Anda di halaman 1dari 28

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tanaman Aren ( Arenga pinnata )
Aren (Arenga pinnata ) termasuk suku Arecaceae ( pinang pinangan ) ,
merupakan tumbuhan berbiji tertutup ( Angiospermae ) yaitu biji buahnya terbungkus
daging buah. Lain halnya dengan buah melinjo misalnya, yang biji buahnya hanya
terbungkus oleh kulit buah sehingga disebut dengan tumbuhan berbiji terbuka
( Gymnospermae ). Tanaman aren banyak terdapat mulai dari pantai timur India
sampai ke Asia Tenggara. Di Indonesia tanaman ini banyak terdapat hampir di seluruh
wilayah Nusantara ( Sunanto, 1993 ).
Buah aren terbentuk setelah terjadinya proses penyerbukan dengan perantaraan
angin atau serangga. Buah aren berbentuk bulat berdiameter 4 5 cm, di dalamnya
berisi biji 3 buah, masing masing terbentuk seperti satu siung bawang putih. Bagian
bagian dari buah aren terdiri dari :
1. Kulit luar, halus berwarna hijau pada waktu masih muda, dan menjadi kuning
setelah tua ( masak ).
2. Daging buah, berwarna putih kekuning kuningan.
3. Kulit biji , berwarna kuning dan tipis pada waktu masih muda, dan berwarna hitam
yang keras setelah buah masak.
Universitas Sumatera Utara
4. Endosperm, berbentuk lonjong agak pipih berwarna putih agak bening dan lunak
pada waktu buah masih muda; dan berwarna putih, padat atau agak keras pada
waktu buah sudah masak.
Gambar 2.1. Kulit buah aren muda berwarna hijau, buah berisi 3 biji, daging
buah berwarna putih kekuning kuningan

Gambar 2.2. Kulit biji berwarna kuning dan tipis pada buah aren muda,
endosperm biji lonjong dan pipih ( disebut : kolang kaling )

Buah yang masih muda adalah keras dan melekat sangat erat pada untaian
buah, sedangkan buah yang sudah masak daging buahnya agak lunak. Daging buah
aren yang masih muda mengandung lendir yang sangat gatal jika mengenai kulit,












Universitas Sumatera Utara
karena lendir ini mengandung asam oksalat. Buah yang setengah masak dapat dibuat
kolang kaling. Kolang kaling adalah endosperm biji buah aren yang berumur setengah
masak setelah melalui proses pengolahan . Setelah diolah menjadi kolang kaling, maka
benda ini mejadi lunak, kenyal, dan berwarna putih agak bening ( Sunanto, 1993).

2.1.1. Pembuatan Kolang Kaling
Diawali dengan pemilihan buah aren yang masih berada pada pohon aren,
yaitu satu tandan buah aren yang masih setengah masak ( tak terlalu muda dan belum
tua ), yang ditandai dengan warna kulit buah yang masih hijau segar. Ada 2 cara untuk
membuat kolang kaling, yaitu dengan membakar buah aren atau merebus buah aren.
Tujuan utama pembakaran atau perebusan itu adalah untuk menghilangkan lendir
buah yang menyebabkan rasa gatal. Dengan dibakar , maka daging buah menjadi agak
hangus, namun bijinya tidak hangus.
Buah yang telah direbus / dibakar kemudian dibelah daging buahnya dan
dilepaskan kulit biji yang tipis ( yang berwarna kuning ) sehingga tinggal biji aren
yang berwarna putih agak bening . Setelah biji aren tanpa kulit biji itu terkumpul,
kemudian dicuci dengan air bersih sehingga biji biji aren menjadi bersih. Siapkan
belanga berisi air larutan kapur, dan rendamlah biji biji aren yang sudah bersih itu
dalam larutan kapur selama 2 3 hari. Air kapur ini berfungsi mengendapkan segala
kotoran dan dapat lebih mengenyalkan biji biji buah aren . Selesai perendaman ini,
dapat dilihat biji biji aren yang terapung berwarna putih bersih agak bening yang
disebut dengan kolang kaling ( Sunanto, 1993).
Universitas Sumatera Utara
2.1.2. Kandungan Kimia Biji Buah Aren ( Arenga pinata )
Analisis terhadap endosperma biji aren telah menunjukkan bahwa komposisi
cadangan makanan yang dikandung endosperma tersebut berdasarkan berat keringnya
adalah 5,2% protein, 0,4% lemak, 2,5% abu, 39% serat kasar dan 52.9% karbohidrat (
Nisa, 1996 ). Karbohidrat di dalam biji aren (Arenga pinata ) pada umumnya adalah
galaktomannan yang mana molekul tersebut mempunyai rantai utama yang terdiri dari
residu ( 1 4 ) - - D- mannosa , dengan rantai samping yang berbeda yaitu residu
-D- galaktosa yang terikat dengan rantai utama dengan ikatan ( 1 6). Berat
molekul ditemukan beragam dari 6000 sampai dengan 17000 (Kooiman, 1971).
Galaktomannan dipisahkan dari ekstraks NaOH gelatin biji aren dengan
pengendapan menggunakan etanol setelah diasamkan. Crude yang dihasilkan berupa
polisakarida larut air dimurnikan lebih lanjut dengan kompleks tembaga memberikan
galaktomannan ( ~5% dari endosperma basah ) dengan [ ]
D
+50
0
( dalam air ) dan
[ ]
D
+35
0
( dalam 1M NaOH ) . Perbandingan mannosa terhadap galaktosa , yang
mana tidak berubah selama pemurnian adalah 2,26 : 1 . Estimasi dari berat molekulnya
memberikan nilai sebesar 17000 yang mana menandakan polisakarida yang ada dalam
biji aren adalah 73 residu mannosa dan 32 residu galaktosa ( Kooiman, 1971).

