PENDAHULUAN
2.1.1
wajah yang mengelilingi satu rongga mulut primitif yang disebut stomodeum.
Tonjolan wajah ini disebut juga prosesus fasialis, terdiri dari dua buah tonjolan
maksila atau prosesus maxillaris (terletak di lateral stomodeum), dua buah
tonjolan mandibula atau prosesus mandibularis (arah kaudal stomodeum) dan
tonjolan frontonasalis atau prosesus frontonasalis (di tepi atas stomodeum).
(Sadler, 2004)
Prosesus
fasialis
ini
merupakan
akumulasi
sel
mesenkim
di
bawah permukaan epitel, yang berperan besar dalam tumbuh kembang struktur
orofasial. Adapun kelima prosesus tersebut memiliki peran penting dalam
pembentukan wajah, yaitu prosesus frontonasalis membentuk hidung dan bibir
atas, prosesus maksilaris membentuk maksila dan bibir dan prosesus mandibularis
membentuk mandibula dan bibir bawah. (Sadler, 2004)
Pada minggu ke lima di daerah inferior prosesus frontonasalis akan
muncul nasal placode. Proliferasi mesenkim pada kedua sisi nasal placode akan
menghasilkan pembentukan prosesus nasalis medialis dan lateralis. Di
antara pasangan prosesus tersebut akan terbentuk nasal pit yang merupakan
lubang hidung primitif. Prosesus maxilaris kanan dan kiri secara bersamaan akan
mendekati
prosesus
nasalis
lateral
dan
medial.
Selama
dua
minggu
berikutnya prosesus maxillaris akan terus tumbuh ke arah tengah dan menekan
prosesus nasalis medialis ke arah midline. Kedua prosesus ini kemudian akan
bersatu dan membentuk bibir atas. Prosesus nasalis lateralis tidak berperan
dalam pembentukan bibir atas tetapi berkembang terus membentuk ala nasi.
(Sadler, 2004)
Kegagalan fusi sebagian atau seluruh prosesus maxillaris dengan prosesus
nasalis medialis dapat menyebabkan celah pada bibir dan alveolus baik unilateral
maupun bilateral. (Sadler, 2004)
2.1.3
Pada anak perempuan, proses penyatuan ini terjadi satu minggu kemudian.
Hal ini yang menyebabkan celah langit-langit (cleft palate) lebih banyak terjadi
pada anak perempuan. (Sadler, 2004)
Celah pada palatum primer terjadi karena kegagalan mesoderm invaginasi
ke dalam celah di antara prosesus maxillaris dan prosesus nasalis medialis,
sehingga proses penggabungan di antara keduanya tidak terjadi. Sedangkan pada
celah pada palatum sekunder diakibatkan karena kegagalan palatal shelves berfusi
satu sama lain. (Sadler, 2004)
Gambar 2.4 Gambaran frontal kepala embrio usia 7 minggu. Lidah sudah
bergerak turun dan lempeng langit-langit mencapai posisi horizontal. Gambaran
ventral kepala embrio usia 7 minggu (Sadler, 2004)
Gambar 2.5 A. Gambaran frontal kepala embrio usia 10 minggu; B. Kedua lempeng
langit-langit sudah bersatu satu sama lain juga dengan nasal septum; C. Gambaran
penutupan palatum komplit dengan scanning electron micrograph (Sadler, 2004)
2.2.1
Faktor Genetik
Faktor genetik yang menyebabkan terjadinya celah bibir dan langit-langit
3. Adanya sindrom tripel autosom yang mengakibatkan celah bibir dan langitlangit serta dapat diikuti dengan anomali kongenital yang lain.
2.2.2
Faktor Non-Genetik
Faktor non-genetik memegang peranan penting dalam keadaan krisis dari
penyatuan bibir dan langit-langit pada masa kehamilan. Beberapa hal yang
berperan menyebabkan terjadinya celah bibir dan langit-langit, yaitu:
1. Defisiensi nutrisi
Nutrisi yang kurang pada masa kehamilan merupakan satu penyebab
terjadinya celah. Hal ini diketahui melalui percobaan yang dilakukan pada
binatang dengan memberikan vitamin A secara berlebihan atau kurang.
