Document
Document
Pasal
Hadits ini dho’if / lemah dalam sanadanya dan matannya. Yang tidak didapati dalam satu karya
tulis Hadits pun , suatu yang demikian lafadznya. Dan yang masyhur adalah hadits : ” Perbedaan
pendapat para shahabatku adalah Rahmat “, dan ini adalah yang disebutkan sebagian kalangan
ahli ushul fiqh, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Hajid dalam ” Mukhtashar ” beliau dalam ushul
fiqh.
Berkata As Subki : ” Hadits ini bukanlah hadits yang dikenali oleh Ahlul Hadits, dan belumlah
saya jumpai hadits ini dengan sanad yang shohih, tidak juga yang lemah dan juga yang palsu “[1]
Berkata abu Muhammad bin Hazm : ” Adaoun hadits tersebut adalah hadits yang batil dan
kedustaan hasil ciptaan orang-orang fasiq ” [2]
Berkata Al Qosimi dalam mengkritik hadits ini –baik itu sanadanya dan matannya- : ” Dan
sebagian dari para Ahli Tafsir menyebutkan disini suatu yang diriwayatkan dari hadits : ”
Perselisihan ummatku adalah suatu rahmat ” sementara ahdist ini tidaklah dikenali sanad yang
shohih padanya. Diriwayatkan oleh Ath Thabrani dan Al Baihaqi dalam ” Al Madkhal ” dengan
sanad yang lemah dari hadits Ibnu ‘Abbas secara marfu’.
Berkata sebagian dari Ahli tahqiq –peneliti hadits – : Hadits ini menyelisihi nash-nash syara’
berupa ayat-ayat dan hadits-hadits, seperti firman Allah ta’ala ;
{ك
َ حَم َرّب
ٍ ن َر
ْ ل َم
ّ خَتِلفشْين ِإ
ْ ن ُم
َ ل َيَزاُلْو
َ } َو
” Dan mereka akan selalu berselisih terkecuali yang telah mendapatkan rahmat dari Rabb-mu “ –
Huud : 18 –
Dan serupa dengannya sabda Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam : ” Janganlah kalian berbeda
pendapat yang akan menjadikan hati-hati kalian berbeda “[3]
Dan selainnya dari sekian banyak hadsit yang pasti menunjukan bahwa persatuan lebih baik
dibandingkan perselisihan”[4]
Dan hadits yang diisyaratkan oleh Al Qosimiy, diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam Al Madkhal[5]
dan sanadanya sangat lemah, terdapat padanya tiga illat / penyakit ;
Pertama : Sulaiman bin Abi Karimah, dilemahkan oleh Abu Hatim Ar razi
Kedua : Juwaibir, seorang yang ditinggalkan haditsnya, seperti perkataan An Nasa’I dan Ad
daraquthni. Dan ia telah meriwayatkan dari Adh Dhahhak beberapa hadits yang palsu, dan hadits
ini termasuk yng ia riwayatkan dari Adh Dhahhak.
Ketiga : Terputusnya sanad hadits ini antara Adh Dhahhak dan Ibnu ‘Abbas.
Dan secara keseluruhan, tidak ada satu dalil pun dari Al Kitab dan As Sunnah yang menunjukkan
bahwa perselisihan itu adalah suatu rahmat.
Berkata Al ‘Allamah Muhammad Nashiruddin Al Albani –rahimahullah- : ” Dan dari kesemua
pendapat menunjukkan bahwa perselisihan adalah hal yang tercela, maka yang wajib untuk
berupaya berlepas diri dari perselisihan sesanggupnya. Dikarenakan perselisihan adalah salah
satu dari sebab-sebab lemahnya ummat islam, sebagaimana firman Allah ta’ala ;
{ حُكْم
َ ب ِرْي
َ شُلْوا َو َتْذَه
َ عْوا َفَتْف
ُ ل َتَناَز
َ } َو
” Dan janganlah kalian berselisih sehingga kalian menjadi lemah dan hilang pertolongan bagi
kalian “
Dan bukanlah hal yang lapang bagiku terkecuali akan saya katakan : Jikalau seandainya
perselisihan ummat –ku itu rahmat, apakah persatuan mereka itu adalah suatu adzab ?!
Adapun ridho dengan setiap perselisihan dan menamakannya sebagai suatu rahmat, adalah
menyelisihi ayat-ayat Al Qur’an yang mulia dan telah menjelaskan akan tercelanya perselisihan,
tidak perkataan itu tidaklah memiliki sandaran melainkan hadits ini yang tidak ada sama sekali
sandarannya dari Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam.”[6]
[2] Al Ihkam 5 / 61
[3] Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, dan telah disebutkan dalam Shohih Sunan Abu Daud
No. 670 oleh Asy Syaikh Al Albani.
( Judul Asli : Zajr Al Mutahawin Bidhorurah Qaidah Al Ma’dzarah wat Ta’awun. Penulis : Hamd
bin Ibrahim Al ‘Utsman. Muroja’ah : Al ‘Allamah Asy Syaikh Sholeh bin Fauzan Al Fauzan.
Rekomendasi : Al ‘Allamah Asy Syaikh ‘Abdul Muhsin Al ‘Abbad. Penerbit : Maktabah Al
Ghuraba’ Al Atsariyah. Cetakan Pertama 1419 H / 1999 M. Penerjemah : Abu Zakariya Al Atsary.