2.2 Kitosan
Kitosan adalah polisakarida alam yang diperoleh dari deasetilasi kitin dan
mempunyai reaktivitas yang baik disebabkan terdapatnya sejumlah gugus reaktif
Universitas Sumatera Utara
33











Gambar 2.3. N- deasetilasi dari kitin membentuk kitosan


hidroksil (-OH) dan amin ( - NH
2
) di dalam rantai polimernya. Kebanyakan
polisakarida yang terdapat di alam bersifat netral dan asam seperti selulosa, dekstran,
peptin, asam alginat, agarose dan carragenan sedangkan kitin dan kitosan adalah
contoh polisakarida yang bersifat basa. Melihat sifat hidrofilik, reaktifitas kimia,
kesanggupan membentuk film dan sifat mekanik yang baik, maka kitosan merupakan
bahan yang baik untuk digunakan dalam berbagai bidang aplikasi seperti pengkelat
logam dalam pengolahan air limbah, pembentukan film biodegradable dan pengawetan
makanan dari adanya gangguan bakteri ( Goosen, 1997 ).
Universitas Sumatera Utara
2.2.1. Kelarutan dari Kitosan
Kitosan adalah biomaterial yang diperoleh melalui N deasetilasi kitin dalam
suasana basa, yang mana baru baru ini mendapat perhatian yang khusus bagi ilmuan di
seluruh dunia. Kitosan merupakan kopolimer yang terdiri dari unit (14) -2-amino-
2-deoksi-D-glukopiranosa dan residu unit 2-asetamido-2-deoksi-D-glukopiranosa.
Walaupun rantai polimer tersebut terdiri dari gugus fungsi hidrofilik tetapi bersifat
hidrofobik di alam, kitosan tidak larut di dalam air dan pelarut pelarut organik pada
umumnya ( seperti DMSO, DMF, NMP, alkohol, piridin ). Tidak larutnya kitosan
dalam pelarut pelarut organik dikarenakan struktur kristalinnya, yang terikat berupa
ikatan hidrogen intramolekuler dan intermolekuler diantara rantai dan lapisannya
seperti terlihat pada Gambar 2.4 (Champagne, 2008).