Hasilnya mennunjukkan terjadinya celah pada anak-anak tikus yang baru
lahir. Begitu juga dengan defisiensi vitamin riboflavin pada tikus, dan
hasilnya juga menunjukkan adanya celah dengan persentase yang tinggi. Efek
yang sama juga terjadi pada pemberian kortison pada kelinci yang sedang
hamil.
2. Zat kimia
Pemberian aspirin, kortison dan insulin pada masa kehamilan trimester
pertama dapat meyebabkan terjadinya celah. Obat-obat yang berpengaruh
yaitu obat-obatan yang bersifat teratogenik seperti thalidomide dan phenitoin,
serta alkohol, kaffein, aminoptherin dan injeksi steroid.
10
3. Virus rubella
Fraser mengatakan bahwa virus rubella dapat menyebabkan cacat berat, tetapi
hanya sedikit kemungkinan virus ini dapat menyebabkan celah.
4. Beberapa hal lain yang juga berpengaruh, yaitu:
1) Kurang daya perkembangan
2) Radiasi bahan-bahan teratogenik yang potent
3) Infeksi penyakit menular sewaktu trimester pertama kehamilan yang dapat
mengganggu perkembangan janin
4) Gangguan endokrin
5) Pemberian hormon seks, dan tyroid
6) Merokok, alkohol, dan modifikasi pekerjaan
Faktor-faktor ini mempertinggi insiden terjadinya celah bibir dan langitlangit, tetapi yang harus lebih diperhatikan adalah intensitas dan waktu
terjadinya dibandingkan dengan jenis faktor lingkungan yang spesifik.
5. Trauma
Strean dan Peer melaporkan bahwa trauma mental dan trauma fisik dapat
menyebabkan terjadinya celah. Stress yang timbul menyebabkan fungsi
korteks adrenal terangsang untuk mensekresi hidrokortison sehingga nantinya
dapat mempengaruhi keadaan ibu yang sedang mengandung dan dapat
menimbulkan celah. Mekanisme stress yang mengakibatkan celah, yaitu
terangsangnya hipothalamus adrenocorticotropic hormone (ACTH) sehingga
11
merangsang
kelenjar
adrenal
bagian
glukokortikoid
mengeluarkan
Klasifikasi Veau
Veau memperkenalkan metode klasifikasi celah wajah menjadi empat
katagori, yaitu:
1. Celah hanya pada jaringan palatum lunak
2. Celah pada jaringan palatum lunak dan keras
3. Celah bibir dan palatum unilateral
4. Celah bibir dan palatum bilateral (Veau, 1931)
Klasifikasi ini sangat sederhana dan tetap digunakan sampai saat ini.
Namun demikian Veau tidak memasukkan celah bibir atau celah langit-langit
terisolasi dalam klasifikasi ini.
2.3.2
Klasifikasi Kernahan
Klasifikasi Kernahan berdasarkan pada embriologi yang menggunakan
foramen insisivum sebagai batas yang memisahkan celah pada palatum primer
dari palatum sekunder. Palatum primer terdiri dari bibir atas, tulang alveolar
dan palatum yang terletak di anterior foramen insisivum. Celah komplit pada
palatum primer akan melibatkan semua struktur ini, palatum sekunder terdiri dari
12
Keterangan
1.
2.
3.
4.
5.
2.3.3
13
Prinsip yang dipakai sama seperti strip Y Kernahan, namun klasifikasi ini
juga mengikutsertakan kondisi hidung, dasar hidung, dan daerah velofaringeal.
