Anda di halaman 1dari 15

BAB IV

DISKUSI

Berdasarkan laporan kasus, pasien laki-laki bernama Doni berusia 20
tahun dirujuk ke RS Hasan Sadikin dari RS Al-Ihsan dengan keluhan perdarahan
dari mulut. Kurang lebih 6 jam sebelum masuk rumah sakit pasien sedang
mengendarai sepeda motor di daerah Banjaran, pasien menghindari polisi tidur ke
arah kanan namun tibatiba dari arah berlawanan datang sepeda motor dengan
kecepatan sedang sehingga terjadi tabrakan. Pasien kehilangan keseimbangan dan
terjatuh dengan mekanisme mulut membentur aspal terlebih dahulu. Helm yang
digunakan half face, tidak terdapat riwayat pingsan maupun mual-muntah. Pasien
lalu dibawa ke RS Al Ihsan dan dilakukan foto rahang, foto hidung, foto tangan,
diberikan obat As. Tranexamat, Ketorolac, ATS dan dilakukan penjahitan
situasi. Setelah itu pasien dirujuk ke RSHS.
Penanggulangan terhadap kondisi kegawatdaruratan pada pasien dengan
trauma maksilofasial diawali dengan pemeriksaan tanda-tanda vital, yang meliputi
pemeriksaan ABCD (Airway, Breathing, Circulation, Disability). Namun
pemeriksaan harus diutamakan pada kontrol saluran pernapasan dan kontrol
perdarahan. Sebelum melakukan pemeriksaan tanda-tanda vital, gangguan saluran
pernapasan dan perdarahan yang mengancam jiwa pasien harus ditangani terlebih
dahulu. (Pedersen, 1987; Banks, 1990; Obuekwe, 2003)
Trauma yang menyebabkan perdarahan, fraktur gigi, dan gigi tiruan dapat
menimbulkan penyumbatan jalan nafas pada pasien yang tidak sadar atau
setengah sadar. Perawatan pendahuluan yang diperlukan terdiri dari pemeriksaan
mulut dan menghilangkan seluruh fragmen gigi-gigi, tambalan yang pecah dan
gigi tiruan. Bila tersedia suction, beku darah dan ludah harus disedot dan pasien
dibaringkan sedemikian rupa sehingga darah dan sekresi dapat keluar dari rongga
mulut. Posisi yang paling baik untuk pasien yang tidak sadar adalah berbaring
miring. (Mansjoer dkk, 2000; Banks, 1990; Obuekwe, 2003)

Gambar. Posisi pasien yang baik (Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI,
Setiowulan W. Kapita Selekta Kedokteran jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 200 : 270)

