Anda di halaman 1dari 8

SURAT TINTA MERAH

Cerpen Karya Audhina Novia Silfi



Surat itu masih terdiam membisu tanpa kata keluar darinya, tergolek lemas diam di atas meja,
tanpa ada yang mau menyentuhnya, Aku pun enggan memegangnya apalagi membacanya.
Aku benci dia.
***

Pagi hari sebelum keberangkatanku meninggalkan daerah yang sangat ku cintai ini, sudah
nampak jelas di wajahku, Aku malas pergi ke Cianjur. Aku sudah teramat nyaman dengan
tanah yang aku tapaki sejak kecil, Kudus kota kretek membuatku rindu pada almarhum
nenek, Yah! Beginilah setelah nenek meninggal aku harus segera menyusul Ibu untuk tinggal
di Cianjur, di rumah bapak, tepatnya daerah asal usul bapakku. Sebagai anak yang paling
kecil aku hanya harus menurut apa saja yang di pilih Ibu untuk hidupku, Ya walau aku juga
harus mengorbankan kehidupan SMP ku untuk ku pindah di Cianjur, Aku harus meretas
harapan Ibu ku yang selalu ingin aku ini menjadi orang sukses seperti abangku yang sudah
malang melintang mencari nafkah untuk keluarga. Mas Amdar, abangku yang sangat aku
bangga-banggakan. Dia bisa menggantikan tugas bapakku yang terlampau salah menapak
jalan.


Surat Tinta Merah - Cerpen Ayah dan Ibu
Fina, bukan satu satunya sahabatku yang sedih akan keberangkatanku meninggalkan Kudus
nanti sore. Aku putuskan pagi itu aku berkeliling bersama Fina dengan sepeda ontel
peninggalan almarhum kakek, Aku sangat semangat sekali dan sambil bernostalgia dengan
Fina dengan masa-masa yang sudah terlewatkan.
Wan, Aku kayaknya bakal kangen banget sama kamu lho Wan.Ucapnya sambil menyusul
laju sepedaku yang sedikit mendahuluinya
Halah, nggak usah kayak gitu, toh masih bisa komunikasi lewat surat to? Atau malah suatu
hari nanti dunia makin canggih, siapa tau kita bakal gampang komunikasi yo?
Amin yo Wan, oya Wan inget nggak? Dulu Pak Kodir selalu aja, negur kita gara-gara kita
selalu hampir telat masuk gerbang sekolah?Nostalgia Fina
Iya Fin aku masih inget, itu kan hampir tiap hari kita begitu kelakuannya?yo to? Lagian kita
yang aneh juga, udah tau bawa sepeda eh malah di tuntun sambil jalan, gimana nggak telat?
Kami pun tertawa, mengingat betapa polosnya kami setiap hari menghadapi Pak Kodir
satpam SMP ku. Aku tertawa senang bersamanya, mungkin tawa itu akan langka ku dapat
lagi, tawa dari mulut Fina, sahabat setiaku di Kudus. Aku selalu menghela nafas seperti rasa
sedih tetapi bercampur amarah, sangat sulit di jelaskan, itu ku lakukan setiap kali ingat di
sepanjang perjalanan menyusuri rumah ke rumah teman-temanku untuk ku pamiti. Fina selalu
saja membuatku mrebes mili, sampai sesulit ini ya meninggalkan bagian hidup yang telah
lama ku tapaki, Kudus Oh Kudus.
***

Pagi berubah jadi siang lalu siang berubah jadi sore, Sore dan perpisahan akhirnya datang, Ku
hirup nafas panjang lalu melepasnya dengan lega dan ku ucap basmallah meninggalkan
tempat kelahiranku. Kudus mungkin akan menyimpan segala kenangan masa kecilku
bersama orang-orang yang ku cintai, aku berjanji setiap ada kesempatan aku ingin kembali ke
Kudus.
Fin, komunikasi kita jangan sampai putus yo? ku berteriak dengan suaraku yang parau
karena sambil menangis terharu. Fina dan beberapa kerabatku melepas kepergianku bersama
abangku Mas Amdar yang menjemputku dari Cianjur. Ibu sengaja tak ikut dengan Mas
Amdar, katanya takut sedih melihat perpisahanku dengan Kudus. Ibu ku pernah bilang
denganku bila 100 hari nenek sudah berlalu, Maka aku harus bersiap menuju kehidupan baru
di Cianjur. Hari ternyata sama cepatnya dengan cahaya ku rasakan begitu. Kenapa perpisahan
selalu ada? Agar kita bisa menghargai pertemuan yang di gariskan oleh-Nya, Subhanallah

Mas Amdar dan aku berangkat ke terminal sore itu dan baru pada maghribnya bus tujuan
Kudus-Cianjur hadir juga, untung saja beberapa waktu sebelumnya Mas Amdar mengajakku
untuk menjamak sholat Isya dan Maghrib di mushola terminal. Sehingga keberangkatan
kami senantiasa tenang kerena sudah melaksanakan kewajiban.