(Millard, 1977)
2.4 Penatalaksanaan
Penanganan
kelainan
celah
bibir
dan
celah
langit-langit
14
Tindakan
Konsultasi psikolog mempersiapkan orangtua dalam menerima
0 1 minggu
1 2 minggu
10 Minggu
aspirasi
Labioplasty, dengan mengikuti Rules of Ten:
18 - 24 bulan
18 bulan 4
tahun
4 6 tahun
6 8 tahun
9 11 tahun
2.4.1
Prenatal
Pada masa ini orang tua mendapatkan konsultasi dari tim psikolog untuk
mempersiapkan diri menghadapi kelahiran bayi dengan celah bibir dan langit-
15
langit. Bimbingan psikolog diperlukan agar orang tua dapat menerima keadaan ini
dan secara bersama-sama merawatnya dengan penuh kasih sayang.
2.4.2
Kelahiran
Pada saat lahir, orang tua sudah harus mendapatkan pelatihan bagaimana
cara memasang dan membuka feeding plate/obturator. Botol susu dengan bentuk
dot khusus seperti haberman feeder yang mampu mengeluarkan cairan tanpa bayi
perlu mengerahkan tekanan negatif intra oral dapat digunakan bila menyusui tidak
berhasil.
2.4.3
Labioplasty
Operasi labioplasty dilakukan dengan mengikuti ketentuan Rules of ten,
yaitu:
1.
2.
3.
4.
Usia 10 minggu
Berat minimal 10 pounds
Jumlah leukosit di bawah 10.000 /dl
Hb minimal 10 gr/dl (Pedersen, 1996)
Penanganan dilakukan untuk memelihara fungsi rongga mulut dan usaha
16
inkomplit,
dapat
digunakan
untuk
memperpanjang
prolabium,
17
kekurangan dari metode ini tidak bisa menambah panjang pada pada kasus celah
bibir bilateral dengan prolabium yang pendek. (Gunarto, 2008)
2.4.4
Palatoplasty
Tujuan palatoplasty adalah memisahkan rongga mulut dan rongga hidung,
membentuk katup velofaringeal yang kedap air dan kedap udara dan memperoleh
tumbuh kembang maksilofasial yang mendekati normal. Tantangan palatoplasty
dewasa ini bukanlah hanya bagaimana menutup defek celah langit-langit namun
juga bagaimana didapatkan fungsi bicara yang optimal tanpa mengganggu
pertumbuhan maksilofasial.
Waktu yang paling tepat untuk dilakukannya palatoplasty masih menjadi
kontroversi. Sebagian ahli bedah mendukung waktu palatoplasty sebelum usia 12
bulan karena lebih menguntungkan perkembangan bicara pasien sebab proses
belajar bicara dimulai pada usia 12 bulan.
Penundaan palatoplasty lebih menguntungkan untuk perkembangan
maksilofasial namun lebih merugikan untuk perkembangan bicara pasien. Waktu
yang paling optimal untuk palatoplasty sampai sejauh ini secara ilmiah belum
terbukti namun sebagian besar ahli bedah sepakat bahwa palatoplasty harus
dilakukan sebelum usia 2 tahun.
Teknik pembedahan untuk pasien dengan celah palatum meliputi: Von
Langenbeck, 2-flap, 3-flap (V-to-Y), dan Double Z-plasty (Furlow) bedah
18
palatum. Pemilihan metode ini di dasarkan pada kondisi kelainan celah bibir pada
masing-masing pasien. (Riden, 1998)
Teknik Von Langenbeck mengacu terhadap pentingnya memisahkan oral
dan kavitas nasal. Keuntungan teknik ini yaitu dengan sedikitnya dilakukan
diseksi serta tekniknya juga sederhana. Kerugian dari teknik ini adalah tidak
bertambahnya panjang palatum, di sebabkan oleh keterbatasan dalam penutupan
secara tepat dan celah tambahan. Teknik 2-flap merupakan cara yang paling
umum digunakan untuk penutupan celah komplit. Tidak terdapat penambahan
lebar yang biasanya dilakukan untuk penutupan terhadap setiap celah pada
alveolar
pada
metode
ini
dalam
perbaikannya.