)
Para ahli hadits telah berusaha mencarikan sanad hadits ini, tetapi
mereka tidak berhasil menemukan sanadnya sehingga As Suyuuthi pernah
berkata: "Mungkin sanad hadits ini hanya terdapat dalam kitab
para Huffadh saja, dimana besar kemungkinan belum sampai kepada
kita" [Lihat Al Jaami'ush Shaghiir]
Berkata Syaikh al-Albani rahimahullah: “Para ulama ahli hadits telah mengerahkan segala
kemampuan mereka untuk menemukan sanad hadits ini, namun mereka tidak bisa
menemukannya. Sampai-sampai Imam as-Suyuthi berkata: “Barangkali hadits ini diriwayatkan di
sebagian kitab para ulama yang tidak sampai kepada kita.” Namun menurutku ucapan ini jauh
dari kebenaran, karena mempunyai konsekuensi bahwa ada beberapa hadits yang hilang dari
ummat ini, dan ini sama sekali tidak boleh diyakini oleh seorang muslim.”
Berkata Imam as-Subki rahimahullah: “Hadits ini tidak dikenal oleh para ulama, dan saya pun
tidak menemukan sanadnya, baik sanad yang shahih, lemah maupun palsu.”
Ucapan ini disepakati oleh Syaikh Zakaria al-ashari dalam ta’liq Beliau atas kitab Tafsir Baidhawi.
Makna hadits inipun munkar menurut para ulama. Berkata Imam Ibnu Hazm rahimahullah dalam
al-Ahkam fi Ushulil Ahkam 5/64 setelah beliau mengisyaratkan bahwa ucapan diatas itu bukan
hadits: “Ucapan ini sangat rusak, karena seandainya perselisihan itu merupakan sebuah rahmat,
niscaya persatuan itu merupakan adzab, dan ini tidak pernah dikatakan oleh seorang muslim,
karena tidak ada didunia ini melainkan persatuan dan perselisihan, juga tidak ada melainkan
rahmat dan adzab.
Diantara dampak negatif dari hadits ini adalah bahwa sebagian kaum muslimin menyetujui
adanya perselisihan sengit yang terjadi diantara empat madzhab fiqih, mereka tidak berusaha
mengembalikan permasalahannya kepada al-Qur’an dan as-Sunnah ash-Shahihah sebagaimana
yang diperintahkan oleh imam-imam mereka, bahkan mereka berpandangan bahwa madzhab
para ulama itu semacam syariat yang berbeda-beda, mereka katakan hal ini padahal mereka
mengetahui bahwa pertentangan yang terjadi antara mereka tidak mungkin disatukan kecuali
dengan menolak sebagian pendapat yang bertentangan dengan dalil serta menerima yang
sesuai dengan dalil. Namun mereka tidak melakukan hal itu, yang mana sebenarnya perbuatan
mereka itu berkonsekuensi bahwa syariat Islam itu saling bertentangan, dan ini saja cukup
sebagai sebuah dalil bahwa perselisihan ini bukan datang dari Allah, seandainya mereka mau
merenungkan firman Allah Ta’ala:
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Seandainya al-Qur’an itu datangnya dari
selain Allah, niscaya mereka akan mendapatkan banyak perselisihan” (QS An-Nisa’ : 82)
Ayat ini sangat tegas menunjukkan bahwa perselisihan itu bukan datang dari Allah, maka
bagaimana mungkin menjadikannya sebagai sebuah syariat yang diikuti serta memasukkannya
sebagai sebuah rahmat yang diturunkan oleh Allah?!
Kesimpulan: Bahwa perselisihan itu sesuatu yang tercela dalam syariat ini, maka wajib
menghindarinya sebisa mungkin, karena itu bisa menjadi sebab lemahnya ummat ini.
sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Dan taatlah kalian pada Allah dan Rasul-Nya serta janganlah kalian saling bermusuhan, lalu
kalian akan menjadi lemah dan akan hilang kekuatan kalian, dan bersabarlah sesungguhnya
Allah bersama orang-orang yang sabar”. (QA al-Anfal : 46)
Adapun Ridha serta menamakannya sebagai sebuah rahmat, maka hal ini jelas-jelas
bertentangan dengan banyak ayat-ayat al-Qur’an yang sangat tegas mencelanya, juga hal ini
tidak ada sandarannya kecuali hadits ini yang sama sekali tidak ada asal-usulnya dari Rasulullah.
Kalau ada yang bertanya: “Para sahabat pun berselisih, padahal mereka adalah manusia paling
utama, apakah mereka juga tercela?”
Pertanyaan ini telah dijawab oleh Imam Ibnu Hazm dalam al-Ihkam 5/67, 68: “Jelas tidak, mereka
sama sekali tidak tercela, karena masing-masing dari kalangan para sahabat ingin meniti jalan
Allah dan sama-sama ingin mencari kebenaran, maka yang salah mendapatkan satu pahala
karena niatnya yang shalih dalam mencari kebenaran serta dihilangkan dosa dari mereka karena
mereka sama sekali tidak bermaksud berbuat salah. Adapun bagi yang benar maka dia
mendapatkan dua pahala.
Demikian halnya setiap muslim sampai hari kiamat kalau berhadapan dengan sesuatu masalah
agama yang tidak diketahuinya, Ancaman diatas hanya berlaku bagi orang yang tidak mau
berpegang kepada tali Allah dan sunnah Rasulullah padahal dia mengetahuinya lalu hanya
berpegang kepada perkataan si fulan dan si fulan, dan dia hanya taqlid kepadanya, mengajak
orang untuk berta’ashub kepadanya serta sengaja menolak al-Qur’an dan as-Sunnah, jika nash
itu sesuai dengan pendapatnya maka diambiln sedangkan bila tidak sesuai maka ditinggalkan.
Merekalah orang-orang yang tercela.
