TINJAUAN KRITIS TERHADAP ARTIKEL BERJUDUL THE BALANCED
SCORECARD MEASURES THAT DRIVE PERFORMANCE OLEH
ROBERT S. KAPLAN DAN DAVID P. NORTON (HARVARD BUSINESS REVIEW, JANUARI-FEBRUARI 1992)
PENDAHULUAN The Balanced Scorecard (BSC) telah mengubah kinerja banyak perusahaan di seluruh penjuru dunia. Sejak 1992, sistem manajemen kinerja ini telah membantu banyak manajemen puncak menentukan tujuan dan strategi perusahaan dan menerjemahkannya secara konkret ke dalam suatu set cara pengukuran. Apa yang telah membuatnya begitu sukses adalah bahwa BSC mampu menerjemahkan strategi ke dalam sebuah proses yang bukan hanya menjadi milik manajemen puncak, namun juga setiap individu pada setiap level di dalam perusahaan. Setiap pegawai megetahui bukan hanya apa yang harus dilakukannya, namun juga mengapa dia melakukan itu. Namun yang lebih penting lagi adalah bahwa BSC tidak melulu memandang strategi dalam kaitan aspek finansial semata, namun juga aspek tiga tambahan lain yaitu: 1) hubungan dengan pelanggan, 2) proses internal, serta 3) pembelajaran dan pertumbuhan. Banyak pihak percaya, bahwa ketiga aspek tambahan tersebut bukanlah hal yang benar-benar baru. Namun sebagai sebuah kerangka pemikiran, dunia harus mengakui bahwa Robert S. Kaplan, seorang profesor akunting pada Harvard Business Shool, beserta David P. Norton, seorang konsultan teknologi informasi, yang telah berjasa merumuskan konsep pemikiran tersebut sehingga menjadi sebuah sistem yang dapat menjadi acuan bagi perusahaan-perusahaan yang ingin menerapkan sistem ini secara sistematis. Konsep itu sendiri merupakan pemikiran yang tidak statis dan tidak pula bersifat sekali-jadi. Sejak pertama kali muncul dalam artikel di Harvard Business Review pada edisi Januari-Februari 1992, Kaplan dan Norton secara evolutif berdasarkan bukti-bukti empirik dari pengalaman-pengalaman perusahaan-perusahaan yang disurvey dalam penerapan konsep ini, telah memoles dan mempertajam konsep ini dari tahun ke tahun. Tulisan ini berusaha mengkritisi pemikiran Kaplan dan Norton pada artikel pertamanya tersebut, karena bagaimanapun juga disamping telah banyak mengantarkan banyak perusahaan kepada kesuksesan, tidak sedikit pula perusahaan yang mengalami kegagalan dalam menerapkan konsep Balanced Scorecard ini.
BSC SEBAGAI SISTEM PENGUKURAN YANG MENGARAHKAN KINERJA Kaplan dan Norton (1992) mengatakan kepada para eksekutif senior: What you measure is what you get. Secara singkat ungkapan tersebut ingin mengatakan bahwa sistem pengukuran kinerja betul-betul akan mempengaruhi kinerja dan perilaku individu-individu di dalam perusahaan. Masalahnya, perspektif apa saja yang perlu diperhatikan dalam pengukuran kinerja? Ketika awal era industrialisasi, secara tradisional orang merasa cukup dengan ukuran-ukuran akuntansi keuangan seperti return on investment (ROI) atau earnings per share (EPS). Namun pengukuran perspektif keuangan saja ternyata tidak memuaskan. Orang juga mulai memerlukan informasi yang berkaitan dengan kinerja operasional. Bahkan ada sebagian orang yang mengatakan Lupakan saja pengukuran perspektif keuangan. Fokuskan upaya pada perbaikan operasional seperti siklus waktu dan tingkat kerusakan produk. Pada akhirnya ini akan berdampak juga pada perspektif finansial. Jelas bahwa pengukuran tunggal tidak lagi mencukupi. Ibarat seorang pilot yang tengah menerbangkan pesawat, tidak cukup dengan tombol-tombol dan indikator-indikator otomatis yang ada di dalam kokpit pesawat saja tetapi dia membutuhkan informasi mengenai bahan bakar, kecepatan udara, ketinggian, bantalan, tujuan, dan indikator lain yang merangkum lingkungan sekitar saat ini yang terprediksi. Inilah yang kemudian melatarbelakangi Kaplan dan Norton merumuskan konsep pengukuran kinerja yang dinamakan The Balanced Scorecard (BSC). Keseimbangan (balanced) di sini menunjuk pada adanya kesetimbangan pada perspektif-perspektif yang akan diukur, yaitu antara perspektif keuangan dan perspektif nonkeuangan sebagai berikut: 1. Perspektif pelanggan, yaitu untuk menjawab pertanyaan bagaimana customer memandang perusahaan. Perspektif ini menunjukkan seperti apa perusahaan di mata pelanggan. Pelanggan mempunyai kemampuan teknis melihat korporasi dari berbagai sisi: waktu, kualitas, kinerja dan jasa, dan biaya yang dikeluarkan oleh pelanggan untuk memperoleh pelayanan. Dimensi kebutuhan pelanggan demikian pada akhirnya akan menentukan bagaimana perusahaan dilihat oleh pelanggan. Semakin baik persepsi pelanggan, semakin baik pula nilai korporasi dimata pelanggan. 2. Perspektif internal, untuk menjawab pertanyaan pada bidang apa perusahaan memiliki keunggulan. Ukuran ini menunjukkan dalam proses produksi seperti apa korporasi lebih baik. Orientasi kepada pelanggan memang mutlak, akan tetapi permasalahan bagi manajemen adalah bagaimana caranya menyiapkan kompetensi yang dapat memenuhi kebutuhan pelanggan. 3. Perspektif inovasi dan pembelajaran, untuk menjawab pertanyaan apakah perusahaan mampu meningkatkan dan menciptakan nilai secara berkelanjutan. Perspektif ini menunjukkan bagaimana korporasi dapat bertahan dan kmampu berubah sesuai dengan tuntutan eksternal. 4. Perspektif keuangan, untuk menjawab pertanyaan bagaimana perusahaan memandang pemegang saham. Pengukuran kinerja keuangan akan menunjukan apakah perencanaan dan pelaksanaan strategi memberikan perbaikan yang mendasar bagi keuntungan perusahaan. Perbaikan- perbaikan ini tercermin dalam sasaran-sasaran yang secara khusus berhubungan dengan keuntungan yang terukur, pertumbuhan usaha, dan nilai pemegang saham. pada waktu tertentu, akan tetapi pemegang saham menyadari bahwa setelah itu korporasi akan mendapat keuntungan, sehingga dividen akan diperoleh. Semakin baik korporasi dimata pemegang saham, semakin aman korporasi memperoleh sumber modal. Kaplan dan Norton menggambarkan keseimbangan hubungan- hubungan perspektif pengukuran-pengukuran tersebut sebagai berikut:
(Sumber Gambar: Kaplan dan Norton 1992, h.72) Selanjutnya Kaplan dan Norton memberikan contoh tujuan-tujuan dan pengukuran kinerjanya untuk keempat perspektif tersebut pada sebuah perusahaan manufaktur sebagai berikut:
(Sumber Gambar: Kaplan dan Norton 1992, h.76) Terlihat dalam contoh tersebut, bagaimana pengukuran secara spesifik dihubungkan pada tujuan-tujuan perusahaan. Pada umumnya misi perusahaan berbicara secara umum mengenai pelanggan. Namun dengan BSC, tujuan dan pengukurannya dibuat dengan lebih rinci dengan memperhitungkan ekspekstasi pelanggan terkait dengan waktu, kualitas, kinerja produk, dan biaya. Demikian pula dengan proses internal, secara rinci memusatkan pada kompetensi inti, proses, keputusan, serta tindakan-tindakan yang berpengaruh pada kepuasan pelanggan. Sedangkan inovasi dan pembelajaran menunjukkan keberhasilan masa depan. Perspektif ini mengukur perbaikan terus-menerus terhadap produk dan proses yang sedang berjalan yang memunculkan produk- produk baru serta meningkatkan kemampuan perusahaan. Dengan kombinasi berbagai perspektif tersebut, menjadikan pengukuran kinerja bukan lagi semata domain dari direktur keuangan atau controller, namun juga orang-orang di lini bisnis yang mengetahui secara persis operasional yang berlangsung dalam perusahaan. Juga, pengukuran bukan lagi bersifat satu arah dan bertujuan sebagai pengendalian, namun bersifat multi arah dimana setiap bagian dan individu dalam perusahaan mengetahui visi perusahaan dan tujuan pada setiap level serta menetapkan sistem yang membantunya mengukur kinerja yang harus dilakukan dalam mencapai visi dan tujuan tersebut. Inilah mengapa BSC menjadi sistem pengukuran yang mendorong kinerja.