Gambar 2.4. Ikatan hidrogen intramolekuler dan intermolekuler pada kitosan
Universitas Sumatera Utara
2.2.2. Mekanisme Sifat Antimikroba dari Kitosan
Dikarenakan muatan positif dari C2 dari monomer glukosamin pada pH 6,
kitosan lebih mudah larut dan memiliki aktivitas antimikroba yang lebih bagus dari
kitin ( Chen, 1998 ) . Mekanisme yang tepat dari sifat antimikroba dari kitin, kitosan
dan turunannya belum diketahui secara sempurna , tetapi mekanisme yang berbeda
telah dikemukakan ( Rabea et al., 2003 ). Salah satu alasan dari karakter antimikroba
kitosan adalah muatan positif dari gugus amino yang berinteraksi dengan muatan
negatif dari membran sel dari mikroba, sehingga menyebabkan hilangnya protein dan
konstituen intraseluler lain dari mikroorganisme ( Shahidi et al., 1999 ). Kitosan
bertindak pada permukaan luar bakteri. Pada konsentrasi rendah ( 0,2 mg/ml) ,
kitosan polikationik dapat berikatan dengan permukaan bakteri yang bermuatan
negatif yang menyebabkan aglutinasi , pada saat konsentrasi tinggi , muatan positif
dalam jumlah yang cukup besar mungkin telah memberikan muatan positif pada
permukaan bakteri untuk menjaga mereka berada dalam suspensi ( Papineau et al.,
1991 ; Sudarshan et al., 1992 ).
Studi berdasarkan absorpsi UV menandakan bahwa kitosan menyebabkan
hilangnya material proteinik terhadap Pythium oaroechandrum pada pH 5,8
( Liu et al., 2004 ). Kitosan juga bertindak sebagai bahan pengkelat yang secara
selektif mengikat logam dan menghambat pertumbuhan toksin dan mikroba
( Cuero et al., 1991 ). Kitosan juga mengaktivasi beberapa proses dalam jaringan
induk. ( El Ghaouth, et al., 1992 ), bertindak sebagai bahan pengikat air, dan
menghambat berbagai enzim. Terikatnya kitosan dengan DNA dan penghambatan
Universitas Sumatera Utara
sintesis mRNA terjadi melalui penetrasi kitosan terhadap inti sel dari mikroorganisme
dan turut serta dalam sintesis mRNA dan protein ( Sudarshan et al., 1992 ).
Mekanisme dari aktivitas antimikroba kitosan berbeda untuk bakteri Gram
positif dan Gram negatif ( Zheng and Zhu, 2003 ). Zheng dan Zhu membedakan
pengaruh kitosan pada S. Aureus ( Gram positif ) dan Escherichia coli ( Gram
negatif). Aktivitas antimikroba meningkat dengan meningkatnya berat molekul dari
kitosan. Berbeda dengan gram negatif, aktivitas antimikroba meningkat dengan
turunnya berat molekul dari kitosan. Yang mana dari hal ini dapat disimpulkan dua
perbedaan mekanisme dari aktivitas antimikroba : (1) dalam hal S.aureus, kitosan pada
permukaan sel dapat membentuk membran polimer , yang mana menghambat nutrient
dari masuknya ke sel, (2) Untuk E. coli, kitosan dengan berat molekul rendah
memasuki sel melalui cara yang tak wajar.
Pengaruh dari berat molekul dari beberapa aktivitas antibakteri dan antijamur
telah diselidiki ( Chen, 1998 ). Kitosan dengan berat molekul dari 10.000 sampai
dengan 100.000 telah ditemukan berguna dalam menghambat pertumbuhan bakteri,
kitosan dengan berat molekul rata rata 9300 secara efektif menghambat bakteri
E. coli, dimana dengan berat molekul 2200 dapat mempercepat pertumbuhan bakteri
( Tokura et al., 1994 ). Aktivitas antibakteri dari kitosan juga dipengaruhi oleh derajad
deasetilasi , konsentrasinya dalam larutan dan juga pH dari medium. Aktivitas
antibakteri juga ditemukan meningkat dengan urutan N,O-carboksimetil-kitosan,
kitosan dan O-karboksimetil kitosan ( Liu et al., 2001 ).
Universitas Sumatera Utara
Aktivitas antimikroba dari kitosan diamati terhadap berbagai jenis
mikroorganisme termasuk jamur dan beberapa bakteri. Aktivitas antimikroba
dipengaruhi oleh faktor intrinsik seperti jenis kitosan, derajad polimerisasi kitosan,
konstituen nutrien , komposisi kimia atau nutrien dari substrat dan kondisi lingkungan
( contoh aktivitas air dari substrat atau kelembabannya ). Pengembangan dari metode
baru untuk menghambat pertumbuhan bakteri patogen seperti bahan pengemas yang
ditambah bahan antimikroba telah dikembangkan baru baru ini
( Coma et al., 2002). Diantara polimer lain, kitosan telah diterima sebagai bahan
pembentuk film yang bersifat antimikroba untuk pengawetan makanan dikarenakan
biodegrabilitasnya, biokompabilitasnya, toksisitasnya dan aktivitas antimikrobanya.
Film kitosan mudah dibuat dengan penguapan dari larutan asam encernya ( Park et al.,
2002 ).
Kitosan telah dipelajari dalam bentuk aktivitas bakterisidal untuk mengontrol
pertumbuhan berbagai macam bakteri. Dalam bakteri gram positif, konstituen utama
dari dinding selnya adalah peptidoglikan dan sejumlah protein. Dinding sel dari gram
negatif dilain pihak lebih halus tetapi kompleks dan mengandung berbagai macam
polisakarida, protein dan lemak disamping peptidoglikan. J uga, dinding sel bakteri
gram negatif mempunyai membran bagian luar yang terdiri dari permukaan luar dari
dinding sel ( Black, 1996 ).
Pengaruh antimikroba dari edible film konjac glukomannan telah diperbaiki
dengan inkorporasi kitosan dan nisin ( Li et al., 2006 ). Dalam studi ini, kemanjuran
antimikroba telah dilakukan melawan empat bakteri patogen dari makanan yaitu E.
Universitas Sumatera Utara
coli, Staphylococcus aureus, Listeria monocytogenes, dan Bacillus cereus. Uji
aktivitas antimikroba telah dilakukan menggunakan metode difusi agar.
Aktivitas antimikroba dari film kitosan telah dipertinggi dengan inkorporasi
minyak bawang putih, kalium sorbat dan nisin ( Pranoto et al., 2005 ). Aktivitas
antimikroba telah diuji melawan bakteri patogenik pada makanan diantaranya E. coli,
Staphylcocus aureus, Salmonella typhimurium, L. Monocytogenes dan B. cereus . Uji
antimikroba telah dilakukan dengan metode difusi agar . Metode difusi agar adalah
metode yang secara umum digunakan untuk memeriksa aktivitas antimikroba
berkenaan dengan difusi dari senyawa yang diuji melalui air yang terkandung pada
agar. Inkorporasi bahan antimikroba pada edible film kitosan memperbaiki kemanjuran
antimikroba dari kitosan, dikarenakan aktivitas antimikroba yang terdifusi akan
ditambahkan pada potensi antimikroba yang tak berpindah dari kitosan. Telah
disimpulkan minyak bawang putih yang ditambahkan ke film kitosan menyebabkan
meningkatnya sifat antimikroba dan memiliki pengaruh yang kecil terhadap sifat fisik
dan mekanik dari film kitosan.
Aktivitas antimikroba dari film kitosan pati menggunakan perlakuan
microwave telah dilakukan menggunakan metode difusi agar ( Tripathi et al., 2008 ).
Aktivitas antimikroba dari film dan larutannya telah diuji melawan tiga kultur yang
berbeda yaitu E. coli, S.aureus dan Bacillus subtilis. Dan ditemukan bahwa larutan
dari kitosan pati menunjukkan efek penghambatan melawan ketiga bakteri tersebut
tetapi filmnya bersifat negatif ( Gambar 2.5 dan 2.6 ).

Universitas Sumatera Utara




Gambar 2.5. Efek penghambat dari larutan kitosan pati melawan (a) E. coli ;
(b) S.aureus; (c) B. subtilis ( Tripathi et al., 2008 )


Gambar 2.6. Efek penghambat dari film kitosan pati melawan (a) E. coli ;
(b) S.aureus; (c) B. subtilis ( Tripathi et al., 2008 )

2.3. Edible film
2.3.1. Edible Film dan Fungsi
Menurut Arpah ( 1997 ) dikutip




Christsania (2008 ) , edible packaging pada
bahan pangan pada dasarnya dibagi menjadi tiga jenis bentuk, yaitu edible film, edible
coating, dan enkapsulasi. Hal yang membedakan edible coating dengan edible film
adalah cara pengaplikasiannya. Edible coating langsung dibentuk pada produk,
sedangkan pada edible film pembentukannya tidak secara langsung pada produk yang
dilapisi / dikemas. Enkapsulasi adalah edible packaging yang berfungsi sebagai
pembawa zat flavor berbentuk serbuk. Edible film didefenisikan sebagai lapisan yang
Universitas Sumatera Utara
dapat dimakan yang di tempatkan di atas atau di antara komponen makanan ( Hui ,
2006 ) .
Edible film dapat bergabung dengan bahan tambahan makanan dan substansi
lain untuk mempertinggi kualitas warna, aroma dan tekstur produk, untuk mengontrol
pertumbuhan mikroba. Asam benzoat, natrium benzoat , asam sorbat, kalium sorbat
dan asam propanoat merupakan beberapa antimikroba yang ditambahkan pada edible
film untuk menghambat pertumbuhan mikroba. Asam sitrat , asam askorbat, dan ester
lainnya , Butylated Hydroxyanisole (BHA), Buthylated Hydroxytoluen (BHT),
Teritary Butylated Hydroxyquinone (TBHQ) merupakan beberapa antioksidan yang
ditambahkan pada edible film untuk meningkatkan kestabilan dan mempertahankan
komposisi gizi dan warna makanan dengan mencegah oksidasi ketengikan, degradasi,
dan pemudaran warna ( Krochta et al ., 1994 ).