Disisi lain ada sebagian orang yang sangat lemah keimanan dan agamanya, dia mengikuti setiap
yang sesuai dengan hawa nafsunya, dia mengambil setiap keringanan yang disampaikan oleh
para ulama, dia hanya ikut-ikutan saja tanpa melihat dasar al-Qur’an dan as-
Sunnah”
(sumber: hadits palsu dan lemah yang populer di Indonesia : ahmad sabiq bin abdul lathif abu
yusuf)
Wassalamu'alaikum. Rahima
__________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam? Yahoo! Mail has the best spam protection around
http://mail.yahoo.com
--------------------------------------------------------------
Website: http://www.rantaunet.org
=========================================================
Berhenti, berhenti sementara dan konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke:
http://rantaunet.org/palanta-setting
Katagori : Hikmah
Oleh : Redaksi 22 May 2004 - 12:45 am
Ikhtilaafu ummatii rahmat, perbedaan di kalangan ummat adalah rahmat. Tapi Fanatisme
kesetiaan (loyalitas) yang berlebihan sering menjadi pelopor perselisihan. Bukan kebetulan jika
Allah Subhaanahu wa ta’ala menciptakan milyaran manusia. Dari Nabi Adam hingga sekarang,
tak satupun di antara mereka yang menyerupai, apalagi sama. Dua saudara kembar, sekalipun
tetap berbeda. Secara fisik mungkin tampak mirip, tapi keduanya memiliki ciri-ciri yang berbeda.
Keduanya memiliki kecendrungan yang tidak sama. Keduanya tak ingin menjadi pribadi sendiri-
sendiri, yang satu di antara yang lain tidak ingin disamakan.
Dalam ajaran Islam tidak dikenal istilah titisan, apalagi reinkarnasi. Orang yang sudah meninggal
dunia tak akan pernah digantikan oleh siapapun juga, termasuk anak keturunannya. Oleh
karenanya, tidak satupun orang terdahulu yang mirip dengan kita. Allah Maha Kreatif dalam
penciptaan manusia.
Di balik semua perbedaan manusia sesungguhnya terletak taqdir Allah. Di balik taqdir tersebut
tersimpan rahasia dan hikmah yang apabila direnungkan dengan sungguh-sungguh akan tampak
kebesaran Allah, Besar dalam Sifat-Nya, Besar dalam Dzat-Nya, dan Besar dalam Penciptaaan-
Nya. Warna-warni kehidupan adalah sunnatullah.
Dianjurkan bagi seorang yang lagi stres untuk melihat berlama-lama ikan hias yang bergerak
lincah dalam aquarium. Lebih afdhal jika ikan hias itu berwarna warni. Kombinasi warna yang
seringkali kontras dalam tubuh ikan itu justru dapat menyejukkan pandangan, menenangkan
persaan, dan seterusnya mengurangi stres dan tekanan jiwa. Itulah sunnatullah yang terhampar
luas di jagad raya itu.
Melalui gambaran di atas, masih adakah keinginan kita untuk menyeragamkan manusia, atau
malah meleburnya menjadi satu ujud tanpa senyawa? Merupakan kebodohan jika masih ada di
antara kita yang mimpi seperti itu. Ilusi seperti itu sangat bertentangan dengan sunnatullah yang
terhampar luas di pemukaan bumi. Meniadakan perbedaan sama halnya dengan menentang
sunnatullah, menentang fitrah kemanusaian, sekaligus menentang diri kita sendiri.
Bagi Allah tidaklah sulit untuk menyatukan manusia, tapi Allah secara sengaja membiarkan
mereka berbeda. Sikap ini ditegaskan oleh-Nya dalam al-Qur’an:
“Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia ummat yang satu, tetapi mereka
senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Tuhanmu. Dan
untuk itulah Allah menciptakan mereka.” (Huud: 118 – 119)
Dalam tafsirnya ar-Razi mengartikan “berselisih pendapat” dalam ayat di atas adalah perselisihan
pendapat manusia tentang agama, akhlaq dan perbuatan-perbuatan yang lain. Lebih jauh
perbedaan itu bisa jadi dalam masalah aqidah, syari’ah (fiqih), dan akhlaq, juga siyasah.
Perbedaan dalam keempat hal tersebut di kalangan ummat Islam sudah ada sejak Rasulullah
masih hidup. Beliau menyaksikan di antara sahabat-sahabatnya berselisih pendapat tentang
banyak hal. Di antaranya ada yang diluruskan, ada yang dibenarkan salah satunya, ada yang
dibenarkan dua-duanya, dan ada pula yang dibiarkan.
Sebagai pemimpin ummat, Rasulullah menyadari bahwa perbedaan dan silang pendapat adalah
suatu yang niscaya. Justru dalam perbedaan itu terletak potensi yang sangat besar, yang jika
dapat dikelola dengan baik dan tepat sasaran, justru akan membuahkan kekuatan yang luar
biasa. Sebaliknya, jika perbedaan itu disikapi secara salah dan dikelola semaunya, maka
perbedaan itu akan berubah menjadi konflik yang pada ujungnya bakal mendatangkan bencana.
Di masa Rasulullah, betapapun besarnya perbedaan dan dalamnya perselisihan di antara para
sahabat, semuanya dapat diselesaikan, bahkan perbedaan itu telah membawa rahmat dan
berbagai kemajuan Islam. Dalam perbedaan itulah para sahabat bersaing dan berlomba untuk
memperbaiki diri, meningkatkan kualitas, dan mengembangkan segenap potensi. Perbedaan
seperti itulah yang disebut-sebut dalam Islam sebagai rahmat.