Tengah malam kami sudah sampai di Karang Anyar itu berarti tak lama lagi kami sampai di
Cianjur. Rasanya sangat ingin sekali segera sampai dan memeluk hangatnya kasih sayang
ibuku. Dan akhirnya sudah di perkirakan pada saat adzan Subuh Aku dan Mas Amdar sudah
sampai di rumah. Ibu sudah bersiap menyambut kedatanganku, dan betapa senangnya aku
memeluk Ibuku itu.
Buk Cianjur ndak berubah ya?tanyaku
memang ndak ada Wanda, yang rubah itu cuma bapakmu.ucap Ibuku sambil setengah
bercanda
Stt ah, mbok jangan ngomongin orang itu, kita kan baru sampai to bubu..Ucap Mas
Amdar memotong bincangku bersama Ibu.
Yo wes lah, Kalian baiknya sholat subuh dulu lalu tidur, nanti kalau sudah bangun jangan
lupa langsung mandi ya?Suruh ibuku
Iya bu.
Aku membawa koper besar yang penuh barang-barangku ke kamar yang berada di sebelah
kamar Ibuku, Leganya bisa selamat sampai tempat tujuan. Dan di Cianjur semuanya di mulai
dengan sama biasanya seperti di Kudus. Oya! Sekolah. Mas Amdar sudah mengurusi
kepindahan sekolahku di sebuah sekolah SMP di Cianjur, dan di sana aku benar-benar harus
beradaptasi dengan kerasnya, wong sudah jelas adat istiadatnya, bahasanya, sampai sikap
orang-orangnya saja bertautan jauh dengan tempat kelahiranku. Seperti biasa aku menghela
nafas panjang sebelum melaksanakan suatu hal yang baru saja aku mulai, setelah dua hari
menganggur tetapi tak sepenuhnya menanggur karena aku sibuk mempersiapkan keperluan
sekolah untuk ku pakai di SMP baruku nanti, mulai belanja seragam sekolah sampai tetek
bengek kaos kaki dan hal yang paling kecil dan besar sibuk ku persiapkan bersama ibuku,
Kebetulan Mas Amdar sudah kembali bekerja ke Kalimantan, jadi Ibu sangat kesusahan
dengan ku yang selalu merepotkannya. Untung saja makhluk yang satu ini adalah makhluk
yang selalu tidak kentara bila mengeluh, atau bahkan bisa di bilang dia tak pernah mengeluh.
Aku sayang Ibu ku selamanya.

Sampai malam tiba aku masih sibuk mempersiapkan apa-apa saja yang harus ku kenakan dan
ku bawa untuk bersekolah di hari pertama di sekolah baruku. Akhirnya ibuku mengomeliku
untuk segera berangkat ke alam mimpi agar esoknya tidak kesiangan.
***

Pagi hari yang indah sejak subuh aku sudah bangun dan bersiap beranjak pergi ke sekolah,
bahkan aku tak sama sekali minta di temani ibuku ke sekolah baruku karena memang
keberadaan sekolah itu sudah lama di tunjuk ibu saat sepulang dari berbelanja di pasar ,
sehingga aku tahu pasti keberadaan sekolah itu.

