Anda di halaman 1dari 12

Pemberian N-Asetilsistein Menormalkan Aktivasi Faktor Nukleus B dan

Produksi Sitokin Proinflamasi yang diinduksi oleh Lipopolisakarida pada


Masa Rehabilitasi Awal Tikus yang Mengalami Malnutrisi Protein

Abstrak
Pasien dengan malnutrisi protein memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap syok
septik. Dalam penelitian ini, kami menggunakan model hewan dengan syok
septik untuk mengetahui efek kadar glutation (GSH) terhadap aktivasi faktor
nuklear B (NFB) dan produksi sitokin proinflamasi pada kasus malnutrisi
protein. Kemi meneliti mekanisme molekular dari pengaruh malnutrisi protein
terhadap respons inflamasi. Tikue CD-1 diberi diet protein normal (150 g/kg) atau
protein rendah (5g/kg) selama 2 minggu, atau diet rendah protein selama 2
minggu dan dilanjutkan dengan pemberian N-asetilsistein (NAC) selama 1
minggu. Lipopolisakarida (LPS) diinjeksikan secara intravena, dan liver diambil
dalam waktu 1, 15 menit, 1, 4, 24, dan 48 jam setelah pemberian LPS. Malnutrisi
protein meningkatkan aktivasi NFB secara signifikan dan kadar transkripsi gen
IL-1beta dan TNFalfa. Aktivasi puncak NFB berbanding terbalik dengan kadar
GSH (r= -0.939, p<0.0001) namun berhubungan langsung dengan GSH
disulfida/potensial reduksi 2GSH (r=0.944, p<0.0001). kami menemukan
translokasi homodimer p50/p50 NFB yang tidak umum, yang meningkat pesat
dalam jaringan tikus dengan malnutrisi protein, disertai dengan penurunan kadar
puncak translokasi homodimer p65/p50. Menariknya, kadar mRNA dari IB-alfa
tidak terpengaruh oleh malnutrisi protein. Namun demikian, pemberian NAC pada
tikus dengan malnutrisi protein dapat mengembalikan kadar GSH dan potensial
reduksi, serta menormalkan aktivasi NFB dan produksi sitokin proinflamasi.
Penemuan ini merupakan bukti yang mendukung peranan GSH dalam aktivasi
NFB dan respons inflamasi pada malnutrisi protein, serta pemberian NAC pada
awal masa rehabilitasi malnutrisi protein tanpa diet protein yang tinggi.
KATA KUNCI: malnutrisi protein, NFB, glutation, N-asetilsistein, sitokin pro
inflamasi

Malnutrisi protein adalah masalah kesehatan yang besar di seluruh dunia.
Masalah ini dapat ditemukan pada banyak anak di negara-negara yang sedang
berkembang. Di negara maju, hal ini hanya terjadi pada orang lanjut usia, orang
yang dirawat di RS, dan penderita penyakit kronis. Malnutrisi protein menurunkan
kadar antioksidan, mengganggu fungsi imun, dan meningkatkan sensitivitas
terhadap infeksi oportunistik dan syok septik.
Di antara berbagai antioksidan yang penting, glutation (GSH
4
; -
glutamylcysteinylglycine) adalah thiol non protein yang paling banyak ditemukan
pada sel mamalia dan berperan penting dalam reduksi spesies oksigen reaktif
dan detoksifikasi xenobiotik. GSH darah menurun pada anak dengan malnutrisi
protein, yang lebih rentan mengalami infeksi oportunistik. Penderita malnutrisi
protein juga lebih rentan mengalami syok septik.
Syok septik disebabkan oleh infeksi bakteri yang berat, dan
menyebabkan produksi sitokin proinflamasi akut yang berlebihan, termasuk IL-
1beta dan TNF-alfa. Endotoksin bakteri LPS berperan penting dalam terjadinya
syok septik dan kegagalan multiorgan. LPS menginduksi translokasi NFB, suatu
faktor transkripsi yang memediasi peningkatan produksi IL-1 beta dan TNF-alfa.
Translokasi NFB yang diinduksi oleh LPS berrespons terhadap stres
oksidatif dan lingkungan redoks jaringan. Lingkungan redoks yang lebih
teroksidasi berhubungan dengan peningkatan translokasi NFB. Sebaliknya,
status redoks yang lebih rendah dapat menurunkan aktivasi NFB. Potensial
reduksi GSH disulfida (GSSG)/2GSH merupakan indikator dari lingkungan
redoks jaringan. Antioksidan, terutama GSH, dapat menurunkan potensial
reduksi GSSG/2GSH dan aktivasi NFB. N-asetilsistein (NAC), suatu sistein
yang meningkatkan kadar GSH, terbukti dapat menurunkan aktivasi NFB.
Sebaliknya, buthioninesulfoximine, sebuah campuran yang menghambat sintesis
GSH, mendukung aktivasi NFB yang diinduksi oleh LPS dan kerusakan jaringan.
Oleh karena itu, kami berpendapat bahwa peningkatan sensitivias
terhadap syok septik pada penderita malnutrisi protein mungkin disebabkan oleh
peningkatan aktivasi NFB dan produksi sitokin proinflamasi yang berlebihan.
Aktivasi NFB yang abnormal ini mungkin berhubungan dengan penurunan
akdar GSH jaringan dan peningkatan potensial reduksi GSSG/2GSH. Pemberian
NAC dapat mengembalikan kadar NAC dan potensial reduksi, yang selanjutnya
akan menurunkan translokasi NFB dan produksi sitokin proinflamasi.