2.3.2. Bahan Baku Edible Film
Komponen penyusun edible film dapat dibagi menjadi tiga macam yaitu :
hidrokoloid, lipida dan komposit. Hidrokoloid yang cocok antara lain senyawa protein,
turunan selulosa, alginat, pektin, pati dan polisakarida lainnya. Lipida yang biasa
digunakan waxes, asilgliserol, dan asam lemak. Sedangkan komposit merupakan
gabungan lipida dengan hidrokoloid ( Krochta et. al., 1994 )
Edible film dan coating dapat diklasifikasikan berdasarkan kemungkinan
penggunaannya dan jenis film yang sesuai , yang dapat dilihat pada Tabel 2.1.

Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. Kemungkinan Penggunaan Edible Film dan Coating
Sumber : Donhowe dan Fennema (1994) dalam









Penggunaan
Jenis F
Menghambat penyerapan uap air
Menghambat penyerapan gas
Menghambat penyerapan minyak
dan lemak
Menghambat penyerapan zat zat larut
Meningkatkan kekuatan struktur atau
memberi kemudahan penanganan
Menahan zat - zat volatil
Pembawa bahan tambahan makanan
Lipida, kom
kompos
Hidrokoloid
kompos
kompos
komposit
Hidr
komposit
ilm yang sesuai
posit
Hidrokoloid, lipida atau
it
Hidrokoloid, lipida atau
it
Hidrokoloid, lipida atau
it
Hidrokoloid, lipida atau
okoloid, lipida atau
Krochta et al. (1994)

2.3.2.1. Hidrokoloid
Hidrokoloid yang digunakan dalam pembuatan edible film adalah protein atau
karbohidrat. Film yang dibentuk dari karbohidrat dapat berupa pati, gum ( seperti
alginat, pektin dan gum arab ), dan pati yang dimodifikasi secara kimia. Pembentukan
film berdasar protein antara lain dapat menggunakan gelatin, kasein, protein kedelai,
protein whey, gluten gandum dan protein jagung. Film yang terbuat dari hidrokoloid
sangat baik sebagai penghambat perpindahan oksigen, karbondioksida dan lemak serta
memiliki karakteristik mekanik yang sangat baik sehingga sangat baik digunakan
untuk memperbaiki struktur film agar tidak mudah hancur ( Krochta et al., 1994 ).
Universitas Sumatera Utara
Polisakarida sebagai bahan dasar edible film dapat dimanfaatkan untuk
mengatur udara sekitarnya dan memberikan ketebalan atau kekentalan pada larutan
edible film. Pemanfaatan dari senyawa berantai panjang ini sangat penting karena
tersedia dalam jumlah yang banyak, harganya murah , dan bersifat nontoksik
( Nisperos-Carriedo, 1994 dalam Krochta et al., 1994 ).
Beberapa jenis protein yang berasal dari protein tanaman dan hewan dapat
membentuk film seperti zein jagung, gluten gandum, protein kedelai, protein kacang,
keratin, kolagen, gelatin, kasein, dan protein dari whey susu, karena sifat dari protein
tersebut yang mudah membentuk film. Albumin telur dapat digunakan sebagai bahan
pembentuk film yang baik yang dikombinasikan dengan gluten gandum, dan protein
kedelai ( Krochta et al., 1994 ) .

2.3.2.2. Lipida
Film yang berasal dari lipida sering digunakan sebagai penghambat uap air,
atau bahan pelapis untuk meningkatkan kilap pada produk produk kembang gula. Film
yang terbuat dari lemak murni sangat terbatas dikarenakan menghasilkan kekuatan
struktur film yang kurang baik ( Krochta et al., 1994 ). Karakteristik film yang
dibentuk oleh lemak tergantung pada berat molekul dari fase hidrofilik dan hidrofobik,
rantai cabang dan polaritas. Lipida yang sering digunakan sebagai edible film antara
lain lilin (wax) seperti parafin dan carnauba, kemudian asam lemak, monogliserida dan
resin ( Hui, 2006 ). J enis lilin yang masih digunakan hingga sekarang yaitu carnauba.
Universitas Sumatera Utara
Alasan mengapa lipida ditambahkan dalam edible film adalah untuk memberi sifat
hidrofobik (Krochta et al., 1994 ).

2.3.2.3. Komposit
Komposit film terdiri dari komponen lipida dan hidrokoloid. Aplikasi dari
komposit film dapat dalam lapisan satu-satu ( bilayer ), di mana satu lapisan
merupakan hidrokoloid dan satu lapisan lain merupakan lipida, atau dapat berupa
gabungan lipida dan hidrokoloid dalam satu kesatuan film. Gabungan dari hidrokoloid
dan lemak digunakan dengan mengambil keuntungan dari komponen lipida dan
hidrokoloid. Lipida dapat meningkatkan ketahanan terhadap penguapan air dan
hidrokoloid dapat memberikan daya tahan terhadap gas . Film gabungan antara lipida
dan hidrokoloid ini dapat digunakan untuk melapisi buah buahan dan sayuran yang
telah diolah ( Krochta et al., 1994 ).

