Anda di halaman 1dari 8

BAB I

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Perselisihan dan kontradiksi pendapat yang mewarnai umat ini, seakan sudah menjadi
perkara yang dianggap lumrah. Slogan-slogan dari sebagian orang yang mengatakan :
“Perselisihan itu adalah rahmat, jadi diantara kita harus memiliki rasa toleransi ” seakan
menyetujui perselisihan yang kian larut ini. Sekilas slogan-slogan tersebut memberi
kesejukan dan ketenangan jiwa manusia. Dengan dalih “ walaupun berselisih atau berbeda
pemahaman, yang penting ukhuwah (persaudaraan) tetap terjalin.” Walhasil ketika
bermuamalah, mereka berusaha untuk tidak menyentuh perkara yang diperselisihkan demi
menjaga keutuhan ukhuwah. Sekalipun perkara tersebut adalah sesuatu yang prinsip (jelas)
hukumnya dalam agama. Sehingga amar ma’ruf nahi munkar sulit dijalankan, karena
adanya rambu-rambu toleransi ala mereka.

Mereka tak sadar bahwa dengan sikap seperti itu justru melanggengkan perselisihan
yang tajam pada umat ini. Bila kita melihat realita yang ada, tidak sedikit dari kalangan
muslimin yang terperosok jauh akibat perselisihan tersebut. Mereka tidak bisa menerima
dan menjalani konsekwensi dari slogan-slogan di atas tadi (“perselisihan adalah rahmat”
dan lain-lain). Perselisihan pun menjadi kian meruncing nan tajam.

II. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah pada makalah ini adalah sebagai berikut :
ْ
ُ ‫اخت اَِل‬
1. Menelusuri keadaan hadits masyhur ‫ف أ َّمتي ارحْ امة‬
ْ
ُ ‫اخت اَِل‬
2. Komentar ulama tentang hadits masyhur ‫ف أ َّمتي ارحْ امة‬
III. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui keadaan hadits tersebut baik dari segi makna, sanadnya
maupun status hukumnya menurut para ulama ahli hadits
ْ
ُ ‫اخت اَِل‬
2. Untuk mengetahui komentar ulama terkait hadits ‫ف أ َّمتي ارحْ امة‬

1
BAB II
PEMBAHASAN

ْ
ُ ‫اخت اَِل‬
A. Kualitas Hadits ‫ف أ َّمتي ارحْ امة‬

Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa salah satu ungkapan populer yang sering
kita dengar ketika terjadi perbedaan pendapat di tengah umat adalah : “ikhtilafu ummati
raḥmah”. Ungkapan tersebut masih disangsikan validitasnya karena sulit dijumpai dalam
kitab-kitab hadits induk. Menurut penelitian ulama, hadis ini tidak memiliki sanad yang
sampai kepada Nabi, tetapi al-Suyuṭi mengatakan bahwa itu merupakan hadis yang ditulis
oleh para al-ḥafiẓ yang kemungkinan tidak sampai kepada kita. Namun ungkapan al-Suyuti
tersebut dikritisi oleh Syeikh al-Bani, karena menurut beliau, jika demikian niscaya ada
sebagian hadis Nabi yang hilang dari umat ini, dan hal itu tidak pantas untuk di ‘itikadkan
atau diyakini oleh seorang Muslim.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah saat ditanya apakah hadits “Perselisihan
(pendapat) di antara umatku adalah rahmat.” ini adalah hadits shahih? Beliau menjawab
hadits ini tidak shahih. Hadits ini bukan sabda Nabi ‫ ﷺ‬. Ia hanyalah perkataan seseorang dari
kalangan Tabi’in.
Nabi ‫ ﷺ‬tidak pernah mengatakan hal ini. Yang mengatakan adalah salah seorang dari
Tabi’in namun dengan redaksi yang berbeda;

“ Tidaklah aku melihat para sahabat Nabi ‫ ﷺ‬itu berselisih, kecuali hal itu merupakan rahmat
dari Allah Subhanahu wa Ta’ala”. Dan pada redaksi yang lebih masyhur , al-Baihaqi
menggunakan redaksi “Wakhtilafu ashabi lakum rahmat”.