Perdarahan yang menyertai trauma maksilofasial jarang berakibat fatal.
Penekanan, baik langsung dengan jari ataupun secara tidak langsung dengan
menggunakan kasa dapat menghentikan sebagian besar kasus perdarahan di
rongga mulut. Untuk membatasi perdarahan kadang-kadang diperlukan klem dan
pengikatan pembuluh yang terlibat (biasanya a. maksilaris, a. lingualis, a. karotis
eksterna). Walaupun perdarahan yang tertunda jarang menimbulkan masalah
serius, tetapi karena diperlukan untuk tindakan bedah selanjutnya, maka pada
sebagian besar trauma maksilofasial yang parah harus dilakukan pemeriksaan
golongan darah untuk keperluan transfusi. (Pedersen, 1987; Duddley, 1992)
Pada pasien ini, tidak ditemukan adanya riwayat kehilangan kesadaran.
Kondisi saluran pernapasan pasien pun secara umum tidak mengalami gangguan.
Penanggulangan perdarahan dan luka jaringan lunak yang telah dilakukan pada
pasien ini yaitu penjahitan situasi yang dilakukan di RS Al Ihsan.
Permeriksaan pertama yang dilakukan pada pasien di RSHS yaitu
penilaian tanda vital dan keadaan umum pasien. Penilaian tanda vital yang
meliputi aspek ABCD menunjukkan keadaan sebagai berikut:
1. Airway: Clear
2. Breathing: B/G simetris, VBS ka=ki, R=20 x/menit
3. Circulation: T=110/80 mm Hg; N= 84 x/menit
4. Disability: GCS 15 (E4V6M5), pupil bulat isokhor 3mm, RC +/+, parese-/-
Sedangkan berdasarkan pemeriksaan keadaan umum pasien, diketahui keadaan
pasien:
1. Kulit : Turgor (+)
2. Kepala : Wajah asimetris , VL a/r mentale Uk 3x0,5x1 cm tepi tidak rata
dasar otot
3. Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikhterik
4. Leher : JVP tidak meninggi
5. Thorax : Pulmo=B/G simetris, VBS ki=ka, Rh -/-, Wh-/-
6. Jantung : BJ murni regular
7. Abdomen : Datar lembut, BU (+) N,
8. Hati & Limpa : tidak teraba
9. Ektremitas : Akral hangat, sianosis -/-, oedem-/-,
10. CRT < 2detik
Dari hasil pemeriksaan tanda vital dan keadaan umum, diketahui secara
umum pasien dalam keadaan baik. Tidak terdapat gangguan dalam saluran
pernapasan maupun perdarahan yang dapat membahayakan. Kelainan yang
ditemukan yaitu wajah yang asimetris, serta VL a/r mentale berukuran 3x0,5x1
cm dengan tepi tidak rata hingga otot.
Pemeriksaan selanjutnya yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan ekstra
oral dan intra oral. Pemeriksaan ekstra oral pada daerah leher dan kepala
merupakan pemeriksaan awal yang bermanfaat. Luka pada wajah dicatat lokasi,
panjang, dan kedalamannya serta kemungkinan terlibatnya struktur di bawah luka
seperti arteri, saraf, dan glandula saliva (kelenjar ludah). Bagian yang mengalami
abrasi dan kontusi dicatat. Edema fasial diobservasi dan dievaluasi karena ini bisa
merupakan tempat yang terkena benturan/trauma atau merupakan tanda adanya
kerusakan struktur di bawahnya misalnya hematom, fraktur atau keduanya.
(Pedersen, 1987; Obuekwe, 2003)
Pada wajah bagian tengah dilakukan pemeriksaan dengan melakukan
palpasi, yang dimulai dari atas hingga ke bawah. Pemeriksaan dimulai dari aspek
medial dari cincin supraorbital secara bilateral. Tulang nasal dan sutura
nasofrontalis dipalpasi secara bersamaan kanan dan kiri. Palpasi diteruskan ke
arah lateral menyilang cincin supraorbital menuju sutura zigomatikofrontalis.
Jaringan lunak yang menutupinya digeser dan sutura dipalpasi apakah terjadi
kelainan atau tidak. Cincin infraorbital dipalpasi dari medial ke lateral untuk
mengevaluasi sutura zigomatikomaksillaris. Bagian-bagian yang mengalami nyeri
tekan menunjukkan adanya fraktur atau trauma pada saraf. Arkus zigomatikus
dipalpasi bilateral dan diamati apakah terdapat tanda-tanda asimetri. Vestibulum
nasi juga diperiksa karena bisa terjadi pergeseran septum, dan adanya perdarahan
atau cairan (rhinorrhea). (Pedersen, 1987; Obuekwe, 2003)
Mandibula juga perlu dievaluasi posisinya terhadap maksila, apakah tetap
di garis tengah atau terjadi pergeseran ke arah lateral. Pergerakan mandibula juga
dievaluasi dengan jalan mengintruksikan pasien melakukan gerakan-gerakan
tertentu. Semua gerakan diperhatikan pada semua arah dan kemudian jarak inter
insisal dicatat. Pada fraktur subkondilus tertentu, bisa dijumpai adanya nyeri tekan
yang amat sangat atau kaput mandibula tidak terdeteksi. Tepi inferior dan
posterior mandibula dipalpasi mulai dari prosesus kondilaris sampai ke simfisis
mandibula. Adanya nyeri tekan dan kelainan kontinuitas pada saat pemeriksaan,
sebaiknya menjadi perhatian. (Pedersen, 1987; Obuekwe, 2003)
Pada pemeriksaan ekstra oral pasien diketahuiu wajah pasien asimetris,
dan terdapat VL a/r mentale berukuran 3x0,5x1 cm dengan tepi tidak rata hingga
otot.