Ku hela nafas lagi, mungkin terlalu banyak aku mengeluh hingga beribu helaan nafas ku
hembuskan. Beginilah nasib anak baru, sejak aku masuk dari gerbang sampai ke kantor
sekolah aku terus saja di pandangi, Aku sangat risih di tatap heran oleh banyak orang
penghuni sekolah itu karena seragamku berbeda dari seragam yang mereka kenakan. Aku
cukup lama menunggu wali kelasku datang menjemputku di depan kantor. Hingga akhirnya
bel pun berbunyi, aku mulai sedikit lega, tatapan itu tak kudapati lagi. Sampai akhirnya Ibu
Wiwin mengajakku ke kelasku. Jantungku berdegup kencang sekencang lari kuda di tempat
balapan. Aku mengikuti Bu Wiwin dari belakang dan memasuki sebuah kelas, mendadak
yang tadi ku dengar riuh sekali keadaan didalam kelas tersebut, namun begitu aku masuk
sontak semuanya terdiam. Setelah Bu Wiwin menyimpan tas, beliau mempersilahkanku
untuk memberikan salam perkenalan.
Nama saya Wanda Kartika saya pindahan dari Kudus.Yah namanya dari Kudus, logat
kejawen ku masih ku bawa-bawa. Banyak yang menatap sadis ke arahku bahkan ada juga
yang tersenyum kecil. Setelah itu aku di persilahkan duduk di bangku yang kosong, dan tak
ada teman sebangku sama sekali tak ada. Aduh, nasibnasib, malang sekali ya nasib ku.
Banyak yang enggan bertegur sapa denganku hingga aku memilih selama satu tahun kulewati
waktu-waktuku bergulat dengan buku-buku di perpustakaan, itu sebelum aku mendapatkan
seorang teman, dan setelah aku sudah duduk di kelas tiga SMP baru akhirnya aku
mendapatkan teman juga, setelah itu aku jarang pergi ke perpustakaan lagi, dan jarang lagi
curhat dengan Fina melalui pesan singkat. Mungkin Tuhan selalu sayang padaku. Hari-hari
yang ku lewati sebelum aku menemui seorang teman, kurasa teramat kelam. Lha wong
namanya juga adaptasi, ya sulit sekali, apalagi ini menyangkut suku, iya! suku sunda dan
suku jawa. Namun akhirnya Aku bisa juga melewati adaptasi mengerikan itu dengan
senyuman penuh ikhlas demi Ibuku.

Aku usahakan selama satu tahun saat tak ada yang mau menemaniku, aku tak sama sekali
bercerita pada Ibuku, Aku takut dia kecewa dan menambah lagi beban pikirannya, berkat
doanya aku bisa melewati masa itu dan memulai hidup yang benar-benar barudi Cianjur.
***

Suatu hari dimana ku harap hari itu tak ada, dan ku harap waktu bisa berputar sesuai yang
kuhendaki namun apa daya Tuhan lah yang berkuasa. Saat itu aku berada di dapur membuat
masakan untuk makan malam, dan Ibu merehatkan tubuhnya yang mulai lemah di kasur
kamarnya.
Tok..tok..tokitu suara pintu rumah di ketuk oleh seseorang.

Pertama ketukannya masih terdengar sopan tapi lama-lama nada ketukannya semakin arogan
saja, dan membuatku geram. Namun belum sempat aku tinggalkan dapur, aku dengar ibuku
melangkah membukakan pintu.
Heh, lama sekali buka pintunya!gertakan suara itu membuatku kaget sesaat setelah suara
pintu kudengar di buka oleh Ibuku. Aku khawatir, lantas saja aku berlari menuju pintu itu,
dan benar saja belum sempat aku melindungi Ibuku, Dia dengan penuh amarah memukul
Ibuku tanpa iba.
Astagfirullah pak, jangan siksa ibu lagi pak.Ucap Ibu meminta ampunan.
Astagfirullah bu, Ibu nggak papa kan? Ayo bu kita pergi bu, ayo cepat!Aku meronta
meminta ibu untuk segera bangkit dari ketidak berdayaannya, namun apa daya belum sempat
lari dari orang itu aku terkena pukulan keras tangannya. Ya Allah, Pak!Teriak Ibuku
melindungiku, aku di pukul keras olehnya, dan yang terparah adalah ibuku, Aku menangis
histeris melihat ibuku di siksa sedemikian rupa olehnya, Ibu sampai tak ada daya untuk
bangun. Dia yang memukulku dan ibuku adalah bapakku, Iya bapakku. Aku benci bapakku
yang tiba-tiba datang marah-marah karena urusan sepele. Setelah dia puas kami berdua
terjatuh dan tak bisa melawannya lagi, dia pergi lari entah kemana lagi. Beruntung kakak
bapakku yang rumahnya tak jauh dari tempat tinggalku, datang menolong. Aku masih
menangis tersedu namun tidak dengan beliau, dia menangis semestinya tak terlalu berlebihan
sepertiku. Makhluk sempurna yang aku temui di dunia ini. Ibu..Ibu dan Ibu.
Bu, kenapa saat itu, ibu memilih rujuk lagi dengan orang itu bu?aku sedih melihat ibu
seperti ini bu.Ucapku sambil memegangi tangan ibuku yang badannya terkapar lemah di
kasurnya.
Ini demi kalian nduk! Supaya ada orang yang bisa menafkahi kalian nduk.Ucap beliau
dengan lemahnya.