2
ْ
ُ ‫اخت اَِل‬
B. Sanad dan Matan Hadits ‫ف أ َّمتي ارحْ امة‬
al-Baihaqi (384-458 H) dalam kitab al-Madkhal ila al-Sunan al-Kubra meriwayatkan:

Telah memberitakan kepada kami Abu Abdullah al-Hafiz dan Abu Bakar Aḥmad bin al-
Hasan, (mereka berkata), telah menceritakan kepada kami Abu al-Abbas Muḥammad bin
Ya’qub telah menceritakan kepada kami Bakar bin Sahal al-Dimyaṭi telah menceritakan
kepada kami Amr bin Hasyim al-Biruti telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin Abi
Karimah dari Juwaibir dari al-Dahhak dari Ibn Abbas, Rasulullah ‫ﷺ‬. bersabda: “Kalian
telah diberi kitab Allah maka amalkanlah, tidak alasan bagi seseorang untuk
meninggalkanya, jika (hukum itu) tidak ada dalam kitab Allah maka dengan sunnahku yang
sudah berlaku, jika tidak ada dalam sunnahku, maka dengan ucapan atau pendapat
sahabatku, karena sesungguhnya sahabat-sahabatku itu bagaikan bintang-bintang di langit.
Pendapat manapun yang kalian ikuti, kalian akan mendapat petunjuk, perbedaan pendapat
di kalangan sahabatku merupakan suatu rahmat bagi kalian”.
Hadis di atas hampir semakna dengan ungkapan ikhtilaf ummati raḥmah, tetapi redaksi yang
tercantum dalam riwayat al-Baihaqi adalah ikhtilaf aṣḥabi lakum raḥmah. Redaksi yang
mengatakan Ikhtilaf ummati raḥmah sangat jarang ditemukan dalam kitab-kitab hadits
primer, tetapi banyak tercantum dalam kitab-kitab hadits sekunder.

Di antara literarur-literatur yang mencantum ungkapan ikhtilafu ummati raḥmah adalah;


o Al-Zarkasyi (w. 798 H) dalam kitab al-La’ali al-Mansurah fi al-Ahadis al-Masyhurah,
dan mengatakan bahwa ia diriwayatkan secara marfu’.
o Nasr al-Maqdisi dalam kitab al-Hujjah.

3
o Al-Sakhawi (w. 902 H) dalam kitab al-Maqasid al-Hasanah fī Bayan Kasir min al-
Ahadis al-Musytahirah ala al-Alsinah.
o Al-Suyuṭi (w. 911 H) dalam kitab al-Jami’ al-Sagir fi Ahadis al-Basyir al-Nazir.
o Abd al-Rauf al-Munawi (w. 1031 H) dalam kitab Faid al-Qadir fi Syarḥ al-Jami’ al-
Sagir fi Ahadis al-Basyir al-Nazir
o Al-Ajluni (w. 1162 H) dalam kitab Kasyf al-Khafa’ wa Muzil al-Ilbas.

ْ
ُ ‫اخت اَِل‬
C. Derajat hadits ‫ف أ َّمتي ارحْ امة‬
ْ oleh kebanyakan ulama dimasukan kedalam hadits dho’if bahkan
ُ ‫اخت اَِل‬
Hadits ‫ف أ َّمتي ارحْ امة‬
maudhu’, baik dari sisi sanad , matan ataupun makna hadits.
o Dari sisi sanad
- Adanya perawi yang bernama Sulaiman bin Abi Karimah. Abu Hatim Ar Rozy
mendhoif-kannya
- Perawi yang bernama Juwaibir, dia seorang Matrukul Hadits (ditinggalkan
haditsnya) sebagaimana dinyatakan oleh Imam Nasa’i, Daruquthny. Dia
meriwayatkan dari Adh Dhohhak perkara-perkara yang palsu termasuk hadits ini.
- Terputusnya (jalur riwayat) antara Adh Dhohhak dan Ibnu ‘Abbas.
- Perawi bernama Juwaibir bin Sa’id al-Azdi al-Balkhi dan al-Ḍaḥḥak bin Muzaḥim
al-Khurasani. Kedua periwayat ini di-jarh oleh banyak ulama sehingga masuk
dalam kategori dhaif dan matruk (orang yang lemah dan riwayatnya ditinggalkan
oleh ulama hadis)
o Dari sisi matan
- Seperti yang sudah dijelaskan diawal bahwasan nya matan hadits ini sulit dijumpai
dalam kitab-kitab hadits induk (primer), tetapi banyak tercantum dalam kitab-kitab
hadits sekunder.
- Adanya perbedaan redaksi hadits ini dengan hadits yang lain yang memiliki makna
khusus.
o Dari sisi makna
- Hadits ini menyelisihi nash-nash ayat al-Qur’an, seperti firman Allah Ta’ala :

4
“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah
kamu bercerai berai” (Q.S Ali Imron : 103)

“Dan janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang bercerai berai dan
berselisih setelah sampai kepada mereka keterangan yang jelas. Dan mereka itulah
orang-orang yang mendapat azab yang berat” (Q.S Ali Imron : 105)

“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentu Dia jadikan manusia umat yang satu,
tetapi mereka senantiasa berselisih (pendapat); kecuali orang yang diberi rahmat
oleh Tuhanmu. (Q.S Hud : 118-119)

“Dan taatilah Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berselisih, yang
menyebabkan kamu menjadi gentar dan kekuatanmu hilang dan bersabarlah.
Sungguh, Allah beserta orang-orang sabar” (Q.S Al-Anfal : 46)