Keuntungannya
yaitu
2.4.5
19
dengan melihat kondisi klinis pada luka operasi terjadi penutupan sempurna atau
tidak, 2) ada tidaknya fistula, 3) penyambungan bibir atau palatum. (Ross, 1987)
BAB III
LAPORAN KASUS
: Zahra
: 0001367397
Umur
: 3 bulan
Jenis Kelamin
: Perempuan
Alamat
Pekerjaan
: -
Agama
: Islam
20
pasien menyangkal pernah meminum jamu maupun obat-obatan lain, dan tidak
pernah terjatuh pada saat kehamilan. Pasien merupakan anak ke-4 dari 4 bersaudara
(G = 4; P = 4; A = 0). Kakak pasien (anak ke-2) juga menderita celah bibir. Ibu pasien
juga menyangkal adanya alergi, maupun penyakit penyerta lainnya. Ibu pasien
berharap celah pada bibir anaknya dapat ditutup.
21
3.4.1
Hasil
Nilai
Rujukan
Satuan
Metode
Hematologi
Hematologi Rutin
Hematologi Lengkap
Hemoglobin
11,0
9,5 13,5
g/dL
Hematology
22
Analyzer
Eritrosit
3,65
3,1 4,5
106/L
Hematology
Analyzer
Hematokrit
31,7
29 41
Hematology
Analyzer
MCV
86,8
74 108
fL
Hematology
Analyzer
MCH
30,1
25,0
35,0
Pg
Hematology
Analyzer
MCHC
34,7
30,0
36,0
g/dL
Hematology
Analyzer
RDW
12,7
11,5
14,5
Hematology
Analyzer
Leukosit
10.930
6.000
17.500
/L
Hematology
Analyzer
Eosinofil
15
Hematology
Analyzer
Basofil
01
Hematology
Analyzer
Neutrofil Batang
08
Hematology
Analyzer
Neutrofil Segmen
23
17 60
Hematology
Analyzer
Limfosit
65
20 70
Hematology
Analyzer
Monosit
1 11
Hematology
Analyzer
370.000
150.000
/L
Hematology
Hitung Jenis
Trombosit
23
450.000
Laju Endap Darah
Analyzer
0 10
mm/jam
Westergreen
Waktu Perdarahan
2,0
13
menit
Duke
Waktu Pembekuan
7,5
5 - 15
menit
Faal Hemostasis
Klinik Rutin
Urinalisis
Urine Lengkap
Warna
Kuning
Refraktometer
Kejernihan
Agak
Keruh
Refraktometer
BJ
1,020
1,015
1,025
Refraktometer
pH
6,0
4,8 7,4
Refraktometer
Protein
Negatip
Negatip
Refraktometer
Glukosa
Negatip
Negatip
Refraktometer
Keton
Negatip
Negatip
Refraktometer
Bilirubin
Negatip
Negatip
Refraktometer
Urobilinogen
Normal
<1
Nitrit
Negatip
Negatip
Refraktometer
Darah
Negatip
Negatip
Refraktometer
Leukosit Esterase
Positip 1
Negatip
Refraktometer
Sedimen
mg/dL
Refraktometer
24
Eritrosit
02
02
/lp
Microscopic
Leukosit
46
05
/lp
Microscopic
Epitel
46
5 - 15
/lp
Microscopic
Silinder
Negatip
/lp
Microscopic
Kristal
Negatip
Microscopic
Lain - lain
Negatip
Microscopic
Kimia klinik
Fungsi Hati
SGOT
69
0 - 84
U/L Opt
37 C
SGPT
43
0 60
U/L Opt
37 C
Urea N
9,7
4,0 19,0
mg/dL
Urease
Serum Kreatinin
0,3
0,2 0,4
mg/dL
Jaffe/Picrate
88
< 100
mg/dL
Hexokinase
Natrium
137
132 - 140
mEq/L
ISE
Kalium
5,6
3,5 5,6
mEq/L
ISE
Fungsi Ginjal
Gula Darah
Glukosa Darah
Sewaktu
Elektrolit
25
3.4.2
3.5 Diagnosis
Dari hasil pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang yang telah
dilakukan, dapat disimpulkan diagnosa klinis untuk pasien adalah Labiognatopalato
Schizis Unilateral Complete Sinistra.