BAHAN DAN METODE
Bahan
LPS (0111:B4 dari Escherichia coli) dan bahan kimiawi yang diperlukan untuk
analisis GSH dan GSSG didapat dari Sigma-Aldrich (St. Louis, MO). Diet bubuk
tikus yang telah dimurnikan AIN-93G (Dyets, Bethlehem, PA) diformulasikan
agak isokalorik, dan mengandung protein 5g (PM) atau 150g (normal) per kg
(Tabel 1). Jumlah NAC yang ditambahkan pada diet PM dihitung sehingga diet
tambahan (PM + NAC) memiliki kadar asam amino sulfur yang sama dengan
diet protein yang normal.

Hewan
Tikus laki-laki CD-1 (usia 4-5 minggu) didapat dari Harlan (Indianapolis, IN) dan
ditempatkan dalam lingkungan dengan suhu dan kelembaban yang terkontrol
(12-jam siklus gelap/terang) dengan akses bebas untuk air dan diet. Tikus
diaklimasi selama 3 hari sebelum inisiasi diet. Semua protokol hewan telah
disetujui oleh Ohio State University Institutional Laboratory Animal Care and Use
Committee.

Penelitian eksperimental
Tikus diberi makan dengan 5g/kg protein (PM) selama 3 minggu, 150g/kg protein
(normal), atau 5g/kg protein selama 2 minggu diikuti dengan suplemen NAC
selama 1 minggu (PM+NAC). Pada akhir terapi diet, LPS diinjeksikan secara
intravena melalui vena di ekornya. Tikus dibunuh dengan asfiksia CO2. Liver
diambil pada waktu 0, 15 menit, 1, 4, 24, dan 48 jam setelah injeksi LPS. Salin
juga diinjeksikan secara intravena sebagai kontrol pembawa. Tujuan dari
penambahan saling ini adalah untuk memastikan agar semua efek yang
ditemukan setelah injeksi LPS diakibatkan oleh LPS, bukan injeksi intravena itu
sendiri.

Translokasi NFB
Ekstrak nukleus kasar disiapkan dari liver, sesuai dengan deskripsi oleh
Deryckere dan Gannon. electrophoretic mobility shift assay (EMSA) digunakan
untuk menentukan aktivitas transkripsional dari NFB melalui assay ikatan
ekstrak nukleus terhadap rangkaian konsensus NFB , sesuai dengan deskripsi
oleh Gupta et al. Intensitas ikatan ini dihitung dengan menggunakan densitometri.
Pada assay supershift, EMSA dilakukan sesuai dengan deskripsi di atas, dengan
perkecualian dimana reaksi ikatan mengandung 3%g antibodi poliklonal terhadap
p50 atau p65, dua subunit utama dari NFB .