Gambar. Profil ekstra oral pasien

Setelah dilakukan pemeriksaan ekstra oral, selanjutnya dilakukan
pemeriksaan intra oral. Pemeriksaan trauma pada rongga mulut meliputi
pemeriksaan jaringan lunak dan jaringan keras serta pemeriksaan adanya
pembengkakan dan laserasi. Trauma pada rongga mulut yang berhubungan
dengan trauma maksilofasial bervariasi mulai dari fraktur mahkota dan akar gigi
sampai avulsi gigi dari soketnya, serta laserasi mukosa di rongga mulut dan bibir.
Pemeriksaan oklusi gigi geligi juga dilakukan pada pasien yang mengalami
trauma maksilofasial karena fraktur rahang dapat menyebabkan gigi sulit untuk
oklusi (maloklusi). Setiap gigi yang ada harus dilakukan pemeriksaan, apakah
setiap gigi tersebut goyang atau memiliki tanda-tanda fraktur atau subluksasi, juga
kemungkinan adanya gigi atau protesa yang patah sebaiknya dapat dikeluarkan.
(Trott, 2002)
Trauma pada rongga mulut sering menimbulkan perdarahan. Pemeriksaan
intra oral tidak dapat dilakukan bila daerah tersebut tertutup darah. Bila pasien
sadar dan tidak dirawat di rumah sakit, dapat diberikan larutan obat kumur.
Namun biasanya dokter gigi harus membersihkan darah yang membeku dengan
menggunakan kapas atau kain kasa steril. (Pedersen, 1987; Banks, 1990;
Obuekwe, 2003)
Pada pemeriksaan mandibula, palpasi dilakukan pada bagian sulkus
lingualis dan bukalis dengan hati-hati, karena kemungkinan adanya pergeseran
tulang. Daerah yang diduga fraktur diraba dengan ibu jari dan telunjuk diletakkan
di kedua sisi yang diduga mengalami fraktur. Pasien dapat juga diintruksikan
untuk menggerakkan mandibula semaksimal mungkin sehingga rasa sakit yang
terjadi diobservasi. (Pedersen, 1987; Banks, 1990; Obuekwe, 2003)
Hasil pemeriksaan intra oral pasien, yaitu:
1. Bibir : VL a/r Comisura Sn uk 0,5 x 0,3 x0,3 cm tepi tidak rata dasar otot
2. Vestibulum : VL a/r gigi 31 uk 1 x 0,5 x 0,3 cm tepi tidak rata dasar otot
3. Gingiva : VL a/r gigi 42 32 uk 3 x 0,5 x 0,3 cm tepi tidak rata dasar tulang
4. Lidah : TAK
5. Mukosa bukal : TAK
6. Palatum : TAK
7. Dasar mulut : TAK
8. Tonsil : T1-T1