Ikhtilaafu ummatii rahmat, perbedaan di kalangan ummatku adalah rahmat. Ada dua persyaratan
minimal yang harus dimiliki untuk mengubah ikhtilaf menjadi rahmat. Pertama, adanya
kepemimpinan ummat. Kedua, terciptanya tradisi ilmiah di kalangan ummat. Jika kedua syarat ini
ada, insya-Allah sebesar apapun perbedaan yang ada pasti dapat diselesaikan, bahkan akhirnya
justru mendatangkan rahmat.
Kepemimpinan ummat harus ada dan mewujud dalam kehidupan nyata. Al-Qur’an maupun hadits
tidak menentukan bentuknya kepemimpinan tersebut, tapi esensinya bahwa kepemimpinan itu
haruslah efektif menyatukan ummat dalam satu shaf yang rapi untuk menegakkan kalimatullah
hiyal ‘ulya. Perbedaan yang ada justru ditata dan dikelola dalam konfigurasi warna yang mewah
dan mempesona.
Ummat islam telah lama kehilangan kepemimpinan seperti itu. Mereka mencukupkan diri dalam
kepemimpinan kelompok, golongan, atau organisasi. Di luar itu mereka tidak peduli. Akibatnya,
masing-masing kelompok mengkalim kebenaran atas nama Allah. masing-masing bersikukuh
dengan pendapatnya. Maka lahirlah dari sini sikap fanatisme buta.
Fanatisme buta dapat lahir dari tidak adanya kepemimpinan ummat, bisa juga karena tradisi
ilmiah yang belum begitu melembaga. Pemimpin kelompok, baik yang disebut guru spritual
maupun imam yang sifatnya lokal, seringkali menanamkan kesetiaan (loyalitas) berlebihan, yang
menyebabkan pengikutnya taqlid secara buta kepada apa saja yang menjadi pendapat sang
pemimpin. Bahkan tanpa dasar-dasar dalil aqli dan naqli, sekalipun. Lebih parah lagi, pengikut
mereka cenderung menyalahkan pendapatnya semua orang yang berada di luar kelompoknya.
Pola kepemimpinan seperti ini cenderung mematikan tradisi ilmiah. Perbedaan pendapat di
antara kelompok mereka cenderung diharamkan, tapi justru yang terjadi perbedaan dengan
kelompok muslim yang lain menjadi hal yang lumrah. Dalam bentuk yang lebih ekstrim, ada
kepuasan dari kelompok ini jika bisa “membantai” kelompok lain dengan argumentasi-
argumentasi baru yang mematikan “pihak lawan”, yang tidak lain adalah saudara seimannya
sendiri.
Fenomena seperti itu merebak di mana-mana, tidak hanya terjadi pada saat ini, tapi jauh
sebelumnya, ketika terbentuk kelompok-kelompok Islam, baik yang didasarkan pada aspirasi
politik, mazhab fiqih, aliran teologi, maupun kelompok-kelompok sufi (thariqat). Inilah realitas,
bahkan untuk mengurainya saja sudah banyak mengalami kesulitan. Misalnya, mana terlebih
dahulu terbentuknya kelompok berdasarkan asiprasi politik dengan mazhab fiqih atau teologi?
Kaum Khawarij lahir mula-mula atas dasar aspirasi politik, tapi akhirnya berkembang menjadi
aliran teologi dan mazhab fiqih tersendiri.
Khusus tentang kaum Khawarij ini menarik untuk dikemukakan sehubungan dengan doktrinnya
yang sangat kuat, bahwa orang yang di luar kelompoknya dianggap telah halal darahnya.
Terhadap kelompok ini , Ibnu Abbas Radhiallaahu ‘anhu berkomentar: “Ijtihad mereka itu tidak
lebih hebat daripada orang Yahudi dan orang-orang Nasrani. Mereka berada dalam kesesatan.”
Dalam sebuah masyarakat yang tradisi ilmiahnya berkembang, perbedaan pendapat merupakan
suatu hal yang biasa. Mereka mengembangkan sikap menghormati terhadap orang lain yang
berbeda pandangan dengannya. Persaudaraan tidak terganggu hanya karena perbedaan
pendapat, apalagi perbedaan itu hanya mengenai furuiyah, yang menjadi lahan ijtihad bagi
siapapun yang mempunyai kapasitas di dalamnya.
Ali Radhiallaahu ‘anhu adalah rival politiknya Mu’awiyah. Di antara keduanya bahkan terjadi
bentrok fisik hingga jatuhnya banyak korban di antara kedua pasukannya. Akan tetapi karena
tradisi ilmiahnya yang telah terbangun sebelumnya, Mu’awiyah dalam banyak kasus masih harus
meminta pendapat Ali ketika hendak memutuskan suatu perkara.
Dalam sebuah riwayat Imam Malik dan Al-Baihaqi dari Yahya bin Sa’id dari Al-Musayyab,
diceritakan bahwa suatu hari seorang laki-laki penduduk Syam (Syiria) bernama Ibnu Khaibari
mendapati istrinya sedang bersama laki-laki lain. Karena emosi, Ibnu Khaibari lalu membunuh
istrinya sekaligus lelaki tersebut. Terhadap kasus ini Mu’awiyah merasa kesulitan untuk
menghukuminya. Untuk itu, ia berkirim surat kepada Ali Ra untuk menanyakan hal tersebut.
Melalui kurirnya, Ali memberikan jawaban: “menurutku, apabila orang yang bernama Khaibari
tersebut tidak sanggup mendatangkan empat orang saksi, maka dia harus memberikan
nyawanya. Sesungguhnya Allah secara pasti telah mengharamkan darah kaum Muslimin.