Kejadian itu tak satu dua kali, tapi berkali-kali namun yang terparah adalah malam itu. Aku
sampai lelah menangis di samping tempat tidut beliau, dan kini kurasakan air mataku berhenti
mengalir dan hanya sanggup ku keluarkan senggukan sedih saja. Pamankku mengobati
memar-memar di tubuh ibuku dengan obat seadanya. Aku mulai lega setelah ibuku bisa
tertidur dengan pulasnya. Beliau sempat bercerita kepadaku. Bapakku datang marah-marah
karena, istri barunya yang merupakan sahabat baik Ibuku itu banyak berhutang sana-sini dan
itu membuat bapakku kelimpungan. Mungkin itulah takdir, Allah tak pernah salah mengadili
hambanya. Setelah manis yang bapakku lewati dengan selingkuhannya itu, akhirnya bencana
datang jua. Tapi aku begitu heran mengapa harus kembali lagi menuju rumah hati ibuku,
yang sudah jelas terkunci rapat untuknya.
Aku lelah Tuhan. Aku ambil air wudlu di tengah malam itu. Aku berdzikir di bawah
lindungan-Nya ku tunaikan sholat malam, agar memperoleh ketenangan dari-Nya untuk
keluargakku.
***

Pagi harinya di hari Senin itu, aku masih ingat aku memilih izin sekolah demi menjaga ibuku
di rumah. Dan sampai detik itu, tiap aku melihat ibuku berbaring tidur di kasurnya, aku selalu
saja menitihkan air mata. Aku hampir lupa untuk mengabari Mas Amdar, Aku menghubungi
abangku itu, dan harap-harap cemas takut mengganggu kerjanya. Aku mengirimkan berita
duka itu melalui pesan singkat, karena takut mengganggunya. Lalu setelah siang harinya dia
baru bisa menelphon ku.
Nduk? Sekarang gimana keadaan ibu? Ndak papa kan? Udah di bawa ke rumah sakit belum
nduk?Terdengar jelas Mas Amdar khawatir.
Ibu ndak mau di bawa ke rumah sakit Mas.
tapi lukanya ndak parah to?tanyanya masih khawatir
Ndak papa Mas, Ibu sekarang lagi tidur pulas kok Mas.Aku mengatakan kalimat itu dengan
tangisan menyusulnya, yang tiba-tiba muncul lagi.
Udah nduk, mbok jangan nangis. Nanti kalau kamu nangis Ibu pasti sedih. Mas juga jadi
nggak tenang.
maaf ya Mas. Ndak bisa jaga Ibu.
Iyo nduk, maafin mas juga ya?Mas sekarang berada jauh dari kalian. Sing ati-ati yo
nduk?Masih begitu khawatirnya Mas Amdar mendengar isakan tangisku.
Iyo Mas, pokoknya kalau orang itu datang minta maaf, ndak bakal ku trima.
Iyo nduk, Bapak itu sudah kehilangan nalarnya, tetap jaga Ibu yo nduk?
Iyo Mas.
Maafin Mas yo, Mas harus kerja lagi ni nduk.
Yasudah kalau begitu doakan keselamatan kami aja ya mas disini?
Iya nduk. Yasudah, Wasalamualaikum nduk?
Waalaikumsalam Mas.
Beruntung masih begitu banyak orang menyayangi aku dan Ibu. Paman dan Bibi masih
berada terus di pihak kami itu terbukti saat malam itu, jika tak ada mereka pasti aku tidak bisa
melakukan apa-apa. Tak bisa di pungkiri inilah takdir yang selalu membuatku sedih
berkepanjangan. Berkali-kali dia menyakiti hati Ibu, Aku, dan Mas Amdar. Namun tak
kunjung juga dia bertobat.
***

Aku tak mau berlarut-larut di kesedihan itu, akhirnya setelah dua hari menjaga ibu sampai
lumayan pulih, aku baru bisa tenang meninggalkan Ibuku dirumah agar aku bisa bersekolah
dan menimba ilmu demi muara tanpa batas yaitu Ibu..Ibu dan Ibu.

