian aspirasi
mahasiswa tidak hanya berahir dengan keluhan semata, melainkan dapat dicarikan
solusinya.

Disamping itu, tidak bisa dinafikkan, adakalanya Presiden Mahasiswa
beserta jajaran pemerintahannya dalam menjalankan roda pemerintahan
menikung, membelok, atau menyimpang dari apa yang telah ditetapkan. Disinilah
Badan Legislatif Mahasiswa mulai berperan, sebagai badan pengontrol yang
merupakan penjelmaan dari seluruh suara mahasiswa, legislatif mahasiswa berhak
dan wajib mengawasi jalannya roda pemerintahan karena sesungguhnya kampus
ini adalah kampus mahasiswa.

Sebagai lembaga perumus konstitusi didalam kampus, legislatif
mahasiswa berperan penuh sebagai perancang hukum yang bisa mempersatukan
seluruh komponen pemerintahan mahasiswa. Sehingga seluruh jajaran
pemerintahan mahasiswa dapat bersatu di bawah payung konstitusi bersama.
Ibarat sebuah negara, pemerintahan mahasiswa adalah pemerintahan merdeka
yang tak masuk dalam struktur birokrasi kampus. Sehingga reaksi pembekuan dari
birokrasi kampus pun tidak akan berpengaruh jika student governance-nya kuat.

Akhirnya, lembaga legislatif mahasiswa yang sejatinya memiliki fungsi
legislasi, pengawasan, anggaran, dan advokasi. Diharapkan dapat berperan aktif
dalam menampung aspirasi mahasiswa sebagai konstituennya dan
menyampaikannya kepada pihak lembaga universitas dan merumuskan kebijakan
sebagai solusi dari aspirasi yang disampaikan konstituennya.

Lebih dari itu, legislatif mahasiswa diharapkan pula dapat menjaga ritme
pergerakan mahasiswa, terlebih disaat sekarang ini ditengah terpuruk dan
lesuhnya gerakan mahasiswa intra kampus. Lembaga legislatif
mahasiswa memegang kunci regulasi tatanan kemahasiswaan, sehingga
dinamisasi mahasiswa yang nantinya direpresentasikan dalam gerakan mahasiswa
tetap terjaga. (**)




Referensi:

Anik Sukaifah. 2012. Legislatif dan Politik Pencitraan. Asizuka.blogspot.com.
http://asizuka.blogspot.com/2012/01/legislatif-dan-pencitraan.html diakses
tanggal 27 Desember 2012.

Anonim. 2012. Menanti Sebuah Perubahan (Studi Kritis Sistem Perwakilan
Dewan Legislatif Mahasiswa Universitas Siliwangi). Blmfisipunsil.blogspot.com.
http://blmfisipunsil.blogspot.com/2012/11/menanti-sebuah-perubahan-studi-
kritis.html diakses tanggal 27 Desember 2012.

Dewiyana. 2012. Bagaimana Seharusnya Badan Legislatif Mahasiswa Berperan?.
Dewiyananina.blogspot.com.
http://dewiyananina.blogspot.com/2012/12/bagaimana-seharusnya-badan-
legislatif.html diakses tanggal 27 Desember 2012.
Balairungpress.com. Sebuah Babak Baru Forum Lembaga Legislatif Mahasiswa
Se-Indonesia. http://www.balairungpress.com/2012/11/babak-baru-forum-
lembaga-legislatif-mahasiswa-se-indonesia/ diakses tanggal 28 Desember 2012.

Anda mungkin juga menyukai