Anda di halaman 1dari 6

MAFHUM MUKHOLAFAH

Makalah Ini Di Susun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Ushul Fiqh

Dosen pengampu: Afdaiza

Disusun Oleh:

-Ali Farhan :07530007

FAKULTAS USHULUDDIN
JURUSAN TAFSIR HADITS
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALI JAGA
YOGYAKARTA
2007
BAB II
PEMBAHASAN
a. Pengertian Dilalah Mafhum Mukholafah
Dalalah mafhum mukholafah ialah pengertian lafadz kepada berlakunya
arti (hukum) kepada sebaliknya (yang berlawanan )dari arti (hukum) yang di
sebutkan dalam nash kepada sesuatu yang tidak disebutkan hukumnya dalam
suatu lafadz. Dalalah mafhum mukholafah ini, disebut juga dengan dalilul
khithob.
b. Macam-Macam Dilalah Mafhum Mukholafah
a) Mafhum hassrh
Mafhum hassrh ialah menetapkan hukum sebaliknya dari pada hukum yang
dibatasi dengan yang disebutkan oleh lafadz dalam nash, misalnya dalam sabda
Rosulallah saw.
‫انما الشفعة فئما لم ىقسم‬

Artinya: Hanya saja syuf’ah itu terdapat pada sesuatu (benda tetap) yang belu
dibagi.
Lafadz hadits di atas menyebutkan bahwa hukum syuf’ah terbatas pada benda
tetap yang belum atau tidak dapat di bagi. Oleh karena itu, mafhum hassrnya
yaitu bahwa selain pada tetap yang belum di bagi tidak berlaku hukum syuf’ah.
b) Mafhum shifat.
Mafhum shifat ialah petunjuk lafadz yang diberi sifat tertentu kepada
berlakunya hukum sebaliknya (yang berlawanan) dari hukum yang disebutkan
oleh lafadz tersebut. Misalnya dari firman Allah swt.
‫ومن لم ىستطع منكم طوال ان ىنكح المحصنت المؤءمنت فمن ما ملكت ائما نكم من فتىتكم‬
‫المؤمنت‬
Artinya: Dan barang siapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup
pembelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman,
boleh mengawini wanita yang beriman dari budak-budak yang kamu
miliki.....(an Nisaa’:25)
Lafadz diatas adalah kebolehan mengawini budak yang beriman, jadi
mafhum shifatnya ialah, haram mengawini budak yang tidak beriman.
C Mafhum Syarat.
Mafhum syarat ialah petunjuk lafadz yang memfaedahkan adanya hukum
yang dihubungkan dengan syarat supaya dapat berlakunya hukum sebaliknya
(yang berlawanan) pada sesuatu yang tidak memenuhi syarat yang disebutkan
oleh lafadz itu, sebagai contoh dari firman Allah:
‫وان كن اوالت حمل فانفقوا علىهن حتى ىضعنا حملهن‬
Artinya: ...... Dan jika mereka (istri-istri yang sudah dithalak) itu sedang
hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkah hingga melahirkan ..........(At
Thalaaq : 6).
Hukum yang disebut oleh lafadz ayat diatas (dalalah manthuqnya), yakni
wajib memberi nafkah istri yang dithalak dalam keadaan hamil sampai dengan
melahirkan. sedang mafhum syaratnya ialah, bekas suami tidak wajib memberi
nafkah istri dalam keadaan hamil
d) Mafhum Qhayah.
Mafhum qhoyah ialah petunjuk lafadz yang memfaedahkan sesuatu hukum
sampai dengan batas yang ditentukan itu maka berlaku hukum sebaliknya
seperti firman Allah:
‫وان كن اوالت حمل فانفقوا علئهن حتئ ىضعن حملهن‬
Artinya: .... dan makan dan minumlah hingga jelas bagian benang putih dari
benang hitam, yaitu waktu fajar. (Al Baqarah : 187)
Hukum yang di sebutkan oleh lafadz ayat diatas ialah bahwa kebolehan
makan dan minum diwaktu malam bulan Ramadlan dibatasi sampai dengan
datangnya waktu fajarl karena itu mafhum ghoyahnyna yairtu haram (tidak
boleh) makan dan minum setelah melampaui waktu malam yaitu di kala telah
datang waktu fajar
f). Mafhum ‘adad
Mafhum ‘adad ialah petunjuk lafadz yang memfaedahkan suatu pengertian
dinyatakan oleh hukum yang dengan bilangan tertentu dan akan berlaku
hukum sebaliknya (yang berlawanan ) pada bilangan yang di sebutkan oleh
lafadz itu. Sebagai contoh dari firman Allah:
‫الزانئة والزانئ فاجلدوا^ كل واحد منهما ماءة جل دة‬
Artinya: Perempuan yang berjina dan laki-laki yang berzina maka deralah tiap-
tiap orang dari keduanya seratus kali ...........(An Nur: 2)

Hukuman dera yang dikenakan kepada orang yang berbuat zina (ghoiru
muhsan) baik laki-laki maupun perempuan yang disebutkan oleh lafadz ayat
diatas yaitu seratus kali. Dengan demikian, maka mafhum ‘adadnya ialah:
Tidak memadai mendera orang yang berbuat zina (ghoiru muhsan) selain
seratus kali, yakni kurang seratus kali, dan juga tidak boleh lebih dari itu.
Kemudian terhadap mafhum mukholafah yang lain yaitu mafhum
shifat,mafhum syarat, mafhum qhoyah dan mafhum adad: Ulama’ Syafi’iiyah
dan ualama’ Malikiyah menggunakan sebagai hujah, namun dengan ketentuan:
1. Mafhum mukholafah tidak bertentangan dengan dalalah manthuq dengan
nash yang lain,
2 Apabila adanya pembahasan hukum yang disebut (manthuq) tidak
mempunyai arti bahwa padanya tidak boleh diberlakukan hukum sebaliknya
(mafhum mukholafah). Jika adanya pembatasan hukum yang disebut
mempunyai arti tidak boleh diberlakukan mafhum mukholafah, maka sudah
barang tentu dalam hal itu mafhum mukholafah tidak dapat dijadikan hujjah.
Arti-arti yang terkandung dalam pembatasan hukum yang disebut
menunjukkan tidak boleh diberlakukan mafhum mukholafah antara lain:
pembatasan hukum yang disebut sesuai dengan adat (kebiasaan) atau
merupakan sesuatu yang banyak terjadi,
a. pembatasan hukum yang disebut dimaksudkan sebagai pendorongan untuk
dilaksanakan..
b. pembatasan hukum yang yang dimaksudkan untuk menyatakan jumlah
yang terbatas (berapa banyaknya),
c. Pembatasan hukum yang disebut dimaksudkan sebagai jawaban dari suatu
pertanyaan, seperti ketika Nabi Muhammad ditanya tentang kewajiban
zakat unta yang mencari makan sendiri. Beliau menjawab:
Alasan para ulama’ menjadikan empat macam mafhum mukholafah
sebagai hujjah yaitu:
1. Bahwasanya syara’ membatasi hukum-hukum tersebut mempunyai arti atas
hikmah.
2. Para sahabat dan tabi’in menggunakan juga mafhum mukholafah sebagai
hujjah.
Sedangkan ulama’ hanafiyah menolak berhujjah dengan mafhum
mukholafah. Dalam hal ini mereka mengemukakan beberapa alasan,
diantaranya:
Bayak ayat Al Qur’an dan hadits Nabi saw yang menunjukkan tidak boleh
menggunakan mafhum mukholafah, karena di khawatirkan adanya arti yang
keliru atau akan mengakibatkan adanya hukum-hukum yang bertentangan
dengan hukum yang ditetapkan oleh syara’
2. Seandainya mafhum mukholafah dapat dijadkan hujjah, berarti tidak
mengambil hujjah dengan hukum yang disebut oleh nash itu,
Jika mafhum mukholafah di jadikan hujjah, berarti kita harus selalu mengambil
dengan mafhum mukholafah tersebut dan meninggalkan hukum yang
disebutkan oleh nash. Padahal kita dapati nash-nash yang menunjukkan bahwa
syara’ mengabaikan penggunaan mafhum mukholafah.
4. Terhadap pendapat yang menyatakan bahwa adanya pembatasan hukum yang
disebut pasti mempunyai kegunaan dan jika tidak mempunyai kegunaan dan
jika tidak mempunyai kegunaan dianggap sia-sia; Ulama’ hanfiyah mengatakan
bahwa kegunaan itu bukanlah berarti menetapkan hukum yang sebaliknya bagi
yang tidak disebut, melainkan kegunaannya ialah adanya yang tidak disebut itu
justru mengharuskan diambil hukumnya dari dalil lain atau ditetpkan
hukumnya berdasarkan:

Anda mungkin juga menyukai