Gambar. Gambaran Intra Oral pasien


Diagram. Status Gigi Geligi

Langkah selanjutnya yang dapat dilakukan yaitu pemeriksaan penunjang.
Pemeriksaan penunjang ini dapat meliputi pemeriksaan radiologi dan pemeriksaan
lab lengkap.
Pemeriksaan radiologi dilakukan jika pemeriksaan klinis intra dan ekstra
oral telah selesai dilakukan. Jika pada pemeriksaan klinis memberikan gambaran
adanya fraktur rahang, maka perlu dilakukan pengambilan radiografi untuk
mempertegas hal tersebut dan memberikan data yang lebih akurat.
Berikut ini beberapa jenis radiografi yang dapat dipakai untuk melihat
adanya fraktur maksilofasial:
1. Foto Anterior-Posterior
2. Foto TMJ
3. Foto Panoramik
4. Foto Gigi (oklusal dan periapikal)
5. Foto Lateral Kanan-Kiri
6. Waters View
7. Tomografi Komputerisasi (CT).
Pengambilan foto oklusal dilakukan untuk melihat gambaran fraktur-
fraktur di daerah parasimfisis, sedangkan foto panoramik lebih ditujukan pada
fraktur yang terjadi di mandibula dan maksila. Pengambilan foto oklusal dan
periapikal dilakukan jika terjadi trauma terhadap gigi sehingga gigi mengalami
luksasi dan avulsi atau adanya fraktur prosesus alveolaris. Pengambilan foto
anteroposterior dilakukan untuk melihat fraktur kondilar. Pemeriksaan fraktur
dapat juga dibantu tomografi komputer atau Computed Tomography (CT) yang
berguna untuk menentukan tingkat pergeseran segmen proksimal, karena
kemungkinan terjadinya dislokasi fraktur. (Pedersen, 1987)
Apabila terjadi fraktur multipel pada wajah yang luas dan kemungkinan
keterlibatan struktur penting di sekitarnya masih diragukan, maka dapat dilakukan
tomografi komputer (CT). CT mempunyai kelebihan dibandingkan dengan
radiografi yang lain, yakni tidak menghasilkan gambaran yang tumpang tindih
dan dapat mempertahankan detail jaringan lunak. Kedua kelebihan tersebut
merupakan penunjang yang sangat penting dalam menentukan diagnosa yang
akurat dari fraktur maksilofasial. Selain dapat menentukan adanya fraktur, CT
juga dapat menunjukkan adanya trauma intrakranial, misalnya hematom intra atau
ekstra-serebral, daerah kontusio dan edema serebral. (Pedersen, 1987; Obuekwe,
2003)
Pemeriksaan radiologi pada pasien ini dilakukan melalui foto rontgen
Schedel AP-lateral, Thorax, dan Panoramik. Adapun hasil pemeriksaan radiologi
pasien ini yaitu:

Gambar. Foto Schedel


Gambar. Foto Thorax.


Gambar. Foto Panoramik

Kesan yang diperoleh dari foto Schedel yaitu terdapat fraktur transversal
pada os maxilla dextra et sinistra (Le Fort Type I Fracture). Pada Foto thorax
tidak tampak traumatik wet lung atau contusio paru, tidak tampak fraktur os
claviculae, costae dan scapulae, serta tidak tampak kardiomegali.
Selain pemeriksaan radiologi, pada pasien ini juga dilakukan pemeriksaan
penunjang lab lengkap. Hasil pemeriksaan lab lengkap pasien, yaitu:
Pemeriksaan Hasil Normal
PT 12,9 10,2-14,2 detik
INR 1,06 0,84-1,16 detik
APTT 22,1 16,3-36,3 detik
Hb 16,0 11,5-15,5 g/dL
Ht 45 35-45%
Leukosit 15.000 4500-13.500 mm
3

Eritrosit 5,34 4,19-5,96 juta/uL
Trombosit 320.000 150.000-450.000/mm
3

SGOT 20 L: <50 U/L 37C
SGPT 12 L: <50 U/L 37C
Ureum 24 15- 50 mg/ dL
Kreatinin 0,67 L : 0,7-1,2 mg/dL
GDS 101 <140 mg/dL
Na 136 135-145mEq/L
K 3,6 3,6-5,5 mEq/L