KRITISI TERHADAP KONSEP BALANCED SCORECARD Setiap penemu suatu konsep atau teori yang termuka di muka bumi ini selalu mendapatkan tantangan untuk mempertahankan penemuannya. Di satu sisi, penemu berpikir keras untuk menyempurnakan teori yang ditemukan tapi disisi lain para kritikus berpikir keras untuk mencari kelemahan dari teori atau konsep yang ditemukan. Sama halnya antara fenomena virus dan antivirus. Sampai-sampai ada rumor bahwa pencipta virus dan antivirus adalah pihak yang sama. Bagaimana dengan user (pengguna) ? Sama saja, kita dapat identifikasikan ada tiga kelompok, pertama adalah kelompok user yang selalu seeking the brightness of everything, artinya optimis bahwa sesuatu yang baru akan membawa perubahan yang lebih baik. Kedua, kelompok user yang seeking the darkness of everything, artinya kelompok ini pesimis dan skeptis untuk hal-hal yang baru dan selalu mempersulit sesuatu yang sebenarnya simple. Terakhir kelompok ketiga, kelompok user wait and see, kelompok ini lebih bersifat netral dan fair, tidak menghakimi sesuatu yang baru itu jelek tetapi tidak antusias mendukung dan menerapkan sesuatu yang baru. Umumnya, ketiga kelompok tersebut ada dalam setiap perusahaan dan organisasi. Dari pandangan saya, adanya pro dan kontra justru menambah dan memperkaya wawasan. Sama halnya dengan konsep Balanced Scorecard yang terus diupdate oleh Kaplan dan Norton untuk dapat menjawab tantangan dan disesuaikan dengan kondisi bisnis yang turbulen ini. Saya sering menganalogikan dengan hadirnya listrik. Setiap orang pasti membutuhkan listrik untuk penerangan, memasak, bekerja, dan sebagainya tetapi dengan di sisi lain listrik dapat menyebabkan kebakaran bahkan kematian. Apakah dengan listrik yang menyebabkan kematian digeneralisasi sebagai sesutu yang tidak bermanfaat? Tentu saja tidak, karena sampai sekarang listrik masih sangat dibutuhkan oleh masyarakat. Fakta berbicara bahwa penerapan Balanced scorecad membawa banyak keberhasilan bagi perusahaan yang menggunakannya sebut saja perusahaan besar seperti BBC, Volvo, Fortis, Bell Canada, JP Morgan, Singapore Prison, GE, Gartner Group, dan lain. Tetapi tidak sedikit juga yang gagal total dalam penerapan balanced scorecard ini dan mengalami kerugian. Kerugian materi, waktu, dan kesempatan yang tidak sedikit. Penyebabnya beraneka ragam misalkan pendefinisian balanced scorecard yang tidak sesuai dengan strategi perusahaan, keterbatasan resources, tidak melibatkan ICT (information and communication technology), dsb. Kritik pertama yang ingin saya sampaikan adalah berkaitan dengan belum jelasnya posisi Balanced Scorecard, apakah merupakan permasalahan pengukuran kinerja ataukah permasalahan strategi. Sebagaimana konsep awal yang sangat logis dirumuskan oleh Kaplan dan Norton, bahwa dalam penyelarasan strategi perusahaan menggunakan empat perspektif: Customer, Finansial, Internal Process dan Learning and Growth. Ke empat perspektif ini saling berhubungan dalam sebab akibat, sebagai cara untuk menterjemahkan strategi kedalam tindakan. Hal ini diharapkan dapat menjadi terobosan strategis dalam rangka mengendalikan organisasi secara efektif. Namun dalam implementasinya nampak terbatas pada tatanan praktis dalam ranah pengukuran kinerja yang condong pada kepentingan kekinian. Perkembangan terkini yang dicoba diaplikasikan oleh banyak organisasi adalah membawa Balanced Scorecard ke tatanan pengukuran kinerja individu. Padahal pengukuran kinerja tetaplah pengukuran kinerja, dan bukan Balanced Scorecard. Justeru Balanced Scorecard adalah sistem yang memerlukan keberadaan pengukuran kinerja, dan