2.3.3. Sifat Sifat Fisik Edible Film.
2.3.3.1. Aktivitas Air (a
w
)
Pertumbuhan dan metabolisme mikroba memerlukan air dalam bentuk yang
tersedia. Air yang dimaksudkan adalah air bebas atau air yang tidak terikat dalam
bentuk ikatan dengan komponen-komponen penyusun bahan pangan lain. Oleh karena
itu, besarnya kadar air suatu bahan pangan bukan merupakan parameter yang tepat
untuk menggambarkan aktivitas mikroba pada bahan pangan. Aktivitas kimia air atau
sering diistilahkan aktivitas air ( water activity =a
w
) merupakan parameter yang lebih
Universitas Sumatera Utara
tepat untuk mengukur aktivitas mikroba pada bahan pangan (
Nurwantoro dan Abbas , 1997; Purnomo, 1995 ).
Dengan demikian, pengetahuan tentang a
w
suatu bahan pangan mempunyai
nilai praktis untuk meramalkan populasi mikroba yang berperan dalam kerusakan
bahan pangan sehingga tipe dan bentuk kerusakan yang terjadi dapat diketahui. Selain
itu, a
w
suatu bahan pangan juga dapat digunakan sebagai indikator dalam usaha
pengawetan bahan pangan, antara lain dehidrasi ( pengeringan ) , penggaraman dan
penggulaan ( Nurwantoro dan Abbas , 1997 ).
Berdasarkan hukum Raoult, a
w
berbanding lurus dengan jumlah mol pelarut
(solvent) dan berbanding terbalik dengan jumlah mol larutan (solute), dan dirumuskan
sebagai berikut :
a
w
=
2 1
1
n n
n
+

dimana : n
1
=jumlah mol solute ( bahan terlarut )
n
2
=jumlah mol solvent ( pelarut atau air ).
Aktivitas air berkaitan dengan Equilibrium Relative Humidity ( ERH), yaitu
perbandingan antara tekanan uap larutan dengan air murni dan dinyatakan dalam
persentase. Kaitan antara ERH dengan a
w
dirumuskan sebagai berikut :
ERH = a
w
x 100%
Akan tetapi ERH terbatas pada atmosfir serta dalam keseimbangan dengan
larutan atau bahan pangan sehingga kurang sesuai untuk menggambarkan ketersediaan
air ( air bebas ). J ika larutan dipekatkan atau bahan pangan dikurangi kadar airnya,
Universitas Sumatera Utara
maka akan terjadi penurunan a
w
. Nilai maksimum a
w
=1. Nilai ini diperoleh pada air
murni. Semakin pekat larutan atau semakin berkurang kadar air bahan pangan, nilai a
w

semakin rendah.
Sebagian besar mikroba ( terutama bakteri ) tumbuh baik pada bahan pangan
yang mempunyai a
w
0,9 0,97; khamir membutuhkan a
w
0,87 0,91 dan kapang
membutuhkan a
w
0,8 0,91. Bakteri halofilik adalah bakteri yang toleran terhadap
kadar garam tinggi, dapat tumbuh pada bahan pangan yang mempunyai nilai a
w
0,75.
Khamir osmofilik merupakan khamir yang toleran terhadap tekanan osmotik tinggi
( misalnya gula ), dapat tumbuh pada bahan pangan yang mempunyai nilai a
w
0,60.
Kapang xerofilik merupakan kapang yang mampu tumbuh pada bahan pangan yang
kering ( nilai a
w
0,65 ) ( Nurwantoro dan Abbas , 1997 ).
Pengukuran aktivitas air terhadap suatu bahan pangan sampai saat ini masih
berdasarkan pengukuran kelembaban relatif berimbang dari bahan tersebut terhadap
lingkungannya. Oleh karena itu ekstrapolasi menjadi cara pengukuran yang lebih
penting dari pada tekniknya.
Pengukuran relatif berimbang dapat dilakukan dengan antara lain dengan kurva
interpolasi, teknik manometrik, keseimbangan bitermal, higrometer rambut,
keseimbangan isopiestik, higrometer listrik, metode kimia dan penurunan titik beku.
Masing masing metode memiliki kelemahannya sendiri. Yang terpenting adalah bahwa
metode maupun peralatan yang dipakai harus menghasilkan pengukuran yang tepat,
dapat diulang, cepat, murah, mudah dibawa, mudah cara pemakaiannya ( Purnomo,
1995 ).
Universitas Sumatera Utara
2.3.3.2. Laju Transmisi Uap Air ( WVTR )
Laju Transmisi Uap air adalah massa dari uap air yang terbawa melalui suatu
luas tertentu dalam satuan waktu yang dikondisikan dalam temperatur dan kelembaban
yang spesifik. Myllareinen et al., 2002 melaporkan bahwa laju respirasi dari film
polisakarida bergantung pada ketebalan dari film tersebut. Laju respirasi uap air sangat
berpengaruh besar terhadap masa simpan dari makanan.
Meningkatnya jumlah kitosan dalam pembuatan film glukomanan kitosan
nisin dapat menurunkan laju respirasi uap air ( WVTR ) , sebaliknya dengan
meningkatnya glukomanan meningkatkan WVTR , hal ini mungkin diakibatkan
meningkatnya interaksi intermolekuler dan menurunnya pergerakan dari glukomanan
dan kitosan ( Li et al., 2006 ).
Laju respirasi uap air bergantung pada jumlah gliserol yang digunakan.
Arvanitoyannis dan Biliaderis (1999) menyatakan bahwa dikarenakan sifat hidrofilik
dari gliserol dapat mengurangi sifat penahan uap air dalam film pelapis kitosan.
Peranan gliserol yang lain adalah mengurangi densitas pengemasan , sehingga
meningkatkan permeabilitas film pati terhadap uap air, sehingga meningkatkan
kemampuan difusi uap air.