Aku lega akhirnya Ibu sudah bisa menggerakkan tangannya yang terpukul oleh orang itu
sampai terluka parah. Aku tahu persis, bukan sakit itu yang membebaninya, tapi beban
psikislah yang membuat Ibu enggan bisa membiarkan tubuhnya sehat. Kami enggan
melaporkan kejadian itu kepada pihak yang berwajib, Kata Ibu, dia tak sanggup bila bapak
masuk ke dalam bui kesengsaraan. Mulia sekali hati beliau ya Allah.
Ibu..aku sekolah dulu ya. Bibi sudah ku suruh untuk menjaga Ibu, Aku harus sekolah demi
Ibu. Doakan anakmu ini ya bu?
Iya nduk..ibu doakan semoga kamu sukses.AMIN. Oya nduk? Sudah makan?Beliau
berkata masih dan tetap di kasurnya.
Aku lalu menghampirinya dengan tatapan ibaku yang sangat miris, Tak habis pikir, kenapa
makhluk ini bisa begitu kuatnya ya Allah?
justru ibu yang harus cepat-cepat makan, nanti biar aku suruh bibi menyuapi ibu ya, aku
harus segera pergi ke sekolah. Aku pamit ya bu?Aku cium tangan dan keningnya, tak ku
rasa air mataku menitih lagi, uh aku sebal kenapa begitu lemahnya diriku ini. Aku langsung
beranjak pergi kerumah Bibi, dan menitipkan Ibu ku. Karena aku khawatir, aku sampai
mengawasi Bibi untuk memastikan dia masuk ke kamar Ibu ku. Baru aku bisa lega saat itu
aku langkahkan kaki dengan gontai menuju sekolah. Inilah mengapa aku sangat sedih saat
harus meninggalkan Kudus, Mulanya aku menyuruh Ibuku lah yang harusnya pindah dan
tinggal di Kudus, tapi aku kalah dan harus menurutinya. Mungkin pilihannya benar. Aku
selalu yakin pilihannya selalu benar.
***

Aku memang lemah, tapi tak selemah yang orang itu bayangkan, aku yakin aku kuat. Setelah
pulang sekolah aku langsung bergegas menuju kamar Ibuku. Aku ketakutan. Tapi saat ku
lihat ibuku tertidur pulas dengan napasnya yang masih menghela, aku jadi begitu lega.
Namun setelah aku hadir di kamarnya, tak sengaja aku membangunkan beliau, dan beliau
langsung bertanya kepadaku tentang sekolahku bagaimana? Aku menjawab dengan
senyuman menandakan sekolahku baik-baik saja. Mas Amdar semenjak ku hubungi saat itu
jadi sering sekali bertanya kabar Ibu. Hingga dia juga lega saat Ibu berbicara dengan Mas
Amdar, agar tidak mengkhawatirkannya lagi.
Perlahan melupakan kejadian itu, Aku dan Ibu ku berbincang tentang hal-hal yang membuat
kami tertawa bersama sampai lupa. Tapi Seseorang datang mengetuk pintu. Kali ini aku yang
membukanya.
Mau cari siapa ya pak?tanyaku heran dengan seseorang berbaju orange dan helmnya
berwarna orange serta motornya pun orange, tidak lain itu adalah tukang pos.
Apa benar ini rumah Ibu Sulistyowati?Tanyanya dengan ramah.
Iya betul pak. Saya sendiri adalah anaknyaJawabku datar.
Ini ada surat untuk Ibu, bisa adik terima?
Tentu pak.

Bapak itu menyodorkan surat pernyataan perintah kirim untuk ku tanda tangani. Lalu tukang
pos tersebut memberikan sepucuk surat untukku.
Terimakasih dik?
Sama-sama Pak.

Lalu tukang pos itu pergi dengan motornya. Dan meninggalkan tanya dengan surat itu. Surat
dengan amplop bewarna putih, tertulis di atasnya si pengirim adalah nama bapak ku dengan
tinta merah. Aku sangat alergi sekarang, saat membaca, apalagi mendengar nama bapakku.
Aku bawa surat itu menuju kamar ibuku sambil bergumam.
dia sepertinya ndak punya tinta lain. Betapa tak sopannya etikannya, ini sama saja
menantang.
Siapa nduk?Tanya Ibu yang mendengar langkah kaki ku melangkah menuju kamarnya.
Ini Bu, dari orang itu. Baiknya surat ini jangan di baca bu. Paling-paling permintaan
maaf.Hasutku kepada Ibu.
Sepertinya baiknya begitu ya nduk. Ibu lagi pengen tenang.