“Wahai orang-orang yang beriman, Taatilah Allah dan taatilah Rasul


(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian,
jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah
(Al-Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu beriman kepada Allah dan hari
kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (Q.S
An-Nisa : 59)

- Menyelisihi hadits shahih, seperti sabda nabi;


“Janganlah kalian berselisih, maka akan berselisih hati-hati kalian” (H.R Ahmad,
Abu Daud)”

5
“Berpegang teguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ur rosyidin yang
mendapatkan petunjuk (dalam ilmu dan amal). Pegang teguhlah sunnah tersebut
dengan gigi geraham kalian.” (HR. Abu Daud , At Tirmidzi, Ibnu Majah)

D. Pendapat para ulama tentang hadits

o Asy Syeikh Nashiruddin Al Albani rohimahullah dalam Silsilah Ahadits Adh


Dho’ifah mengenai hadits ini, beliau berkata : “Hadits ini tidak ada asalnya”.
o al-Albani berkata ; Al Munawi menukil dari As Subki bahwa dia berkata : “Hadits
ini tidak dikenal oleh para muhadits, dan saya belum mendapatkannya baik dalam
sanad yang shohih, dho’if, atau maudlu’.
o Ibnu Hazm berkata dalam kitabnya Al Ihkam fi Ushulil Ahkam setelah beliau
mengisyaratkan bahwasanya “ucapan” itu bukan hadits : “Ini adalah ucapan rusak
yang paling rusak. Karena jika perselisihan itu rahmat, tentu sesuatu yang dibenci
dan tidak ada seorang muslim pun yang mengatakan demikian. Yang ada hanya
kesepakatan atau perselisihan, rahmat atau dibenci. Di kesempatan lain beliau
mengatakan : “batil dan dusta”. (Silsilah Ahadits Adh Dho’ifah juz 1, hadits no 57
hal 141)
o Dalam kitab Zajrul Mutahawin bi Adz Dzoror Qo’idatil Ma’dzaroh wa Ta’awun,
yang ditulis oleh Hamad bin Ibrohim Al Utsman dan kitab ini telah dimuroja’ah
(diteliti ulang) oleh Asy Syeikh Al Allamah Sholeh bin Fauzan Al Fauzan,
Disebutkan bahwa : “Hadits ini lemah secara sanad dan matan. Tidak diriwayatkan
di dalam kitab-kitab hadits dengan lafadz ini.
o Al Qoshimy mengomentari (sanad dan matan) hadits ini, dalam kitab Mahasinut
Ta’wil : “Sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa hadits ini tidak dikenal
keshohihan sanadnya. At Thobrony dan Al Baihaqy meriwayatkannya di dalam
kitab Al Madkhol dengan sanad yang lemah dari Ibnu ‘Abbas secara marfu’.
o al-Suyuṭi mengatakan bahwa itu merupakan hadits yang ditulis oleh para al-hafiz
yang kemungkinan tidak sampai kepada kita

6
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Dari penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa ;


o Hadits ikhtilaf ummati raḥmah sama sekali tidak bisa dipertanggung jawabkan dari
segi ilmu kritik hadits. Namun secara makna, ungkapan ikhtilaf ummati raḥmah
memiliki makna yang mungkin benar karena perbedaan pendapat merupakan
sunnatullah yang tidak bisa dihindari. Tetapi dari segi originalitas dan otentisitas
masih bisa disangsikan kebenarannya, lebih-lebih dalam kajian sanad.
o Jika yang dimaksud perbedaan adalah rahmat ditinjau dari sisi umat yang mengikuti
berbagai macam pendapat secara umum, bisa jadi ini keliru. Karena beragam pendapat
di tengah umat seperti itu membuat umat terpecah belah. Maka jelas perbedaan saat itu
bukanlah rahmat.
o Perbedaan itu rahmat bisa jadi benar jika ditinjau dari sisi usaha keras para ulama
dalam ber-ijtihad sehingga munculah berbagai macam pendapat yang ada. Perbedaan
pendapat di kalangan ulama inilah yang menjadi rahmat bagi kaum Muslimin. Hal ini
sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Abdur Raḥman al-Dimasyqi dalam kitab Raḥmah
al-Ummah fi Ikhtilaf A’immah.
o Sebagian ulama mengatakan perbedaan pendapat yang dimaksud disini adalah
perbedaan dalam bidang hukum atau fiqih (furu’), bukan dalam masalah pokok-pokok
ajaran agama (ushuluddin). Perbedaan tentang masalah pokok agama (ushuluddin))
merupakan hal yang dilarang.
o Sebagai seorang muslim hendaklah berhati-hati dalam menyampaikan hadits, dan
takut akan ancaman nabi ‫ ﷺ‬: “Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja
maka hendaklah ia menempatkan tempat duduknya di neraka”. (HR.Bukhori).

7
9

Anda mungkin juga menyukai