2.3.3.3. Laju Respirasi Gas O
2
dan Gas CO
2

Bahan pangan hasil pertanian setelah pemanenan secara fisiologis masih hidup
dan reaksi metabolisme akan tetap berlangsung. Reaksi metabolisme
Universitas Sumatera Utara
menyebabkan terjadinya perubahan mutu dan kondisi bahan pangan tersebut. Proses
tersebut akan terus berlangsung dan selalu mengakibatkan perubahan yang akhirnya
menyebabkan kerusakan ( Winarno dan Aman , 1981 ).
Metabolisme ditujukan untuk memenuhi keperluan-keperluan yang dibutuhkan
oleh bahan tersebut agar dapat melangsungkan kehidupannya. Keperluan tersebut
terutama dalam bentuk energi. Dalam sistem biologi, energi dapat diperoleh dengan
beberapa cara, yaitu dapat dengan cara fotosintesa, respirasi atau fermentasi
( Winarno dan Aman , 1981 ).
Respirasi merupakan pemecahan bahan-bahan kompleks dalam sel seperti pati,
gula dan asam asam organik menjadi molekul sederhana seperti karbon dioksida dan
air, bersamaan dengan terbentuknya energi dan molekul lain yang dapat digunakan sel
untuk reaksi sintesa ( Willis et al., 1981 ).
Perubahan laju respirasi dapat diketahui dengan mengukur perubahan
kandungan gula, jumlah ATP dan jumlah CO
2
yang dihasilkan ( Winarno dan Aman,
1981 ). Biasanya respirasi ditentukan dengan pengukuran laju konsumsi O
2
atau
dengan penentuan laju produksi CO
2
(Pantastico, 1993 ).
Laju produksi produk segar merupakan indikator yang baik terhadap aktivitas
metabolisme jaringan dan merupakan pedoman potensi masa simpan produk segar
( Wilis et al., 1981 ).
Laju respirasi dipengaruhi oleh umur panen, suhu penyimpanan, komposisi
udara, adanya luka serta komposisi bahan kimia. Setiap peningkatan 10
0
C maka laju
Universitas Sumatera Utara
respirasi meningkat 2 kali lipat, tetapi pada suhu diatas 35
0
C laju respirasi menurun
karenan aktivitas enzim terganggu yang mengakibatkan difusi oksigen terhambat.
MAP ( Modified Atmosphere Packaging ) dari makanan segar mengandalkan
modifikasi atmosfer di dalam pengemas, yang diperoleh dengan sifat saling
mempengaruhi antara dua proses, yaitu respirasi dari produk dan transfer dari gas
melalui pengemas, yang menimbulkan suatu keadaan atmosfer yang lebih kaya akan
CO
2
dan lebih sedikit akan O
2
. Atmosfer ini secara potensial mengurangi laju
respirasi produk dan sensitivitas etilena , pembusukan, perubahan fisiologis dan
oksidasi ( Kader et al., 1989; Saltveit, 1993 ). MAP dapat didefenisikan sebagai
kondisi dimana menciptakan suatu atmosfer yang paling cocok untuk memperpanjang
penyimpanan dari makanan dengan mengurangi waktu yang diperlukan untuk
mencapai atmosfer ini. Ini dapat dilakukan dengan cara mencocokkan laju
permeabilitas O
2
dan CO
2
dengan laju respirasi dari produk yang dikemas
( J acxsens et al., 2000 ).
Ikan adalah produk makanan yang paling mudah busuk dan masa simpannya
terbatas pada kondisi udara normal yang diakibatkan oleh pengaruh-pengaruh kimia
dari atomosfer oksigen dan pertumbuhan mikroorganisme aerobik di udara. MAP
dapat menurunkan konsentrasi oksigen dan meningkatkan jumlah karbon dioksida /
nitrogen, sehingga dapat memperpanjang masa simpan dari produk produk makanan
yang cepat busuk pada kondisi dingin ( Parry , 1993 ). MAP dan vakum packaging
(VP) , yang diikuti dengan pendinginan , telah menjadi teknik pengawetan yang
populer sekarang ini, yang mana telah membawa perubahan yang besar dalam proses
Universitas Sumatera Utara
penyimpanan , distribusi dan pemasaran bahan mentah dan produk-produk yang telah
diolah dengan permintaan para konsumen. Sistem MAP dan VP dapat memberikan
perbaikan yang baik dalam memperpanjang masa simpan dari makanan laut (Church,
1998 ).
Masa simpan dari produk-produk ikan dalam MAP dapat diperpanjang,
bergantung dari bahan mentahnya, suhu, campuran gas dan bahan pengemas ( Farber,
1991 ). Ikan yang mengandung konsentrasi histamin yang cukup tinggi dapat
menyebabkan keracunan dan reaksi alergi bagi konsumen. Histamin dihasilkan dari
dekarboksilasi mikrobial dari asam amino histidin. Pentingnya mengestimasi
konsentrasi histamin dalam ikan dan produk-produk ikan dihubungkan dengan
pengaruh pada kesehatan manusia dan kualitas dari makanan. Pembentukan histamin
dalam MAP lebih rendah dibandingkan dengan dalam udara ( Ozogul et al., 2002 ;
Watts and Brown , 1982 ).