bukan sebaliknya berkutat pada pengukuran kinerja. Suatu organisasi pembelajaran yang efektif adalah organisasi di mana pegawai pada semua tingkatan organisasi secara terus menerus mengamati perubahan lingkungan. Mengindentifikasi masalah- masalah yang potensial dan peluang-peluang, saling bertukar informasi, dan melakukan percobaan model bisnis agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang muncul. Kedua, dalam artikel pertama tentang konsep Balanced Scorecard hanya menyinggung tentang perusahaan-perusahaan yang berorientasi pada profit dan sama sekali tidak menyinggung tentang organisasi non profit oriented. Tetapi pada perkembangannya BSC juga mulai digunakan pada organisasi nirlaba. Tentu saja perubahan-perubahan ini membutuhkan penyesuaian dari konsep asli BSC. Pada organisasi laba perspektif finansial merupakan tujuan akhir. Sedang pada organisasi nirlaba, keuntungan bukanlah tujuan utama. Pada organisasi nirlaba kepuasan pelanggan merupakan tujuan akhir. Maka BSC yang hendak diaplikasikan harus disesuaikan dengan karakteristik organisasi nirlaba tersebut. Ada berbagai jenis organisasi nirlaba yang mengaplikasikan BSC, antara lain rumah sakit, pusat kesehatan (healthcare), organisasi pemerintahan, universitas, dan lain-lain, lantas bagaimanakah konsep penerapan Balanced Scorecard dalam organisasi non profit oriented, perpektif apa saja yang perlu disesuaikan agar empat perspektif dalam konsep awal BSC dapat diaplikasikan dalam organisasi non profit? Selain itu, Seorang consultant bernama Arthur M. Schneiderman sekaligus sebagai senior examiner di Malcom Baldrige National Quality Award, memaparkan faktor-faktor yang menyebabkan balanced scorecard gagal. Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut (Rivai dan Sagala, 2010, h.628): 1. Faktor independen pada scorecard tidak didefiniskan secara benar khususnya persepktif non keuangan. Padahal faktor non financial ini sebagai indikator utama yang memberikan kepuasan bagi stakeholder di masa yang akan datang. 2. Metric didefinisikan secara minim (poor). Umumnya metric financial lebih mudah didefinisikan karena berhubungan dengan angka secara kuantitatif, sedangkan untuk non financial tidak ada standar yang pasti. Pendefinisian metric dalam bentuk kongkretnya adalah penentuan ukuran dari masing- masing objektif dalam setiap perspektif BSC. Dalam pengukuran metric sejatinya harus mampu mendefinisikan dan memaintain proses dalam top - down dan bottom - up. Kreteria metric yang baik adalah: a. Reliable dihubungkan dengan kepuasan stakeholder. b. Weakness and Defect oriented dan continuous valued. c. Ringkas dan mudah dipahami. d. Dapat didokumentasikan, konsisten, bertahap, dan dijabarkan secara operasional. e. Sesuai dan accessible bagi operator dan user. f. Terhubung dengan sistem data yang dapat menjelaskan sebab dan akibat. g. Memiliki proses formal untuk review dan modifikasi. 3. Terjadi negosiasi dalam penentuan improvement goal dan tidak berdasarkan stakeholder requirement, fundamental process limits dan improvement process capabilities. Istilah negosiasi ini dalam prakteknya diistilahkan dengan penghijauan skor, artinya supaya kelihatan performancenya bagus bisa jadi target yang diturunkan atau timeframenya disesuaikan. 4. Tidak adanya sistem deployment yang terintegrasi dari level top down dan sub process level dimana sebenarnya actual improvement activities terjadi. 5. Tidak adanya metode dan sistem improvement yang baku dalam penerapan BSC. 6. Tidak adanya dan tidak mampunya membuat quantitative linkage antara non financial dan financial.
REKOMENDASI Kendati pergeseran mindset dan perubahan skillset cukup menjanjikan efektivitas implementasi Balanced Scorecard untuk dapat melipatgandakan kinerja keuangan, namun tetap saja tak lepas dari kekurangan, kerugian. Menurut pemahaman kami bahwa BSC merupakan alat untuk membantu mengukur performance/keberhasilan suatu organisasi. Sebagai alat tentu memiliki kelemahan, mungkin tidak cocok, atau merugikan, atau bisa menjadi memperkeruh permasalahan dimana masalah yang sudah ada juga belum juga selesai. Disini diperlukan perspektif ke 5, yaitu STRONG LEADERSHIP (atau tegas konsisten dan sedikit kejam, tapi bukan otoriter) untuk merubah kultur perangkat yang ada dalam organisasi yang diketahui merugikan, diubah menjadi kondisi yang jauh lebih obyektif dan menguntungkan. Sebagaimana disebutkan di atas bahwa dalam penerapan Balance Scorecard (BSC) sering terjadi kesalahpahaman, di mana balance diartikan seimbang dalam ukuran jumlah perspektif. Padahal makna balance dalam BSC adalah keseimbangan nilai kinerja. Kinerja sebuah perusahaan tidak semata dilihat dari kinerja yang telah lalu (financial,) akan tetapi menyangkut sumberdaya yang menentukan kinerja masa depan (customer, internal business process dan learning & growth) juga harus diperhatikan. Seringkali perusahaan terjebak dalam fokus peluang dan perolehan laba yang besar tanpa memperhatikan kepentingan customer dengan meninggalkan perspektif Human Resources. Akibatnya customer perusahaan berpaling ke perusahaan yang lain, sehingga kinerja pelaku internal dalam proses pengembangan perusahaan di masa depan semakin berkurang. Sebuah pengelolaan kinerja merupakan proses yang berjalan secara terus menerus. Oleh karena perspektif financial menampilkan kinerja perusahaan di masa lalu, sedangkan ketiga perspekrif lainya merupakan kinerja masa depan, maka untuk menjamin keseimbangan implementasi pendekatan BSC pada perkembangan sekarang , perlu penambahan perspektif yang ke 6 yaitu: Community Development (berhubungan dengan pembangunan sumber daya masyarakat). Dalam mendukung keseimbangan hubungan kausalitas kinerja perusahaan perlu pengembangan SDM untuk menciptakan nilai-nilainya (Values) sistem implementasi strategi. Memaksimalkan value membutuhkan pemahaman dari berbagai sisi yang saling berhubungan. Bila Manajer SDM tidak memahami aspek bisnis, maka para manager tidak akan menghargai bagian SDM tersebut. Dalam hal ini menetapkan HR untuk mendukung kinerja perusahaan seperti yang ditentukan dalam Peta Strategi dimaksudkan agar perusahaan fokus pada tingkah laku yang dapat mempertajam keseimbangan fungsi kompetensi, reward dan tugas organisasi. Dengan adanya hubungan ini dapat dirancang kebijaksanaan, seperti meningkatkan gaji dan bonus, yang dapat mempertahankan karyawan R&D yang berpengalaman. Hasil pengembangan HR Scorecard tersebut diwujudkan sebagai alat manajemen yang 'powerful'. Implementasi alat ini tidak lebih dari 'menjaga skor' pengaruh SDM terhadap kinerja perusahaan. Bila HR Scorecard disejajarkan dengan pentingnya strategi perusahaan, maka profesionalitas SDM akan menemukan inspirasi baru sebagai aset strategis tentang apa yang harus dilakukan untuk kemajuan perusahaan ke depan (future). Melaksanakan proses manajemen baru dengan SDM yang profesional ini tentu membutuhkan perubahan dan fleksibilitas. Kemudian, proses ini bukan hanya dilakukan 1 kali saja, tetapi para profesional SDM harus secara teratur mengkaji HR dalam rangka memastikan bahwa strategi HR tersebut masih dianggap relevan dan signifikan. Dengan demikian untuk mengembangkan system pengukuran kinerja yang mendunia tergantung pada pemahaman yang jelas terhadap strategi bersaing, sasaran operasional perusahaan, dan pernyataan definitif tentang kompetensi karyawan dan tingkah laku yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan perusahaan. Lebih jauh lagi, sistem perspektif adalah prasyarat untuk menyesuaikan kesejajaran internal dan eksternal system SDM dan kemudian untuk menggeneralisasi keuntungan bersaing yang sebenarnya. Sistem pengukuran bagi perusahaan sebagai keseluruhan atau bagi fungsi SDM dapat menciptakan value, hanya bila mereka secara hati-hati menyesuaikannya dengan strategi bersaing dan sasaran operasional perusahaan tersebut.
KESIMPULAN Sebagai sebuah konsep atau pendekatan yang relatif baru Balanced Scorecard masih memiliki banyak kekurangan yang harus terus dikaji dan dikembangkan. Seperti halnya konsep pengukuran yang lainnya setiap konsep pasti memiliki kelebihan juga. Kelebihan balanced Scorecard antara lain : 1. Komprehensif Balanced Scorecard memperluas perspektif yang dicakup dalam perencanaan strategi dari yang sebelumnya terbatas hanya pada perspektif keuangan, meluas menjadi tiga perspektif yang lain : costumer, proses bisnis internal, serta pertumbuhan dan pembelajaran. Dengan perluasan perspektif rencana strategi keperspektif non keuangan akan memberikan manfaat sebagai berikut: a. Menjadikan kinerja keuangan yang berlipat ganda dan berjangka penjang b. Memampukan perusahaan untuk memasuki lingkungan bisnis yang kompleks. Untuk menghasilkan keberhasilan dalam kinerja keuangan, Balanced Scorecard akan memotivasi personel untuk mengarahkan usahanya kesasaran sasaran strategi yang menjadi penyebab utama berhasilnya kinerja keuangan. Perusahaan harus mampu menghasilkan produk dan jasa yang menghasilkan value yang terbaik bagi costumer yang dihasilkan dari personel yang produktif dan berkomitmen. Kinerja seperti diatas akan memberikan kinerja keuangan yang sesungguhnya, yang berasal dari usaha nyata dalam bisnis, serta memberikan kinerja keuangan yang berlipat ganda dan berjangka panjang. 2. Koheren Balanced Scorecard akan membangun hubungan sebab akibat diantara beebagai sasaran strategi yang dihasilkan dalam perencanaan strategi. Setiap sasaran strategi harus mempunyai hubungan kausal dengan sasaran keuangan, baik secara langsung maupun tidak secara langsung. Sebagai contoh, sasaran penyebab diwujudkannya sasaran strategi diperspektif proses bisnis intern atau costumer akan menjadi penyebab secara langsung diwujudkannya sasaran strategi diperspektif keuangan karena perusahaan adalah institusi pencipta kekayaan, baik secara langsung maupun tidak langsung. 3. Seimbang Balanced Scorecard akan memberikan gambaran mengenai tujuan dan cara pencapaian tujuan tersebut secara seimbang, terutama jika dikaitkan antara perspektif satu dengan yang lainnya. Masingmasing perspektif mempunyai suatu tinjauan pokok yang hendak dicapai: a. Financial returns yang berlipat ganda dan berjangka panjang adalah tujuan dari perspektif keuangan. b. Produk dan jasa yang mampu menghasilkan value yang terbaik bagi costumer adalah tujuan dari perspektif pelanggan. c. Proses yang produktif dari cost effective adalah tujuan dari perspektif bisnis / intern. d. Sumber daya manusia yang produktif dan berkomitmen adalah tujuan dari perspektif pembelajaran dan pertumbuhan. 4. Terukur Keterukuran sasaran strategi yang diabaikan oleh sistem perencanaan strategi menjanjikan ketercapaian berbagai sasaran strategi yang dihasilkan oleh sistem tersebut. Balanced Scorecard mengukur sasaran sasaran strategi yang sulit untuk diukur. Sasaransasaran strategi diperspektif costumer, proses bisnis/intern, serta pembelajaran dan pertumbuhan merupakan sasaran yang tidak mudah diukur, namun dalam pendekatan Balanced Scorecard, sasaran diketiga perspektif non keuangan tersebut ditentukan ukurannya agar dapat dikelola sehingga diwujudkan. Dengan demikian keterukuran sasaran strategi non keuangan akan menjanjikan perwujudan kinerja keuangan yang berlipat ganda dan berjangka panjang.
DAFTAR PUSTAKA
Robert S. Kaplan and David P. Norton, The Balanced Scorecard Measures That Drive Performance, Harvard Business Review (January-February 1992) Rivai, Veithzal dan Sagala, Ella Jauvani. 2010. Manajemen Sumber Daya Manusia Untuk Perusahaan - Dari Teori ke Praktik. (Jakarta, Raja Grafindo Perkasa)