3.6 Penatalaksanaan
Rencana perawatan pada pasien ini adalah melakukan labioplasty dalam NU
yang dilakukan pada tanggal 11 Juni 2014. Setelah persiapan alat, pasien, operator,
26
dan asisten operator, dilakukan tindakan aseptik ekstra oral dan intra oral dengan
betadine solution 10%. Hal pertama yang dilakukan adalah pembuatan pola insisi
dengan methylene blue. Setelah telah ditentukan pola insisi yang diinginkan,
kemudian dilakukan anestesi lokal pada daerah yang akan di insisi. Insisi dilakukan
sesuai pola yang telah dibuat, kemudian dilakukan diseksi jaringan dengan
menggunakan gunting jaringan. Setelah itu, dilakukan penjahitan mukosa, otot,
subkutan, dan kutan dengan menggunakan jahitan interrupted. Dilakukan aplikasi
antibiotik pada daerah penjahitan dan pemasangan tube pada nasal kiri. Kemudian
dilakukan penutupan daerah penjahitan dengan menggunakan sufratule dan hypafix.
Pasien diinstruksikan untuk mengganti perban 1x setiap hari, dan membuka
jahitan 7 hari setelah operasi. Pasien diberikan resep Amoxicillin 125 mg yang
diminum 3x sehari, serta kaltrofen yang diaplikasikan 2x dalam sehari.
27
DISKUSI
Pada tanggal 3 Juni 2014, pasien wanita berumur 4 bulan datang bersama
ibunya ke bagian Bedah Mulut Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung dengan keluhan
utama terdapat celah pada bibir kiri dan langit-langit pasien. Selama kehamilan (9
bulan) ibu pasien mengkonsumsi obat penambah darah, dan pada bulan ke-6
kehamilan ibu pasien mengkonsumsi obat pegal yang diresepkan oleh puskesmas. Ibu
pasien menyangkal pernah meminum jamu maupun obat-obatan lain, dan tidak
pernah terjatuh pada saat kehamilan. Pasien merupakan anak ke-4 dari 4 bersaudara
(G = 4; P = 4; A = 0). Kakak pasien (anak ke-2) juga menderita celah bibir. Ibu pasien
menyangkal adanya riwayat medis, alergi, maupun penyakit penyerta lainnya. Ibu
pasien berharap celah pada bibir anaknya dapat ditutup.
Pada pemeriksaan tanda vital diketahui keadaan umum pasien baik, kesadaran
compos mentis, jumlah denyut nadi 100 x/menit, pernafasan 60 x/menit, suhu tubuh
pasien 37C, dan skala nyeri ringan (0/10).
Pada status umum pemeriksaan fisik, diketahui turgor kulit positif, kepala
simetris, mata non anemis, pupil isokhor, sklera non ikhterik, kelenjar limfe tidak
teraba dan tidak sakit, bentuk dan gerak dada simetris, perut datar lembut, dan akral
ekstremitas hangat.
Pada status lokalisata pemeriksaan fisik, diketahui tidak terdapat kelainan
pada sendi temporomandibula, rahang, sistem saraf, dan kelenjar ludah. Pemeriksaan
28
ekstra oral dan intra oral menunjukkan terdapat celah unilateral complete pada bibir
kiri, gusi, dan palatum hingga mencapai uvula pasien. Seluruh gigi pasien belum
erupsi.
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan yaitu pemeriksaan laboratorium
lengkap dan foto rontgen thorax. Tidak terdapat kelainan yang ditemukan pada hasil
pemeriksaan tersebut.