Potensial reduksi GSSG/2GSH
Potensial reduksi jaringan berdasarkan pasangan GSSG/2GSH, dihitung dari
persamaan Nenst: E
hc
= -240 - (59.1/2) log ([GSH]
2
/[GSSG]) mV pada suhu 25C,
pH 7.0. kadar potensial reduksi yang terukur berhubungan dengan kadar
termodinamik.

Translokasi subunit NFB (ELISA)
Trans-AM NFB ELISA kit digunakan menurut manual pabrik (Active Motif
America, Carlsbad, CA) untuk mengetahui translokasi subunit NFB . antibodi
primer yang digunakan adalah p65 atau p50. Antibodi sekunder terkonjugasi
dengan horseradish peroxidase memberikan bacaan kolorimetrik, yang dihitung
dengan spektrofotometri.

Hibridisasi in situ (fluoresensi)
Protokol hibridisasi in situ dilakukan sesuai dengan deskripsi sebelumnya untuk
probe ribonukleotida (cRNA). Yang pertama, potongan jaringan yang direndam
dengan paraffin dicetak, dehidrasi, diinkubasikan dalam pepsin, difiksasi dan di-
asetilasi. Selanjutnya, probe antisense ditranskripsikan dengan Sistem
Riboprobe (Promega, Madison, WI) dengan T7 RN polymerase. Tikus IB-alfa
cDNA diberi oleh Dr. Rebecca Taub (University of Pennsylvania, Philadelphia,
PA). Rangkaian DNA 672-bp dari IL-1-beta mRNA tikus dipersiapkan dari insert
#963357 yang tersedia secara komersial pada vektor pT7T3D-pac dalam E. coli
(American Type Culture Collection, Manassas, VA). TNF-alfa cDNA diberi oleh
Dr. Karl Decker (Albert-Ludwigs-Universitat, Freiburg, Germany). Untuk
mengontrol spesifisitas probe, probe sense juga dihasilkan dengan
mentranskripsi plasmid yang sama dengan polimerase RNA T3. Selanjutnya,
probe di-dilusi dalam penyangga hibridisasi riboprobe dan diberikan pada
potongan liver. Setelah inkubasi semalaman pada suhu 55C di lingkungan yang
lembab, potongan dicuci dalam SSC (55C) lalu diinkubasikan dalam penyangga
selama 3 menit. Antibodi anti-digoxigenin yang didilusi ditambahkan kedalam
slide, diikuti dengan antibodi anti-mouse, streptavidin primer, larutan biotinyl
tyramide dan yang terakhir CY2-streptavidin.
Selanjutnya potongan dilihat dengan mikroskop melalui penyaring
fluoresensi. Produksi mRNA dihitung dengan mengukur intensitas (jumlah piksel)
dan jumlah sel yang mengekspresikan mRNA sitokin dengan menggunakan
Adobe Photoshop (Adobe Systems, Mountain View, CA).

High-performance liquid chromatography (HPLC).
GSH dan GSSG ditentukan dengan metode yang telah dijelaskan oleh Melnyk et
al. Singkatnya, HPLC-elektrokimiawi didapat dari Enviromental Sciences
Associates, Inc. (Chelmsford, MA), bersama dengan 2 pelarut Shimadzu, sebuah
fase terbalik kolom C18 n (5 m; 4.6 x 150 mm; mobile crystalline material,
Tokyo, Japan) dan sebuah autosampler. GSH diinjeksikan ke dalam sistem,
sedangkan GSSG di-elusi selama 10 menit. Vial sampel diletakkan dalam
nampan dengan suhu yang terkontrol (4C) untuk meminimalkan artifak potensial
dalam assay GSH. Spesifisitas dari GSH dan GSSG memuncak, dan tingkat
akurasi assay diketahui melalui penambahan standar GSH dan GSSG.