Berdasarkan hasil pemeriksaan, baik pemeriksaan ekstra oral, intra oral,
dan pemeriksaan penunjang, pasien Doni didiagnosa mengalami fraktur Lefort I,
fraktur segmental dentoalveolar a/r 32-42 disertai mobility grade 3 gigi 32-42,
dan vulnus laceratum a/r gingiva 32-41 et vestibulum 31 et commisura sn et
labiomentale.
Penatalaksanaan yang dilakukan pada pasien ini yaitu dilakukan IVFD RL
maintenance 20gtt/menit untuk menjaga agar keseimbangan cairan dalam tubuh
pasien tetap terjaga sehingga tidak terjadi dehidrasi. Pasien diresepkan
Ceftriaxone inj 1 gr, Ranitidin inj 1 amp, dan Ketorolac inj 1 amp. Ceftriaxone
merupakan antibiotik berspektrum luas yang merupakan generasi ke-3
cephalosporin, antibiotik ini digunakan sebagai profilaksis untuk mencegah
terjadinya infeksi bakteri akibat luka yang terjadi. Ketorolac merupakan analgesic
golongan NSAID yang penggunaannya disertai dengan ranitidine untuk
menurunkan asam lambung yang merupakan efek dari pemberian ketorolac yaitu
menaikan asam lambung.
Gigi 32, 31, dan 41 yang mengalami mobility grade 3 kemudian
diekstraksi serta dilakukan alveolektomi pada tulang alveolar gigi 31 dan 41.
Alveolektomi ini dilakukan untuk mengurangi sisa tulang alveolar yang tidak
teratur akibat fraktur dan pencabutan gigi 31 dan 41 tersebut. Kemudian dilakukan
interdental wiring (IDW) pada rahang bawah dengan memasang arch bar untuk
menstabilkan segmen fraktur. Hal ini merupakan salah satu teknik imobilisasi
menurut Balaji (2007).
Kemudian dilakukan hecting pada luka robek (vulnus laceratum) di
gingiva 32-41 dan vestibulum gigi 31 untuk menghentikan perdarahan dan
mencegah terjadinya infeksi pada luka. Setelah dilakukan hecting, diaplikasikan
as. Hyaluronat pada daerah post hecting intraoral untuk mencegah infeksi serta
mempercepat penyembuhan luka. Untuk post hecting ekstraoral diaplikasikan
chloramphenicol salep untuk mencegah infeksi serta penyembuhan luka.
Setelah dilakukan perawatan di IGD Bedah Mulut, pasien kemudian
menjalani rawat inap. Selama menjalani rawat inap ini, beberapa hal disarankan
untuk penyembuhan pasien, diantaranya observasi TNSR secara rutin, pasien
dianjurkan untuk menjalani diet makanan lunak, dilakukan spooling IO dengan
NaCL 0,9% 2x/hari, dan kumur kumur povidone iodine gargle tiap habis makan.
Selain itu pasien diresepkan Ceftriaxone inj. 2 x 1 gr IV, Ketorolac inj. 2 x 1
amp, Ranitidin inj. 2 x 1 amp, As. Hyaluronat gel, dan chlorampenicol zalf.
Pasien disarankan untuk melakukan IDW rahang atas, Open Reduction elektif
dalam NU oleh BM dan aff hecting IO dan EO POD VII ( 17/5/2014).
Perawatan untuk fraktur Le Fort I pada pasien sesuai dengan teori yang
dikemukakan oleh Banks (1992), Pedersen (1996), dan Trott, et al(1995) bahwa
pada fraktur Le Fort I dirawat dengan menggunakan arch bar, fiksasi
maksilomandibular, dan suspensi kraniomandibular yang didapatkan dari
pengawatan sirkumzigomatik.
Pasien dilakukan operasi Open Reduction pada tanggal 16 Mei 2014.
Operasi dilakukan di bawah anestesi umum. Fiksasi internal yang dilakukan yaitu
dengan metode Internal Skeletal Suspension dengan pusat wiring pada
transzygomatic, keuntungan dari teknik imobilisasi internal ini adalah fiksasi yang
tidak terlalu terlihat dari luar, akurat, dan tidak diperlukan fasilitas teknik yang
khusus (Gupta and Mittal, 2003).

Gambar. Transzygomatic Wiring Pada Pasien Doni

Durasi pemakaian fiksasi intermaksilaris ini bervariasi tergantung dari
jenis fraktur tiap kasusnya dan tergantung dari kualitas perawatan, pada umumnya
durasi pemakaian IMF untuk dewasa dan anak-anak adalah 3-4 minggu (Gupta
and Mittal, 2003).

Anda mungkin juga menyukai