Barangsiapa yang terbukti membunuh seorang Muslim dan dia mengaku bahwa dirinya terpaksa
harus membunuhnya, maka hal itu tidak bisa diterima begitu saja sebelum dia bisa membuktikan
pengakuannya tersebut. Soalnya sangat boleh jadi pengakuannya adalah dimaksudkan agar
terbebas dari hukuman.”
Tradisi ilmiah seperti itu tampaknya telah hilang di antara kita. Dialog antar kelompok seringkali
dilakukan secara formal dengan jargon-jargon ukhuwwah Islamiyah, sementara di luar forum itu,
mereka tetap mengembangkan sikap-sikap perbedaannya. Padahal masing-masing kelompok
biasanya menerbitkan majalah, buku, maupun jurnal ilmiah. Mestinya melalui bacaan itu kita
berdioalog dan berkomunikasi secara intensif dengan kelompok-kelompok lainnya. Melalui
membaca jurnal atau tulisan kelompok lain, sesungguhnya kita secara tidak langsung telah
melalukan diskusi dan tukar pendapat. Dalam banyak pendapatnya bisa kita terima, sedangkan
sisanya masih bisa dipertimbangkan, ada sebagian diterima dan sebagian lagi tidak.
Fanatisme buta yang tidak lain merupakan manifestasi dari sikap sombong telah membelenggu
sebagian dari kita sehingga ada kecendrungan untuk menolak apa saja, termasuk kebenaran dari
kelompok lain. Inilah penyakit yang mestinya harus diperangi oleh generasi Muslim saat ini.
Tradisi ilmiah mengharuskan kita untuk berfikir logis, obyektif, dan rasional dalam batas-batas
yang telah ditetapkan. Dengan cara berfikir seperti ini, segala batas, sekat kelompok, dan
perbedaan mazhab dapat ditembus. Fanatisme buta yang menghasilkan taqlid dengan sendirinya
dapat dikurangi, bahkan dihilangkan sama sekali.
Seorang Muslim dengan tradisi ilmiahnya dengan sendirinya dapat terbebas dari penjara
kelompok, mazhab, aliran teologi dan tasawwuf. Ia hanya berpegang pada ajaran al-Qur’an yang
di dalanya Allah Swt telah meletakkan jalan yang benar sebagai kiblat yang harus dipedomani.
Allah berfirman:
“Maka Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman pada kebenaran tentang hal yang
mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya.” (al-Baqarah: 213)
Semoga kita termasuk golongan yang disebut dalam ayat ini.* (Hamim Thohari, Redaktur Senior
majalah Hidayatullah, tulisan ini diambil dari Kajian Utama majalah Hidayatullah bulan Desember
2001)
Tell A Friend | Print ada 0 thread - Beri Komentar | dibaca 986 hits
Related Article
99 Langkah Menuju Kesempurnaan Iman
Ahli Zikir
Apa Adanya
Awas Demam Riya!
Baju Kehinaan
Belajar Bederma dari Negeri Kapitalis
Dahsyatnya Sakaratul Maut, Siapkah kita untuk menghadapinya ?
Perbedaan pendapat adalah suatu keniscayaan/ kemestian dan juga merupakan rahmat
terhadap ummat dan keluasan baginya. Seperti hadist yang sudah mahsyur kita dengar,
"Perbedaan ummatku adalah rahmat." Hadits ini walaupun tidak memiliki sanad yang jelas,
tetapi makna hadits ini diperkuat oleh hadits riwayat Daruqutni dan di-hasan-kan oleh Nawawi,
"Sesungguhnya Allah SWT telah membuat ketentuan-ketentuan, maka janganlah engkau
melanggarnya; telah mewajibkan sejumlah kewajiban maka janganlah kamu abaikan; telah
banyak mengharamkan banyak hal maka janganlah kamu melanggarnya; telah mendiamkan
banyak masalah sebagai rahmat bagi kamu, bukan karena lupa, maka janganlah kamu
mencarinya." Sejalan juga dengan hadits yang telah diriwayatkan oleh Al Hakim, '"Apa yang telah
dihalalkan Allah dalam kitab-Nya adalah halal. Apa yang telah diharamkan-Nya adalah haram,
dan apa yang didiamkan-Nya merupakan kemurahan (Allah). Maka terimalah kemurahan-Nya.
Sesungguhnya Allah tidak pernah lupa akan sesuatu." Kemudian Nabi SAW membaca firman
Allah; "Dan tidaklah Rabbmu lupa."'
Perbedaan pendapat yang dimaksud di sini, tentulah berbeda dengan perpecahan. Ketika
perbedaan merupakan kemestian maka perpecahan adalah sesuatu yang dilarang, sebagaimana
firman Allah dalam surah Ali Imran: 103, yang artinya, "Dan berpeganglah kamu sekalian dengan
tali Allah dan janganlah berpecah belah." Banyak ayat-ayat lain yang juga melarang kita untuk
berpecah belah, begitu juga hadits yang melarang kita untuk berpecah belah, salah satunya
adalah, "Janganlah kalian saling hasad, saling membuat makar dan saling bermusuhan. Jadilah
hamba-hamba Allah yang bersaudara."
Perbedaan pendapat ini sebenarnya sudah sering terjadi, jauh sebelum masa kini. Jangankan
kita yang hidup jauh setelah Rasulullah SAW. Para sahabat yang hidup semasa dengan
Rasulullah SAW sendiri juga berbeda pendapat. Kita masih ingat dengan perbedaan pendapat
yang terjadi antar sahabat sebagaimana yang terjadi dalam masalah sholat Ashar di Bani
Quraidhah dan perbedaan ini dibenarkan oleh Rasulullah SAW.