2.4. Ekologi Mikroba pada Bahan Pangan
Pencemaran Mikroba pada bahan pangan merupakan hasil kontaminasi
langsung atau tidak langsung dengan sumber sumber pencemar mikroba, seperti tanah,
udara, air , tebu, saluran pencernaan , dan pernafasan manusia atau hewan. Namun
demikian hanya sebagian saja dari berbagai sumber pencemar yang berperan sebagai
sumber mikroba awal yang selanjutnya berkembang biak pada bahan pangan sampai
jumlah tertentu. Hal ini berakibat populasi mikroba pada berbagai jenis bahan pangan
umumnya sangat spesifik, tergantung dari jenis bahan pangannya, kondisi lingkungan,
Universitas Sumatera Utara
dan cara penyimpanannya. Dalam batas batas tertentu kandungan mikroba pada bahan
pangan tidak banyak bergantung pada ketahanan bahan pangan tersebut. Akan tetapi,
apabila kondisi lingkungan memungkinkan mikroba untuk tumbuh dan berkembang
lebih cepat, maka bahan pangan akan rusak karenanya. Contoh, susu yang
mengandung bakteri asam laktat akan dirusak oleh bakteri tersebut. Daging dirusak
oleh bakteri gram negatif dan lain lain ( Nurwantoro dan Abbas , 1997 ) .

2.4.1. Kerusakan Mikrobiologis
Kerusakan mikrobiologis bahan pangan hewani merupakan bentuk kerusakan
yang paling merugikan. Terkadang kerusakan mikrobiologis ini dapat membahayakan
kesehatan konsumen, karena racun yang dihasilkan oleh mikroba dapat terkonsumsi
pula.
Kerusakan mikrobiologis pada produk hewani tidak hanya terjadi pada bahan
mentah , tetapi juga terjadi pada bahan setengah jadi maupun bahan jadi ( produk
olahan ) yang siap dikonsumsi. Produk produk pangan hewani yang sudah dikemas
dalam kaleng, botol maupun plastik dapat juga mengalami kerusakan oleh mikroba.
Pada umumnya adalah protein yang merupakan bahan kering terbesar yang terdapat di
dalam pangan hewani. Daging mamalia mengandung 16 22% protein ( Buckle et al.,
1986 ). Daging ayam mengandung 23,4% protein ( Fielsd, 1979 ). Telur ayam, susu
sapi dan ikan segar masing masing mengandung protein sebesar 12,8%; 3,2% dan 14
17% ( Direktorat Gizi, 1981 ).
Universitas Sumatera Utara
Pencemaran oleh Clostridium aerofoeticum; C. histolyticum dan C. welchii
akan menghasilkan bau busuk. Bakteri bakteri fakultatif anaerob seperti
Pseudomonas putrefaciens, Flavobacterium elastolyticum atau Proteus vulgaris juga
dapat menyebabkan dekomposisi protein yang akan menghasilkan campuran berbagai
metabolit berbau busuk , seperti indol, kadaverin dan skatol. Metabolit yang berbau
busuk ini berasal dari pemecahan bahan bahan organik yang mengandung senyawa
senyawa nitrogen yang mempunyai bobot molekul rendah seperti peptida dan asam
amino. Hidrolisis protein oleh mikroba proteolitik menyebabkan perubahan tekstur
pada produk. Hal ini disebabkan koagulasi dan likuifikasi protein struktural seperti
kolagen dan elastin.
Pada umumnya pangan hewani mengandung protein yang cukup, dalam bentuk
berbagai asam amino. Selain itu juga mengandung karbohidrat, asam laktat dan
vitamin. Komponen komponen tersebut dengan cepat digunakan oleh mikroba dalam
metabolismenya. Salah satu hasil dari proses metabolisme tersebut adalah
pembentukan bau busuk ( pembusukan ) ( Nurwantoro dan Abbas , 1997 ).

2.4.2. Penyakit Akibat Mikroba Pangan
Penyakit yang ditimbulkan oleh mikroba dengan perantaraan pangan dapat
dibedakan menjadi 2 golongan , yaitu infeksi dan keracunan. Infeksi terjadi apabila
mengkonsumsi pangan atau minuman yang mengandung mikroba patogen yang
jumlahnya cukup untuk menimbulkan penyakit. Keracunan pangan disebabkan
mengkonsumsi pangan yang mengandung senyawa beracun. Senyawa beracun ini
Universitas Sumatera Utara
mungkin terdapat secara alamiah dalam tanaman atau hewan atau dihasilkan oleh
mikroba.
1. Escherichia coli
Bakteri Escherichia coli berbentuk batang dengan panjang 1 3 m dan lebar
0,4 0,7 m. Bersifat Gram Negatif, tidak berkapsul dan dapat ber erak aktif.
Escherichia coli umumnya diketahui terdapat secara normal dalam alat pencernaaan
manusia dan hewan. Pangan yang sering terkontaminasi bakteri ini adalah susu, air
minum, daging, keju , dan lain lain. Pencegahannya antara lain pangan perlu
didinginkan dengan baik, menjaga higine, mencegah air dari kontaminasi oleh
tinja/kotoran atau air perlu diberi perlakuan klorinasi.