Analisis statistik
Data dilaporkan dalam bentuk rata-rata dan SEM. Homogenitas untuk variansi
kesalahan dara didapat setelah data diubah menurut algoritme. Enam one-way
ANOVA pada diet (satu untuk setiap periode waktu) dilakukan untuk mengetahui
apakah diet memiliki efek yang signifikan pada setiap periode waktu. Bila
ditemukan efek yang signifikan, dilakukan perbandingan Tukeys HSD all pair-
wise. Selain itu, tiga one-way ANOVA (satu untuk setiap kelompok diet :
PM,Normal, PM + NAC) dilakukan untuk mengetahui apakah waktu berpengaruh
pada setiap kelompok diet. Bila ditemukan efek yang signifikan, dilakukan
perbandingan Tukeys HSD all pair-wise. Maka, total sebanyak 9 one-way
ANOVA dilakukan untuk setiap variabel. Untuk mengontrol kesalahan
eksperimen, kadar alfa dari setiap one-way ANOVA ditetapkan pada 0.005
sehingga seluruh kesalahan adalah 0.005x9 = 0.045, dimana <0.05. oleh karena
itu, perbedaan dari tiap ANOVA dianggap signifikan bila P<0.005.
Korelasi Pearson ditentukan antara aktivasi NFB dan kadar GSH, dan
antara aktivasi NFB dan potensial reduksi GSSG/2GSH. Semua analisis
statistik dilakukan dengan perangkat lunak SAS (SAS Institute, Cary, NC).

HASIL
Berat badan
Tikus yang diberi makan PM selama 3 minggu mengalami penurunan berat
badan sebanyak 16 persen, sedangkan pemberian NAC tidak mempengaruhi
penurunan ini (gambar 1). Konsumsi makanan tidak berbeda antar ketiga
kelompok diet (data tidak ditunjukkan).

Translokasi NFB yang diinduksi oleh LPS
Tidak ada perbedaan variabel antara kelompok salin dan kelompok pre-LPS
(data tidak ditunjukkan). Data dari kelompok preLPS digunakan sebagai kontrol
(0 menit). Pada tikus dengan malnutrisi protein, translokasi NFB dalam liver
diamati 15 menit setelah injeksi LPS. Intensitasnya memuncak setelah 1 jam dan
masih terdeteksi setelah 4 jam (gambar 2A dan 3). Sebaliknya, pada tikus yang
diberi diet protein normal, translokasi NFB tidak terjadi hingga 1 jam setelah
LPS dan tidak terdeteksi setelah 4 jam. Selain itu, aktivasi NFB pada tikus yang
diberi diet PM lebih kuat daripada pada kontrol (gambar 3). Pemberian NAC pada
tikus dengan malnutrisi protein menghambat peningkatan translokasi NFB, dan
mengembalikannya pada kadar seperti kontrol (gambar 2B dan 3).

Kadar GSH dan GSSG
Kadar GSH basal lebih rendah pada tikus yang diberi diet PM daripada tikus
kontrol (tabel 2). Pada tikus normal, GSH hepatik meningkat dua kali lipat 1 jam
post terapi LPS dan tetap meningkat. Pada tikus dengan malnutrisi protein, GSH
tidak meningkat hingga 4 jam setelah injeksi LPS. GSSG hepatik pada tikus yang
diberi diet PM sedikit meningkat 4 jam post LPS (p<0.01) dan meningkat secara
signifikan setelah 24 jam (tabel 2). Hal ini berlawanan dengan kontrol, dimana
GSSG tidak dipengaruhi oleh injeksi LPS.

Hubungan antara aktivasi NFB dan kadar GSH serta potensial reduksi
Aktivasi NFB yang diinduksi oleh LPS dalam liver memuncak pada 1 jam post
terapi untuk kedua tikus yang diberi diet PM dan kontrol (gambar 2A dan 3).
Namun demikian, kadar GSH basal yang tinggi pada tikus normal berhubungan
dengan rendahnya intensitas translokasi NFB, sedangkan kadar GSH yang
rendah pada tikus yang diberi diet PM berhubungan dengan aktivasi NFB yang
tinggi (r =-0.939, P < 0.0001) (Gambar 4A). Pemberian NAC pada tikus dengan
malnutrisi protein dapat mengembalikan kadar GSH dan intensitas translokasi
NFB.
Sebaliknya, potensial reduksi basal yang tinggi (lingkungan redoks
jaringan yang lebih teroksidasi) berhubungan positif dengan kadar aktivasi NFB
yang lebih tinggi (r = 0.944, P < 0.0001) (gambar 4B). Aktivasi NFB dalam liver
berhubungan terbalik dengan kadar GSH basal dan berhubungan positif dengan
potensial reduksi GSSG/2GSH.

Translokasi subunit NFB
Assay supershift EMSA menunjukkan bahwa p50 adalah subunit NFB mayor
yang ditranslokasikan ke nukleus tikus yang diberi diet PM 15 menit setelah
pemberian LPS (gambar 2B, lajur 2 dan 3). ELISA menunjukkan bahwa
translokasi subunit p50 NFB dalam tikus yang diberi diet PM dimulai setelah 15
menit, memuncak setelah 1 jam, dan kembali ke kadar basal setelah 24 jam
(tabel 3). Translokasi p50 NFB 1 jam setelah tikus diberi diet PM adalah 4 kali
lipat lebih intensif dibandinkan kontrol, dimana translokasi tidak dipengaruhi oleh
injeksi LPS. Menariknya, malnutrisi protein meningkatkan translokasi p50,
namun menurunkan tranlokasi p65 puncak dibandingkan kontrol (tabel 3).

Produksi IB-alfa none mRNA.
Pada tikus yang diberi diet PM, produksi mRNA IB-alfa dalam liver mulai
meningkat setelah 15 menit, mencapai puncak setelah 1 jam, dan menurun
hingga kadar dasar setelah 4 jam (tabel 4). Pola dan besar respons yang sama
ditemukan pada tikus normal dan tikus yang diberi NAC.

Produksi IL-1beta dan TNF-alfa
Produksi mRNA IL-1beta pada tikus yang diberi diet PM meningkat secara
signifikan setelah 15 menit post LPS, memuncak setelah 1 jam, dan menurun
hingga kadar basal setelah 4 jam (gambar 5 dan tabel 5). Kecenderungan yang
sama ditemukan untuk TNF-alfa pada tikus yang diberi diet PM (tabel 5). Kadar
mRNA puncak untuk sitokin pada tikus yang diberi diet PM jauh lebih tinggi
dibandingkan pada kontrol. Pemberian NAC menghambat peningkatan kedua
sitokin, hingga kadarnya kembali normal. Selain itu, sintesis mRNA TNF-alfa
pada tikus yang diberi diet PM menunjukkan pola bifasik. Kadarnya memuncak
setelah 1 jam, menurun setelah 4 jam, dan meningkat lagi setelah 24 jam (tabel
5).

PEMBAHASAN
Dalam penelitian ini, malnutrisi protein meningkatkan aktivasi NFB yang
diinduksi oleh LPS. Aktivasi NFB puncak berhubungan terbalik dengan kadar
GSH basal dan berhubungan langsung dengan potensial reduksi GSSG/2GSH,
yang merupakan indikator kunci dari status redoks. Pemberian NAC pada tikus
dengan malnutrisi protein mengembalikan kadar GSH dan status redoks secara
efektif dan menurunkan aktivasi NFB. Penemuan ini mendukung hipotesis kami
bahwa peningkatan sensitivitas terhadap syok septik pada kondisi malnutrisi
protein disebabkan oleh aktivasi NFB. Meskipun malnutrisi protein sebelumnya
dianggap menurunkan aktivasi NFB pada makrofag yang diterapi dengan LPS,
penelitian ini adalah yang pertama kali membuktikan bahwa malnutrisi protein
mempengaruhi aktivasi NFB yang diinduksi oleh LPS.
Terdapat hubungan yang kuat antara kadar GSH/status redoks dan
ativasi NFB. Hal ini mencerminkan peranan GSH dan status redoks dalam
aktivasi NFB. Penelitian ini juga membuktikan bahwa pemberian NAC pada
tikus yang mengalami malnutrisi protein dapat menormalkan produksi IL-1 beta
dan TNF-alfa yang berlebihan, kedua sitokin proinflamasi yang berperan penting
dalam induksi syok septik. Oleh karena itu, penelitian ini membuktikan bahwa
pemberian NAC dapat digunakan pada rehabilitasi awal pasien malnutrisi untuk
menurunkan produksi sitokin akut yang berlebihan setelah paparan endotoksin.
Diet tinggi protein yang meningkatkan kadar GSH pada hewan tidak disarankan
untuk rehabilitasi awal kasus malnutrisi protein, karena dapat memberikan stres
metabolik akibat adaptasi tubuh terhadap kondsi malnutrisi protein katabolik.
Selain itu, NAC juga bermanfaat pada pasien malnutrisi protein yang terpapar
dengan stress oksidatif akibat terapi obat dan oksigen yang diberikan.
Temuan menarik dari penelitian ini adalah aktivasi selektif dari homodimer
p50/p50 pada tikus yang diberi diet PM setelah injeksi LPS. Translokasi
heterodimer p65/p50 sebelumnya dianggap dapat diinduksi oleh stimulus,
sedangkan translokasi homodimer p50/p50 dianggap konstitutif. Namun,
penelitian terbaru menunjukkan bahwa aktivasi homodimer p50/p50 selektif
berhubungan dengan afinitas ikatan dari unit inhibitori IB-alfa dengan dimer
NFB. IB-alfa memiliki afinitas yang lebih tinggi untuk heterodimer p65/p50
dibandingkan homodimer p50/p50. Sebagai akibatnya, reduksi parsial IB-alfa
yang diinduksi oleh stimulus menyebabkan translokasi p50/p50 dari sitoplasma
ke nukleus, sementara IB-alfa sisanya cukup untuk menjaga heterodimer
p65/p50 di dalam sitoplasma. Dalam penelitian kami, sintesis IB-alfa yang
diinduksi oleh LPS tidak dipengaruhi oleh malnutrisi protein. Oleh karena itu,
peningkatan homodimer p50/p50 pada kasus malnutrisi protein mungkin
disebabkan oleh penurunan sintesis protein IB-alfa dan/atau peningkatan
degradasi IB-alfa. Dalam penelitian ini, translokasi subunit p65 menurun pada
tikus dengan malnutrisi protein, dibandingkan kontrol. Hal ini menunjukkan
bahwa translokasi heterodimer p65/p50 pada tikus yang diberi diet PM menurun,
karena heterodimer ini adalah dimer ReI/ NFB yang paling banyak. Terdapat
kemungkinan bahwa heterodimer p65/p50 normalnya ditranslokasikan,
sedangkan homodimer p65 menurun.
Homodimer p50/p50 tidak memiliki domain transaktivasi. Namun, dalam
penelitian kami peningkatan homodimer p50/p50 pada tikus yang diberi diet PM
berhubungan dengan peningkatan sintesis IL-1 beta dan TNF-alfa, sedangkan
inhibisi translokasi homodimer ini oleh NAC menurunkan sintesis mRNA dari
kedua sitokin ini. Hal ini didukung dengan penelitian sebelumnya, bahwa
homodimer p50/p50 dapat bertranskripsi aktif pada target gen yang spesifik.
Homodimer p50/p50 memiliki efek regulator yang berbeda pada gen di
bawahnya, karena peningkatan homodimer p50/p50 yang selektif pada tikus
dengan malnutrisi protein meningkatkan produksi mRNA dari IL-1 beta dan TNF-
alfa, bukan IB-alfa.
Sebagai kesimpulan, bukti ini menunjukkan peranan GSH pada aktivasi
NFB dan produksi sitokin pro inflamasi, serta penggunaan NAC pada
rehabilitasi awal malnutrisi protein tanpa diet tinggi protein.

Gambar 1. Berat badan tikus yang diberi diet protein 5g/kg selama 3 minggu
(PM), diet protein 150g/kg selama 3 minggu (normal) atau diet protein 5g/kg
selama 2 minggu diikuti dengan pemberian NAC 1 minggu (PM+NAC). Nilai
adalah rata-rata SEM, n=4.

Gambar 2. Efek malnutrisi protein (A dan B) dan pemberian NAC (B) pada liver
tikus CD-1. A, Efek malnutrisi protein pada translokasi NFB yang diinduksi oleh
LPS pada liver tikus CD-1. EMSA dilakukan untuk mendeteksi ikatan NFB-DNA.
Lajur 1, 15 menit setelah LPS pada tikus yang diberi diet PM; lajur 2, 15 menit
post LPS pada tikus kontrol; lajur 3, 1 jam post LPS pada tikus yang diberi diet
PM; lajur 4, 1 jam post LPS pada tikus kontrol; lajur 5, 4 jam post LPS pada tikus
yang diberi diet PM; lajur 6, 4 jam post LPS pada tikus kontrol. Hal ini
mencerminkan 4 assay independen yang dilakukan. B, aktivasi NFB yang
diinduksi oleh LPS dan translkasi subunit NFB pada tikus yang diberi diet
protein 5g/kg selama 3 minggu (PM), protein 150g/kg selama 3 minggu (normal),
atau protein 5g/kg selama 2 minggu diikuti dengan NAC selama 1 minggu
(PM+NAC). EMSA dilakukan untuk mendeteksi ikatan NFB-DNA. Antibodi dari
subunit p65 NFB ditambahkan ke injubasi untuk lajur 2 dan 5, sedangkan
antibodi dari subunit p50 ditambahkan untuk lajur 3 dan 6. Semua titik waktu
menunjukkan waktu terlewat setelah injeksi LPS. Lajut 1, PM 15 menit; lajur 2,
PM 15 menit + anti-p65; lajur 3, PM 15 menit + antip-50; lajur 4, PM+NAC 15
menit; lajur 5, PM+NAC 15 menit + anti-p65; lajur 6, PM+NAC 15 menit + anti-
p50; lajur 7, PM 1 jam; lajur 8, PM+NAC 1 jam; lajur 9, PM 4 jam; lajur 10,
PM+NAC 4 jam; lajur 11, PM 24 jam; lajur 12, PM+NAC 24 jam; lajur 13, PM 48
jam; lajur 14, PM+NAC 48 jam. Hasil ini merupakan perwakilan dari 4 assay
independen yang dilakukan.

Gambar 3. Aktivasi NFB yang diinduksi oleh LPS pada tikus yang diberi diet
protein 5g/kg selama 1 minggu ( PM), diet protein 150g/kg selama 1 minggu
(normal), atau diet protein 5g/kg selama 2 minggu dilanjutkan dengan
suplementasi NAC selama 1 minggu (PM+NAC). Densitometri dilakukan pada
film yang diproduksi oleh EMSA, dan intensitas ikatan NFB-DNA dihitung.

Gambar 4. Korelasi antara aktivasi NFB yang diinduksi oleh LPS dan kadar
GSH basal (A) dan potensial reduksi GSSG/2GSH (B) pada tikus CD-1. A,
korelasi antara aktivasi NFB dan kadar GSH basal pada liver tikus CD-1 yang
diberi diet PM, diet Normal, dan diet PM+NAC. Aktivasi dideteksi dengan EMSA
dan dihitung dengan densitometri. Kadar basal GSH ditentukan dengan HPLC-
EC. B, korelasi antara aktivasi NFB yang diinduksi oleh LPS dan potensial
reduksi GSSG/2GSH pada liver tikus CD-1. Penurunan potensial reduksi dihitung
dengan persamaan Nernest.

Gambar 5. Produksi mRNA IL-1beta yang diinduksi oleh LPS pada liver tikus
CD-1 yang diberi diet PM, diet Normal, atau diet PM+NAC. Produksi mRNA dari
IL-1 beta diketahui dari analisis fluoresensi hibridisasi in situ. Titik yang
bercahaya menunjukkan sintesis mRNA IL-1 beta di liver. A dan B, 15 menit dan
1 jam post LPS pada tikus normal. C dan D, 15 menit dan 1 jam post LPS pada
tikus dengan malnutrisi protein. E dan F, 15 menit dan 1 jam post LPS pada tikus
dengan malnutrisi protein. Hasilnya merupakan perwakilan dari assay
independen yang dilakukan.

Anda mungkin juga menyukai