Aku taruh surat itu di meja ruang tamu, ku biarkan dia tergolek disana. Begitu lama sampai
berhari-hari surat itu tak ada yang membaca. Sampai Ibu ku sehat bugar dan bisa beraktifitas
kembali, surat itu masih diam membisu disana. Sampai pada suatu hari Paman ku datang
membawa berita.
Lis. Suamimu katanya masuk penjara.Ucap Paman membuat Ibu kaget.
Astagfirullah. Coba kamu baca surat itu.suruh Ibuku menujukkan surat itu.

Paman ku mengernyitkan dahinya, sepertinya terkejut dengan isi surat itu, Ibu dan Aku masih
tak sudi membaca surat itu, hanya Pamanlah yang membacanya. Ternyata surat itu Bapak
kirim sehari sebelum dia di tahan polisi. Kata paman ku, bapak mencuri motor sehingga harus
di tahan, dan kata pamanku berdasarkan surat itu, bapakku meminta maaf pada Ibu, Aku, dan
Mas Amdar. Ibu ku menitihkan air mata.
Ya Allah, sampaikan padanya bahwa aku dan anak-anak ku ikhlas memaafkannya ya
Allah.
Aku tak bisa apa-apa, hanya Ibu yang berbesar hati memaafkan orang itu. Dan aku masih
tetap pada pendirianku, enggan memberi maaf pada orang itu. Semoga saja suatu saat aku
bisa memaafkannya. Tuhan selalu benar pada takdirnya.

Aku putuskan setelah aku lulus SMP, aku ingin Ibu membawaku untuk pindah ke tempat
yang tak mungkin di ketahui orang itu lagi. Aku juga sudah meminta kepada Mas Amdar agar
bisa mencarikan hunian jauh dari kehidupan sebelumnya. Aku takut jika orang itu kembali
mencari kami. Ya! Bapak ku tetap bapakku. Tapi hatiku belum bisa memaafkanmu pak.
Semoga suatu hari di kala Allah mengizinkan, aku ingin aku bisa ikhlas memaafkanmu pak.
Amin.

-Selesai-

PROFIL PENULIS
Penulis sangat menyukai hal-hal yang berbau Karya Sastra sejak kecil mungkin,
Jika kalian ingin tahu lebih mengenai penulis, yuk kunjungi blog pribadi penulis di
http://theizuzeus.wordpress.com/
Terimakasih.:)

Baca juga Cerpen Ayah dan Cerpen Ibu yang lainnya.
Ads.

Lainnya dari Cerpen Ayah, Cerpen Ibu
Cerpen Ayah dan Ibu - Beri Kami Sedikit Kasihmu
Surat Untuk Ibu - Cerpen Ibu
Bunda - Cerpen Ibu
Cerpen Ibu - Kisah Hidupku Tanpa Belaian Kasih Seorang Ibu
Surat Tinta Merah - Cerpen Ayah dan Ibu
Jawaban Terakhir - Cerpen Ayah dan Ibu
Share Artikel ini
Komentar untuk Surat Tinta Merah - Cerpen Ayah dan Ibu
Happy Ending - Cerpen Romantis Cerpen Sedih - Penyesalan
Follow Us

Kumpulan Artikel Lucu
Kata kata Lucu
Pantun Lucu
Pantun Jenaka
Cerpen Lucu
Animasi Lucu
Humor Lucu
Ads
Pengunjung Lain Juga Menyukai
Kata kata Ucapan Selamat Tahun Baru 2014 Romantis dan Lucu
Rahasia Cinta Tuhan Part II - Cerpen Cinta
Rahasia Cinta Tuhan Part I - Cerpen Cinta
Sahabat Terbaik - Cerpen Persahabatan
Ketika Cinta Berbuah Surga - Cerpen Cinta Remaja
Kata kata Ucapan Selamat Baru 2014 Romantis dan Lucu
Ucapan Selamat Tahun Baru 2014 Bahasa Inggris
SMS Ucapan Selamat Tahun Baru Gokil dan Mengharukan 2014

DMCA
Privacy Policy
Disclaimer
About Me
TOS
Copyright 2011 - 2013. Hak Cipta Dilindungi Undang-undang
Support By Blogger

Surat Tinta Merah - Cerpen Ayah dan Ibu

Anda mungkin juga menyukai