Dari hasil pemeriksaan klinis dan pemeriksaan penunjang yang telah
dilakukan, dapat disimpulkan diagnosa klinis untuk pasien adalah Labiognatopalato
Schizis Unilateral Complete Sinistra.
Perawatan yang dilakukan pada pasien ini adalah labioplasty dalam NU yang
dilakukan pada tanggal 11 Juni 2014. Setelah persiapan alat, pasien, operator, dan
asisten operator, dilakukan tindakan aseptik ekstra oral dan intra oral dengan betadine
solution 10%. Hal pertama yang dilakukan adalah pembuatan pola insisi dengan
methylene blue. Setelah telah ditentukan pola insisi yang diinginkan, kemudian
dilakukan anestesi lokal pada daerah yang akan di insisi. Insisi dilakukan sesuai pola
yang telah dibuat, kemudian dilakukan diseksi jaringan dengan menggunakan gunting
jaringan. Setelah itu, dilakukan penjahitan mukosa, otot, subkutan, dan kutan dengan
menggunakan jahitan interrupted. Dilakukan aplikasi antibiotik pada daerah
penjahitan dan pemasangan tube pada nasal kiri. Kemudian dilakukan penutupan
daerah penjahitan dengan menggunakan sufratule dan hypafix.
29
Celah bibir dan langit-langit merupakan kelainan wajah yang paling umum
terjadi di seluruh dunia. Sebanyak 65% kelainan pada kepala dan leher adalah celah
bibir dan langit-langit. Setiap hari kurang lebih 700 bayi lahir ke dunia dengan
kelainan ini.
Celah bibir dan langit-langit terjadi ketika jaringan yang membentuk bibir dan
langit-langit gagal bersatu selama perkembangan embrio. Kelainan ini dapat
disebabkan oleh berbagai macam faktor, namun faktor utama penentu tejadinya
kelainan ini masih belum diketahui.
Penanganan
kelainan
celah
bibir
dan
celah
langit-langit
30
Tindakan
Konsultasi psikolog mempersiapkan orangtua dalam menerima
0 1 minggu
1 2 minggu
11 Minggu
aspirasi
Labioplasty, dengan mengikuti Rules of Ten:
18 - 24 bulan
18 bulan 4
tahun
4 6 tahun
6 8 tahun
9 11 tahun
31
DAFTAR PUSTAKA
Bailey, Byron J. 2001. Head and Neck Surgery: Otolangologist. 3th ed. Lippincott
Williams & Wilkins.
Balaji SM. 2007. Textbook Of Oral & Maxillofacial Surgery. New Delhi: Elsevier.
Gunarto S. A., Prihatiningsih. 2008. Rekonstruksi Celah Bibir Bilateral Pada Pasien
Pasca Operasi Labioplasti. Maj Ked Gi.
Hood, C. A., Hosey, M. T., Bock, M., White, J., Ray, A. & Ayoub A. F. 2004. Facial
Characterization of Infants with Cleft Lip and Palate Using a ThreeDimensional Capture Technique. Cleft Palate-Craniofacial Journal.
Kernahan, D. A. 1971. The Striped Y- a symbolic classification for cleft lip and
palate. Plastic and Reconstructive Surgery.
Langman J. Medical embryology.8thed. Baltimore: The Williams & Wilkins
Company.
Millard D. 1977. Cleft Craft. Boston. Little, Brown.
Pedersen W Gordon. 1996. Buku Ajar Praktis Bedah Mulut. Purwanto Basoeseno,
editor. Jakarta: EGC.
Riden K. 1998. Oral & Maxillofacial Surgery. United Kingdom: BIOS.
Ross. 1987. Treatment Variables Affecting Facial Growth In Unilateral Cleft Lip And
Palate Part 4: Repair Of The Cleft Lip. Cleft Palate Journal.
32
Oleh:
Ayu Pujiwati
160112130067
Pembimbing:
DR. Mantra Nandini, drg. Sp. BM (K). MARS
33