Lalu jika terjadi perbedaan pendapat dalam suatu organisasi, keputusan manakah yang akan
diambil? Dalam hal ini, maka pengambilan keputusan dilakukan dalam majelis syuro' melalui
musyawarah dan mufakat dan bila masih belum dapat diambil keputusan, maka bisa diambil
dengan jalan voting. Setelah keputusan diambil dan ditetapkan, maka di sini sudah tidak ada lagi
perbedaan pendapat, seluruh komponen di dalam organisasi tersebut harus mendukung
keputusan yang telah ditetapkan tadi. Bagi yang pendapatnya ditolak, tidak ada perasaan
berkecil hati, kecewa atau marah. Sebaliknya bagi yang pendapatnya diterima, maka tidak
menjadi besar kepala. Rasulullah SAW telah mencontohkan kepada kita tentang kejadian ini. Kita
masih ingat kisah Perang Uhud. Kaum kafir Quraisy ingin membalas kekalahan mereka pada
Perang Badar. Mereka telah siap menyerbu kota Madinah. Berita ini sampai kepada Rasulullah
SAW. Rasulullah SAW mengumpulkan seluruh sahabat Muhajirin dan Anshar, dan mengadakan
musyawarah, bagaimana menghadapi musuh yang hendak menyerbu Madinah. Angkatan muda
yang tidak ikut Perang Badar bersemangat dan menginginkan menghadang musuh di luar kota
Madinah. Abdullah bin Ubay (munafiqun) berpendapat lebih baik bertahan di dalam kota, begitu
juga sahabat-sahabat tertua yang sudah berpengalaman. Rasulullah SAW sendiri juga
mengeluarkan pendapat yang sama dengan Abdullah bin Ubay ini. Setelah menimbang kedua
pendapat ini, akhirnya Rasulullah SAW mengambil keputusan menurut suara terbanyak. Setelah
keputusan diambil, Rasulullah SAW memakai pakaian perang beliau dan musyawarah tidak ada
lagi. Tetapi beberapa sahabat tertua memberikan keterangan kepada pemuda-pemuda yang
bersemangat tsb. bahwa musuh memiliki 3000 tentara sedangkan kaum Muslimin hanya
berjumlah 1000 orang (diantaranya 300 orang adalah Abdullah bin Ubay dan pengikutnya) dan
kondisi ini hanya dapat ditangkis dengan pertahanan kota yang kuat, sampai mereka tidak
berdaya lagi. Taktik perang yang terbaik adalah bertahan. Lalu seorang memberanikan diri
menghadap Rasulullah SAW dan menyampaikan, bahwa mereka telah surut dari pendapat
semula dan sudi menuruti pendapat Rasulullah SAW. Mendengar itu Rasulullah SAW marah dan
berkata, "Pantang bagi seorang Rasul, apabila pakaian perangnya telah lekat ke badannya dan
membukanya kembali, sebelum Allah menentukan siapa yang akan menang, dia atau musuh." Di
sini Rasulullah mengajarkan kepada kita, bila keputusan telah diambil, maka jangan ada
keraguan lagi dan bertawakkallah.
Kita juga masih ingat kisah yang disampaikan oleh Ustadz Yunahar di dalam kuliah Subuhnya
ketika muktamar lalu, bagaimana telah terjadi perbedaan pendapat antara Abu Bakar ra. dan
Umar bin Khattab ra. tentang tawanan perang setelah Perang Badar. Abu Bakar ra. mengatakan,
"Ya Rasul Allah! semua adalah kaum engkau, semua adalah ahli keluarga engkau, biarkanlah
mereka hidup, mudah-mudahan Allah menerima taubat mereka." Berkata Umar ra., "Ya Rasul
Allah! Mereka telah mendustakan engkau, mereka telah mengusir engkau dan memerangi
engkau. Bawa mereka semua kehadapan engkau dan potong leher mereka." Ada juga sahabat
yang condong dengan pendapat Abu Bakar ra. tetapi bukan karena hubungan kekeluargaan,
melainkan mengingat harta benda tebusan. Akhir cerita, Rasulullah SAW mengambil keputusan,
yaitu menyetujui Abu Bakar ra., yaitu segala tawanan perang diberikesempatan menebus diri.
Tetapi keesokan paginya, sesuatu yang mengharukan terjadi. Umar bin Khattab ra. datang ke
kemah Rasulullah SAW, didapatinya beliau SAW menangis dan Abu Bakar ra. yang duduk
disisinya pun menangis. Melihat mereka menangis, berkatalah Umar, "Mengapa engkau
menangis ya Rasul Allah" Mengapa engkau menangis ya Abu Bakar? Kabarilah aku penyebab
engkau berdua menangis. Kalau aku diberitahu agar aku menangis pula dan jika aku pandang
tidak perlu ditangiskan, akupun tetap akan menangis juga bersama tangismu." Maka
menjawablah Rasul Allah, '"Aku menangisi kawan-kawanmu yang mengusulkan supaya tawanan
itu menebus diri. Allah telah mengancam mereka dengan siksa-Nya, lebih dekat dari pohon ini."
(Pohon yang tumbuh dekat di sana). Dan telah turun ayat ini pada malamnya, "Tidaklah patut
bagi seorang Nabi, bahwa ada baginya beberapa orang tawanan perang, sampai dia porak
porandakan (musuh) di bumi."' (pangkal surat Ali Imran: 67). Setelah mendengar penjelasan dari
Rasulullah SAW, maka Umar ra. pun ikut mengangis. Di sini tampak jelas, bahwa Umar ra. pun
merasakan bagian yang terlibat dari keputusan itu dan tidak membela dirinya dan mengatakan,
"Makanya, ...." atau, "Kan sudah aku katakan, ...."