2. Shigella
Bakteri shiglla berbentuk batang dengan panjang 2 3
g
m dan lebar 0,5 0,7
m. Termasuk bakteri Gram Negatif, bersifat fakultatif anaerob , tidak membentuk
kapsul, tidak membentuk spora dan tidak dapat bergerak. Wabah penyakit yang
disebabkan oleh Shigella disebut shigellosis ( disentri basiler ) yang kebanyakan
disebabkan oleh air yang terkontaminasi bakteri ini. Pangan yang sering
terkontaminasi adalah susu, es krim, kentang, ikan tuna, ikan salmon, udang, daging
kalkun dan makaroni. Pencegahannya adalah dengan memperhatikan higine, perlakuan
pendinginan dengan segera, dan pemanasan ( dimasak ), air diklorinasi, serta
menghindarkan pangan dari kontak dengan lalat.
Universitas Sumatera Utara
3. Staphylococcus Aureus
Bakteri ini berbentuk bola dengan garis tengah 1 m tersusun dalam
kelompok kelompok tidak teratur ( menyerupai buah anggur ) . Dapat pula tersusun
empat empat ( tetrad ) , membentuk rantai ( 3-4 sel ), berpasangan atau satu-satu.
Bersifat Gram Positif, tidak dapat bergerak , tidak membentuk spora, aerob dan ada
yang fakultatif anaerob serta tidak membentuk kapsul. Staphylococcus aureus
menghasilkan tujuh tipe enterotoksin ( A, B, C, C1, C2, D dan E ). Keracunan pangan
biasanya disebabkan oleh tipe A dan D. Kisaran suhu untuk produksi toksin adalah 4
46
0
C. Pada keadaan aerob, a
w
minimum untuk pertumbuhan adalah 0,86. Sedangkan
pada keadaan anaerob adalah 0,90. Pangan yang sering tercemar oleh Staphylococcus
aureus adalah daging unggas, daging merah dan produknya, ikan dan produknya, serta
susu dan produknya. Pencegahannya adalah dengan sanitasi, pemasakan, pendinginan
pangan secukupnya atau menurunkan pH pangan ( Nurwantoro dan Abbas , 1997 ).

4. Salmonella
Bakteri Salmonella berbentuk batang dengan panjang 1 3 m dan lebar 0,5
0,7 m. Sebagian bakteri ini dapat bergerak karena memiliki fl itrik. Bakteri
ini bersifat gram negatif, tidak membentuk spora. Tumbuh optimum pada suhu 37
0
C.
Pada suhu kurang dari 6,7
0
C dan lebih dari 46,6
0
C pertumbuhannya terhenti, tetapi
hidup pada air yang membeku. Bakteri ini mati pada pemanasan 60
0
C selama 30
menit. Salmonella tumbuh baik pada pangan berasam rendah dengan aw 0,93 0,94.
agella per
Universitas Sumatera Utara
Unggas dikenal sebagai pembawa alami bakteri Salmonella. Apabila unggas
terinfeksi oleh Salmonella, maka dalam kotoran , daging dan telurnya akan ditemukan
bakteri ini. Pangan lainnya yang sering tercemar Salmonella adalah sosis, ikan asap,
susu segar, es krim, coklat susu dan pangan yang dibuat dari telur. Ada dua jenis
penyakit yang ditimbulkan oleh Salmonella , yaitu Salmonellosis dan Demam Tifus
( Nurwantoro dan Abbas , 1997 ).

5. Pseudomonas aeruginosa
Pseudomonas aeruginosa adalah gram negatif ( 0,5 0,8 x 1,5 8 m ), yang
bergerak dengan flagella dan ditemukan tunggal, berpasangan atau dalam rantai
pendek . Pertumbuhan optimum dari Psedomonas aeruginosa adalah 37
0
C.
Pertumbuhan terjadi pada temperatur di atas 42
0
C, tetapi tidak pada suhu 4
0
C. Bakteri
ini tidak memerlukan material organik dan mampu menggandakan diri pada pada
jangkauan substrat yang lebar ( lebih dari 82 senyawa organik ). Organisme ini juga
mampu menghasilkan enzim ektraseluler dan lapisan kotoran yang luas, yang dapat
memberi daya tahan terhadap berbagai bahan antimikroba (Bennik, 1999 ).
Pseudomonas aeruginosa memiliki kemampuan membentuk biofilm pada
bahan yang umumnya digunakan dalam industri baja, karet dan teflon. Biofilm
tersebut mungkin berbahaya bagi kesehatan dengan mengandung bakteri patogen,
Walaupun P.aeruginosa tidak dianggap sebagai bakteri yang berbahaya bagi kesehatan
Universitas Sumatera Utara
manusia, Bakteri ini dapat meningkatkan kelangsungan hidup dari spesies patogen lain
di dalam campuran kultur biofilm (Bennik, 1999 ).

2.5. Uji Biodegradabilitas Film Biodegradable
Proses biodegradable ini diperlukan untuk mempelajari tingkat ketahanan film
yang dihasilkan kaitannya dengan pengaruh mikroba pengurai, kelembaban tanah dan
suhu bahkan faktor fisik yang lain. Secara kimiawi , film yang dihasilkan jelas bersifat
biodegradable, hal itu disebabkan oleh bahan baku yang digunakan adalah bahan baku
organik dan alamiah yang mudah berinteraksi dengan air dan mikroorganisme lain
bahkan sensitif terhadap pengaruh fisik/kimia lingkungan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi tingkat biodegradabilitas kemasan setelah
kontak dengan mikroorganisme , yakni : sifat hidrofobik, zat aditif, proses produksi,
struktur polimer, morfologi dan berat molekul bahan kemasan. Proses terjadinya
biodegradasi film kemasan pada lingkungan alam dimulai dengan tahap degradasi
kimia dengan proses oksidasi, menghasilkan polimer dengan berat molekul yang
rendah. Proses berikutnya ( secondary process ) adalah serangan mikroorganisme (
bakteri, jamur dan alga ) dan aktivitas enzim ( intraseluler, ekstrseluler ). Contoh
mikroorganisme di antaranya bakteri fototrof ( Rhodospirillium, Rhodopseudomonas,
Chromatium, Thiocystis), pembentuk endospora ( Bacillus, Clostrididum ) , gram
negatif aerob ( Pseudomonas, Zoogloa, Azotobacter, Rhizobium ) , jamur ( Aspergillus
niger ) .
Universitas Sumatera Utara
Uji biodegradasi dapat dilakukan dalam cawan petri yang berisi jamur atau
bakteri. Cawan petri ditutup dan diinkubasi pada temperatur konstan antara 21 dan 28
hari. Hilangnya berat, uji mekanik dan elektrik dapat dilakukan untuk uji material
setelah dilakukan biodegradasi ( Chandra and Rustgi , 1998 ) .



























Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai