Anda di halaman 1dari 13

Perawatan Kegawatan Neuro terhadap Krisis Myasthenia Gravis

Kata Pengantar Myasthenia Gravis Crisis (MGC) didefinisikan sebagai eksaserbasi dari kelemahan myasthenia gravis (MG) yang menimbulkan episode akut kegagalan respirasi yang berujung pada penggunaan mechanical ventilation (MV). Kelemahan tersebut dapat melibatkan otot-otot respirasi (dengan mengubah mekanik respirasi) atau otot-otot bulbar, yang membahayakan perlindungan dan kelancaran jalan napas. MGC adalah komplikasi paling berbahaya dari MG dan merupakan kondisi yang mengancam jiwa yang memerlukan pengenalan dan perawatan pasien yang cepat pada unit perawatan intensif untuk penatalaksanaan yang optimal. MGC biasanya terjadi dalam dua tahun pertama setelah onset dari MG (pada 74% pasien) dan 15-20% pasien dengan MG akan mengalami minimal satu kali episode krisis. Angka kematiannya telah menuru dari 40% pada awal tahun 1960 menjadi 5% pada tahun 1970, yang mungkin mencerminkan perkembangan dalam manajemen ventilasi dan pengobatan secara umum untuk pasien-pasien ini di unit perawatan intensif. Namun demikian, meskipun adanya penurunan angka kematian, durasi dari MGC tidah berubah banyak dan terus berlanjut hingga rata-rata 2 minggu. Bab ini mengulaas aspek paling penting dari MGC termasuk patofisiologi, etiologi, dan penanganannya.

PATOFISIOLOGI Pencetus MGC biasanya disebabkan oleh infeksi (pada 30-40% kasus), yang paling sering adalan infeksi sistem respirasi yang disebabkan oleh agen virs dan bakteri. Pneumonia aspirasi bertanggungjawab pada 10% dari kasus MGC dan dapat menjadi lebih prevalen pada pasien dengan kelemahan oropharyng, yang menyebabkan kesulitan menelan dan mengunyah, perubahan ekspresi wajah, dan dysarthria. Beberapa obat dapat menimbulkan MG dan dapat menyebabkan MGC.

(Tabel 1)

Sangatlah penting untuk mendapatkan riwayat yang terpercaya tentang pengobatan yang sedang digunakan, termasuk menanyakan secara spesifik obat-obatan tanpa resep pada pasien, keluarga, dan teman, dan juga pengobatan alternatif. Ketika pengobatan MG terbatas pada obat-obat anticholinseterase, overdosis dari obat tersebut dapat meyebabkan MGC, tetapi hal ini tidak sering dijumpai pada masa sekarang, dan kepentingannya telah dijelaskan sebelumnya. Faktor-faktor lain yang dapat menyebabkan MGC adalah injeksi toksin botulinum, prosedur pembedahan yang dilakukan barubaru ini (termasuk thymectomy), dan trauma. Pada 30-40% pasien tidak ada pencetus yang dapat diidentifikasi. Adanya thymoma merupakan faktor resiko dari MGC. Pasien MG dengan thymoma dapat mengalami perjalanan penyakit yang lebih parah, dan pasien thymoma diidentifikasi dua kali lebih sering di antara pasien yang mengalami krisis daripada pasien myasthenia pada umumnya (30% vs. 15%).

Kelainan-Kelainan Respirasi Kelompok otot utama yang terlibat dalam MGC adalah otot-otot oropharyng dan respirasi. Seiring dengan berkembangnya kelemahan dari otot-otot respirasi, terjadilah penurunan ekspansi paru, sejalan dengan tidak efisiensinya refleks batuk untuk melancarkan jalan napas. Forced Vital Capacity (FVC) dari pasien terus menurun, membuat pasien rentan terhadap berkembangnya atelectasis dan, pada akhirnya, gagal napas. Disarankan agar pasien dipantau mengikuti rangkaian kejadian yang menyebabkan MGC yang berhubungan langsung dengan FVC mereka: 1. Fungsi normal respirasi terjadi pada FVC sebesar 65 mL/kg. 2. Batuk yang buruk dibuktikan dengan akumulasi sekret dan FVC sebesar 30 mL/kg. 3. Dengan FVC 20 mL/kg, mekanisme menghela napas telah rusak, disertai adanya perkembangan dari atelectasis dan hypoxia.

4. Menghela napas tidak dapat dilakukan pada FVC 15 mL/kg, dan muncul atelectasis dan shunting. 5. Hypoventilasi terjadi mulai FVC 10 mL/kg. 6. Hypercapnia terjadi pada FVC antara 5 dan 10 mL/kg.

Disfungsi Oropharyng Otot-otot orophayng menjaga kelancaran jalan napas atas dengan mengatur daerah penampangnya, dan disfungsi dari otot-otot ini meningkatkan resistensi terhadap aliran udara. Kelemahan dari otot-otot laring menyebabkan laring tetap dalam posisi adduksi seama inspirasi, dimana seharusnya berada dalam posisi abduksi. Hal ini menyebabkan apa yang disebut dengan sail phenomenon. Pita suara yang lumpuh, karena posisi dan kelengkungannya, menangkap aliran udara selama inspirasi dan terdorong ke dalam ke garis tengah seperti layar dari perahu. Kelemahan lidah menyumbat rongga oropharyng. Sebagai tambahan dari penyumbatan mekanis pada jalan napas, disfungsi oropharyng menyebabkan ketidakmampuan proteksi terhadap aspirasi.

KEADAAN KLINIS DAN EVALUASI MGC dapat terjadi pada pasien yang telah didiagnosis sebelumnya, tetapi MGC juga dapat merupakan gejala yang tampak pada MG. Pasien dengan diagnosis definitif MG yang mengelu kelemahan yang semakin memburuk dan sesak napas perlu diperiksa untuk adanya dysphagia, stridor, dan kecukupan ventilasi. Selama pemeriksaan, pola respirasi perlu diukur. Pernapasan yang cepat dan dangkal menunjukkan kelelahan otot pernapasan, yang harus dibedakan dengan psychogenic hyperventilation. Fungsi diafragma diukur dengan observasi pergerakan abdomen selama siklus respirasi. Dengan kelemahan yang parah, pola respirasi paradoxic dapat berkembang dengan pergerakan abdomen ke arah dalam selama inspirasi. Kekuatan otot-otot leher berhubungan dengan kekuatan diafragma dan kelemahan dari otot-otot tersebut harus membuat dokter waspada terhadap kemungkinan bahaya pada respirasi. Cara yang sederhana untuk

mengevaluasi cadangan respirasi adalah dengan meminta pasien untuk menghitung mulai 1 sampai 25 dengan hanya satu napas. Pasien dengan keterbatasan yang signifikan harus menjalani pengukuran parameter respirasi. Pengukuran otot-otot oropharyng dimulai dengan menanyakan kesulitan menelan, episode-episode tersedak, atau batuk ketika makan. Suara yang basah dan berdeguk atau stridor dapat menunjukkan perlunya intubasi untuk menjaga jalan napas. Menelan dapat diuji di tempat tidur dengan mengobservasi pasien menelan 3 oz air dan memantau batuk atau tersedak. Namun demikian, kewaspadaan tetap harus diperhatikan saat melakukan pengukuran ini, dan pengukuran ini tidak perlu dilakukan pada pasien dengan tanda-tanda kelemahan oropharyng yang jelas. Pasien mungkin datang dengan status repirasi yang semakin memburuk karena lumpuhnya pita suara. Pada pasien ini, flexible laryngoscopy atau flow volume loops sebaiknya dilakukan. Penemuan posisi pita suara pada posisi adduksi harus membuat dokter waspada terhadap kemungkinan dibutuhknnya cricothomy jika intubasi endotrakeal yang konvensional tidak dapat dilakukan. Dalam satu seri 63 MGC, manifestasi awal adalah kelemahan umum pada 76% pasien, kelemahan bular pada 19% pasien, dan kelemahan otot pernapasan pada 5% pasien. Kebanyakan pasien (68%) memerlukan ventilasi mekanis antara 1 hingga 3 hari setelah eksaserbasi myasthenic awal. Beberapa pasien mungkin mengalami gagal napas tanpa adanya bukti kelemahan umum. Status respirasi pasien yang beresiko terhadap MGC harus dimonitor dengan cermat. Di samping pengukuran FVC (normalnya 60 mL/kg), negative inspiratory force (NIF, normalnya >70 cm H2O), dan positive Expiratory Force (PEF; normalnya >100 cm H2O) harus dilakukan secara serial. Gas darah arteri juga penting untuk dilakukan, dan oximetry denyut nadi bukanlah pengganti dari pengukuran ini. Pada pengukuran gas darah yang abnormal (yang menunjukkan adanya hypoxia dan hypercarbia) dengan disfungsi respirasi tingkat lanjut, pasien mungkin masih memiliki oksigenasi yang normal pada pengukuran oximetry nadi, sementara gas darah menunjukkan perkembangan hypercarbia, sebuah tanda henti respirasi yang akan segera terjadi.

Nilai FVC 1,0 L (<15 mL/kg berat badan), NIF <20 cm H 2O dan PEF <40cm H2O adalah indikasi untuk memasang ventilasi mekanis. Namun demikian, masing-masing pasien harus dipertimbangkan secara individual, dengan pengukuran tingkat kenyamanan, denyut jantung, kecepatan respirasi, nilai gas darah arteri, dan kemampuan untuk meindungi dan menjaga jalan napas. Disfungsi respirasi dapat berkembang dengan cepat dan harus dapat dikenali secara tepat. Beberapat prediktor independen terhadap kebutuhan untuk memasang ventilasi mekanis termasuk abnormalitas pada roentgenogram dada saat masuk rumah sakit (pneumonia atau atelectasis; gambar 1) dan komplikasi selama di rumah sakit seperti atelectasis, arrythmia jantung, dan anemia yang memerlukan transfusi. Ventilasi mekanis awal diperlukan untuk mencegah atelectasis yang semakin memburuk. Paien dengan FC yang rendah (tetapi tidak sampai ke level memerlukan intubasi) dan mereka dengan prediktor independen untuk ventilasi mekanis harus dirawat di unit perawatan intensif untuk pengukuran parameter spirometry serial. Arrythmia jantung umum terjadi pada pasen dengan MGC (14-17% pasien) dan merupakan alasan tambahan untuk perawatan intensif yang memonitor pasien dengan eksaserbasi MG dan bkti MGC yang segera terjadi.

Gambar 1. X-ray dada anteroposterior dari seorang pria berumur 33 tahun dengan MG selama 1 tahun, yang datang dengan kelemahan secara umum yang semakin memburuk dan dysphagia, diikuti dengan tachypnea dan demam. X-ray saat masuk rumah sakit menunjukkan pneumonia paru kanan bawah dan atelektasis lobus kiri bawah. Pasien ini memerlukan ventilas mekanis dalam 12 jam sejak masuk ke rumah sakit.

DIAGNOSIS BANDING Pada pasien yang mengalami kesulitan untuk lepas dari ventilator, MG harus dipertimbangkan; kelainan lain yang mungkin adalah Lambert-Eaton syndrome, botulism, Guillain-Barre syndrome, polymyositis, penyakit neuron motorik, penyakit kritis polyneuropathy dan keracunan organofosfat, dan yang lainnya (Tabel 2). Penelitian elektrodiagnostik adalah alat untuk membedakan di antara kondisi-kondisi ini dan dapat

membimbing evaluasi tambahan spesifik dan juga dapat menyediakan informasi tentang prognosisnya. Tabel 2 Kelainan-kelainan Neuromuskular pada Pasien Perawatan Kritis Kondisi Acute Intermittent Porphyria Ciri-ciri gejala utama Kelemahan lengan asimetris yang berkembang menjadi quadriplegia setelah beberapa kali serangan Botulism Mual dan muntah yang mendahului kelemahan otot, penglihatan kabur, dysphagia, dysarthria, kelumpuhan otot yang menurun, dilatasi pupil, mulut kering, konstipasi, dan retensi urin. Penyakit Kritis Myopathy Pasien dengan COPD arau asma yang memerlukan ventilasi mekanis dan penggunaan neuromuscular blocker dan kortikosteroid Penyakit Polyneuropathy Kritis Pasien dengan sepsis dan kesulitan untuk berhenti mengguakan ventilator, lemahnya atau hilangnya refleksrefleks Ketidakseimbangan Elektrolit Guillain-Barre Syndrome Kelemahan otot secara umum, aritmia jantung dengan atau tanpa rhabdomyolisis Diawali dengan infeksi saluran pernapasan atas atau gastrointestinal; ascending paralysis, arreflexia Lambert-Eaton Syndrome Kelemahan otot proksimal yang simetris, hypoactif atau tidak adanya deep tendon reflex, mulut kering, penglihatan kabur, hipotensi ortostatik Keracunan Timah Kelemahan otot murni, pada awalnya otot-otot ekstensor, fasciculations, nyeri abdomen, konstipasi, anemia, gagal ginjal Pernyakit Motor Neuron Keracunan Organofosfat Kelemahan, penurunan berat badan, fasciculation Paparan terhadap insektisida, petroleum additif, dan plastik, diikuti dengan krisis kolinergik akut (kelemahan otot,

myosis, kram perut) Polymyositis Kelemahan otot proksimal simetris, peningkatan creatine kinase Pengeblokan neuromuskular berkepanjangan Pasien dengan kerusakan fungsi ginjal atau gagal hepar yang telah mengkonsumsi obat-obatan neuromuskular blocker terus menerus

MANAJEMEN Untuk memastikan kesembuhan pasien dari MGC, adalah penting agar kondisi medis secara keseluruhan mereka dioptimalkan. Faktor pencetus yang teridentifikasi harus dihilangkan atau diperbaiki. Semua pasien harus menjalani evaluasi infeksi yang ekstensif, termasuk kultur sputum, urin, dan darah, dan juga tempat lain yang diindikasikan secara klinis. Penggunaan antibiotik yang empiris perlu disesuaikan secara hati-hati dengan situasi klinisnya, karena adanya potensial beberapa antibiotik untuk merusak transmisi neuromusular lebih jauh lagi, dan juga perkembangan resistensi bakteri. Menghindari antibiotik yang tidak perlu lebih observasi bahwa Clostridium difficile colitis jauh lagi ditekankan dengan dengan krisis yang berhubungan

berkepanjangan. Pengukuran status nutrisis perlu dilakukan sejak awal perjalanan MGC. Keputusan akan diperlukannya nasogastric tube feeding jangka pendek, peripheral hyperalimentation, atau gastrostomy tube dibuat dengan perkiraan bahwa kelemahan myasthenic tidak dapat sembuh dengan cepat. Ketidakseimbangan elektrolit akan membahayakan fungsi neuromuskular; dan monitor yang cermat dengan perbaikan yang tepat diperlukan dalam kondisi ini. Pernapasan tekanan positif intermitten dapat berguna dalam mencegah berkembangnya atelectasis; jika pasien telah diintubasi, atau memiliki infeksi sistem respirasi, maka aggressive stocking, alat sequential compression, terapi immunoglobulin intravena pulmonary toilet diperlukan. Perngukuran profilaksis deep venous thrombosis harus dilakukan dengan penggunaan compression dan heparin subcutan. Status koagulasi dapat menyebabkan hyperkoagulasi. Profilaksis untuk menjadi kacau karena penggunaan heparin ketika pertukaran plasma dilakukan; dan dapat gastrointestinal diberikan dengan sucralfate atau histamine receptor blocker

mencegah stres ulcer dan perdarahan gastrointestnal. Dukunagn psikologis untuk pasien

dan keluarga juga penting, dengan penekanan pada kemampuan mengembalikan kebanyakan pasien ke level fungsional yang baik.

Manajemen Ventilasi Rangkaian intubasi yang cepat harus dilakukan segara setelah keputusan untuk ventilasi mekanis dibuat. Hal ini memerlukan pemasangan bag-mask pada pasien untuk mendapatkan saturasi oksigen arterial >97%, administrasi dari free running intravenous normal saline, monitor tekanan darah terus menerus, dan infus bolus obat-obatan sedatif (biasanya etomidate 0,2-0,3 mg/kg). Jika short - acting muscle relaxant diperlukan (lebih baik jika obat-obatan ini dihindari), maka non - depolarizing agent seperti vecuronium sebaiknya digunakan. Intubasi oral harus dilakukan kapanpun memungkinkan. Segera ketika pasien diintubasi, pola ventilasi perlu dipilih, tetapi tanpa pola lebih baik. Assist-control (AC) dan synchronized intermittent mandatory ventilation (SIMV) umum digunakan, masing-masing mempunyai keuntungan dan kerugian. Kelelahan otot dengan kelemahan dan ekspansi paru yang buruk adalah penentu utama dapat perkembangan MGC. Sehingga, tujuan awal dari ventilasi mekanis adalah untuk mendukung mengistirahatkan dan mengembangkan paru. Sebelumnya, dianggap bahwa selama pasien tidak memiliki penyakit paru primer yang membahayakan paru, volume tidal yang besar (15 mL/kg) yang dikombinasikan dengan tingkat yang lebih rendah untuk menjaga ventilasi kecil yang normal, dengan Positive End-Expiratory-Pressure (PEEP) pada level 5-15 dapat digunakan, dengan syarat bahwa tekanan jalan napas puncak dijaga pada batas yang dapat diterima (<40 cm H2O). Namun demikian, literatur baru-baru ini menjelaskan bahwa volume tidal yang lebih kecil (7-8 mL/kg) dengan kecepatan respirasi yang lebih besar (12-16 napas/menit) harus digunakan untuk menghindari kerusakan paru, dengan tambahan helaan napas intermiten (1,5 volume tidal, 3-4 kali setiap jam) utnuk menghindari atelektasis.

Penghentian Ventilator

Beberapa parameter dapat berguna dalam menentukan kapan untuk memulai penghentian ventilasi mekanis: FVC >15 mL/kg, NIF <30 cm H 2O, PEF 40 cm H2O, dan ventilasi prediksi kecil <15L/menit. yang terbatas, dan Namun demikian, parameter juga kondisi umum ini mempunyai kekuatan yang lain harus dinilai sebelum

penghentian dilakukan: 1. Pasien perlu dioksigenasi dengan cukup, dengan PaO2 >60 mmHg, dengan konsentrasi fraksional oksigen dalam gas yang dinspirasi (FiO 2) sebesar 40%, dan nilai PEEP <5cm H2O. 2. Pasien juga harus mempunyai kemampuan respirasi yang utuh (pada pasien MG, kemampuan respirasi tidak rusak), untuk dapat melindungi jalan napas dan memiliki refleks batuk yang cukup. 3. Status hemodinamik pasien harus stabil, level elektrolit dalam cakupan normal, dan status nutrisi cukup. 4. Pasien harus bebas dari infeksi atau komplikasi medis signifikan yang lain. 5. Kebutuhan untuk penghisapan jalan napas harus kurang dari tiap 2-3 jam.

Untuk pasien-pasien MG, satu indikator utama dan awal untuk penghentian ventilasi mekanis adalah peningkatan kekuatan otot secara umum dengan pemeriksaan fisik yang objektif. Index dari rapid shallow breathing dianggap sebagai prediktor paling baik untuk melakukan penghentian ventilator yang sukses; indeks ini dihitung dengan membagi volume tidal dengan kecepatan respirasi pasien ketika tidak memakai ventilator untuk sementara. Pasien dengan nilai indeks >100 memiliki 95% kemungkinan gagal dalam percobaan penghentian. Ketika pasien memenuhi kriteria ekstubasi, metode yang dipilih untuk percobaan penghentian dapat bervariasi menurut pengalaman klinis dokter masing-masing. Sebuah metode adalah percobaan yang dilakukan setiap hari dari Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) dan level pressure support 5-15 cm H 2O. Jika pasien tetap nyaman setelah 1-4 jam, level dari pressure support dapat diturunkan sebesar 1-3 cm H 2O tiap

harinya. Pasien harus kembali ke pola ventilator awal pada waktu malam hari atau ketika tanda-tanda kelelahan muncul. Pola SIMV juga dapat digunakan untuk penghentian. Pola ini dilakukan dengan menurunkan laju ventilasi sebesar 2-3 napas sekali atau lebih dalam satu hari, berdasarkan tingkat kenyamanan pasien. Peningkatan laju respirasi, penurunan volume tidal, agitasi, dan takikardia adalah tanda-tanda dari kelelahan. Ketika pasien telah menunjukkan ketahanan yang bagus (jumlah jam dimana pasien dapat mentoleransi penghentian dengan support yang minimal, biasanya lebih dari 2 jam) dan kondisi umum mencukupi, pasien tersebut dapat di-extubasi. Extubasi harus dilakukan pada awal / pagi hari. Stridor dapat terjadi segera hingga 1 jam setelah extubasi, dan aerosolized racemic epinephrine dapat mengembalikan kondisi tersebut ke keadaan normal, tetapi reintubasi mungkin diperlukan. Laryngospasm tidak umum terjadi tetapi merupakan kondisi yang mengancam jiwa. Lidocaine yang diberikan secara intravena (2mg/kg) dapat secara signifikan menurunkan laryngospasm, jika digunakan beberapa menit sebelum extubasi.

Pengobatan Disfungsi Neuromuskular

Terapi dapat dibagi menjadi terapi yang meningkatka kekuatan secara cepat dengan durasi kerja yang pendek dan terapi yang meningkatkan kekuatan secara lambat dengan respons yang lebih permanen. Kategori yang pertama termasuk acetylcholinesterase inhibitor, plasmapheresis, dan intravenous immunoglobuklin (IVIg). Kategori yang kedua terdiri dari agen-agen immunosupresif, seperti corticosteroid, azathioprine, cyclophosphamide, dan cyclosporine. Cyclosporine tidak digunakan untuk menyelamatkan pasien dari MGC tetapi untuk manajemen jangka panjang pada pasien MG. Penggunaan corticosteroid saat MGC masih diperdebatkan. Beberapa orang mendukung penggunaannya selama krisis hanya pada pasien dengan kelemahan refraktori; yang lain menyarankan terapi ini dimulai ketika pasien dirawat dengan IVIg atau plasmapheresis.

Cholinesterasi inhibitor dapat memperbaiki gejala pada pasien myasthenia dengan menurunkan degradasi Ach pada neuromuscular junction. Infus pyridostigmine intravena secara terus menerus telah dilaporkan sebagai pengobatan yang efektif pada MGC bila dibandingkan dengan plasmapheresis, dilihat dari mortalitas, durasi dari ventilasi, dan hasilnya. Penggunaannya telah dlindungi, terutama jika MGC dipicu oleh infeksi. Namun demikian, merupakan hal yang umum dilakukan untuk menghentikan pemakaian agen ini pada pasien yang menggunakan ventilasi mekanis karena kecenderungannya untuk menyebabkan sekresi respirasi yang berlebihan dan penyumbatan oleh mukus. Hal lain yang harus diperhatikan adalah laporan terjadinya arrythmia jantung pada pasien-pasien dengan MGC, termasuk mereka yang menerima pyridostigmine secara intravena. Cholinesterase inhibitor dapat meningkatkan aktivitas kolinergik pada synaps muskarinik jantung, yang dapat menyebabkan arrythmia. Plasmapheresis adalah pengobatan yang dianjurkan untuk MGC, dengan tingkat keefektifan yang dilaporkan sebesar 75%. Mekanisme aksi nya berhubungan dengan penghilangan faktor-faktor yang bersirkulasi, seperti antibodi reseptor acetylcholine (AChR). Meskipun titer antibodi AchR tidak berhubungan dengan keparahan MG, penurunan titer antibodi AchR berhubungan dengan perbaikan klinis. Tidak ada protokol standard untuk plasmapheresis. Regimen normalnya adalah pertukaran 1-1,5 volume plasma tiap harinya atau tiap hari selanjutnya selama 5-6 kali pegobatan. Perbaikan klinis dapat dilihat pada 24 jam pertama, tetapi pada kebanyakan pasien efek pertama muncul setelah 2-3 sesi plasmapheresis. Beberapa pasien mungkin memiliki keadaan awal yang semakin memburuk yang dianggap disebabkan oleh penurunan konsentrasi plasma dari cholinesterase. Durasi efek ini biasanya <10 minggu, jika pengobatan imunosupresif yang lain tidak dimulai. Komplikasi paling sering dari plasmapheresis adalah hipotensi, ketidakseimbangan elektrolit (penurunan kalsium, potassium, dan magnesium), hilangnya faktor-faktor pembekuan, dan thrombocytopenia. Untuk mendapatkan akses vaskular terkadang sulit dan dapat dipersulit dengan pneumothorax, thrombosis, dan infeksi. Ketika sejumlah besar volume plasma dihilangkan, volume intravaskular harus digantikan dengan albumin dalam larutan saline. Ketidakseimbangan elektrolit harus diperbaiki untuk mencegah eksaserbasi kelemahan oto. Coagulopathy biasanya bersifat ringan tetapi tetap harus diwaspadai ketika menggunakan heparin subcutan untuk profilaksis deep venous

thrombosis. Menurunkan dosis obat antihipertensi dan memberikan cairan intravena sebelum melakukan prosedur dapat menghindari hipotensi. Pilihan lain untuk pengobatan spesifik dari MGC adalah IVIg. Rangkaian yang standard terdiri dari IVIG 400mg/kg/hari selama 5 hari. Respons terhadap IVIg biasanya dapat dilihat 5 hari setelah awal pengobatan. Beberapa orang melaporkan bahwa IVIg mempunyai keefektifan dan toleransi yang sama dengan plasmapheresis. Namun demikian, orang yang lain menemukan bahwa pasien yang dirawat dengan plasmapheresis memiliki status resprasi yang baik pada 2 minggu (dapat di-extubate) dan hasil fungsional yang lebih baik pada 1 bulan jika dibandingkan dengan IVIg. Terlebih jauh lagi, beberapa pasien mungkin tidak berespons terhadap IVIg tetapi mendapatkan peningkatan setelah plasmapheresis yang dilakukan setelah itu. IVIg meruapakan pilihan yang lebih baik pada pasien dengan hemodinamik yang tidak stabil, masalah akses pembuluh darah, atau respons yang buruk terhadap plasmapheresis. Efek samping terjadi pada <10% pasen dan umumnya merupakan sakit kepala, menggigil dan demam, fluid overload, dan (jarang) gagal ginjal. Anaphylaxis dapat terjadi pada komponen IgA pada pasien dengan defisiensi IgA. Level IgA dan fungsi ginjal harus diperiksa sebelum pengobatan dimulai.

HASIL DARI KRISIS MYASTHENIA

Sebuah penelitian mengidentifikasi tiga prediktor independen dari penggunaan ventilasi mekanik yang lama: usia > 50 tahun, preintubasi serum bikarbonat 30, dan kapasitas vital puncak <25mL/kg pada hari ke-1 hingga ke-6 setelah intubasi. Proporsi pasien yang diintubasi se;ama lebih dari 2 minggu adalah 88% pada pasien dengan tiga faktor resiko, 46% pada pasien dengan dua faktor resio, dan 21% pada pasien dengan satu faktor resioko, dan 0 untuk pasien tanpa faktor resiko. Penelitian yang sama juga membuktikan bahwa atelektasis, anemia yang membutuhkan transfusi, dan infeksi Clostridium difficile, dan gagal jantung kongestif adalah komplikasi yang berhubungan dengan intubasi yang lama. Tracheostomy biasanya dilakukan setelah 2 minggu intubasi, tetapi tracheostomy yang lebih awal direkomendasikan untuk pasien yang diperkirakan

memerlukan ventilasi mekanis yang lebih lama. Tracheostomy lebih nyaman untuk pasien, menurunkan resiko stenosis tracheolaryngeal, membuat penghisapan sekresi mukus trakea lebih efektif, dan mmemfasilitasi penghentian ventilasi mekanis dengan mengurangi dead space dan resistensi terhadap aliran udara dari endotracheal tube. Secara umu, 25% pasien akan di-extubasi setelah 1 minggu, 50% pasien setelah 2 minggu, dan 75% setelah 1 bulan. Intubasi dan ventilasi mekanis selama >2 minggu berhubungan dengan peningkatan lama tinggal di rumah sakit sebesar tiga kali lipat (dengan median 63 hari) dan peningkatan kemungkinan ketergantungan fungsional saat keluar dari rumah sakit sebesar dua kali lipat. Sepertiga pasien yang dapat bertahan pada krisis pertama, akan engalami episode krisis yang kedua. Meskipun krisis myasthenic adalah kejadian yang berpotensial mematikan dan selalu mengkhawatirkan bagi pasien dan orang-orang yang dicintai, mengoptimalkan perawatan kritis dan pengobatan MG jangka panjang dapat mencegah krisis tersebut menjadi parah, seperti yang sebelumnya terjadi.

Anda mungkin juga menyukai