Insya Allah dari tulisan ini, mengingatkan kita semua, bahwa bila ada perbedaan pendapat dalam
suatu organisasi, maka janganlah perbedaan ini menjadikan kita berpecah atau bermusuhan satu
dengan yang lainnya. Dan bila salah satu pendapat telah dipilih dan diputuskan, maka kita
sebagai komponen dari organisasi tsb. merasakan bahwa keputusan itu sudah menjadi pendapat
kita bersama, tidak ada lagi perbedaan dan kita harus mendukung keputusan tersebut, lalu
bertawakkal.
Wallahua'lam. Segala kebenaran datangnya dari Allah, bila ada yang salah itu adalah semata-
mata karena kebodohan saya. Astaghfirullah dan saya mohon maaf.
aibnu2:
Assl wr wb...
Woww......dudung.com.......tampil MEMANG BEDA....!!
Pilu hatiku......,
tetapi inilah manfaat hadis " Perbedaan pendapat diantar umatku adalah rachmat",....hadis ini
harus diartikan sebagai "Saling Nasihat Menasihati Pada Jalan yang Amal Maruf Nahi Munkar ",
(awas tidak sama dengan dalih/ konotasi naif kaum Achmadiyah). Ana tak percaya hadis ini
palsu, yang palsu itu yang salah tafsir dan awas pemutar balikan ISU hadis sahih di isukan Palsu
dan sebaliknya....mudah bukan
btw: ana salut sama bung BADAR,.....telah berjuang nyata di DUNIA KESAT MATA (juga teman2
dar FPI), tidak seperti kaum bloger seperti saya , apalah artinya amalan saya jika dibandingkan
anda, HANYA SEBUTIR DEBU YANG TAK TERLIHAT......motto ana hanya Do Some Things
demi bumi pertiwi ini dalam lindungan Allah SWT.
Wass wr wb.
.....gaya tulisan bung Badar mengingatkan saya pada seseorang di MP.....ok met berjuang
arif budiman:
wa'alaikum salam wr wb
tetapi inilah manfaat hadis " Perbedaan pendapat diantar umatku adalah rachmat",....hadis ini
harus diartikan sebagai "Saling Nasihat Menasihati Pada Jalan yang Amal Maruf Nahi Munkar ",
(awas tidak sama dengan dalih/ konotasi naif kaum Achmadiyah). Ana tak percaya hadis ini
palsu, yang palsu itu yang salah tafsir dan awas pemutar balikan ISU hadis sahih di isukan Palsu
dan sebaliknya....mudah bukan
حَمٌة
ْ ف ُأّمِتي َر
ُ ل
َ خِت
ْا
Perbedaan pendapat di kalangan ummatku adalah rahmat
Hadis ini Maudlu’. Al-Asrar al-Marfu’ah, 506; Tanzih asy-Syari’ah, 2:402. Al-Albani mengatakan;
hadis ini tidak ada asalnya, adl-Dla’ifah, 57.
untuk pendapat antum "Saling Nasihat Menasihati Pada Jalan yang Amalr Ma'ruf Nahi Munkar",
dalilnya sudah ada di QS Al-'Ashr [103]: 3, ga perlu harus melandaskannya pada hadits
maudlu' :)
fahmie ahmad:
Kutip dari: arif budiman pada September 04, 2008, 05:47:44 pm
حَمٌة
ْ ف ُأّمِتي َر
ُ ل
َ خِت
ْا
Perbedaan pendapat di kalangan ummatku adalah rahmat
Hadis ini Maudlu’. Al-Asrar al-Marfu’ah, 506; Tanzih asy-Syari’ah, 2:402. Al-Albani mengatakan;
hadis ini tidak ada asalnya, adl-Dla’ifah, 57.
untuk pendapat antum "Saling Nasihat Menasihati Pada Jalan yang Amalr Ma'ruf Nahi Munkar",
dalilnya sudah ada di QS Al-'Ashr [103]: 3, ga perlu harus melandaskannya pada hadits
maudlu' :)
maaf ya mas arif...saya cuma mau urun pendapat masalah hadis ini saja..terutma tentang ke
maudhu'annya.
yang mengatakan maudhu' justru dari orang-orang salafi. kalau dari para ulama sunni malah
mengatakan hadis tersebut mursal. jadi seperti ini mas arif, saat berdiskusi dg orang salafi yang
senang membid'ah-bid'ahkan atau mengkafirkan, dan ternyata masalah yang didiskusikan
banyak perbedaan pendapat dikalangan ulama, lalu saya mengambil hadis " perbedaan di antara
umatku adalah rahmat" agar si salafi mengerti bahwa masalah tersebut adalah masalah khilafiah,
mereka akan mengatakan hadis tersebut adalah maudhu'. lalu sekarang benarkah hadis tersebut
maudhu' ?
mari kita lihat perkataan ulama hadis yang sudah sangat masyhur yaitu al-khattabi dalam
kitabnya gharib al-hadis wa al-atsar :
والثاني في صفاته ومشيئته وإنكارها بدعة والثالث، والختلف في الدين ثلثة أقسام أحدها في اثبات الصانع ووحدانيته وإنكار ذلك كفر
وهو المراد بحديث ) اختلف أمتي رحمة، فهذا جعله ال تعالى رحمة وكرامة للعلماء، ) في أحكام الفروع المحتملة وجوها،
kemudian al-qurthubi seorang ahli tafsir mu'tamad berkata dalam tafsirnya al-jami' li ahkam
alqur'an :
وأما حكم مسائل الجتهاد فإن الختلف فيها بسبب استخراج الفرائض ودقائق معاني الشرع وما زالت الصحابه يختلفون في أحكام
2) " ( ) اختلف أمتي رحمة: )الحوادث وهم مع ذلك متآلفون وقال رسول ال صلى ال عليه وسلم.
adapun permasalahan hukum ijtihad maka khilaf didalamnya diseabkan pengeluaran hukum-
hukum fard dan kedalaman makna syara'. dan shahabat masih senantiasa terdapat perbedaan
pendapat dalam hukum-hukum hawadis. dan mereka dalam perbedaan pendapatnya tetap hidup
rukun. oleh karena itu rasul SAW berkata : ikhtilafu ummati rahmah
selain itu ibnu hajib juga meriwayatkan dalam mukhtasarnya dalam bab qiyas dg lafadz ikhtilafu
ummati rahmatun linnas
baihaqi meriwayatkan dalam madkhalnya : dg lafadz رواية أختلف اصحابي رحمة, dan hadis ini
statusnya mursal. dan hadis mursal oleh imam syafi'i dijadikan hujjah
dalam faidh al-qadir syarah al-jami' al-saghir berkata al-manawi mngutip pendapat imam subki :
قال السبكي وليس بمعروف عند المحدثين ولم أقف له على سند صحيح ول ضعيف ول موضوع )ولعله خرج في بعض كتب الحفاظ التي
لم تصل إلينا( وأسنده في المدخل وكذا الديلمي في مسند الفردوس كلهما من حديث ابن عباس مرفوعًا بلفظ اختلف أصحابي رحمة
واختلف الصحابة في حكم اختلف المة كما مر لكن هذا الحديث قال الحافظ العراقي سنده ضعيف.
al-allamah imam subki berkata bahwa hadis tersebut tidak diketahui, dan tidak berhenti dg sanad
shahih ataupun dha'if ataupun maudhu', dan mungkin saja hadis tersebut di takhrij oleh sebagian
hafidz yang tidak sampai pada kita ( artinya cuma sampai hadisnya saja tanpa sanad ). tetapi al-
baihaqi menyebutkan hadis tersebut dg sanad dalam madkhalnya begitu juga dailumi dalam
musnad firdausnya dan keduanya dari hadis ibnu 'abbas dg status marfu' dg lafadz ikhtilafu
ashabi rahmah. dan hukum khilaf sahabat tentu sebagaimana hukum khilafnya umat. tetapi
hadis ini oleh al-hafidz al-iraqi dikatakan sanadnya dha'if.
وأما بالنسبة إلي إمام في فروع الدين كالطوائف الربع فليس بمذموم فإن الختلف في الفروع رحمة والمختلفون فيه محمودون في
اختلفهم مثابون في اجتهادهم واختلفهم رحمة واسعة واتفاقهم حجة قاطعة
adapun jika ada didalam furu', maka bukanlah suatu hal yang tercela. karena khilaf dalam furu'
sebagai rahmat, sehingga perbedaan pendapat didalamnya tetaplah terpuji, dan benar dalam
ijtihadnya. dan ittifaqnya adalah hujjah qathi'ah.
mas arif bisa lihat, imam-imam besar tetap menggunakan hadis tersebut sebgai hujjah.
kesimpulannya ada beberapa yang menganggap hadis tersebut la asla lah ( tidak mempunyai
isnad ), tapi bukan maudhu'. dan oleh suyuthi diartikan bahwa isnadnya tidak sampai pada kita
karena hadis tersebut sudah amat sangat masyhur dalam lisan ulama. dan yang paling penting
adalah hadis tersebut masih tergolong hadis mursal yang ulama syafi'iah dijadikan hujjah.
wallahu a'lam
arif budiman:
jadi OOT nih.. tapi insya Allah pasti ada manfaatnya
saya terus terang belum pernah baca referensinya langsung tentang hadits ini sebagai hadits
maudlu'.. tapi cuma dengar dari kajian2 di radio atw pengajian keluarga.
jadi waktu mas aibnu meragukan kemaudlu'an hadits tersebut, yang saya inginkan sebenarnya
bantahan dengan hujjah yang jelas sebagaimana yang dilakukan mas fahmie, jangan cuma
bilang ga percaya atas dasar pendapat pribadi aja..
mas arif bisa lihat, imam-imam besar tetap menggunakan hadis tersebut sebgai hujjah.
kesimpulannya ada beberapa yang menganggap hadis tersebut la asla lah ( tidak mempunyai
isnad ), tapi bukan maudhu'. dan oleh suyuthi diartikan bahwa isnadnya tidak sampai pada kita
karena hadis tersebut sudah amat sangat masyhur dalam lisan ulama. dan yang paling penting
adalah hadis tersebut masih tergolong hadis mursal yang ulama syafi'iah dijadikan hujjah.
Tentang hadits mursal, bukankah jumhur ulama ahli hadits berpendapat bahwa hadits mursal
adalah dla’if dan menganggapnya sebagai bagian dari hadits yang tertolak, kecuali mursal
shahabi (berasal dari ucapan sahabat)?
sementara Imam Syafi’i sendiri khan juga menetapkan kriteria dalam berhujjah menggunakan
hadits mursal:
(1) terdapat hadits mursal dari jalur lain
(2) dibantu dengan perkataan shahabat (qaulush-shahaby)
pertanyaannya:
apa hadits ikhtilafu ummati rahmah termasuk mursal shahabi atw memenuhi kriteria hadits yang
bisa digunakan sebagai hujjah oleh Imam Syafi'i?